Kamis, 26 Februari 2009

Anne of Green Gables

Anne of Green Gables
Lucy M. Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita, Cet. 2 - 2008
516 Hal.

Hampir gak pernah, gue mau baca buku-buku klasik kaya’ gini. Soalnya, takut… bahasanya ngebosenin, ceritanya yang ribet dan jadi gak menarik untuk dibaca. Buku Anne of Green Gables edisi Bahasa Inggris, udah lama banget ‘mengendon’ di dalam lemari buku gue. Mungkin ada kali hampir 10 tahun, nyaris terlupakan. Untungnya buku ini gratisan (upss… dari my mantan.. hehehe..) Lahh.. koq jadi curhat.

Buku edisi bahasa Indonesia ini, gue beli dengan rasa ketertarikan yang beda. Koq, tiba-tiba gue pengen tau, siapa sih si Anne ini? Koq sampai demikian ngetop-nya dia di dunia ‘perbukuan’. Huh… gue aja nih yang ternyata ketinggalan jaman banget.

Anne Shirley, begitu nama lengkapnya, hadir dalam kehidupan Matthew dan Marilla Cuthbert – pasangan kakak beradik yang tinggal di Green Gables, Avonlea – karena ketidaksengajaan. Pasangan yang ‘kaku’ ini tadinya berniat mencari anak yatim piatu laki-laki untuk membantu mereka bekerja. Tapi, entah kenapa, ada sebuah kesalahpahaman. Ketika Matthew menjemput anak yang dijanjikan di stasiun, yang ia temukan bukanlah anak laki-laki, melainkan anak perempuan berambut merah, berwajah bintik-bintik dengan baju yang kekecilan.

Matthew Cuthbert, yang pendiam dan pemalu, tidak terbiasa menghadapi perempuan – selain Marilla tentunya – terkejut dengan keberadaan Anne. Anne, bisa dibilang, anak yang unik. Satu halaman bisa penuh dengan percakapannya sendiri. Topik pembicaraannya juga bukan hal yang biasa, tapi penuh imajinasi – seperti yang diakui sendiri oleh Anne.

Matthew sendiri makin bingung, apa yang harus ia sampaikan pada Marilla. Marilla sempat ingin mengembalikan Anne ke Panti Asuhan. Tapi, meskipun Anne anak yang cerewet, banyak omong, ternyata, mampu memikat hati Marilla. Anne nyaris ‘hancur’, ketika ia tahu ia akan dikembalikan ke panti asuhan.

Kenakalan, imajinasi Anne yang katanya romantis… menggetarkan, sering membuat Marilla menilai Anne tidak bersikap semestinya sebagai anak perempuan. Tapi, itulah yang sebenarnya kelebihan Anne. Sifat jelek Anne, adalah saking asyiknya dia melamun, berkhayal, Anne suka lupa dengan pekerjaannya. Anne juga terkadang temperamental, gampang marah, apalagi kalau sudah menyinggung rambut merahnya.

Belum lagi kegemarannya memberi nama pada tempat-tempat yang menurut Anne begitu menggetarkan dan romantis – sebut saja Kanopi Kekasih, Buih-Buih Dryad, Ratu Salju, Danau Air Riak Berkilau. Lalu, peristiwa-peristiwa menghebohkan yang bikin semua orang yang tadinya kesal, malah tertawa – seperti bikin kue pakai minyak angin, jalan di atas genteng, hampir tenggelam. Tapi, tetap, Anne ternyata anak yang berprestasi.

Gak hanya teman-teman sebayanya yang jatuh hati pada Anne, orang dewasa pun, yang sempat sebal sama Anne, bisa luluh karena sikap Anne yang polos. Ia gak akan segan minta ma’af, meskipun awalnya gengsi setengah mati.

Buku ini jadi ceria, gue pun tersenyum-senyum dalam hati, membaca betapa ‘ribut’nya Anne. Kepolosan tapi, sebenarnya menunjukkan kedewasaan yang mungkin belum pada waktunya. Tapi, rasa sayangnya pada Marilla mampu mengalahkan keinginan Anne untuk meraih mimpinya. Toh, ia yakin, di setiap belokan, mungkin ada satu kejutan lain yang menyenangkan.

Di buku ini, dikisahkan masa empat tahun Anne tinggal di Green Gables. Masa sekolah Anne yang ceria, persaingan di antara teman-temannya, persahabatannya dengan Diana Barry, cerita tentang semua teman sejiwanya, sampai diam-diam jatuh cinta sama saingannya sendiri.

