Minggu, 25 Mei 2008

Buddha

No : 152
Judul : Buddha
Penulis : Deepak Chopra
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : April 2008
Tebal : 400 hlm ; 20 cm


Siddharta Gautama adalah salah seorang tokoh sejarah yang juga dikenal sebagai pendiri salah satu agama tertua yang masih dianut di dunia hingga kini. Melalui dirinya yang telah mengalami pencerahan sejati, ia mengajar dan melahirkan sebuah keyakinan yang kini disebut agama Buddha.

Bagi para penganutnya riwayat hidup pangeran Siddharta yang kemudian menjadi Sang Buddha tentu sudah hafal diluar kepala. Namun bagi sebagian lainnya riwayat hidup Sang Buddha mungkin hanya mereka ketahui secara singkat lewat pelajaran agama di sekolah-sekolah.Kini riwayat hidup Buddha secara detail dapat kita baca melalui novel karya Deepak Chopra, dokter dan spiritualis yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi guru spiritual selebriti Hollywood.

Chopra membuka novelnya ini dengan adegan Raja Suddhodana (ayah Siddharta) yang sedang berperang melawan musuhnya. Pada saat yang sama, Ratu Maya, permaisuri Suddhodana ditandu melintasi hutan Lumbini. Ia sedang mengandung sepuluh bulan dan berniat melahirkan di kampung halaman orang tuanya. Belum sampai di tujuan, ditengah hutan Lumbini, saat bulan mulai bersinar terang lahirlah seorang putra yang sudah dinanti-nantikannya. Dinamainya putranya itu dengan nama Siddharta.

Layaknya seorang raja yang menginginkan anaknya agar menjadi penerus tahta kerajaannya, begitupun dengan Suddhodana, ia menginginkan Siddharta kelak menjadi penggantinya. Namun oleh Asita, seorang petapa, Siddharta diramalkan tidak akan menjadi raja agung yang berkuasa atas rakyatnya melainkan ia ditakdirkan untuk ‘menguasai jiwanya sendiri’

Suddhodana berniat mengubah takdir Siddharta, ia meminta bantuan Canki, pendeta istana. Canki menyarankan agar selagi muda Siddharta digembleng untuk menjadi seorang raja besar dan tak boleh keluar dari dinding-dinding istana. Siddharta tak diizinkan melihat penderitaan, penyakit, kemiskinan, orang-orang tua yang lemah, dll. Karenanya lingkungan istana terbebas dari hal-hal itu. Orang-orang yang sakit, tua dan menderita diusir dari istana dan dibuang ke sebuah desa yang terisolasi.

Siddhartapun hidup terkukung dalam istana mewahnya. Ia digembleng oleh ayahnya untuk menjadi seorang raja, namun lambat laun sikap Siddharta tak sesuai dengan sikap seorang calon raja seperti yang diinginkan Suddhodana.

Usaha membelokkan takdir Siddharta tak hanya berasal dari ayahnya, melainkan dilakukan juga oleh Mara, sang Iblis yang semenjak Siddhara lahir selalu mencoba menghancurkan mental Siddharta agar tak menjalani takdirnya. Baik secara langsung maupun meminjam tangan Devadatta, sepupu Siddharta yang ambisiun dan keji, Mara mencoba membelokkan takdir Siddharta.

Takdir tak dapat dilawan, walau telah memiliki istri dan seorang anak, Siddharta akhirnya meninggalkan istana dan keluarganya untuk menjadi seorang petapa guna mencari darma dan pencerahan batin. Ia mengganti namanya menjadi Gautama. Apa yang dijalaninya ternyata tak mudah, ia harus mencari guru yang membimbingnya. Beberapa petapa menjadi gurunya, namun tak satupun yang memberinya jawaban atas apa yang dicarinya.

Pencariannya tak mudah. Bayang-bayang kenikmatan hidup masa lalunya sebagai seorang pangeran sempat menghantuinya. Mara, sang iblis selalu menggodanya. Berbagai peristiwa yang dialami selama masa pencariannya ini membuatnya hampir menyerah.

Akhirnya Siddharta bergabung dengan lima orang pertapa yang kelak akan menjadi pengikut setianya ketika ia telah menjadi Buddha. Siddhara akhirnya sanggup melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawinya, ia mengalahkan iblis, hingga akhirnya menemukan jawaban atas apa yang dicarinya yaitu mencapai pencerahan sejati dan menjadi seorang Buddha.

Di novel ini riwayat hidup Buddha dibagi dalam tiga fase hidupnya ; Siddharta sang Pangeran, Gautama sang Pertapa, dan Buddha yang penuh belas kasih. Deepak Chopra tampak setia terhadap fakta sejarah dan alur riwayat kehidupan Buddha seperti yang telah diketahui oleh umum. Chopra hanya mengisi kekosongan periode-periode kehidupan Buddha yang tidak dicatat dalam lontar-lontar kuno dan prasasti-prasasti.

