Kamis, 29 Maret 2007

Dari Penjara Taliban Menuju Iman

Judul : Dari Penjara Taliban Menuju Iman
Penulis : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Mizan Pustaka
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : 190 hal
Harga : Rp. 25.000,-

Wartawati Yvonne Ridley Kembali ke Inggris

Kamis, 11 Oktober 2001
London, Sinar Harapan

Wartawati Inggris Yvonne Ridley, yang ditahan dan kemudian dibebaskan oleh pemerintah Taliban yang berkuasa di Afghanistan, hari Rabu kembali ke London dan berkumpul kembali dengan keluarganya.
Ridley, 43, tak mengatakan apa-apa kepada para wartawan yang menunggu setelah tiba di bandara Heathrow di luar London. Seorang juru bicara The Sunday Express, tempat ia bekerja, mengatakan ia akan menemui keluarganya, termasuk anak perempuannya yang berusia sembilan tahun bernama Daisy. Ridley ditahan di dekat kota Jalalabad, Afghanistan timur laut pada 28 September, yang berpakaian cadar dan tanpa dokumentasi, setelah melintasi perbatasan dari Pakistan untuk melaporkan krisis pengungsi. Dua pemandu wisata bersamanya juga ditahan. Tak jelas pada hari Rabu bagaimana nasib mereka. (AP/ren)
Sumber : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/11/lua05.html

Yvonne Ridley, jurnalis terkemuka asal Inggris. Namanya mencuat diberitakan di media-media massa ketika ia disandera oleh tentara Taliban pada tahun 2001. Setelah dibebaskan dan kembali ke Inggris, ia menjadi seorang mualaf dan berjuang membela Islam dan membebaskan belenggu Islamofobia yang melanda dunia barat.

Bagaimana perjalanan hidup Yvonne Ridley hingga menjadi mualaf dan kini dikenal sebagai pembela Islam di barat ? Buku karya Anton Kurnia yang diberi judul “Dari Penjara Taliban Menuju Iman” ini ditulis berdasarkan kisah nyata Yvonne Ridley, bagaimana perjalanan hidup Yvonne sebelum ditangkap tentara Taliban hingga kehidupannya kini.

Di tahun 2001, menjelang serangan Amerika Serikat dan para sekutunya terhadap Afgahnistan, Yvonne pernah mengejutkan dunia ketika ditangkap oleh tentara Taliban saat melakukan tugas jurnalistiknya. Yvonne dibebaskan setelah sepuluh hari ditahan oleh penguasa Taliban.

Pengalamannya menjadi tahanan Taliban yang digembar-gemborkan sebagai rezim yang paling sadis di muka bumi ini sangat membekas dalam kalbunya dan mengubah jalan hidupnya. Di luar dugaan orang, selama dalam tahanan,Yvonne mendapat perlakuan yang baik dari penguasa Taliban. Secara mental memang ia menderita dan harus melalui jam-jam interogasi yang melelahkan. “Mereka mencoba mematahkanku secara mental dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sama terus menerus, hari demi hari, terkadang sampai pukul 9 malam,” (hal 80). Namun, diluar itu ia tak mendapat perlakuan kasar dan siksaan fisik dari tentara-tentara Taliban, malah ia mendapat perlakuan yang baik sebagai seorang tawanan. “Aku bertaruh bahwa orang-orang berpikir aku disiksa, dipukuli, dan mengalami perundungan seksual. Padahal aku diperlakukan dengan baik dan penuh hormat.” (hal 81).

Apa yang dialaminya menyadarkannya bahwa orang-orang Taliban tak seseram yang diberitakan oleh media-media barat. Beberapa saat sebelum dibebaskan ia didatangai oleh seorang Mullah yang menanyakan agama Yvonne dan apa pendapatnya tentang Islam. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia adalah penganut Kristen Protestan dan Islam menurutnya adalah agama yang memesona dan dia mengagumi para pemeluk agama Islam yang memiliki gairah yang luar biasa terhadap keyakinan mereka. Yvonne juga menambahkan bahwa ia berjanji akan mempelajari dan mencari tahu banyak soal Islam setelah kembali ke London.

Yvonne, menepati janjinya. Sekembalinya ke Inggris, ia mulai mempelajari Al-Quran dan bertanya pada orang-orang yang mengenal Islam. Dua tahun kemudian, Yvonne yang sebelumnya hidup secara sekuler dan penganut hidup bebas ini menyatakan diri masuk Islam. Setelah memeluk Islam kehidupan Yvonne berubah total. Pandangan-pandangannya terhadap Islam mulai berubah. Ia menata kembali kehidupannya dan menemukan jalan baru, yaitu sebagai pembela Islam sesuai dengan kapasitasnya sebagai jurnalis. Ia berhenti dari The Sunday Express dan bekerja untuk Al-Jazeera dan beberapa media Islam lainnya. Kini ia dikenal luas sebagai seorang kolumnis yang vokal dalam membela Islam dan mencoba membebaskan belenggu Islamofobia yang melanda dunia Barat saat ini.

Buku ini secara lengkap memuat kisah Yvonne baik sebelum, pada saat, dan setelah ditangkap oleh tentara Taliban, hingga aktifitasnya saat ini. Untuk kisah hidupnya hingga ditangkap oleh tentara Taliban, Yvonne telah menulis memoarnya yang berudul “In The Hands of the Taliban : Her Extraordinary Story. (2001). Selain itu ia juga menulis novel fiksi yang diilhami dari pengalamannya yang diberinya judul Ticket to Paradise (2003). Kedua buku ini ditulisnya sebelum ia menjadi seorang Muslim.

Bagaimana pengalamannya setelah ia dibebaskan dan menjadi muslim dan apa aktifitasnya kini? Rasanya belum ada yang menulisnya secara khusus dalam sebuah buku. Paling-paling kisahnya dapat ditemui di wawancara-wawancara dengan sejumlah media, ceramah-ceramahanya, dan jurnal-jurnal rohani Islam. Tidak adanya buku yang memuat kisah hidup Yvonne secara lengkap termasuk perjalanan ziarahnya menjadi seorang Muslim dan sepak terjangnya hinga kini inilah yang menggerakkan penerbit Mizan dan Anton Kurnia untuk membuat buku ini.

Buku ini ditulis dengan simpel. Kalimat-kalimat yang digunakan Anton sederhana. lugas dan enak untuk dibaca sehingga menggiring pembacanya untuk terus membaca buku ini hingga habis. Hal ini juga didukung oleh lay out buku ini yang terkesan simpel disertai beberapa foto pendukung yang membuat pembaca betah untuk menelusuri kehidupan Yvonne Ridley . Sebagai pelengkap, buku ini memuat kutipan wawancara situs cagerpisoner.com dengan Yvonne Ridley. Dan di akhir buku ini terdapat pula teks naskah ceramah Yvonne Ridley di Global Peace & Unity Conference 2006, London (30/11/2006)

Selain kisah kehidupan dan ziarah batin Yvonne dalam menemukan keyakinan barunya, pembaca juga akan mendapat banyak informasi mengenai lanskap Afghanistan, beserta perilaku tentara-tantara Taliban yang tidak sekeji yang diberitakan media massa. Di bab-bab terakhir buku ini pembaca akan disuguhkan pandangan-pandangan dan perjuangan Yvonne dalam membela Islam yang disampaikan secara lugas dan lantang termasuk ketika menghantam kebijakan Amerika dan Inggris yang kerap memperlakukan negara-negara Islam dengan tidak adil.

Sayangnya, buku ini tak mengungkap sisi kehidupan Yvonne yang dikatakan setelah menjadi seorang muslim menjadi pribadi yang lebih toleran terhadap orang lain (hal 115). Dalam aktivitasnya setelah menjadi muslim, di buku ini kita hanya akan membaca bagaimana dia membela Islam dan menyerang pandangan-pandangan barat yang negatif terhadap Islam. Sedangkan sisi kehidupannya yang dikatakan menjadi toleran terhadap orang lain tak terungkap dalam buku ini.

Walau buku ini banyak mengungkap kisah beralihnya keyakinan seorang perempuan Barat menjadi muslimah, dan berisi berbagai pandangan-pandangan Islam menurut kacamata Yvonne Ridley sebagai seorang pembela Islam di barat. Bukan berarti buku ini adalah sebuah ‘buku dakwah” yang hanya ditujukan kepada pembaca Muslim. Buku layak dibaca siapa saja. Anton Kurnia dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa “Kisah hidup Yvonne Ridley mengandung hikmat universal yang bisa dimaknai oleh siapa pun yang mau membacanya” (hal 8).

