Senin, 26 November 2007

Galigi


Judul : Galigi (Kumpulan Cerpen)
Penulis : Gunawan Maryanto
Editor : Damhuri Muhammad
Penerbit : Koekoesan
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal 158 hlm
Harga : Rp. 30.000,-

Berikut adalah makalah yang dibuat oleh Yanusa Nugroho yang disampaikan saat peluncuran buku ini beberapa bulan yang lalu.

Kumpulan cerpen ini juga masuk dalam long list Khatulistiwa Award 2007

@ h_tanzil

Galigi: Sebuah ‘beranda’ di mana kesunyian mengalir begitu saja

oleh : Yanusa Nugroho

Ketika membaca cerpen-cerpen Gunawan Maryanto, saya tak bisa lepas dari gambaran bahwa sosok si penulis adalah seorang teaterawan. Entah mengapa, gambaran Cindhil—begitu dia akrab disapa kawan-kawan, yang sutradara, yang dramawan, muncul mewarnai tulisannya. Saya, tiba-tiba meyaksikan “Repertoar Hujan”.

Ketika membaca halaman demi halaman kumpulan cerpen Galigi ini, kalau boleh saya bandingkan, ibarat melihat sesuatu—atau potongan sesuatu, yang sangat eye catching—meminjam istilah periklanan, dan terjadi dalam saat yang sangat singkat. Karena singkat, maka saya mencoba untuk mengamatinya lagi, namun sayang, bayangan itu sudah hilang, sehingga yang muncul adalah kesan yang tersimpan dalam ingatan. Bagi saya, yang seperti ini, jauh lebih indah.

Ada gambaran dua pendekar sakti yang bertarung dengan mengandalkan kesaktiannya. Ada kisah cinta yang aneh, tragis. Ada juga yang membuat kita senyum-senyum saja, misalnya pada “Selendang Nawang”, dan masih banyak lagi kesan-kesan yang bermunculan ketika membaca buku ini.

Yang jelas, apa yang ditulis GM di dalam kumpulan ini, saya nikmati sebagai sebuah dongeng. Dalam sebuah dongeng, kita mligi (semata-mata) disuguhi cerita, tanpa ada embel-embel kritik sosial, politik atau apapun. Bahwa nantinya kita menafsirkannya dengan mengait-ngaitkan pada unsur lain, itu boleh-boleh saja. Dan yang jelas pula, gaya penuturannya yang puitis, membuat saya makin asyik menikmati Galigi.
Simak saja, misalnya: “Lagu itu membimbing tangannya, kakinya, lehernya, pinggulnya dan seluruh persendiannya bergerak. Seluruh bentuk yang dimungkinkan tubuh dijelajah dengan penuh gairah. Kadang seturut irama yang disediakan bunyi dawai-dawai, kadang lepas sekehendak hatinya. Kadang di antara keduanya. Kadang garang, kadang tenang. Tubuh Khima mengkilap oleh keringat yang terbaca sebagai cahaya.” (hlm. 144, “Khima”).
***

Dalam membaca buku ini, saya tiba-tiba diingatkan pada sebuah perjalanan panjang. Ketika dalam keseharian saya dibebani persoalan sosial, budaya, politik dan ekonomi, tiba-tiba cerpen-cerpen ini seolah menawarkan sebuah beranda sejuk. Sebuah beranda yang mampu membuat saya tak berpikir apa-apa, duduk diam, sesekali menghela nafas dan membiarkan sunyi mengalir begitu saja. Sebuah jeda yang sangat saya butuhkan dalam menjalani rutinitas hidup.

Lewat dongeng-dongengnya ini, GM seakan tidak menawarkan apa-apa, kecuali hal terpenting bagi diri saya: istirahat sejenak. Kalau diibaratkan kerja sebuah baterai, maka saya memerlukan ‘isi ulang energi’ dan dengan tenang, tak berpikir apa-apa inilah saya mendapatkan kesempatan itu.

Untuk sesaat saya tidak memikirkan kiri-kanan saya, untuk sesaat saya tidak memikirkan diri sendiri, dan untuk sesaat pula saya tidak memikirkan apa-apa. Dan percayalah itu penting bagi saya.

Di Galigi inilah saya mendapatkan ‘beranda’ untuk menikmati kesunyian itu.

*****
Read more »

Minggu, 18 November 2007

New Moon

New Moon
Stephenie Meyer
Little, Brown - September 2006
563 Hal.