Jika mungkin selama ini kita mengenal Buddha sebagai tokoh damai dan bersahaja, namun melalui imajinasi Chopra kisah hidup Buddha dideskripsikan penuh dengan cerita cinta, seks, pembunuhan, kehilangan, perjuangan, dan penyerahan diri.

Tampaknya Chopra mencoba mengambarkan Buddha keluar dari kabut waktu, dan menonjolkan Buddha secara lebih manusiawi dan membumi. Tak seperti Pramoedya yang melucuti legenda Ken Arok dari unsur-unsur mistis dan tahayulnya (Arok Dedes, Hasta Mitra 1999), Chopra tetap mempertahankan unsur mistis dan supranatural secara wajar dan tak berlebihan. Selain itu selubung misteri dan sisi agung Buddha tetap dipertahankan sehingga bagi para penganutnya novel ini tampaknya tetap bisa diterima sebagai bacaan alternatif dari riwayat Sang Buddha.

Mengisahkan Buddha tentunya tak bisa lepas dari ajaran-ajarannya. Semula saya menyangka novel ini akan sarat dengan kalimat-kalimat filosofis, apalagi nama Deepak Chopra yang dikenal sebagai seorang spiritualis membuat saya awalnya sedikit berjarak dengan novel ini karena khawatir akan susah dimengeri dan membosankan.

Namun kekhawatiran itu ternyata tak beralasan. Chopra mengisahkan riwayat Buddha secara menarik dan enak dibaca. Kalaupun ada kalimat-kalimat filosofis, Chopra menyajikannya dalam porsi yang pas dan menyatu dalam alur kisahnya. Membaca novel ini sama asiknya dengan membaca novel-novel sastra pada umumnya.

Selain itu, di novel ini potret kehidupan masyarakat dan budaya India di tahun 563 SM tampak terdeskrisi dengan baik. Mulai dari upacara pembakaran jenazah, kehidupan di istana, pemilihan jodoh pangeran, hingga kehidupan seorang petapa dan sikap masyarakat terhadap para petapa tersaji dengan menarik dan informatif

Terjemahan yang enak dibaca, cover yang menarik dan pilihan jenis kertas yang tidak silau dan ringan membuat novel setebal 400 halaman ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Sebagai pelangkap, di bagian epilog dan akhir buku ini Chopra mencoba memberikan penjelasan-penjelasan mengenai ajaran Buddha. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa novel ini dapat menjadi pintu masuk bagi mereka yang ingin mengenal dan memahami ajaran Buddha.

Mungkin ada hal-hal yang tidak tepat dalam mendiskripsikan Buddha menurut imajinasi Chopra, namun karena buku ini sebuah karya fiksi, marilah kita menikmatinya secara sastrawi. Ajaran-ajaran Buddha yang universal yang terdapat dalam novel ini tentunya dapat memberi kita inspirasi dan menutun kita lebih dekat menuju pemahaman hidup dan bagaimana kita menjalani hidup ini dengan lebih baik lagi bagi Tuhan dan sesama manusia.

@h_tanzil
Read more »

Selasa, 20 Mei 2008

Ways to Live Forever (Setelah Aku Pergi

Ways to Live Forever (Setelah Aku Pergi)
Sally Nicholls @ 2008
Tanti Lesmana (Terj.)
GPU – Maret 2008
216 Hal.

Buku ini nyaris membuat gue menangis… abis gue jadi sedih setelah bacanya. Tapi, tetap, aja, air mata belum berhasil ‘menjebol’ pertahanan gue yang ‘membatu’ ini. Hehehe.

Jadi, ini cerita tentang Sam, anak umur 11 or 12 tahun yang kena penyaki leukemia akut. Karena udah parah banget, orang tua Sam mengeluarkan Sam dari sekolah dan memilih untuk memanggil guru ke rumah. Sam belajar di rumah sama temannya yang juga punya penyakit parah, namanya Felix.

Pelajarannya di rumah, bukanlah sesuatu yang serius. Mrs. Willis, guru mereka, cenderung membiarkan mereka memilih apa yang mereka sukai untuk mereka pelajari atau lakukan. Mereka berdua bisa aja main perang-perangan atau membuat karangan.

Nah, dari proyek menulis inilah, Sam mempunyai ide untuk membuat buku. Maka, Sam membuat berbagai daftar tentang apa yang dia inginkan, apa yang ia lakukan dan juga daftar-daftar pertanyaan yang tak terjawab yang mungkin jarang banget terlintas di dalam pikiran kita sebagai orang yang ‘sehat’. Tapi, beda sama Sam yang sedang menunggu ‘hari-hari akhir’nya. Pertanyaan seperti: “Kenapa orang harus mati?”, “Bagaimana kita harus mati?”, “Ke mana orang pergi setelah mati?” terlontar dengan polos dari pikiran-pikiran Sam. Sam jadi tampak dewasa sekali.