Setidaknya kisah kehidupan Yvonne Ridley bisa menjadi contoh bagaimana jalan hidup seseorang sesungguhnya susah ditebak. Siapa yang menyangka jika Yvonne yang dahulu ini hidup secara bebas, gemar berpesta, akrab dengan rokok dan alkohol ini bisa berubah menjadi seorang pembela Islam yang gigih. Bukan pilihan yang tanpa resiko, selain mendapat tantangan dari keluarga dan teman-temannya. Yvonne juga harus menghadapi pandangan masyarakat di negaranya akan citra Islam yang buram dan selalu dicurigai dengan berbagai hal yang negatif.

Kegigihan dan keberanian Yvonne dalam membela keyakinnya di tengah arus yang berlawanan bisa juga menjadi inpspirasi bagi siapapun yang berjuang untuk membela keadilan, bagaimanapun caranya, dimanapun, dan sesulit apapun keadaannya.

@h_tanzil
Read more »

Minggu, 25 Maret 2007

OUCH!!!

... Ini bukan buku biografi. Ini bukan sekedar cerita
tentang diri gue…

-- Melanie Subono (hal. 1)

OUCH!!!
Melanie Subono
Gagas Media, Cet. I – 2007
132 Hal.

Siapa bilang jadi Liaison Officer itu enak? Bisa deket-deket sama artis asing terkenal… bisa ngobrol bareng, bisa tahu semua kebiasaannya… apalagi kalo artis itu artis yang selama ini kita idolakan.

Tapi, Melanie Subono ‘mengungkapkan’ fakta yang sebenarnya. Bekerja di Divisi Talent di Java Musikindo yang kerap mendatangkan artis luar negeri, meskipun milik ayahnya sendiri, Adrie Subono, Melanie gak begitu aja bisa nonton penampilan mereka dengan mudah.

Melanie memulai ‘karir’-nya sebagai asisten sang (mantan) pacar yang kebetulan punya jasa penyewaan kendaraan yang biasa dipakai artis-artis. Dan ketika Java Musikindo dibentuk, Melanie pun bergabung di sana menjadi Liaison Officer.

Liaison Officer (LO) adalah divisi yang paling sibuk ngurusin segala tetek-bengek yang berhubungan dengan sang artis. Mereka mulai bekerja begitu promoter menandatangani kontrak dengan pihak si artis. Para LO punya ‘kitab suci’ yang disebut Rider. Dalam Rider ini, tertera segala macam persyaratan yang harus dipenuhi untuk si artis. Contohnya, Mariah Carey, jendela kamarnya harus ditutupi karton hitam, lalu, harus tersedia jenis bunga tertentu dengan warna tertentu di dalam vas tertentu!!! Atau Alanis Morisette yang minta disediain teh erbal merk tertentu. Gak akan jadi masalah, kalau permintaan mereka tersedia di Jakarta, atau gampang ditemui, kalau gak… LO harus siap memikirkan segala alternatif yang kreatif.

Para LO terkadang tidak punya waktu untuk memikirkan diri mereka sendiri. Lapar, cape’, tekanan tinggi… adalah kondisi yang harus dihadapi LO. Apalagi, tingkah laku para artis itu kadang ‘ngeselin’. Misalnya, boyband Westlife, meskipun udah bolak-balik datang ke Indonesia, tetap gak belajar dari pengalaman. Kadang dengan seenaknya, tidak sesuai dengan yang tertulis di Rider.

Belum lagi ulah para fans yang ingin melihat artis-artis pujaan mereka itu dari dekat. Tingkah laku yang nekat membuat LO juga pusing tujuh keliling.
Kehebohan lainnya: nemenin Maksim nyari teh yang katanya paling enak sedunia; rela jagain kuskus pinjemannya Alanis Morisette; ganti semua pesanan sushi dan sashimi-nya Diana Krall yang tiba-tiba ngaku vegetarian, tapi koq masih makan sop daging??!! Kalo kata Melanie, para artis ini emang suka terserang 'amnesia mendadak'. Hehehe...

LO juga harus up to date soal gosip-gosip artis teranyar, biar tahu kebiasaan atau hal-hal pribadi mereka. Bukan biar sok deket atau sok akrab, karena ketika Avril Lavigne datang ke Indonesia, dia gak mau tinggal di Hotel Hilton, karena alasan pribadi.

Tapi, seperti kata Melanie, tidak akan ada yang bisa membuat dia meninggalkan profesi ini. Seperti Cinta… biar menyakitkan.. tapi tetap aja indah…

Buku ini ditulis dengan bahasa yang santai... gak kaku. Melanie bercerita dengan bahasa ‘loe-gue’, membuat pembacanya merasa sedang mendengarkan seorang teman bercerita. Seru ngebayangi gimana pontang-pantingnya, gimana serunya, gimana ngeselinnya, dan segala suka-duka lainnya. Jadi gak perlu sirik atau mikir, “Ah.. Melanie… jelas aja, dia, kan anak yang punya Java Musikindo”.

Di buku ini, ada juga beberapa foto-foto Melanie bareng ‘baby bule’-nya (nah.. ini baru bikin sirik…)
Read more »

Jumat, 23 Maret 2007

The Diet

Diet (dÎ’∂t) k.b. dari Bahasa Yunani diaita, sebuah jalan hidup



The Diet
Edita Kaye
Cahya Wiratama (Terj.)
CPublishing – Cet. 1, Februari 2007

Ketika ia menyaksikan tubuh gemuk ibunya yang terbujur kaku digotong oleh petugas kesehatan, Cate Blain membuat janji pada dirinya sendiri, “Aku tidak akan pernah gemuk.” Ibu Cate meninggal akibat kegemukan dan pola makan yang tidak sehat.

Dua puluh tahun kemudian, Cate memang menepati janjinya. Kehidupan Cate cukup sempurna. Pernikahannya dengan Charles cukup bahagia, lalu, ada Sam, adik semata wayangnya yang sangat ia sayangi. Tubuh langsing, sukses dengan kursus memasaknya – Cate’s Cookery, mempunyai kolom sendiri di sebuah surat kabar.

Cate hidup dari makanan. Ia menjadi terkenal karena masakan yang ia racik. Cate tidak pernah makan berlebihan, ia hanya mencicipi sedikit saja makanan yang ia buat. Bahkan Cate mendapatkan tawaran untuk membuat buku masak dari sebuah penerbit terkenal.

Tapi, ternyata, makanan juga yang justru ‘mengkhianati’nya. Makanan yang menghancurkan kehidupannya. Di suatu malam di bulan Oktober, Cate sudah mempersiapkan makanan yang sempurna untuk sebuah perayaan. Malam itu, ia akan memberitahu Charles sebuah kabar bahagia. Namun perayaan itu berantakan. Justru kabar buru yang ia peroleh.

Dalam keadaan tertekan, Cate lari ke makanan. Tanpa sadar ia mulai mengudap dan selalu merasa lapar. Tanpa sadar, Cate mengulangi apa yang sudah ibunya lakukan. Dokter kandungannya sudah memberi peringatan akan bahaya obesitas bagi bayi dalam kandungannya. Tapi, Cate semakin tidak terkendali.

Buntutnya, Cate kehilangan semua yang ia miliki. Charles meninggalkannya, ia kehilangan bayi laki-lakinya, sedangkan bayi perempuannya direnggut darinya. Cate juga kehilangan kontrak pembuatan bukunya dan harus mengembalikan uang muka yang sudah diterimanya. Cate semakin terpuruk dalam kesedihan. Lagi-lagi, makanan yang jadi tempat pelarian Cate. Berat badan Cate semakin melambung. Bahkan Cate berencana untuk makan sampai mati.

Suatu hari, datanglah Josh, mantan editornya, membawa setumpuk artikel tentang kesehatan, tawaran untuk menulis lagi dan selembar cek. Kejadian itu membawa perubahan bagi diri Cate.

Cate mulai sadar.. Ia menyusun menu diet untuk dirinya sendiri. Ia tidak akan menjauhi makanan, ia hanya perlu mengatur apa yang ia makan, dan kapan ia akan makan. Makanan tetap akan menjadi teman baiknya. Pelan-pelan kepercayaan dirinya mulai pulih. Tujuannya hanya satu, yaitu kembali berkumpul dengan Charles dan anak perempuannya.

Tapi, ternyata tidaklah semudah itu untuk mewujudkan mimpinya. Cate kembali takut, kalau dietnya kali ini akan berakhir seperti diet-diet yang telah ia jalani sebelumnya.

Bagi gue, buku ini cukup memberikan inspirasi. Gak seperti model-model chicklit lainnya. Menurut Edira Kaye, penulis buku ini, meskipun pola diet yang dibuat oleh Cate adalah fiktif, tapi memiliki dasar penelitian. Jadi, boleh juga tuh diterapkan buat yang mau diet. Dan memang, membaca masakan yang diracik Cate, bias membuat membuat air liur menetes. Dan, memang betul, kita gak bisa hidup tanpa makan, tapi hati-hati, bisa jadi makananlah yang akan menjerumuskan kita.