Setelah Bella hampir saja jadi mangsa vampire, keluarga Cullen, terutama tentunya Edward, makin protektif terhadap Bella. Tapi, ketika mereka harus berhadapan dengan Bella yang sedang terluka, mereka pun harus berusaha keras untuk menahan diri mereka ketika mereka melihat 'darah' di depan mereka.

Secara gak sengaja, waktu Bella sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 18 di rumah keluarga Cullen, jari Bella tergores kertas dan terluka. Langsung semua vampire itu tertegun dan menatap Bella dengan 'lapar'. Hanya Carlisle yang dokter, yang tetap brsikap tenang. Pesta pun jadi kacau dan berantakan.

Puncaknya, Edward memutuskan untuk meninggalkan Bella, dengan alasan, karena keluarga Cullen tidak bisa lagi lebih lama tinggal di Forks karena mereka akan terlihat tidak semakin tua dan mereka akan pindah ke LA.

Sejak Edward pergi, hidup Bella jadi seperti robot, statis, 'hidup segan, mati tak mau'. Sampai-sampai, ayahnya, Charlie pun gerah melihatnya. Teman-teman sekolah Bella juga menjauhinya karena sikapnya yang aneh.

Akhirnya, Bella memutuskan untuk berubah. Ia menemui Jacob Black, teman lama yang pernah ia temui di La Push. Tapi, ternyata, Jacob menyimpan rahasia yang gak kalah misterius.

Gara-gara jati diri Jacob yang baru, Bella harus memilih apakah tetap berteman dengan para vampire atau berteman dengan Jacob. Karena berteman dengan keduanya, mungkin malah menimbulkan masalah baru yang bakal membuat mereka saling bertentangan.

Masalah lainnya, adalah Victoria, teman James - vampire yang hampir saja membunuh Bella, ternyata masih berkeliaran untuk balas dendam atas kematian James. Belum lagi, Bella yang kembali harus berhadapan dengan keluarga vampire lain yang gak nyaris gak bisa menahan diri untuk tidak menghisap darah Bella.

Sebenernya, rada cape' juga baca buku ini. Untungnya, di buku kedua ini, masalah gak hanya berputar-putar sama Bella dan Edward. Justru, Edward muncul hanya di awal dan menjelang akhir buku. Kaya'nya si Jacob lebih cool and macho deh, daripada Edward yang katanya berwajah 'beautiful' itu.

Istirahat dulu alias baca buku yang lain sebelum lanjut ke buku ketiganya and terakhir, Eclipse.
Read more »

Jumat, 16 November 2007

Lelakon

Judul : Lelakon
Penulis : Lan Fang
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Sept 2007
Tebal : 269 hal
Harga :

Lelakon adalah karya ke delapan dari penulis produktif asal Surabaya – Lan Fang. Dari kedelapan karya-karyanya tersebut, saya sudah membaca 5 karyanya : Kembang Gunung Purei, 2005), Laki-Laki yang salah (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), dan Lelakon (2007). Dari kelima karya yang sudah saya baca tersebut, menurut saya, Lelakon-lah yang paling sulit saya cerna. Kisahnya sendiri masih bisa saya nikmati hingga lembar terakhir, namun yang sulit adalah menangkap makna dari apa yang ingin disampaikan Lan Fang dalam novel terbarunya ini. Sebuah ulasan yang dimuat di buku ini yang ditulis Audifax yang berjudul “Tentang Lelakon” tak juga membuat saya bisa memahaminya, malahan bahasan secara psikologis yang diurai oleh Audifax membuat saya semakin bingung.

Untunglah resensi buku ini yang dimuat di Jawa Pos yang ditulis oleh psikolog asal Surabaya, Maria Dian membuat saya terbantu dalam memahami makna dari novel ini. Resensi yang ditulis dari sudut pandang resensor sebagai seorang psikolog ini mengungkapkan bahwa lelakon adalah novel yang menceritakan pencarian jati diri para tokoh-tokohnya. Sebuah kisah yang menceritakan secara gamblang perasaan (emosional) ''jati diri'' ketika diri yang sesungguhnya harus berhadapan dengan realitas yang pahit-kejam-bengis-tiada ampun. Sebuah kisah yang apa adanya membuka-mengeksplorasi-mendudah isi hati yang terdalam, yang paling benar, yang paling jujur: hati nurani.