Buku ini jadi bagaikan buku harian Sam. Mimpi Sam naik balon Zeppelin, berbagai daftar yang ‘kocak’, misalnya apa yang harus dilakukan kalo orang meninggal, kiat-kiat hidup abadi – emang sih, bikin sedih tapi, kok ya, jadi lucu karena Sam yang polos banget. Terus, gimana Sam harus menghadapi kenyataan kalo segala macem cara pengobatan itu udah gak ada gunanya lagi dan hidupnya hanya tinggal 2 bulan lagi!

Sam memang terkadang bilang kalau ini semua gak adil, tapi toh, Sam berhasil bersikap tegar dan gak ‘terpuruk’ menyesali nasib. Sam masih bisa menikmati hidupnya yang gak lama lagi itu. Sam mengajarkan kita untuk tetap semangat. Jangan selalu ‘berkeluh kesah’ padahal mungkin, hidup kita masih lebih baik dibanding Sam.

Tulisan tangan dan corat-coret Sam juga menghiasi buku ini, bikin buku ini jadi gak membosankan.

Kaya’nya buku ini gak hanya untuk orang dewasa deh, meskipun emang, rada berat juga kalo masuk kategori remaja. Tapi… bener.. buku ini bagus banget menurutku. Cerita tentang ‘kematian’ mungkin mirip sama buku-bukunya Mitch Albom, tapi, karena ini diliat dari sudut pandang anak-anak, bikin jadi lain aja.

Love this book… *semoga gak lupa memasukkan ke dalam buku favorit 2008*
Read more »

Minggu, 18 Mei 2008

Tintin di Tanah Soviet

Judul : Petualangan Tintin
Wartawan “Le Petit Vingtieme” Tintin di Tanah Soviet
Penulis : Herge
Penerjemah : Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : April 2008
Tebal : 142 hlm

Komik ini merupakan kisah pertama petualangan Tintin selaku wartawan “Le Petit Vingtieme” yang dibuat oleh Herge. Dari petualangan pertamanya di Ruisa inilah kelak komik seri Petualangan Tintin terus dibuat hingga mencapai 24 kisah yang mengajak pembacanya berkelana ke berbagai belahan dunia sambil menyelidiki berbagai kasus menarik bersama anjing setianya, Milo(Snowy) dan beberapa sahabatnya seperti Kapten Haddock, Thomson & Thompson, Prof Calculus, dll.

Dalam petualangan pertamanya ini Tintin diberi tugas untuk meliput keadaan di Soviet, negeri komunis yang sedang gencar-gencarnya mempropagandakan kemajuannya ke seluruh dunia. Rencana mengirim Tintin ke Soviet tampaknya telah tercium oleh agen-agen komunis Soviet.

Belum sampai Tintin tiba di Soviet, kereta api yang membawanya disabotase oleh seorang agen Soviet. Tintin selamat, namun ia ditahan oleh polisi Jerman dengan tuduhan merusak 10 gerbong dan menghilangkan 218 orang. Dengan kecerdikannya Tintin berhasil melarikan diri dan melalui kejar-kejaran yang seru dengan polisi Jerman akhirnya Tintin sampai di Stolbtzy, perbatasan Soviet.

Sesampai di Stolbtzy, ia kembali diketahui keberadaannya oleh agen Soviet. Berkali-kali Tintin harus menghadapi agen-agen Soviet yang mencegahnya memasuki Soviet, namun lagi-lagi berkat kecerdikan dan keberuntungannya Tintin berhasil meloloskan diri dan sampai si Moskow.

Sesampai di Moskow Tintin tak luput dari kejaran agen rahasia Soviet yang ingin menghabisi nyawanya. Berkali-kali Tintin tertangkap, namun berkali-kali juga Tintin meloloskan diri hingga akhirnya ia menemukan bunker tempat persembunyian Lenin, Trotzky, dan Stalin. Apa yang Tintin temui, dan berhasilkah ia akhirnya keluar dari Soviet dan menuliskan laporannya untuk koran dimana tempatnya bekerja? Jawabannya tentunya akan kita temui di komik hitam putih setebal 141 halaman ini.

Komik hitam puith ??? bukankah ciri khas komik Tintin justru teletak pada paduan warnanya cerah dan menarik? Seperti telah diungkap diatas, kisah Tintin di Soviet adalah petualangan pertama Tintin yang dibuat oleh Herge pada 1929. Dan memang saat itu Tintin masih berupa komik hitam putih dimana gambarnya masih belum terlihat sempurna dan detail. Sepintas mirip sebuah sketsa. Wajah Tintinpun dibuat nyaris tanpa ekspresi, kecuali hidung pentul dan tiga buah titik hitam untuk melukisan mata dan mulut. Yang tetap sama adalah jambul khasnya yang legendaris.