Ternyata buku ini asyik banget dibacanya. Sambil baca, gue ngebayangin setting-nya, di padang rumput a la Laura Ingalls. Begitu ‘menggetarkan’…. ‘romantis’….. Apa jadinya seseorang tanpa imajinasi? Gue pun jatuh cinta sama Anne Shirley…
Read more »

The Mysterious Benedict Society

The Mysterious Benedict Society
Trenton Lee Stewart @ 2007
Carson Ellis (Ilustrasi)
Litter Brown, April 2008 (Soft Cover)
485 Hal

Sebuah iklan di surat kabar menarik perhatian Miss Perumal. Iklan yang isinya mencari anak-anak berbakat yang menginginkan sebuah kesempatan istimewa. Langsung saja iklan ini ia sampaikan ke Reynard Muldoon, yang biasa dipanggil Reynie. Reynie adalah anak yatim piatu yang tinggal di Panti Asuhan Stonetown. Ia anak yang cerdas, tapi sering jadi olok-olokan temannya. Reynie sudah merasa sangat jenuh dengan kesehariannya di panti asuhan itu. Ia tidak boleh masuk ke sekolah berbakat, bahkan tidak juga ke sekolah biasa. Untung ada Miss Perumal yang menjadi pengajarnya. Reynie langsung tertarik dengan iklan itu, berkat bantuan Miss Perumal, Reynie bisa mengikuti tes itu.

Tes yang diadakan itu sangat aneh. Meskipun banyak yang berminat, tapi, hanya sedikit sekali anak-anak yang lolos tes tersebut. Tes-nya juga tidak hanya satu kali, tapi ada beberapa tahap yang harus dilewati Reynie. Belum lagi, ‘tes-tes’ terselubung yang ikut menentukan kelulusan tiap peserta. Hanya empat anak yang lolos dari tes itu. Empat anak dengan keistimewaan dan bakal yang berbeda… yang unik-unik. Tapi, punya satu persamaan… yaitu, kesendirian mereka.

Keempat anak itu – selain tentu saja Reynie – ada: Sticky Washington yang kurus, berkacamata dan berkepala botak, yang jenius, bisa mengingat banyak hal yang ia baca. Sticky punya nama asli George Washington. Lalu, ada Kate Wetherhal – yang selalu membawa ember yang berisi berbagai macam peralatan. Dan, terakhir, si kecil Constance Contraine – selain memang berbadan kecil mungil, Constance memang baru berusia dua tahun! Meskipun kecil, tapi Constance sangat keras kepala. Ia lulus bukan karena kepintarannya, tapi, karena sikap masa bodoh dan cueknya yang menarik perhatian si penilai.

Lalu… siapakah si Penilai ini? Si Penyelenggara sayembara atau tes aneh ini. Dia adalah Mr. Benedict. Seorang laki-laki tua yang punya misi rahasia. Meskipun kesannya misterius, tapi Mr. Benedict ini adalah orang yang kocak. Dan, punya satu ‘penyakit’ aneh, yaitu, dia akan tertidur kalau kebanyakan ketawa.

Mr. Benedict mencurigai adanya sebuah misi atau propaganda yang disebarluaskan melalui televisi, radio atau malah suara-suara ‘tersembunyi’ yang akan membuat kita selalu terngiang-ngiang. Untuk itu, Mr. Benedict mengirim tim kecil ini untuk menyelidiki kegiatan rahasia yang ada di Pulau Nomansan. Dengan briefing singkat, Reynie, Sticky, Kate dan Constance berangkat ke pulau itu dengan misi hidup atau mati.

Di Pulau Nomansan, mereka berempat datang sebagai murid baru yang akan belajar di sebuah institusi yang didirikan oleh Ledroptha Curtain. Tempat itu sangat tertutup dan penuh rahasia. Meskipun isinya adalah anak-anak yang tak kalah berbakatnya dari mereka berempat, tempat itu penuh dengan bahaya. Keempat anak itu harus ekstra hati-hati menjalani misi rahasia mereka ini.

Di L.I.V.E, mereka menemukan banyak kejanggalan, banyak teka-teki, yang harus segera mereka sampaikan ke Mr. Benedict dengan sangat hati-hati. Jika ketahuan, mereka akan segera dikirim sebuah ruang penyiksaan yang konon kabarnya sangat mengerikan.

Untuk mendapatkan informasi dan agar lebih mudah mengamati gerak-gerik Mr. Curtain, mereka berempat pun berusaha keras menjadi Messanger – murid yang punya akses ke fasilitas-fasilitas khusus. Dengan akal Reynie yang cerdik, kepintaran Sticky, kesigapan Kate dan kekeraskepalaan Constance, mereka mencari berbagai cara untuk itu.