Novel ini diawali dengan kisah tokoh Mon, seorang wanita mantan penjaga meja kasino kini hidup terjerat oleh hutang. Mon kelak berkenalan dengan Buang. Awalnya Buang diajaknya bermain taruhan dengan kartu-kartu hingga mereka hidup bersama. Lambat laun Mon bosan bermain kartu dengan Buang namun Buang memaksanya untuk terus bermain. Mon menjadi muak dengan Buang hingga akhirnya mereka bertengkar dengan hebat. Mon harus kehilangan tiga buah ujung2 jarinya yang mrotol karena digigit oleh Buang. Buang sendiri harus kehilangan lidahnya yang ditarik putus oleh Mon, selain itu dua buah bola matanya juga menggelinding ke lantai karena dicongkel oleh Mon.

Gambaran pertengkaran antara Mon dan Buang benar-benar mengerikan, dan tampaknya sengaja dibuat dengan sedikit berlebihan oleh Lan Fang. Dari sini saya baru sadar kalau novel ini bukan novel yang realis melainkan semi surealis. Hal ini semakin yakin setelah masuk kedalam bab Bola Kristal yang mengisahkan seorang wanita kaya bernama Bulan yang bosan dengan hidupnya dan bertukar tempat dengan Fantasi, wanita yang terperangkap dalam bola kristal milik Bulan.

Lalu ada lagi tokoh Marbuat, lelaki yang memiliki istri yang bernama Ratu Demit yang seusai dengan namanya adalah istri yang mengerikan, berwajah genderuwo dengan rambut kusut masai, tak pernah mengurus suaminya dan selalu menguasai Marbuat sehingga Marbuat menjadi lelaki yang takluk dibawah ketiak istrinya.

Lalu ada tokoh Tongki, lelaki kaya yang memperkaya dirinya dengan menipu orang-orang disekitarnya.
Kelak tokoh-tokoh itu akan bertemu dan merangkai sebuah kisah dengan lakonnya masing-masing. Fantasi akan bertemu dengan Marbuat, dan Tongki akan bertemu dengan Mon.
Konflik demi konflik akan bergulir silih berganti, kemarahan tokoh-tokohnya terhadap pasangan-pasangannya dan kehidupannya terungkap dengan emosional dan meledak-ledak. Nyaris tak ada kebahagiaan dalam novel ini kecuali kepedihan hidup akibat kemiskinan, konflik antar pasangan, dll. Ada yang berambisi menjadi kaya, , ada yang bosan hidup dalam sebuah kehidupan yang tertata rapi, lalu ada pula yang puas puas menjadi parasit (pencuri/penipu) hidupnya.

Seperti yang sering terdapat dalam karya-karya Lan Fang, tokoh lelaki dalam karya-karyanya adalah lelaki brengsek dan pecundang. Tokoh Angin Puyuh adalah tipe lelaki yang maunya dilayani dan kerjanya hanya mononton TV, Tongki, laki-laki penipu yang bersembunyi di ketiak istrinya, Marbuat laki-laki yang tak berdaya melawan kebuasan dan ketidakpedulian istirnya, Ratu Demit. Pengetahuan Lan Fang terhadap kisah-kisah wayang seperti yang selalu ia selipkan di tiap karya-karyanya kini mendapat porsi yang cukup banyak. Kali ini Lan Fang memadukannya dengan imajinasi liarnya dan kemarahannya pada laki-laki. Dalam novel ini tokoh-tokoh perkasa dalam dunia wayang seperti Yudistira,, Bisma, Arjuna dipermalukan kehidupan seksnya dengan mengungkap bawa Yudistira ternyata impoten. Bima menderita ejakulasi dini, Arjuna menderita penyakit raja singa, sedangkan Nakula dan Sadewa adalah pasangan cinta sesama/gay. Entah apa yang ada dalam benak Lan Fang. Lan Fang seakan memendam kemarahan yang meledak-ledak terhadap lelaki (benarkah demikan Lan Fang ?)

Selain mengungkap konflik antar tokoh-tokohnya, ada satu bagian kisah yang menurut saya paling menarik dan memberi pelajaran berharga bagi pembacanya, yaitu kisah ketika tokoh Mon berguru kepada Tongki, seorang penipu yang menjadi parasit bagi orang lain dan memperkaya dirinya dengan cara meminta-minta tanpa malu-malu. Setelah berguru pada Tongki, Mon berniat mempraktekkan ilmu agar menjadi kaya yang telah diperolehnya Namun alih-alih sukses menerapkan ilmu Tongki, Mon menemui sejumlah pelajaran berharga bahwa cara-cara yang dilakukan Tonki ternyata tidaklah sesuai dengan hati nuraninya.