Panel-panel gambarnya masih sangat konvensional, setiap halaman berisi 3 hingga 6 buah panel gambar. Alur kisah dan logika komik inipun berbeda dengan kisah-kisah Tintin selanjutnya. Selain kisah yang lebih panjang (141 hal) di komik ini kitapun akan menemukan adegan-adegan splastis yang berlebihan seperti tertabrak kereta api, tercebur di danau es tapi tetap selamat, dll, belum lagi ditambah faktor-faktor kebetulan yang membuat sebuah peristiwa terselesaikan dengan sangat mudah.

Tak banyak yang tahu, sebenarnya hampir sebagian besar komik Tintin dibuat hitam putih seperti judul ini. Hingga akhirnya Herge merevisi, menggambar ulang,
menambah/ mengurangi panel, dan memberinya warna pada seluruh komik
Tintin, kecuali Tintin di Soviet yang dibiarkan apa adanya. Entah apa alasan Herge tak merevisi dan memberi warna judul ini. Mungkin sebagai monumen bagi dirinya dan pembaca setia Tintin bahwa seperti inilah Tintin pertama kali dibuat.

Dalam komik ini kita akan melihat bagaimana Herge muda tampak begitu membenci Soviet dengan ideologi komunisnya. Di komik ini kita akan melihat bagaimana Soviet saat itu begitu tertutup terhadap kehadiran wartawan asing seperti Tintin. Soviet hanya membuka diri pada wartawan luar negeri yang menganut ideologi komunis.

Kepada merekapun Soviet melakuka propaganda palsu yaitu dengan membuat seolah-olah pabrik-pabrik sedang berprodusi dengan gencar, namun ketika Tintin berhasil menyusup kedalam pabrik, ternyata di dalamnya hanyalah orang yang memalu besi untuk menimbulkan kesan suara mesin yang berproduksi. Atau ketika Tintin menemukan bagaimana kader-kader partai komunis melakukan pemilu curang dengan memaksa rakyat Soviet memilih partai komunis dibawah ancaman senjata.

Walau kisah ini penuh dengan satire politik dan mengusung semangat anti komunis. Namun tak berarti kisah ini tidak bisa dinikmati oleh anak-anak. Adegan kejar-kejaran antara Tintin dan pihak dinas rahasia soviet serta adegan-adegan splastis yang lucu dipastikan membuat anak-anak yang membacanya tertarik untuk membaca tuntas komik ini.

Sejarah Penerbitan

Tintin di Tanah Soviet / Tintin au Pays des Soviets pertama kali muncul sebagai komik berseri di suplemen kartun Le Petit Vingtieme terbitan koran Brussel Le Vingtieme Siecle, pada tangga 20 January 1929 hingga 11 May 1930. Pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1930. Di akhir tahun 1960an komik ini diterbitkan ulang masih dalam bentuk aslinya (hitam putih).

Di Indonesia sendiri komik ini baru terbit pada tahun 1995 oleh penerbit Indira dan dicetak ulang pada tahun 2005. Kini setelah hak cipta dan hak edarnya diambil oleh penerbit Gramedia, Tintin di Tanah Soviet kembali hadir kembali bagi pembaca Indonesia. Judul ini menjadi urutan pertama seri Tintin yang diterbitkan oleh Gramedia.

Kabarnya Gramedia memang berencana menerbitkan seluruh seri Tintin sesuai dengan urutan yang dibuat oleh Herge, termasuk menerbitkan karya terakhir Herge yang belum sempat diselesaikannya dan belum pernah diterbitkan di Indonesia sebelumnya, yaitu : Tintin dan Alpha Art.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 12 Mei 2008

Maximum Ride#1: Angel Experiment

Maximum Ride#1: Angel Experiment (Maximum Ride#1: Eksperimen Malaikat)
James Patterson @ 2005
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – April 2008
536 Hal.

Suatu hari, di pagi yang cerah, suasana di sebuah rumah dimulai dengan ceria. 6 orang anak tertawa dan saling melakukan keisengan membuat semuanya terlihat normal. Tidak ada yang aneh pada diri Max, Fang, Nudge, Gasman, Iggy dan si kecil, Angel. Mereka tampak seperti anak-anak pada umumnya. Tapi… ketika pagi itu dirusak oleh makhluk yang sangat mengerikan, semua jadi tidak normal lagi.

Ke-enam anak itu adalah makhluk rekayasa dari sebuah Sekolah yang misterius. Mereka adalah anak-anak yang sejak bayi sudah dijadikan bahan percobaan dengan menyuntikkan gen burung ke dalam tubuh mereka. Orang tua mereka juga misterius, ada yang sudah meninggal, ada yang tidak tahu kalau anak mereka masih hidup, ada yang menyerahkannya dengan sukarela Intinya, mereka tidak ada yang mengetahui siapa orang tua mereka dan apa alasannya mereka berenam harus ada di Sekolah yang mengerikan itu.

Sekelompok Pemusnah – anak-anak rekayasa seperti mereka, namun berwujud mengerikan seperti serigala – mengejar mereka berenam dan menjadikan hidup mereka tidak lagi nyaman dan tenang.