Read more »

Terorist- John Updike

Judul : Terorist
Penulis : John Updike
Penerjemah : Abdul Malik
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2006
Tebal : 499 hal


Ahmad Ashamy Mulloy, seorang pemuda berusia delapan belas tahun adalah seorang remaja cerdas yang taat pada ajaran agamanya. Ia tinggal di New Prospect (New Jersey) yang materialistis dan hedonis bersama ibunya, Teresa Malloy yang berdarah Irlandia-Amerika. Ayahnya yang berkebangsaan Mesir, meningalkannya sejak Ahmad berusia tiga tahun. Ketika berusia sebelas tahun ia memeluk agama Islam dan semenjak itu pula dua kali dalam seminggu ia mempelajari Kitab Suci al-Quran dibawah bimbingan Syaikh Rasid, seorang imam masjid di West Main Stret – New Prospect.

Di sekolahnya, Ahmad dikenal sebagai murid yang pintar. Agamanya menjaganya dari obat-obatan terlarang dan tindakan asusila, meski hal ini membuatnya agak tersisih dari teman-teman kelasnya. Karena hidup selama bertahun-tahun tanpa ayah, dan hidup bersama ibunya seorang penganut Katolik yang tanpa iman, dan digembeleng dengan keras oleh guru agamanya, Ahmad tumbuh menjadi pengabdi setia pada Allah, menjadikanNYA sebagai teman sejati yang lebih dekat dari urat lehernya.

Pengaruh Syaikh Rasyid sedemikian besarnya dalam kehidupan Ahmad, tak seorangpun yang dapat mengalihkan perhatian Ahmad dari mengikuti ajaran agamanya yang disebut sebagai “Jalan yang Lurus”. Selain belajar membaca ayat-ayat suci Al-Quran, Ahmad juga diwajibkan untuk mengikuti petunjuk Allah secara total dalam kehidupannya, termasuk melakukan jihad dan mati syahid untuk melawan musuh-musuh Allah, antara lain bangsa Amerika yang dianggapnya sebagai bangsa yang kafir.

Setelah lulus dari SMA, Jack Levy, guru pembimbingnya menganjurkan agar Ahmad melanjutkan ke univeritas terkemuka. Namun Ahmad lebih mentaati anjuran Syaikh Rasyid agar ia menjadi supir truk. Ketika ia memperoleh pekerjaan sebagai supir truk di sebuah toko perabotan yang dimiliki oleh keluarga Libanon, ternyata sejumlah rencana telah diatur dengan rapih. Sejak awal Ahmad memang disiapkan oleh Syaikh Rasyid untuk menjalankan jihad dan melakukan misi bunuh diri dengan menjadikan dirinya pembawa truk berisi bom yang siap untuk diledakkan di terowongan di Lincoln – New Jersey. Akankah Ahmad bersedia menjalankan misi yang diyakininya sebagai misi suci untuk menghancurkan musuh-musuh Allah ?


Kisah diatas adalah karya teranyar dari John Updike, novelis senior yang produktif dan pemenang dua kali Putlitzer Prize (1981 & 1991). Novel ke duapuluh dua John Updike ini diberi judul Terorist (2006). Novel ini mendapat respon yang baik dari pembacanya. Baru saja beberapa minggu terbit, novel ini telah dicetak ulang sebanyak enam kali dengan jumlah 118.000 copy dan habis terjual dalam waktu yang singkat.

Apa yang menarik dari novel ini ? Novel ini memang tak seseram judulnya. Pembaca mungkin akan terkecoh melihat judulnya yang provokatif dan menyangka novel ini sarat dengan kekerasan dan baku tembak dengan plot yang cepat dan menegangkan.
Tidak!, kita tak akan menemukan adegan baku tembak atau berbagai peledakan yang menghiasi lembar-lembar novel ini. Novel ini memiliki alur yang cenderung lambat dan lebih mengutamakan eksplorasi karakter, kondisi psikologis beserta pemikiran para tokoh-tokohnya. Wikipedia mengkategorikan novel ini kedalam genre Philosophical, War.

Seperti dalam novel-novel lainnya Updike memang gemar mengkolase tema filsafat dengan tema aktual. Dalam Terorist, ia banyak
bermain-main dengan apa yang ada dalam pikiran dan dialog-dialog para tokohnya yang sarat dengan debat filosofis dan teologis akibat benturan antara keyakinan tokoh-tokoh radikal dengan tokoh-tokoh sekuler yang hidup secara hedonis materialistis yang bisa dikatakan merupakan gambaran umum masyarakat Amerika.

Dari novelnya ini John Updike tampak menguasai Islam. Menurut Amitav Ghosh dalam reviewnya yang dimuat dalam Washington Post, Updake tak hanya sekedar membaca Al-Quran, ia juga mempelajarinya secara intens. Tak heran jika Updike menyertakan banyak kutipan ayat-ayat Al-Quran beserta pemahamannya dalam novelnya ini.

Seperti diungkap diatas, karakter tokoh-tokoh di novel ini dideskripsikan secara detail, selain tokoh Ahmad, tokoh-tokoh lainnya seperti Jack Levy (guru pembimbing Ahmad) Beth Levy , Teresa Malloy , Charlie Chebab (atasan Ahmad), mendapat porsi yang banyak dikupas sehingga mengakibatnya alur novel ini terasa lambat. Sayangnya juga karakter Syaikh Rasid hanya sedikit dikupas dibanding tokoh-tokoh lain, padahal dialah tokoh yang paling berpengaruh dalam kehidupan Ahmad.

Di novel ini juga pembaca akan melihat bagaimana kondisi kerohanian masyarakat Amerika yang dilihat dari sudut pandang tokoh Ahmad yang mewakili para pejuang kebenaran yang rela mati syahid demi keyakinannya. Di mata Ahmad Amerika adalah bangsa yang tidak memiliki Tuhan, “Dan karena tidak ada Tuhan, semua digambarkan dengan seks dan benda-benda mewah, Lihatlah televisi, Mr. Levy, bagaimana seks selalu memanfaatkan Anda agar bisa menjual sesuatu yang tidak Anda butuhkan. …Perhatikan bagaimana umat Kristiani melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk asli Amerika dan mengesampingkan Asia dan Afrika, dan sekarang mulai merambah Islam, dengan segala sesuatu di Washington yang dikendalikan oleh orang Yahudi untuk mengekalkan pendudukan mereka atas Palestina.” (hal 57).

Karena mengambil setting kota kecil di Amerika, beberapa tahun setelah serangan 11 September, novel ini juga mengungkap bagaimana sebenarnya kebebasan yang diagungkan oleh masyarakat Amerika justru “membuat negara ini lebih mudah disusupi teroris, dengan menyewa pesawat terbang dan mobil gerbong, serta mengeset website.” (hal 40). Phobia masyarakat Amerika terhadap sesuatu yang berbau Islam termasuk masyarakat muslimnya juga terungkap lewat sebuah dialog antar tokohnya “Kami memang memutus sambungan telepon setelah peristiwa Sebelas-September, kami sering menerima telepon bernada ancaman dari golongan Anti-Muslim” (hal 122).

Di 70 halaman terakhir terdapat hal yang sangat menarik, Updike mendeskripsikan dengan detail bagaima akifitas yang dilakukan oleh Ahamd selaku pelaku bom bunuh diri lengkap dengan bagaimana gejolak batinnya pada saat ia mengemudikan truknya menuju titik sasaran dimana ia akan meledakkan truknya dan mati syahid untuk membela keyakinannya.

Apa manfaat yang bisa kita ambil dari novel ini ? Saat ini beberapa negara di dunia, khususnya Amerika memang selalu berada dibawah ancaman bayang-bayang sekelompok pihak yang sering disebut teroris. Bahkan indonesiapun sudah beberapa kali menjadi sasaran bom bunuh diri. Karenanya kehadiran novel ini setidaknya bisa memberikan gambaran apa sebenarnya yang mereka perjuangkan dan apa yang kira-kira ada di benak seorang pelaku bom bunuh diri sebelum ia melaksanakan tugasnya demi sebuah keyakinan yang dianutnya.

@h_tanzil
Read more »

Kamis, 22 Maret 2007

Somewhere, Home

Somewhere, Home
Nada Awar Jarrar
Catherine Natalia (Terj.)
Qanita, Cet. I – Januari 2007
284 Hal.

Buku ini bercerita tentang 3 perempuan yang rindu akan rumah dan kampung halamannya. Terbagi ada 3 cerita terpisah, masing-masing mengungkapkan kerinduan yang timbul karena permasalahan yang sama, yaitu, terpisah jauh dari rumah yang mereka anggap sebagai ‘rumah’ yang sesungguhnya. Model cara berceritanya juga sama, kilas balik tokoh utama, mengenang masa lalunya, diselang-selingi dengan kehidupannya di masa sekarang.