Tongki mengajarkan bahwa salah satu cara menjadi karya adalah dengan bersikap diam dan membiarkan orang lain yang membayar makan dan minumnya. Mon mencobanya ;
Setiap kali bila berkumpul dengan banyak orang, ia diam saja, tidak minum, tidak makan, juga tidak mengeluarkan uang. Maka orang lain akan membelikannya minuman dan menawari makan. Ketika semua selesai makan, dilihatnya orang-orang berebut mengeluarkan uang untuk membayar makanan dan minuman. Mereka saling mendahului untuk membayar satu sama lain. Cuma ia yang berdiam diri. Setelah usai, ia melihat orang-orang itu bersalaman dengan enyum lebar. Mereka membuat jalinan persahabatan dengan ikhlas….

Maka di lain waktu ia juga bergantian membayar makanan dan minuman. Ternyata kegembiraan juga mengalir di hatinya ketika ia bisa ikut bercerta tertawa sambil menikmati kudapan bersama-sama. Kehangatan itu ada ketika bisa saling berbagi. (hal 179, 180)

Atau ketika Mon hendak menerapkan ajaran dari Tongki yang menyatakan bahwa jika hendak kaya maka ia harus belajar meminta, ternyata lidah dan mulutnya menyatakan bahwa “Kenapa harus meminta bila bisa memberi? Bukankah lebih terhormat memberi daripada meminta? Dan ketika ia memberi, matanya melihat bahwa orang-orang tersenyum kepadanya. Orang-orang yang menerima pemberian dengan mata sumringah dan mata berbinar. Selain itu ternyata dengan memberi ia tidak menjadi kekurangan malah manjadi kelimpahan. (hal 180-181)

Demikian salah satu hal menarik yang terdapat dalam novel ini. Terlepas dari kegagalan saya menangkap makna dari novel ini secara kekeseluruhan, saya rasa Lan Fang tampak semakin matang dalam merangkai kalimat menjadi sebuah kisah yang menarik. Kalimat-kalimatnya mengalir dengan lancar, enak dibaca dan kerap dihiasi kalimat-kalimat yang puitis dengan metafora yang mengagetkan. Selain itu Lan Fang tak jarang juga menggunakan kalimat-kalimat yang meledak-ledak terlebih ketika mengungkapkan kemarahan dari tokoh-tokohnya hingga membuat emosi pembacanya naik turun bak menaiki sebuah roller coaster.

Hanya saja saya koq jadi mulai jenuh dengan tema kepedihan hidup karena kemiskinan dan kemarahan Lan Fang pada lelaki yang selalu terungkap dalam karya-karyanya belakangan ini. Seorang kawan yang juga kerap membaca karya-karya Lan Fang mengeluhkan pada saya bahwa ia ‘capek’ membaca karya-karya Lan Fang yang sarat dengan kemarahan. Saya khawatir Lan Fang akan terlena berkarya dalam tema-tema serupa. Bukan berarti tidak menarik, namun saya berharap di karya-karya berikutnya ada keragaman tema yang diangkat dengan tetap mempertahankan gaya dan kekhasan kalimat-kalimat Lan Fang yang selalu menarik dalam berkisah.


@h_tanzil
Read more »

Senin, 05 November 2007

The Firework-Maker’s Daughter

The Firework-Maker’s Daughter (Putri si Pembuat Kembang Api)
Philip Pullman
Poppy Damayanti Chusfani (Terj).
GPU, Oktober 2007
144 Hal.

Lila tinggal di negeri sebelah timur hutan belantara dan selatan pegunungan bersama ayahnya, Lalchand. Ibu Lila meninggal ketika Lila masih kecil. Karena Lila susah diatur, maka Lalchand selalu mengajak Lila ke tempatnya bekerja. Lalchand bekerja sebagai pembuat kembang api. Suara desis dan letupan bubuk mesiu, percikan api sudah tidak asing lagi bagi Lila.

Beranjak dewasa, Lalchand mengajari Lila cara-cara membuat kembang api. Maka, sudah bisa dimaklumi apabila Lila pun mempunyai cita-cita mengikuti jejak ayahnya. Tapi, Lalchand lebih suka untuk segera mencarikan suami bagi Lila daripada menyetujui cita-cita Lila itu.