Pagi itu jadi rusak, Angel diculik. Max, sebagai anak yang paling tua, merasa bertanggung jawab dan bertekad menyelamatkan Angel dari tangan para Pemusnah.

Kembali ke Sekolah bagaikan mimpi buruk. Mereka harus kembali ke tempat yang pernah sangat menyiksa mereka. Buruknya lagi, mereka harus sakit hati ketika orang yang sangat mereka percaya ternyata tetaplah bagian dari Jas Putih.

Ketika berada dalam penyekapan, ternyata Angel mendengar potongan-potongan informasi tentang keberadaan orang tua mereka. Dari sinilah, Max dan teman-teman bertekad mencari orang tua mereka.

Mereka ‘terbang’ sampai ke New York. Tapi, tetap saja, para Pemusnah mengincar mereka. Bukan sekali mereka nyaris kehilangan nyawa mereka.

Ending buku ini masih ‘misterius’, karena memang akan ada sekuelnya. Ceritanya memang menegangkan tapi, ketenangan Max pembuat gue ikutan tenang, gak dag-dig-dug, meskipun ending setiap bab bikin penasaran dan selalu penuh kejutan. Ciri khas James Patterson yang selalu menggiring pembaca untuk ikutan sport jantung dengan bab-bab yang pendek. Gue juga jadi ‘menunggu-nunggu’ akankah ada kisah romantis antara Max dan Fang?

Buku yang asyik banget… One of my favorites…

Baca buku ini, gue langsung inget sama ‘When the Wind Blows’ dan ‘The Lake House’, yang sama-sama punya tokoh bernama Max, sama-sama berasal dari Sekolah dan mempunyai gen burung dalam tubuhnya. Tapi kata Pak James nih, buku ini serupa tapi tak sama. Gue jadi pengen baca lagi dua buku itu, soalnya udah lupa sih, gimana ceritanya.
Read more »

Kamis, 08 Mei 2008

Temu Blogger Buku se-Indonesia

Kepada
PARA SAHABAT PECINTA DAN PERESENSI BUKU
se- N.U.S.A.N.T.A.R.A.

Salam buku!

Weblog atau blog adalah sebuah tren termutakhir dari sebuah abad yang berlari yang dijinjing internet. Istilah ini mulai diperkenalkan sejak 1997 yang merujuk pada kumpulan website pribadi yang diperbarui terus-menerus, berisi link ke website lain dan disertai komentar. Di dalamnya para pembuat blog atau blogger menampilkan foto dan tulisan mengenai berbagai topik. Blog adalah juga website. Jika website hanya sekumpulan arsip dan data, maka blog adalah fenomena termutakhir dari web.

Blog buku merupakan bagian dari generasi blog yang ingin merayakan sebuah buana yang bisa dilihat secara bebas dan personal. Mereka adalah generasi peresensi baru buku dengan menggunakan medium yang lebih egaliter. Jika generasi peresensi lama masih memperebutkan halaman-halaman koran nasional dan daerah dengan mempertimbangkan selera redaktur buku, maka generasi baru ini membaca buku dan menuliskannya kembali dengan semangat sangat personal tanpa jerih tulisannya ditampik.

Terkait dengan itu, maka Persekutuan Kutu Buku Gila (Ku-Bu-Gil—http://kubugil.multiply.com) bekerja sama dengan Indonesia Buku dan penyelenggara “Festival Mei Veteran” menggelar perhelatan Temu Blogger Buku se-Indonesia dengan tajuk: “Menjadi Kutubuku Itu Keren”. Acara tersebut digelar pada:

Hari/Tanggal : Sabtu, 17 Mei 2008
Pukul : 11 – 14 WIB
Tempat : Mata Hari Domus Bataviasche Nouvelles Café
Jl Veteran I / 30-33 Jakarta Pusat, telp 021-3840127,
e-mail: indonesiabuku@gmail.com
(sebelah barat Masjid Istiqlal atau utara Monas atau
bersebalahan dengan Markas Besar AD)
Pembicara : Taufik Rahzen (budayawan dan kolektor buku)
Hetih Rusli (editor Gramedia Pustaka Utama)
H Tanzil (moderator milis resensibuku dan pasarbuku)

Kami mengundang Anda sekalian hadir dalam perhelatan itu. Acara ini terbuka untuk publik yang mencintai buku sepenuh-penuh hikmat dan para blogger buku. Dan tentu saja GRATIS. Demikian undangan ini, terimakasih atas perhatiannya.

Salam buku!

Jakarta, 10 Mei 2008


PANITIA PELAKSANA
Hernadi Tanzil (http://bukuygkubaca.blogspot.com), Endah Sulwesi (http://perca.blogdrive.com), M Baihaqi (http://qyu.blogspot.com), Muhidin M Dahlan (http://akubuku.blogspot.com), Ferina Permatasari (http://lemari-buku-ku.blogspot.com), Indah Nurchaidah, Berliani M Nugrahani, Maria Masniari Lubis, Jody Pojoh (http://jodypojoh.blogdrive.com), Dumaria Pohan (http://mon-secret-jardin.blogspot.com), Herlina Sitorus, Yulianto, Alfi Yasmina (http://bookquickies.wordpress.com)

* 50 peserta yang datang pertama akan mendapatkan buntelan gratis dari beberapa penerbit pendukung acara.