Kisah pertama adalah tentang Meysa. Menjelang kelahiran putrinya, Meysa memilih untuk kembali ke rumah masa kecilnya, rumah yang dulu adalah milik kakek dan neneknya, di atas bukit Gunung Lebanon.

Meysa merasa tidak nyaman di tempat tinggalnya sekarang. Untuk itu, ia memilih pulang ke rumah neneknya, meskipun suaminya, Waldi, sedikit keberatan. Di rumah neneknya, Alia, Meysa hanya ditemani pengurus rumah tangga, Selma. Meysa berusaha mengenang ketika ia berada di sana.

Bagian ini tidak hanya berkisah tentang Meysa. Tapi juga menceritakan babak kehidupan Alia. Pada bagian Alia, menceritakan bagaimana ia harus hidup sendiri bersama anak-anaknya, sementara suaminya pergi berdagang keluar kota dan hanya pulang sesekali. Ada bagian di mana Alia ingin suaminya pulang, yaitu ketika dua anaknya hampir menjadi korban ketika gedung sekolah mereka runtuh.

Cerita lain di bagian pertama, adalah tentang Saeeda, bibi Meysa. Saeda adalah anak perempuan Alia satu-satunya. Ia terpaksa menikah muda, dan diboyong oleh sang suami, tinggal bersama mertuanya. Sehari-hari, ia harus mengurus mertuanya, sampai akhirnya mertua dan suaminya meninggal dan ia kembali ke rumah Alia.

Lalu, cerita ketiga dalam kisah Meysa adalah tentang Leila, yang tak lain adalah ibu Meysa. Leila menikah dengan Adel, anak ketiga Alia. Sebelum menikah, Leila tinggal di Amerika. Maka itu, ketika kembali ke Lebanon, Leila merasa tidak nyaman dengan suasana di sana.

Kisah kedua adalah tentang Aida yang berusaha menelusuri kenangan masa lalunya bersama Amou Mohammed, pelayannya. Aida dan saudara-saudaranya begitu dekat dengan Amou Mohamed, bahkan Amou Mohammed rela hanya sesekali bertemu keluarganya di tempat penampungan demi melayani Aida. Sedemikian dekat hubungan mereka, sehingga ketika Amou Mohammed meninggal dunia, bayangannya seolah menghantui Aida dalam kenangannya. Aida ingin kembali lagi ke Lebanon.

Aida pun pulang ke Lebanon. Bertemu kembali dengan keluarga Amou Mohammed. Mencoba mencari bayangan Amou Mohammed dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah terjawab di masa lalu.

Dalam kisah ketiga, adalah tentang Salwa, seorang perempuan Lebanon yang terpaksa mengikuti suaminya pindah ke Australia untuk bekerja. Di masa tuanya, dalam keadaan sakit, Salwa mengenang kembali masa-masa ketika ia masih berada di Lebanon, sebelum ia menikah dengan Adnan. Dulu, ia sama sekali tidak ingin menikah dengan Adnan, karena merasa masih terlalu muda. Tapi, toh ia tidak bisa menolak perjodohan itu.

Semua perempuan dalam buku ini, terpisah jauh dari tempat kelahiran mereka. Dan, mereka merasakan hal yang sama, yaitu tidak menemukan kenyamanan seperti di rumah mereka sendiri. Mereka mencoba kembali pulang, mencoba menggali kenangan mereka dan mencoba mencari kembali ‘rumah’ mereka, meskipun mereka terkadang harus kecewa karena rumah yang mereka dulu tempati tidak sama lagi seperti yang selalu mereka bayangkan.
Read more »

Rabu, 21 Maret 2007

The Amber Spyglass (Teropong Cahaya)

The Amber Spyglass (Teropong Cahaya)
Philip Pullman
B. Sendra Tanuwidjaja (Terj.)
GPU, Februari 2007
624 Hal.

Will akhirnya bertemu dengan ayahnya, John Parry, yang menghilang setelah sekian lama. Tapi, di pertemuan itu pun, Will harus menyaksikan ayahnya meninggal dunia, ‘dibunuh’ oleh penyihir yang sakit hati karena cintanya tak berbalas. Will membawa pesan terakhir dari ayahnya, bahwa ia harus menyerahkan pisau gaib kepada Lord Asriel.

Tapi… ketika Will kembali ke tempat ia dan Lyra beristirahat di bawah pengawasan para penyihir, ternyata Lyra sudah lenyap. Will pun bingung… bagaimana ia bisa mencari Lord Asriel kalau Lyra tidak ada? Hanya ada ransel kecil Lyra yang berisi alethiometer tertinggal di sana.

Sementara itu, Lyra berada di sebuah gua dalam keadaan tertidur. Mrs. Coulter-lah yang ternyata sudah ‘menculik’ Lyra. Kepada penduduk desa setempat, Mrs. Coulter sebagai petapa yang sedang merawat anaknya. Dalam tidurnya, Lyra bermimpi bertemu dengan Roger yang meminta pertolongannya.

Dibantu dua malaikat, Balthamos dan Baruch, Will mencari keberadaan Lyra. Di tengah perjalanan, Will bertemu dengan Iorek Brykinson, beruang baju besi sahabat Lyra. Akhirnya, Will bisa menemukan Lyra dan menyadarkan Lyra dari tidur panjangnya. Mrs. Coulter berhasil dilumpuhkan dengan racun oleh dua orang Gallivespia, Chevalier Tiallys dan Lady Salmakia. Mereka bertubuh mungil, tapi merupakan prajurit yang sikapnya cenderung sombong. Mereka juga adalah mata-mata Lord Asriel.

Di saat yang sama, semua terasa sibuk… Lord Asriel sibuk di bentengnya, mengatur rencana untuk mengambil Lyra dari Mrs. Coulter. Sementara itu, Mary Malone, ilmuwan dari dunia Will, juga mencari Lyra dan malah mendapati dirinya berada di dunia yang aneh, yang penuh dengan makhluk-makhluk beroda. Lalu, adalagi Pater Gomez yang bertugas membunuh Lyra.

Setelah bebas, Will dan Lyra tidak mau mengikuti Tiallys dan Salmakia menemui Lord Asriel. Mereka punya rencana sendiri. Lyra ingin Will membuka jendela ke dunia kematian. Lyra ingin bertemu Roger seperti yang ia janjikan dalam mimpinya.

Ketika berhasil menemukan dunia kematian, Lyra terpaksa harus meninggalkan Pantalaimon, karena tidak ada dæmon yang boleh ikut ke dunia kematian, dan tidak ada jaminan bagi Lyra, Will dan dua orang Gallivespia itu bisa keluar dari dunia kematian.

Bagian ketika Will dan Lyra berada di dunia kematian, adalah bagian yang paling mencekam. Mereka berada di tempat yang sepi, suram dan bertemu arwah-arwah yang bertatapan kosong dan tak bahagia. Lyra berhasil bertemu kembali dengan Roger, dan Will bertemu dengan ayahnya. Lyra dan Will membimbing arwah-arwah untuk keluar dari dunia kematian, bukan untuk hidup lagi, tapi untuk mati dengan cara yang lebih membuat mereka bahagia.

Sementara di dunia nyata, terjadi pertempuran antara Lord Asriel melawan Metatron. Mrs. Coulter mengorbankan dirinya, bekerja sama dengan Lord Asriel. Kadang, membingungkan menebak-nebak sifat dan karakter Lord Asriel dan Mrs. Coulter, siapa yang jahat, siapa yang baik. Bener gak Mrs. Coulter sayang sama Lyra? Atau Lord Asriel sama Mrs. Coulter tuh, masih suka-sukaan gak sih?

Cerita ini juga gak luput dari bagian yang romantis. Ternyata, ketika Will dan Lyra keluar dari dunia kematian dan berada di dunia tempat di mana Mary Malon berada bersama Mulefe-mulefa, mereka berdua menyadari, setelah sekian lama saling menjaga, bahwa mereka jatuh cinta. Dan, tentu saja sangat menyakitkan ketika semua harus kembali ke dunia masing-masing.

Bagian yang paling menarik di buku ketiga ini, adalah bagian ketika ada di dunia kematian. Seremmm… dan bikin merinding. Tapi, entah kenapa, gue males banget baca bagian Mary Malone dan mulefa-mulefa-nya itu, sedikit membosankan buat gue. Tokoh favorit gue di buku ketiga ini adalah pasangan Chevalier Tiallys dan Lady Salmakia - kecil, mungil, imut-imut, tapi galak and sombong.
Read more »

Jumat, 16 Maret 2007

Chicken Soup for the Soul® -graphic novel



Judul : Chicken Soup for the Soul® -graphic novel : Hadiah Terindah
Chicken Soup for the Soul® -graphic novel : Pelajaran Berharga
Gambar oleh : Kim Donghwa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2006
Tebal : 171 hal ; 156 hal


Jack Canfield, seorang penceramah, motivator, trainer terkenal, pada tahun 1990-an bersama rekannya Mark Victor Hansen yang juga seorang penceramah populer Amerika, berkolaborasi untuk menerbitkan sebuah buku yang berisi kumpulan kisah-kisah inspirasional yang menyentuh hati pembacanya. Buku yang diberinya judul Chicken Soup for The Soul – 101 Stories to Open The Heart and Rekindle The Spirit – terbit pada tahun 1993 dan langsung bertenggernya di #1 NEW YORK TIMES BESTSELLER! untuk jangka waktu yang lama. Edisi pertama buku ini terjual sebanyak 2 juta copy!