Salah satu syarat untuk menjadi pembuat kembang api adalah melakukan perjalanan berbahaya ke perut Gunung Merapi untuk menghadapi Angkara Api. Inilah yang membuat Lalchand khawatir. Tapi, Lila tak peduli. Lila nekad pergi ke Gunung Merapi untuk menunjukkan pada ayahnya bahwa ia mampu.

Lalchand kalang-kabut, karena tidak dengan begitu saja Lila bisa pergi ke Gunung Merapi dan menghadapi Angkara Api. Ada syarat lain yang harus ia penuhi untuk menghindari panasnya Angkara Api, yaitu dengan membawa seguci air ajaib dari Dewi Danau Zambrud.

Karena merasa bersalah membocorkan rahasia yang diceritakan Lalchand, Chulak, teman Lila yang menjadi pelayan pribadi Gajah Putih milik Raja, bersedia menempuh perjalanan mencari Lila. Sekaligus ia ingin membawa kabur si Gajah Putih yang sedang kasmaran dan bosan dengan kemewahan yang ia dapat selama ini.

Tapi, perjalanan itu ternyata juga tidak mudah. Buntutnya, malah Lalchand nyaris dijatuhi hukuman mati karena dianggap membantu melepaskan Gajah Putih. Dan, agar Lalchand terhindar dari hukuman itu, Lalchand dan Lila harus ikut serta dalam Festival Kembang Api, dan bertarung dengan para pembuat kembang api lainnya. Apabila Lalchand dan Lila mendapatkan tepuk tangan paling keras, paling lama, makan mereka akan terhindar dari hukuman.

Buku ini bener-bener buat anak-anak. Tulisannya gede-gede dan bukunya tipis. Isinya juga ringan banget, gampang dicerna dan happy ending.
Read more »

Jumat, 02 November 2007

Who Am I as A Parent


Judul : Who Am I as a Parent - Curhat Orang Tua
Penulis : Tisna Chandra
Penerbit : Serambi
Cetakan : I, Sept 2007
Tebal : 164 hlm

Menjadi orang tua adalah impian bagi setiap pasangan yang telah menikah. Ada yang mudah memperoleh anak, namun tak jarang ada pasangan yang perlu berusaha keras untuk memperoleh anak. Tak jarang pasangan ini rela mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya asal bisa melahirkan anak yang didambakannya. Namun ketika si buah hati telah hadir di tengah-tengah kita seberapa siapkah kita menjadi orang tua ?

Umumnya semua orang tua pada awalnya selalu merasa tahu, mampu bagaimana menumbuhkan, mengarahkan, dan mendidik anak mereka sendiri. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin bertumbuhnya anak-anak kita, banyak persoalan yang timbul hingga akhirnya tak jarang kita merasa gagal dalam membesarkan anak-anak, atau kita merasa anak-anak kita tidak tumbuh sebagaimana yang kita inginkan. Ketika itulah kita baru benar-benar merasakan bahwa membesarkan anak tak semudah yang kita bayangkan.

Menjadi orang tua setelah menikah memang terjadi dengan sendirinya. Walau tak pernah sekolah sebagai orang tua, ketika anak-anak kita lahir tiba-tiba kita mendapat seftifikat sebagai orang tua. Kita langsung mendapat job desciption:”mendidik dan membesarkan anak”. Cukupkah ilmu kita untuk menghandel berbagai persoalan yang kita hadapi dengan anak-anak kita yang terus bertumbuh ? Apakah kita mampu mengatasi masalah dengan anak kita yang kadang muncul diluar prediksi kita?

Buku Who am I as a Parent karya Tisna Chandra, psikolog klinis yang banyak berkecimpung dalam dunia anak, remaja, dan keluarga ini mencoba mengajak kita untuk sedikit mundur untuk merenung, melihat kembali ke belakang siapa sebenarnya diri kita yang saat ini sudah berpredikat sebagai orang tua. Sudah siapkah kita menjadi orang tua, apa bekal yang kita butuhkan selain bekal materi?

Buku ini berisi 5 buah bab yang disusun secara sistematis, yang dimulai dari bab yang membangun kesadaran pembacanya bahwa Tidak ada Sekolah Menjadi Orang Tua. Setiap orang tua pastilah memiliki keinginan untuk membesarkan dan mendidik anak secara sempurna, tapi kenyataannya menjadi orang tua tidaklah sesederhana apa yang kita bayangkan sebelumnya. Kenapa? Karena kita tidak mempunyai pengalaman sebagai orang tua. Pengalaman kita sebelumya adalah menajdi seorang “anak”. Karenanya perlu learning by doing untuk belajar menjadi orang tua.