** Akan diadakan pemutaran film tentang buku nonstop: (1) Finding Forrester (2000); (2) You've Got Mail (1998); (3) Quills (2000); (4) Freedom Writers (2007); (5) Il Postino, The Postman (1994); (6) Notting Hill (1999); (7) The Disapperance of Garcia Lorca (1997);

** No Kontak panitia dari beberapa kota: Ria/Veteran Jakarta (081328690269); Gus Muh/Jogja (08886854721); Perca/Jakarta (081586189316); Antie/Bandung (08156075171); Jody/Menado (081356045047); Kobo/Medan (08126044109)

ACARA INI DIDUKUNG OLEH:
1. Koran Kebudayaan Bataviasche Nouvelles (Jakarta)
2. Mata Hari Café (Jakarta)
3. Indonesia Buku (Jakarta)
4. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta)
5. Serambi (Jakarta)
6. Bentang Pustaka (Yogyakarta)
7. Hikmah (Jakarta)
8. Mizan (Bandung)
9. Klub Sastra Bentang
10. Majalah EVE (Jakarta)
Read more »

Selasa, 06 Mei 2008

Mehrunnisa: The Twentieth Wife

Mehrunnisa: The Twentieth Wife
Indu Sundaresan @ 2002
Hikmah, Cet, I - Maret 2008
551 Hal.

Ternyata dalam hal urusan cerita cinta, India gak hanya punya cerita tentang ‘Taj Mahal’. Di buku ini, adalah kisah cinta orang tua pasangan Mumtaz Mahal dan Shah Jahan.

Mehrunnisa hampir saja kehilangan orang tua kandungnya yang merasa tak sanggup merawatnya karena kemiskinan yang mereka derita. Ghias Beg adalah bangsawan asal Persia yang melarikan diri karena terlilit hutang di negaranya sendiri. Bersama anak-anaknya dan istri yang sedang hamil tua, ia berniat mencari kehidupan baru di India. Untung saja, ia bertemu dengan orang yang baik yang berniat menjadi orang tua angkat Mehrunissa.

Keluarga Ghias Beg pun akhirnya tiba di India dan keberuntungan segera berpihak pada Ghias Beg yang mendapat kepercayaan dari Sultan Akbar yang bijak. Sejak kecil, Mehrunnisa sudah ‘terobsesi’ untuk menjadi seorang putri. Ia ingin menjadi permaisuri bagi Pangeran Salim, sang Putra Mahkota.

Tapi, tentu saja, meskipun mereka cukup dekat dengan keluarga raja, tidak semudah itu berjodoh dengan anggota keluarga kerajaan. Karena biasanya pernikahan di keluarga kerajaan bernuansa politik. Sebuah peristiwa di hari pernikahan Pangeran Salim yang pertama membuat Mehrunnisa dekat dengan Ruqayya, permaisuri Sultan Akbar.

Mehrunnisa menjadi pendatang tetap di zenana. Tapi, karena perempuan tidak boleh menampakkan diri begitu saja di depan laki-laki, Mehrunnisa harus mencuri-curi kesempatan untuk melihat Pangeran Salim.

Beberapa pertemuan tak disengaja antara Pangeran Salim dan Mehrunnisa ternyata meninggalkan kesan yang mendalam di hati Pangeran Salim. Tapi, tentu saja, meskipun mereka saling jatuh cinta, pernikahan bukanlah hal yang bisa ditentukan sendiri, tapi, Sultan-lah yang membuat keputusan. Mehrunnisa dinikahkan dengan seorang prajurit bernama Ali Quli.

Tahun-tahun berlalu, pemberontakan dan pengkhianatan sekitar perebutan takhta sultan berulang kali terjadi. Baik yang dilakukan Pangeran Salim terhadap Sultan Akbar, atau yang dilakukan Pangeran Khusrau terhadap Pangeran Salim, ayahnya.

Pertemuan antara Mehrunnisa dan Pangeran Salim, yang sudah jadi Sultan Jahangir, terjadi di sebuah pesta pertunangan. Hati mereka berdua kembali bergolak. Sultan Jahangir berharap ia bisa memilih sendiri permaisuri yang ia inginkan tanpa harus berbau-bau politik. Tapi, Jagat Gosini, permaisuri yang sah, tentu saja tidak akan tinggal diam ketika ada perempuan lain yang mengancam kedudukannya.