Melanjutkan kesuksesan buku tersebut, Jack Canfield dan Mark Hansen kembali mencari kisah-kisah inspirasional agar dapat diterbitkan kembali menjadi buku baru yang kelak akan terus diterbitkan dibawah seri Chicken Soup for The Soul. Ternyata kisah-kisah yang mereka dapatkan baik dari pencarian mereka sendiri maupun dari kiriman-kiriman para pembacanya terus mengalir hingga seri Chicken Soup terus diterbitkan hingga kini dan terus dibaca orang di berbagai negara.

Jack Canfield dan Mark Hansen mengedit, dan mengkategorikan kisah-kisah yang mereka dapatkan, sehingga kelak setiap buku yang terbit akan memiliki tema tersendiri seperti Chicken Soup for the Mother's Soul, Chicken Soup for the Preteen Soul, Chicken Soup for the Prisoner's Soul, Chicken Soup for the Volunteer's Soul, Chicken Soup for the Grandparent's Soul, Chicken Soup for the Ocean Lover's Soul, dll Hingga Januari 2006, 115 judul telah diterbitkan. Lebih dari 100 juta copy telah dicetak dan telah diterjemahkan kedalam 57 bahasa dunia.!

Di Indonesia sendiri, Gramedia Pustaka Utama (GPU), selaku pemegang hak cipta buku ini tampaknya tak mau ketinggalan untuk menerjemahkan seri Chicken Soup. Seri pertama terjemahan Chicken Soup diterbitkan pada tahun 1995 dengan judul Chicken Soup for the Soul 1 - Menjadi Kaya dan Bahagia . Seperti di negara asalnya, buku ini mendapat respon yang sangat baik dari pembacanya. Maka di tahun 1995-2000 mulailah dunia buku Indonesia dirasuki oleh fenomena Chicken Soup. Saat itu rasanya ketinggalan jaman jika pecinta buku tak membaca seri Chicken Soup.

Namun beberapa tahun kebelakang fenomena Chicken Soup mulai meredup, apalagi dengan munculnya fenomena Teen-Lit / Chick-Lit di tahun 2000-an. Namun seri Chicken Soup masih memiliki pembaca setia, hal ini terbukti dengan terus diterjemahkannya buku2 seri Chicken Soup hingga kini. Setidaknya sudah 35 judul Chicken Soup yang telah diterbitkan GPU. Yang teranyar adalah Chicken Soup for The Woman Soul yang terbit pada Januari 2007 dan
dikemas dengan tampilan cover yang lebih berwarna.

Selain itu, kini GPU juga menerbitkan Chicken Soup dalam bentuk yang ‘lain’. Di tengah semboyan Gramedia Goes To Graphic Novel, GPU menerbitkan 2 buah Chicken Soup dalam bentuk Novel Grafis / Komik yang diberi titel Chicken Soup for The Soul - Graphic Novel yang masing-masing berjudul : Hadiah Terindah , dan Pelajaran Berharga.

Karena dikemas dalam bentuk komik, buku ini menjadi lebih berwarna dan menarik. Gambar-gambarnya bersih, dibuat mirip dengan komik-komik Jepang dan diwarnai dengan warna-warni yang menarik. Buku ini dikerjakan oleh kartunis terkemuka Korea, Kim Doghwa. Ia telah diundang ke banyak festifal kartun di seluruh dunia, dan karya-karyanya mendapat sambutan hangat di negara-negara Asia. Eropa, dan kini bukunya mulai diterbitkan di Amerika Serikat. Edisi pertama dan kedua graphic edition seri Chicken Soup for The Soul merupakan salah satu karya terbaiknya.

Seluruh kisah dalam dua buku ini diambil dari buku 2nd Helping of Chicken Soup for The Soul dan A 3rd Serving of Chicken Soup for The Soul. Pada kisah Hadiah Terindah yang dijadikan salah satu judul buku ini diceritakan kisah seorang kakek yang karena suatu sebab tak pernah mau datang ke perayaan Paskah di rumah anaknya. Karenanya Carrie sang cucu berniat untuk memberikan sebuah gambar bikinannya sebagai hadiah untuk kakeknya. Kelak gambar tersebut akan meluluhkan hati kakeknya dan membuat si kakek akhirnya hadir tepat pada saat perayaan paskah di rumah anaknya.

Lalu ada pula kisah “Sepasang Sandal” yang dalam ilustrasinya mengingatkan kita akan tokoh kharismatik India, Mahatma Gandhi. Dalam kisah ini, diceritakan seseorang ketika sedang mengejar kereta yang hendak berangkat tiba-tiba sebuah sandalnya terlepas. Anehnya setelah orang tersebut berhasil naik kedalam kereta, ia segera melepas sandal yang tersisa dan melemparnya keluar kereta. Tindakannya ini menimbulkan pertanyaan dari orang-orang disekitarnya. Ketika ditanya “Mengapa sandal satunya yang masih bagus Anda lempar?”, lelaki yang melempar sandalnya itupun menjawab “Yah, bayangkan saja orang yang mengambil sandal tadi. Orang itu tidak akan bisa menggunakan jika hanya ada satu sandal!” (hal 55).

Selain dua kisah diatas masih banyak kisah-kisah inspirasional yang menyentuh hati pembacanya, masing-masing buku berisi 12 hingga 13 kisah. Diantara kisah-kisah itu kita akan menemui pengalaman para tokoh-tokoh terkenal dunia seperti Muhamad Ali - Champion, Wilma Rudolph (juara Olimpiade’60 untuk lari 100, 200 meter), Benyamin Franklin – Malaikat Tercantik, dan Thomas Jefferson – Mata yang Penuh Kasih.

Karena berbentuk komik, maka buku ini bisa dibaca oleh segala usia, bahkan anak-anak pun dipastikan akan tertarik untuk ikut membaca. Kalimat-kalimatnya yang sederhana namun menyentuh membuat anak-anakpun bisa memahami buku ini. Namun tentu saja peran orang tua masih diperlukan untuk memberi pejelasan pada beberapa kisah yang mungkin masih terlalu sulit untuk dipahami oleh anak-anak. Di akhir tiap kisahnya terdapat juga satu halaman yang hanya berisi kesimpulan atau kata mutiara sehingga memudahkan pembaca menangkap inti cerita yang dimaksud dalam tiap kisahnya.

Kedua buku Chicken Soup for the Soul® graphic novel ini kini telah hadir di tengah penggemarnya. Seri bestseller dunia tentang kisah nyata luarbiasa yang telah membantu dan menginspirasi banyak orang di seluruh dunia ini kini dilengkapi dengan gambar-gambar indah yang bernilai.

Selain itu buku yang berisi kisah-kisah indah tentang kebaikan dan ketegaran yang bisa memberikan pelajaran berharga untuk pembacanya ini sangat layak untuk dijadikan hadiah terindah untuk orang-orang tersayang.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 12 Maret 2007

Chocoluv

“Everybody deserves a second chance”

------
Bambang (hal. 192)



Chocoluv
Ninit Yunita
Gagas Media - Cet. 1. 2007
200 Hal.

Cinta adalah rasa (pertama kali baca kalimat ini, gue inget sama film Brownies dengan tag-nya “Biarkan Rasa Yang Memilih” – diadaptasi ke bentuk novel oleh Fira Basuki – Gagas Media, 2004). Ok… lanjut.. cinta emang penuh dengan rasa yang campur aduk… Manis kalau lagi sayang-sayangan, lagi manja, tapi pahit banget kalo disakitin apalagi sampai putus. Gagas Media (didukung oleh salah satu produsen es krim di Indonesia), mencoba menghadirkan cinta dalam berbagai jenis ‘rasa’. Tiga novel sudah diracik, yaitu: Chocoluv – Ninit Yunita, Luv You Berry Much – Yennie Hardiwidjaja (keduanya untuk seri Kamar Cewek), dan Blackforest Blossom - Endang Rukmana untuk seri Komedi Cinta.

Dan, sekarang, gue coba menjabarkan rasa yang ‘dihidangkan’ Ninit Yunita dalam Chocoluv.