Ceritanya menarik, meskipun kadang males juga untuk ‘ngikutin’ program Mr. Curtain yang ambisius. Tapi, tingkah laku, aksi-aksi, kecerdasan dan ide-ide Reynie dan teman-temannya – lalu rasa deg-deg-an, takut mereka ketauan kalo lagi ngumpul malem-malem, membuat gue bertahan mengikuti novel ini sampai selesai. Bahkan, rasa persahabatan mereka juga diuji, ketika Reynie harus mengalahkan rasa nyaman yang ia peroleh ketika duduk Favorit gue adalah Constance – si kecil mungil, yang ngeselin, tapi, seperti kata Reynie – yang gak akan bisa ngebayangin kalo Constance gak ada.

O ya, di buku ini, gak pernah dibilangin siapa nama depan Mr. Benedict, tapi, menurut Om Wikie… kalo kita ngerti Morse, kita bisa tau tuh, nama depan Mr. Benedict di cover buku ini.

Endingnya… tentu saja bahagia… dan, mari kita tunggu petualangan selanjutnya di buku kedua.
Read more »

Senin, 23 Februari 2009

Tea for Two

Tea for Two
Clara Ng @2009
GPU – Pebruari 2009
312 Hal.

Tea for Two, bukan nama sebuah tempat minum-minum teh. Itu adalah perusahaan ‘perjodohan’ milik Sassy – alias sebuah usaha ‘percomblangan’. Sassy sendiri adalah seorang lajang yang sedang menanti-nantikan datangnya jodoh bagi dirinya sendiri. Tea for Two yang tadinya hanya berupa sarana pencarian jodoh, berkembang menjadi usaha wedding organizer – yang kebanyakan kliennya adalah peserta Tea for Two.

Perkenalannya dengan Alan juga karena kebetulan Sassy membantu mengurus pernikahan tante Alan. Awalnya, Sassy tidak berharap banyak dari perkenalannya itu. Tapi, siapa yang gak luluh dengan sikap Alan yang super duper romantis. Yang selalu menghujani Sassy dengan hadiah, bunga, kata-kata romantis. Meskipun, demi Alan, kadang Sassy harus mengorbankan pekerjaannya. Tapi, Sassy yang sedang jatuh cinta berat, buta dengan segala keganjilan dalam diri Alan. Bagi Sassy, sedikit berkorban demi Alan, toh, tidak akan apa-apa.

Puncaknya, adalah ketika Alan melamar Sassy, yang tentu saja diterima Sassy dengan rasa haru dan hati yang penuh cinta (aihhhh… lebaiiiii…). Bagi Sassy, kehidupan yang sempurna terbentang lebar di depan mata. Calon suami yang tampan, baik hati, romantis. Bulan madu super romantis juga sudah dirancang dengan sempurna.

Tapi, ternyata, semua yang indah itu hanya ada di kulit luarnya saja. Di hari kedua… bayangkan.. di hari kedua bulan madu mereka berdua, Sassy terkejut dengan sosok lain di balik Alan yang romantis itu. Di bulan madunya, Sassy mendapatkan ‘hadiah’ tamparan manis di pipinya, hanya karena Alan cemburu buta dan gak mau mendengarkan penjelasan Sassy.

Dan, tamparan pertama itu bukanlah jadi yang terakhir. Masih banyak kekerasan lain yang dialami Sassy, baik secara fisik maupun batin. Kehamilan Sassy pun tidak merubah perangai buruk Alan. Teman-teman Sassy juga dianggap sebagai teman yang baik oleh Alan. Singkat kata, Alan mau semua yang dia inginkan dipatuhi Sassy… kalau gak… hmmm… siap-siap menerima tanda biru di pipi.

Kenapa Sassy masih bertahan sedemikian lama? Karena, Alan bisa berubah jadi makhluk manis yang penuh penyesalan dan membuat Sassy kembali luluh. Bahkan, ketika Alan ketauan berselingkuh pun, Sassy masih mau mema’afkannya.

Ironis banget… Sassy yang setiap harinya ‘merancang’ kebahagiaan yang sempurna untuk para klien-nya, justru mendapati hidupnya bukanlah berakhir seperti dongeng-dongeng.

Dari sekian banyak novel Clara Ng (yang gue baca), rasanya ini yang paling serius. Tema KDRT, tapi untungnya dikemas dengan cukup bagus, sehingga gak menjadikan novel ini berurai air mata karena menuturkan penderitaan Sassy.