Indu Sundaresan melakukan banyak riset untuk mewujudkan cerita ini. Mehrunnisa memang benar ada dalam sejarah India, meskipun tidak terlalu menonjol. Tapi, kalo membaca penuturan Indu Sundaresan, Mehrunnisa yang asli adalah ‘perempuan keras’, setelah ia menjadi permaisuri, banyak perubahan yang dilakukannya semasa pemerintahan Sultan Jahangir. Sementara Mehrunnisa yang di buku ini terkesan ‘bandel’, cerdas, tapi tetap tak berdaya ketika ia berada dalam lembaga pernikahan yang mewajibkannya tunduk pada suami.

Masih ada juga cerita tentang kekerasan dalam rumah tangga *gerammmm*…

Mungkin agak berlebihan ya.. anak umur hmmmm… 8 tahun kalo gak salah, tapi udah terobsesi jadi permaisuri. Kesannya ambisius banget. Dan.. ckckckck…, anak sama bapak – Pangeran Khusrau sama Pangeran Salim, sama-sama berontak… kena karma tuh Pangeran Salim…

Gue sih, cukup menikmati baca buku ini. Meskipun sempat gak tahan, begitu udah bagian cinta-cintaan menjelang bagian akhir. Lanjutan kisah cinta yang eksotis ini yang judulnya ‘The Feast of Roses’, konon bakal diterbitkan juga oleh Penerbit Hikmah, yang mengisahkan kehidupan Mehrunnisa setelah menjadi permaisuri.

Tapi, semoga aja gak mengecewakan. Karena kalo udah sekuel gitu, suka dipaksain, dan malah jadi ngebosenin. Dan, gara-gara baca buku ini, gue jadi pengen baca novel tentang ‘Taj Mahal’ (ada dua judul tuh…) Hahaha… malah menambah ‘daftar dosa’ baru…
Read more »

Senin, 05 Mei 2008

Petualangan Tintin - Si Kuping Belah

No. 150
Judul : Petualangan Tintin – Si Kuping Belah
Penulis : Herge
Penerjemah : Donna Widjajanto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : April 2008
Tebal : 64 hal ; 22cm
Harga : Rp. 40.000,-

Begitu terdengar berita kalau komik Tintin akan dicetak ulang oleh Gramedia, saya langsung bersorak kegirangan!. Bagaimana tidak, komik Tintin merupakan komik favorit saya semasa SMP yang waktu itu masih diterbitkan oleh Penerbit Indira. Komik Tintin yang dilukis dengan garis-garis yang bersih, warna yang cerah, dan cerita yang seru serta lucu membuat saya selalu melahap habis setiap judul seri tintin yang terbit.

Hanya saja, karena waktu itu belum punya uang sendiri, jadi sebagian besar Tintin yang saya baca adalah hasil pinjam di tempat persewaan buku. Saya sendiri hanya punya beberapa judul saja, itupun kini sudah hilang entah kemana dan hanya menyisakan satu judul (Rahasia Racham Merah).

Setiap pergi ke toko buku dan melihat Tintin terbitan Indira rasanya gatal untuk membelinya, namun keinginan itu selalu dikalahkan untuk membeli buku-buku lain, alasan lain karena saya merasa komik Tintin semakin mahal namun kualitas cetaknya semakin menurun. Tampaknya hal itu akibat dari musibah kebakaran di Penerbit Indira beberapa tahun yang lampau. Seluruh master plat Tintin ikut terbakar. Kabarnya agar dapat terbit ulang, Indira melakukan scan dari komik tintin yang telah dicetak. Itulah yang menyebabkan kualitas gambar tintin cetakan tahun 2005 terlihat kurang kinclong.

Bersyukur kini komik Tintin diterbitkan ulang oleh Gramedia yang tampaknya semakin serius menebitkan komik-komik bermutu. Karena kebaikan Gramedia yang rajin memberikan buntelan buku gratis untuk saya dan beberapa book bloger lainnya, saya kini memiliki 2 buah Tintin terbitan Gramedia yaitu Si Kuping Belah dan Tintin di Soviet. Karena saya baru membaca ulang si Kuping Belah, maka saya hanya akan mereview judul tersebut.

Dalam petualangannya kali ini, kita diajak berpetualangan mulai dari rumahnya sendiri di Belgia hingga ke pedalaman Amerika Selatan. Tintin tergugah untuk menyelidiki raibnya patung langka suku Arumbaya yang dipamerkan di museum Etnografi Belgia. Walau esoknya patung itu telah kembali berada di museum namun berkat pengamatan Tintin yang jeli, terbukti bahwa patung tersebut adalah palsu karena patung yang asli memiliki kuping yang belah.

Untuk memperoleh kembali patung tersebut Tintin menyeberang ke Amerika. Belum sampai di tujuan ia terjebak di Las Dopicos, ibukota Republik San Theodoros Amerika Selatan . Tintin terperangkap dalam kemelut revolusi antar penguasa di negara tersebut. Ia nyaris dihukum mati karena dituduh mata-mata dan menjual senjata pada pihak musuh. Hal ini tentu saja menghambat tujuan utamanya untuk memperoleh kembali patung asli suku arumbaya yang hilang.