Di bab kedua yang diberi judul Who Am I, kita diajak melihat bahwa setiap orang berbeda dalam cara berpikir dan mengekspresikan diri. Demikian juga kita sebagai orang tua, masing-masing kita memiliki kekuarangan dan kelebihan dalam membesarkan anak-anak. Mengenali keunikan, kekuarangan dan kelebihan diri adalah langkah awal sebelum mendidik dan membesarkan anak. Demikian juga dengan anak-anak. Anak adalah sesuatu yang unik yang mungkin tidak sama sifatnya dengan kita. Karenanya dengan mengetahui keunikan kita sebagai oarang tua dan keuinikan anak kita, kita bisa tahu cara menghadapi anak-anak kita.

Setelah mengenali diri sendiri dan anak-anak kita, maka orang tua harus mampu melakukan Probing (menggali) dan Matching(mencocokkan/menyesuaikan) dimana kita harus berusaha mengenali dan menggali anak kita lebih dalam lagi. Berusaha mengetahui kelebihan dan kekurangannya , potensi-potensinya, emosinya, dll dan berusaha mematchingkan, menyesuaikan, mencari tindakan dan pendidikan yang tepat bagi mereka.

Setelah melakukan probing dan matching, kita akan diajak masuk dalam bab selanjutnya yang diberi judul FASE (Fisik, Akademik, Sosial, Emosi), keempat formula tersebut harus kita persiapkan agar menjadi orang tua yang terbaik bagi anak-anak kita. Bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang baik jika fisik kita tidak sehat, atau secara akademik kita tak tahu apa-apa sehingga tidak bisa membantu anak-anak kita untuk mengerjakan PR-nya. Orang tua juga harus memiliki relasi sosial yang baik dengan lingkungannya agar bisa menjadi contoh pada anak bagaimana bersosialisasi. Selain itu orang tua juga dituntut untuk mampu mengontrol emosi ketika berhadapan dengan anak-anak, terlebih jika kita sedang menghadapi amsalah dengan anak-anak kita.

Di Bab terakhir pembaca akan disadarkan bahwa setiap orang tua memiliki harapan terhadap anaknya, anak memiliki harapan terhadap dirinya. Apabila harapan orang tua terhadap anaknya, harapan anak terhadap dirinya dan kapasitasnya bersinergi maka harapan itu akan menjadi kekuatan yang dapat mendorong anak untuk mengaktualisasikan kapasitasnya seoptimal mungkin.

Sesuai dengan sub judul buku ini yang dituliskan sebagai “Curhat Orang Tua”. Buku ini memuat puluhan surat curhat para orang tua, termasuk juga curhat anak-anak tentang orang tuanya. Dari curhat-curhat itulah Tisna Chandra mendasari semua pembahasan dalam buku ini. Karenanya semua kasus dan pembahasan dalam buku ini tidaklah mengada-ngada, semuanya sangat dekat dengan keseharian kita. Sangat mungkin apa yang dialami oleh para orang tua melalui curhat-curhatnya di buku ini juga meruapakan masalah yang kita hadapi.

Jalan keluar dan bahasan yang disampaikan oleh Tisna Chandra juga sangat realistis dan praktis. Tisna tak berkutat di landasan-landasan teoritis ilmu psikologis melainkan langsung membahasnya secara praktis, mudah dimengerti dan memberi kita insight akan peran kita sebagai orang tua. Pengalaman Tisna Chandra sebagai psikiater, trainer workshop parenting dan pengasuh rubrik psikologi di tabloid Nakita juga tampaknya membuat contoh-contoh kasus dalam buku ini sangat beragam dan hampir dipastikan mewakili juga kasus-kasus yang sedang dihadapi pembaca buku ini.

Selain contoh kasus, dan pembahasan, buku ini juga menyediakan bahan-bahan untuk refleksi, latihan dan tips yang bisa diisi oleh pembaca guna mempermudah kita untuk membentuk sienrgi yang kuat dan positif dengan anak kita.

Akhirnya buku yang sangat baik untuk dibaca oleh mereka yang telah menjadi orang tua atau mereka yang akan menjadi orang tua ini, pada akhirnya akan mengajak kita merenung. Siapkah kita menjadi orang tua ?, dan apa yang harus kita lakukan untuk menuntun dan membesakan anak-anak kita agar kelak anak-anak kita dapat tumbuh secara sempurna seusai dengan apa yang kita doakan dan impikan selama ini.

@h_tanzil
Read more »