Rere atau lengkapnya Renia Siregar, gadis berusia 19 tahun. Fakta pertama tentang Rere, adalah dia tergila-gila sama sepatu… (bayangkan… mungkin sama ‘gila’nya dengan para kutu buku..hehehe). Sale sepatu adalah sebuah kesempatan yang gak mungkin terlewatkan… sama aja seperti sebuah ‘panggilan perang’… wajib hukumnya. Rere bahkan memposisikan dirinya sebagai ‘titisan’ Imelda Marcos, mantan first lady Filipina yang terkenal dengan koleksi sepatunya yang ratusan (atau bahkan ribuan itu).

Fakta kedua: Rere adalah orang yang plin-plan, susah banget make up her mind. Mau nonton, bolak-balik mikir: komedi… horror… komedi… horror… sampai membuat antrian panjang dan membuat mbak-mbak petugas tiket pengen menaburkan arsenic ke dalam pop corn-nya. Atau ketika lagi milih sepatu bingung mau stiletto emas… atau flat hitam… bahkan untuk Rere juga bingung – beli sepatu dulu atau beli kado untuk pacar dulu, ya…

Beruntung Rere punya pacar yang pengertian dan sabar menghadapi sikap Rere yang plin-plan itu. Aldiansyah, namanya. Cowok yang baru jadi pacar Rere selama 3 bulan ini.

Sebelum sama Aldi, Rere punya pacar namanya Bambang (ehmm.. koq namanya rada kurang komersil ya?). Tapi, Bambang ternyata adalah cowok buaya darat, yang suka tebar pesona sama cewek-cewek lain.

Entah kenapa, tiba-tiba Bambang kembali muncul dalam kehidupan Rere. Berawal dari ketemu secara gak sengaja waktu Rere mau nonton sama Aldi. Bambang memperkenalkan Rere dengan pacar barunya, Wulan, yang calon the rising star itu.

Dan sejak itu… setiap berurusan dengan yang namanya Bambang, kesialan menimpa Rere. Mulai dari stiletto emas yang jadi incarannya ‘direbut’ tanpa basa-basi oleh Wulan… lalu lagi-lagi Wulan memborong ice cream Chocoluv pesanan mamanya tanpa menyisakan satu pun untuk Rere… sampai ban mobil yang kempes gara-gara Bambang yang tiba-tiba sms.

Tapi, apa bener Bambang gak pernah berubah? Dan apa Rere bisa percaya gitu aja waktu Bambang bilang Aldi selingkuh? Huh, buaya darat koq malah nuduh orang selingkuh? Sementara yang dituduh adalah cowok paling baik dan paling setia yang pernah Rere kenal. Siapa yang harus Rere percaya, Bambang atau Aldi ya?

Semua orang pasti pernah berbuat salah, tapi ada kalanya orang itu sadar dan berhak mendapatkan kesempatan kedua.

Cerita dalam novel ini, gak hanya tentang manisnya cinta, asyiknya berburu sepatu… tapi juga sebuah kisah yang mengharukan, yang bisa bikin cewek-cewek ‘meleleh’ kaya’ ice cream.

O ya, ada satu yang ‘salah’… di cover belakang ditulis, kalo nama pacar baru Bambang yang ‘pencuri stiletto’ itu adalah Sarah, padahal yang bener adalah Wulan. (Sedikit koreksi aja)

Read more »

Minggu, 11 Maret 2007

Molly Moon’s Incredible Book of Hypnotism

Molly Moon’s Incredible Book of Hypnotism (Buku Hipnotisme Molly Moon)
Geogia Byng
Poppy Damayanti (Terj.)
GPU, Februari 2007
368 Hal.

Molly Moon adalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan bernama Hardwick House. Panti asuhan ini adalah milik seorang wanita yang tidak menyukai anak-anak, Miss Adderstone. Molly ditemukan di depan pintu panti asuhan ini dalam sebuah kotak. Nama Molly Moon diambil dari tulisan iklan di kotak tempat Molly diletakkan.

Molly tumbuh jadi anak yang sering jadi bulan-bulanan anak-anak lain di panti asuhan itu. Ia sering diejek oleh teman-temannya karena matanya yang besar dan suaranya yang membuat orang mengantuk. Molly juga sering mendapat hukuman dari Miss Adderstone. Tapi, Molly bukanlah jenis anak yang cengeng, ia bahkan cenderung keras kepala dan pemberontak.

Satu-satunya teman Molly adalah Roger. Tapi, ketika Roger pun mulai kesal dengan tingkah laku Molly yang keras kepala dan pemalas itu, Roger pun memusuhinya. Molly akhirnya sendirian, apalagi Roger diadopsi oleh pasangan suami istri dari Amerika dan pergi tanpa berpamitan dengan Molly.

Tempat favorit Molly ketika sedang kesal dan ingin menyendiri adalah perpustakaan. Suatu hari, karena kesal dengan Roger, Molly pergi ke perpustakaan itu. Tanpa sadar ia tertidur. Ia terbangun karena suara seorang laki-laki yang marah-marah karena buku yang dicarinya tidak ada. Dan, tanpa disadarinya, buku yang dicari laki-laki yang mengaku bernama Profesor Nockman ada di depan mata Molly… sebuah buku Hipnotisme karangan Profesor Logan.

Otak Molly langsung bekerja. Menurutnya, inilah buku yang ia perlukan selama ini, buku yang mungkin akan merubah jalan hidupnya, buku yang bisa menghukum orang-orang yang selama ini bersikap jahat pada dirinya.

Diam-diam, Molly membawa buku itu pulang dan dengan cermat ia menyembunyikan buku itu. Ia sengaja berpura-pura sakit agar ‘diasingkan’ di sanatorium dan agar ia bisa membaca buku itu diam-diam. Dalam waktu singkat, Molly bisa mempraktekkan apa yang ada dalam buku itu. Tapi, ada dua bab yang hilang, yaitu bab menghipnotis dengan suara dan hipnotisme jarak jauh. Siapa yang sudah merobek buku itu?

Molly berhasil menghipnotis anjing Miss Adderstone, Petula. Kemudian ia pun berhasil menghipnotis Miss Adderstone dan Edna, si juru masak.

Molly bisa melakukan apa pun yang ia mau dan mendapatkan apa yang ia inginkan. Dengan kemampuannya ini, ia bertekad mencari Roger di Amerika.

Mulailah petualangan Molly di kota New York. Petualangan yang begitu mencengangkan banyak orang.

Tapi, ada bahaya yang mengincar Molly, yaitu Profesor Nockman, yang juga menginginkan buku Hipnotisme itu untuk mewujudkan rencana jahatnya. Dan Profesor Nockman berniat memanfaatkan Molly agar rencananya itu bisa terlaksana.

Di New York… sendirian, hanya ditemani Petula… bisakah Molly bertemu dengan Roger kembali dan menghidar dari kejaran Profesor Nockman?

Apa ya, yang gue dapet dari buku ini? Hmmm… sepertinya tentang pengendalian diri kali ya. Gak boleh serakah, meskipun semua bisa dapet dengan cara yang mudah.

(gak nemu cover yang edisi Indonesia-nya)
Read more »

Sabtu, 10 Maret 2007

The Subtle Knife (Pisau Gaib)

The Subtle Knife (Pisau Gaib)
Philip Pullman
B. Sandra Tanuwidjaja (Terj.)
GPU, Januari 2007
408 Hal.

Will dan Ibunya hidup dalam ketakutan akan orang-orang yang selalu mengejar mereka dan mengobrak-abrik rumah mereka. Entah apa yang dicari orang-orang itu, pastilah sesuatu yang berharga, yang mungkin berhubungan dengan ayah Will yang hilang sejak ia masih bayi. Suatu hari, Will menyembunyikan ibunya di rumah seorang wanita yang dapat ia percaya, dan ia pun memulai misinya untuk mencari ayahnya yang menurut cerita ibunya adalah seorang penjelajah. Ketika ia kembali ke rumahnya mengambil barang berharga itu, tanpa sengaja ia membuat salah seorang pengejarnya terbunuh. Sejak saat itu, ia menganggap dirinya adalah seorang pembunuh. Will pun lari menghindari pengejar yang lain. Dalam pelariannya ia menemukan sebuah celah seperti jendela yang ternyata membuatnya masuk ke dunia lain.

Cittágazze, nama dunia lain itu. Dunia ini begitu sepi dan mencekam, nyaris tanpa penghuni dan kehidupan. Yang ada di dunia ini adalah anak-anak. Dunia ini dibayang-bayangi Spectre yang menghisap jiwa manusia. Oleh karena itu, hanya ada anak-anak yang tinggal di sana, karena para orang dewasa sebagian besar sudah melarikan diri atau sudah ‘mati’ terhisap Spectre.