Seperti biasa petualangan tintin selalu seru, tak terduga, dan dihiasi dengan adegan-adegan lucu yang membuat pembacanya terpingkal-pingkal. Begitupun dengan judul ini, walau tanpa kehadiran Kapten Haddock, dan hanya memunculkan Dupon & Dupont (Thomson & Thompson) di awal cerita, kelucuan petualangan tintin tetaplah terjaga.

Tintin Rasa Baru

Hingga tulisan ini dibuat Gramedia telah menerbitkan 6 buah judul tintin al :
1. Petualangan Tintin Wartawan "Le Petit Vingtieme" di Tanah Sovyet
2. Tintin di Congo
3. Tintin di Amerika
4. Cerutu Sang firaun
5. Lotus Biru
6. Si Kuping Belah

Tampaknya Gramedia menerbitkan judul-judul tersebut berdasarkan kronologis tintin edisi aslinya. Sudah tentu kehadiran Tintin terbitan GPU benar-benar disambut antusias para pecinta Tintin. Menurut sebuah sumber, keenam judul yang baru beredar satu bulan ini, semuanya telah mengalami cetak ulang dan tirasnya naik dari 5000 menjadi 7000 eks per judul. Kabarnya juga Laut Hitam dan Tongkat Ottokar akan terbit di bulan Mei ini.

Lalu apakah yang membedakan Tintin versi Indira dengan versi Gramedia ? Karena saya baru memiliki Tintin versi Gramedia yang berjudul Si Kuping Belah dan Tintin di Tanah Soviet. Maka perbandingan ini berdasarkan dua judul saja.

Secara format ukuran buku, jelas berbeda, jika Tintin terbitan Indira dicetak diatas kErtas HVS dengan ukuran majalah, maka Tintin versi Gramedia dicetak diatas kertas art paper / kunstruk dengan ukuran lebih kecil (15,5x22 cm) dengan tebal 64 halaman, (142 hal u/ tintin di Soviet).

Otomatis dengan mengecilnya ukuran bukunya, maka gambar-gambarnyapun ikut mengecil, hanya saja kini Tintin lebih ‘handy’ dan lebih mudah dibawa masuk kedalam tas dibanding terbitan Indira. Secara psikologis, dengan perubahan ukuran dan penggunaan kertas yang mengkilat membuat harga komik tintin yang dijual seharga Rp. 40.000,- terkesan relatif wajar.

Selain gambar, tentu saja huruf dalam box deskripsi dan huruf di balon percakapan menjadi mengecil. Yang terasa mengganggu adalah font huruf di balon percakapan. Selain kecil-kecil, jenis font yang menggunakan huruf italic membuat semakin sulit membacanya. Mungkin perlu dicarikan jenis huruf yang lain agar lebih ramah mata.

Karena kini Tintin diterjemahkan ulang, maka terlihat perbedaan kalimat dibanding terbitan Indira, terlebih dalam hal nama-nama tokoh-tokohnya. Untuk nama-nama tokoh-tokohnya, Gramedia setia pada nama asli yang tercantum di edisi aslinya yang berbahasa Perancis. Beberapa nama tokoh yang berubah antara lain :

- Snowy = Milo
- Thomson Thompson = Dupond & Dupont
- Calculus = Lakmus

Mungkin awalnya akan terasa mengagetkan dan janggal. Kita yang terlanjur akrab dengan sebutan snowy kini harus terbiasa dengan ‘milo’, begitupun dengan tokoh-tokoh lainnya. Dan yang membuat saya penasaran, adalah bagaimana Gramedia akan menerjemahkan umpatan terkenal kapten Haddock seperti , “Topan Badai!”, bagaimana terjemahan barunya? Kita lihat saja dan tunggu kemunculan Kapten Haddock di seri-seri Tintin yang akan diterbitkan.

Tampaknya seri Tintin dengan tampilan baru ini akan membuat seri petualangan Tintin yang pernah terkenal di indonesia di era 80-90an kembali memikat generasi baru pembacanya. Setelah lama menghilang dan hanya dapat dicari di beberapa tempat dan kios-kios buku bekas, kini Tintin yang telah diterjemahkan kedalam 40 bahasa dunia ini kembali bakal mudah diperoleh di toko-toko buku besar dan siap menjadi idola baru bagi pembaca komik bermutu.

Bisa dibilang Petualangan Tintin adalah tonggak bersejarah dalam dunia komik internasional.
Melalui kisah-kisah petualangan Tintin dan kawan-kawannya, kita bukan hanya diajak keliling dunia, tapi juga dibawa menelusuri sejarah serta politik sejak tahun 1940-an sampai 1980-an. Namun muatan sejarah dan politik itu tidaklah terkesan berat, malah bisa menjadi bacaan anak-anak yang sangat menarik karena disajikan dengan ringan dan selalu diselipi adegan-adegan lucu. Selain itu petualangan Tintin juga mengandung pesan moral yang sangat bermanfaat bagi anak-anak.

@h_tanzil
Read more »