Di Cittágazze ini pula, Will bertemu dengan Lyra dan Pantalaimon, yang ternyata masuk ke dunia ini melalui jembatan yang dibuat ayahnya, Lord Asriel. Lyra masih dalam misi mencari apa itu Debu. Mereka pun belajar untuk saling menyesuaikan diri dan menghormati misi mereka masing-masing.

Sementara itu, di Cittágazze, ada sebuah menara yang disebut Torre degli Angelil, yang diduga menyimpan sebuah pisau ajaib yang bisa membuka jendela ke berbagai dunia, pisau ini juga dipercaya bisa membunuh Spectre. Oleh karena itu, anak-anak yang masih tinggal di Cittágazze begitu beringas ketika mengetahui pisau ajaib tersebuh berhasil dikuasai Will. Mereka tidak segan-segan untuk mencoba membunuh Will dan Lyra.

Berbagai kesulitan menerpa Will dan Lyra. Jari-jari Will yang terputus ketika bertarung untuk merebut pisau ajaib, lalu Lyra yang kehilangan alethiometernya. Belum lagi ancaman Mrs. Coulter yang masih berambisi untuk merebut alethiometer dari Lyra.

Cerita semakin menegangkan dan semakin kompleks. Perubahan watak Lyra tampak dari sikapnya yang semakin bertanggung jawab dan lebih bisa menahan diri dan emosinya. Tapi, siapa sebenarnya Will? Kenapa Will yang harus menerima takdir sebagai ‘pembawa pisau gaib’ yang berbahaya itu?

Sementara itu, beberapa tokoh dari buku pertama, The Golden Compass, mempunyai misi masing-masing yang membuat mereka terpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Seperti penyihir Serafina Perkalla, merasa bertanggung jawab untuk mencari dan melindungi Lyra, lalu, Lee Scorebsy memuaskan rasa penasarannya untuk mencari keberadaan Stanislaus Grumman yang diduga masih hidup . Sementara itu, Mrs. Coulter masih tetap menyusun rencana jahat untuk berkuasa.

Read more »

Senin, 05 Maret 2007

Arthur dan Suku Minimoy


Kata-kata seringkali menyembunyikan kata-kata lain
----
William Shakespeare
hal. 73


Judul asli: Arthur and the Minimoys
Penulis: Luc Beson
Penterjemah: Mutia Dharma
Qanita, Cet. I – Januari 2007
260 Hal.

Arthur adalah bocah berusia 10 tahun yang punya imajinasi yang hebat. Ia tinggal bersama neneknya. Orang tua Arthur tinggal di kota lain untuk mencari pekerjaan. Sementara itu, kakek Arthur - Archibald, sudah empat tahun menghilang entah kemana. Arthur gemar masuk ke ruang kerja kakeknya meskipun sudah dilarang. Ia suka membaca buku-buku peninggalan kakeknya tentang petualangannya di Afrika.

Kehidupan Arthur dan neneknya berjalan dengan tenang dan damai, meskipun mereka hanya tinggal berdua. Nenek Arthur selalu berusaha membuat Arthur bahagia, meskipun terkadang Arthur nakal dan kelewat kreatif.

Setiap malam, Nenek Arthur selalu mendongengkan cerita sebelum Arthur tidur. Arthur suka sekali mendengar cerita tentang petulangan kakeknya yang membuatnya terpesona, terutama tentang pertemanan kakek Arthur dengan suku Minimoy. Apalagi ketika Arthur melihat gambar Putri Selenia yang seketika membuatnya jatuh cinta.

Tapi, suatu hari datanglah Davido, orang kaya yang sombong. Ia berniat membeli tanah tempat tinggal Arthur dan neneknya, apabila nenek Arthur tidak bisa melunasi hutang-hutang mereka. Mereka diberi waktu 3 hari untuk melunasi hutang itu, atau mereka harus segera angkat kaki dari rumah itu. Ancaman itu tidak main-main, karena Perusahaan Listrik Davido memutuskan aliran listrik di rumah mereka dan Perusaahan Susu Davido juga menghentikan pasokan susu mereka karena nenek Arthur belum membayar tagihannya.

Nenek Arthur terpaksa menjual semua peninggalan kakek Arthur, topeng antik, buku-buku antik, semuanya, agar ia bisa membayar hutang dan tetap mempertahankan rumah itu. Arthur tidak rela buku-buku kesayangan kakeknya berpindah tangan begitu saja. Arthur yang cerdik mencari cara agar bisa menyelamatkan rumah itu.

Untung Arthur pernah membaca petunjuk harta karun yang tersembunyi yang dulu juga menjadi misi kakek Arthur. Arthur hanya punya waktu 3 hari untuk menemukan suku Minimoy dan menyelidiki keberadaan harta karun tersembunyi itu. Dengan petunjuk yang ditinggalkan oleh kakeknya, saat tengah malam, Arthur memulai petualangannya memasuki dunia suku Minimoy.

Ternyata semua itu tidak mudah, selain karena ukuran tubuh Arthur mengecil hingga sebesar suku Minimoy, Arthur juga harus menghadapi musuh suku Minimoy, yaitu Malthazard (yang namanya hanya boleh disebut dengan M), penyihir yang terkutuk. Tapi, dengan gagah berani, Arthur ditemani Putri Selenia dan Betameche, adik Putri Selenia, berangkat menuju tempat M berada. Di tengah perjalanan, mereka harus menghadapi berbagai bahaya yang hampir saja mengagalkan misi mereka.

Nah, buku ini adalah buku pertama, jadi di akhir cerita, Arthur dan teman-teman berhasil lolos dari jebakan musuh, tapi perjalanan menuju tempat M masih sangat jauh dan petualangan itu akan berlanjut di buku kedua, Arthur dan Kota Terlarang.

Buku ini sudah ada filmnya. Disutradarai oleh penulis buku ini sendiri, Luc Beson, yang juga pernah menyutradarai film The Fifth Element, Nikita dan masih banyak lagi. Bintang dalam film ini adalah Mia Farrow sebagai Nenek Arthur, Freddie Highmore sebagai Arthur. Sedangkan pengisi suara Putri Selenia adalah Madonna, lalu ada Robert De Niro yang mengisi suara Raja atau ayah Putri Selenia.
Read more »

Jumat, 02 Maret 2007

The Professor and The Madman

Judul : The Professor and The Madman
Sebuah dongeng tentang pembunuhan, kegilaan, dan pembuatan Oxford English Dictionary
Penulis : Simon Winchester
Penerjemah : Bern Hidayat
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Januari 2007
Harga : Rp. 39.900,-





“Inilah cerita untuk pembaca yang senang menikmati kata-kata dan mampu mengapresiasi petualangan mengenai tetek bengek sejarah kamus-kamus dan terpesona bahwa Shakespeare, ketika menulis tidak bisa mengacu pada kamus manapun…”

- USA Today

Empat ratus tahun yang lalu, ketika Shakeaspeare menuliskan naskah-naskah dramanya, tidak ada panduan yang tercetak mengenai bahasa, tidak ada satu buku pun yang bisa dijadikan referensi baginya. Bagaimana ia bisa yakin jika setiap kali ia menggunakan kata-kata yang kedengarannya tidak lumrah, bahwa ia benar secara gramatikal dan faktual ?

Pertanyaan diatas mungkin dapat menggambarkan begitu pentingnya manfaat kamus dalam menulis sebuah karya sastra. Pada abad ke –16, di Inggris kamus-kamus seperti yang kita kenal sekarang memang belum ada. Bahasa Inggris belum didefinisikan, belum ditata, hingga lambat laun timbul suatu kesadaran akan pentingnya sebuah kamus yang dapat menampung baik kata-kata sulit maupun keseluruhan kota kata Inggris. Buku-buku yang menjadi cikal bakal kamus pun mulai dibuat hingga akhirnya mencapai puncaknya ketika terbitnya kamus lengkap bahasa Inggris yang dikenal dengan nama Oxford English Dictionary

Oxford English Dictionary (OED) adalah kamus bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Oxford University Press. Kamus ini menjadi kamus yang paling otoratif yang menjadi acuan para hakim, pembuat undang-undang, cendekiawan hingga para penulis-penulis dunia yang menggunakan bahasa Inggris. Hingga kini tak ada kamus yang memiliki otoritas melebihi OED yang merupakan karya terbesar sejak ditemukannya mesin cetak dan merupakan buku serial sensasional paling panjang yang pernah ditulis hingga kini.











Kamus yang edisi pertamanya dirampungkan dalam kurun waktu tujuh puluh tahun ini diselesaikan pada malam tahun baru 1927. Terdiri dari 12 jilid raksaksa ; 414.825 kata yang didefinisakan; 1.827.306 kutipan ilustratif. Pada tahun 1933 terbit suplemen pertamanya. Empat suplemen berikutnya terbit antara tahun 1972 – 1986. Edisi keduanya terbit pada tahun 1989. Berkat kecanggihan komputer edisi ini tersaji dengan lebih lengkap dan terpadu dengan menyertakan perubahan dan tambahan dari keempat suplemen tadi, sehingga edisi keduanya terbit dalam dua puluh jilid.

Seiring perkembangan teknologi komputer, kini OED juga tersimpan dalam CD ROM dan dapat juga dibaca secara on line. Kini edisi ketiganya sedang disiapkan dan diperkirakan akan terbit pada tahun 2010.

Walaupun OED demikian otoratifnya dan terus berkembang sesuai perkembangan bahasa inggris, tak banyak yang mengetahui bagaimana kamus ini pertama kali dikerjakan. Simon Winchester, seorang geologis, jurnalis, sekaligus penulis terkenal kelahiran Skotlandia yang salah satu karyanya telah diterjemahkan oleh penerbit Serambi “Krakatau – Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883”, tertarik untuk menulis kisah pembuatan kamus terkenal tersebut ketika pada tahun 1980-an, ia mendapatkan pelat-pelat cetak letter press lama yang dulunya dipakai untuk pembuatan OED. Dari pelat-pelat kuno itulah akhirnya Winchester tergelitik untuk mencari tahu bagaimana kamus OED pertama kalinya dikerjakan. Dengan keahliannya sebagai jurnalis dan riset yang mendalam, akhirnya lahirlah kisah “The Professor and The Madman (1998).

Dalam the Professor and The Madman, Winchester menceritakan bagaimana sebuah kamus OED yang terkenal itu ternyata banyak mendapat kontribusi dari seorang jenius aneh yang menghuni rumah sakit jiwa di Broadmoor Criminal Lunatic Asylum di Inggris.

Biografi dan kisah persahabatan dua tokoh besar dibalik pembuatan kamus OED diurai dalam kisah ini. James Murray, terlahir sebagai anak sulung dari keluarga penjahit dan pedagang kain yang miskin. Walau latar belakang keluarganya yang tak menjanjikan, Murray kecil tumbuh lebih matang dari usia sebenarnya. Ia anak yang sangat rajin dan cerdas dalam sekolahnya. Seperti kebanyakan anak-anak miskin di Inggris, pada usia empat belas tahun ia meninggalkan sekolahnya karena orang tuanya tak sanggup membiayainya. Namun hal ini tak membuatnya berhenti belajar. Dahaganya yang haus akan ilmu pengetahuan membuat dirinya harus belajar secara otodidak dan membawanya tetap berada jalur akademik, menjadi anggota Philological Society dan akhirnya dipercaya untuk menjadi ketua tim pelaksana pembuatan Oxford English Dictionary.

Dr. William Minor, terlahir dari golongan aristokrat teratas Amerika. Orang tuanya seorang misionaris yang saleh. Minor mendapat pendidikan yang memadai hingga lulus sebagai dokter dari Yale University. Setelah lulus, pada saat berkecamuknya Perang Saudara, ia melamar sebagai dokter dalam dinas militer Union Army. Rupanya pengalamannya sebagai dokter militer semasa perang saudara inilah yang membuatnya menderita secara traumatik dan menimbulkan dampak kejiwaan pada dirinya. Setelah perang berlalu keanehan-keanehan dalam jiwa Minor semakin menjadi hingga akhirnya ia dipecat dari angkatan darat dan dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Setelah dianggap sembuh, Minor pergi ke Inggris untuk beristirahat, sambil membaca dan melukis. Namun belum lama tinggal di Inggris, Minor kembali mengalami paranoid hingga akhirnya menembak George Merret, seorang buruh kereta api. Peristiwa ini kembali menghantar Minor masuk ke rumah sakit Jiwa di Broadmoor Asylum Inggris.

Persahabatan antara Murray dan Minor berawal ketika Murray selaku ketua pelaksana pembuatan kamus OED mengirimkan selebaran kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa Inggris untuk menjadi volunter yang secara sukarela bertugas membaca dan mengirimkan kutipan-kutipan yang sekiranya bermanfaat dalam pembuatan kamus OED ke Scriptorium tempat dimana kamus tersebut dikerjakan

Selebaran itu akhirnya sampai ke tangan Minor di Bradmoor Asylum. Saat itu Dokter Minor telah delapan tahun menghuni Broadmoor dan telah melengkapi selnya dengan tumpukan buku-buku dari lantai hingga langit-langit. Buku-bukunya itu cukup baginya untuk menjadikannya kontibutor dari kamus yang sedang dikerjakan Murray.

Dan akhirnya dari sel rumah sakit itulah, selama 20 tahun Minor dengan ketekunan yang luar biasa membaca dan mencari kutipan, dan secara teratur mengirimkan kutipan-kutipan tersebut kepada Murray. Tak kurang dari 10.000 kutipan telah disumbangkannya untuk membantu tim penyusunan kamus yang diketuai Murray.

Kisah kehidupan Murray, DR Minor, dan pembuatan OED inilah yang menjadi inti dalam kisah ini. Selain merinci latar belakang kehidupan dua tokoh besar dibalik pembuatan OED. Winchester juga secara menarik dan detail memaparkan bagaimana kamus ini dibuat.

Latar belakang Winchester sebagai seorang jurnalis membuat sejarah pembuatan kamus ini dipaparkan secara runut mulai dari kamus-kamus yang terbit sebelum OED, latar belakang pemikiran perlunya pembuatan kamus yang lengkap dan otoratif, konsep pembuatan kamus OED, hingga proses detail bagaimana jutaan kutipan dikumpulkan dari para volunter, diedit, dibuat pelat-pelat cetak, hingga akhirnya terbit edisi perdananya di tahun 1927 setelah menjalani proses yang melelahkan selama tujuh puluh tahun.





Boadroom Asylum, tempat Dr. Minor dirawat dan mengirim kutipan-kutipannya untuk tim OED







Kotak Pos khusus milik James Murray sebagai tempat tujuan kutipan-kutipan dari berbagai volunter dikirimkan









James Murray berada dalam Scriptorium diantara jutaan lembar kutipan-kutipan yang dikumpulkan dari para volunter







Walau buku ini banyak menyajikan sisi sejarah pembuatan kamus dan detail-detail pembuatannya, namun bukan berarti buku ini menjadi kering dan tak menarik. Di tangan Simon Winchester, sejarah pembuatan OED menjadi sangat hidup daan mudah dipahami, karena ditulis secara menarik, meledak-ledak, dan menakjubkan. Dan karena ditulis sebagai sebuah novel, tentu saja Winchester secara cerdas memberi penyedap yang menghibur bagi pembacanya. Belum lagi ditambah sisi-sisi manusiawi yang terungkap dari kisah perjuangan James Murray dalam mewujudkan ambisinya dan kisah Dr. Minor yang berjuang melawan penyakitnya sambil memberikan kontribusi tanpa henti dalam penyusunan kamus ini. Juga bagaimana persahabatan dan akhir hidup kedua tokoh ini yang diungkap secara dramatis sehingga menggugah pembacanya untuk menghargai kedua tokoh ini.

Salah satu sisi menarik lain dari buku ini adalah terpatahkannya mitos kisah pertemuan antara Murray dan Minor yang selama ini beredar di kalangan masyarakat. Murray dan Minor memang akhirnya baru bertemu muka setelah selama dua puluh tahun saling berkorespondensi. Dalam mitos yang beredar di masyarakat dikisahkan secara dramatis bagaimana Murray yang tidak mengetahui kegilaan Minor untuk pertama kalinya bertemu di Broadroom Asylum. Dengan risetnya yang matang, seperti yang terungkap di bab “Terima Kasih” yang ditulis secara naratif, akhirnya mitos pertemuan dua tokoh besar ini dipatahkan dan pembaca bisa menemukan fakta yang sesungguhnya.

Selain itu, sebagai bonus, di tiap awal bab buku ini disajikan pula entri-entri dari Oxford English Dictionary lengkap dengan pelafalan, definisi, dan kutipan dari mana kata-kata tersebut berasal.

Akhirnya setelah membaca buku luar biasa ini, tak ada kata lain yang lebih pas untuk diungkapkan bahwa novel ini adalah novel yang dahsyat dalam mengungkap sejarah dibalik pembuatan sebuah kamus inggris yang paling otoratif hingga kini.

Sebuah buku yang tampaknya cocok dibaca oleh praktisi bahasa seperti para editor kamus bahasa, penulis, pemerhati bahasa indonesia, dll ini, setidaknya akan menyadarkan kita bahwa bahasa adalah milik masyarakat luas. Dan penyusunan sebuah kamus bahasa dan pengembangan bahasa itu sendiri bukanlah hanya tanggung jawab para ‘pejabat bahasa’ saja, melainkan tangungung jawab seluruh masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Jadi berilah kesempatan pada masyarakat luas untuk mengembangkan bahasanya yang telah menjadi miliknya.

@h_tanzil
Read more »