Selain ‘Malaikat Jatuh’ yang ogah gue baca karena temanya yang gak nyaman buat gue, sedikit banyak, novel ini cukup meninggalkan bekas. Tapi… apa iya, kekerasan malah bikin perempuan ‘addicted’ sampai dia gak sadar kalo dirinya udah dimanfaatkan? Apa iya, alasan perempuan pasrah ketika suaminya melakukan KDRT, justru karena hal itu seolah memacu ‘adrenalin’nya?
Read more »

Jumat, 20 Februari 2009

Lady Chatterley's Lover

Judul : Lady Chatterley's Lover
Penulis : D.H. Lawrence
Penerjemah : Arvan Achyar
Pengantar : Goenawan Mohamad
Penerbit : Pustaka Alvabet
Cetakan : I, Des 2008
Tebal : 586 hlm

Lady Chatterley’ Lover adalah roman sastra terkenal yang kini telah menjadi karya klasik dalam khazanah sastra dunia. Novel karya penulis Inggris D.H. Lawrence ini terbit pertama kalinya pada tahun 1928. Sadar bahwa novelnya tak mungkin diterbitkan di Inggris, maka Lawrence menerbitkannya sendiri di Florence, Italia. Novel ini menuai kontroversi karena deskripisi persetubuhan antara dua orang yang berbeda strata sosial begitu kentara dan bertaburan disepanjang novelnya. Hal yang saat itu masih dianggap tabu untuk diungkap secara eksplisit dalam sebuah karya sastra.

Beberapa pedagang buku di Inggris menolak novel ini dijual di toko-toko mereka. Sementara itu buku yang dikirimkan kepada para pemesan di AS sering disita oleh pihak otoritas bea cukai. Bahkan Presiden Eisenhower menganggapnya sebagai bacaan “dreadful”.

Berbagai pelarangan justru semakin membuat novel ini laris manis. Di Eropa sendiri novel itu laku keras. Namun karena novel ini dianggap sebagai bacaan tidak senonoh dan sesuai dengan UU yang berlaku saat itu bahwa buku-buku yang dianggap tidak senonoh tidak akan dilindungi oleh UU hak cipta internasional, maka para pembajak dengan bebas mencuri teks novel ini dan mencetak ulang dengan harga yang lebih murah. Untuk melawan para pembajak Lawrence terpaksa menerbitkan edisi murah dalam bahasa Perancis.

Lawrence juga pernah ditawari oleh penerbit Inggris untuk membuat edisi baru dengan menghilangkan bagian-bagian yang menurut mereka tidak pantas. Untuk itu Lawrence ditawari imbalan yang besar. Tentu saja Lawrence menolaknya karena menurutnya dengan menghilangkan bagian-bagian yang dianggap tidak pantas malah akan membuat karyanya hancur.

Penerbit buku bergengsi di London, Penguin Books Limited, akhirnya menerbitkan novel itu secara utuh pada tahun 1960. Karena itu, penerbit tersebut diadili di Pengadilan Old Bailey, London. Sejumlah saksi memberikan pandangan yang mendukung novel ini. Akhirnya pengadilan secara resmi menilai dan memutuskan bahwa The Lady Chaterley’s bukanlah karya pornografis. Penguin pun memenangi perkara dan buku tersebut secara utuh boleh beredar di Inggris. Semenjak itu novel ini dapat didistribusikan dan diterbitkan dengan bebas di berbagai negara tanpa khawatir dicap sebagai bacaan porno. Dan kini Berbagai kajian sastrawi dilakukan terhadap novel yang menarik perhatian pembaca popular dan juga mahasiswa sastra di berbagai belahan dunia.






Lady Chatterley's Lover
First Edition terbitan Penguin Books







Novel ini sendiri mengisahkan kisah cinta terlarang antara Connie dengan Olivers Mellors. Lady Chatterley adalah gelar yang diberikan pada Connie setelah ia menikah Cliiford Chatterley. Connie sendiri berasal dari keluarga kaya yang dibesarkan dalam pendidikan dan pergaulan modern keluarga Inggris pada saat itu. Sedangkan Clifford lahir dari keluarga bangsawan pemilik tambang batu bara di Travershall – Inggris. Ia mengenyam pendidikan tinggi hingga ke Cambridge dan berdinas sebagai tentara saat PD I meletus. Malang nya setelah perang usai Clifford harus pulang dalam keadaan lumpuh. Dan mulailah Clifford menjalani hari-harinya bersama Connie di rumah besarnya di Wragby di sebagai seorang penulis.

Pasca kelumpuhannya Cliford menjadi pribadi yang terluka. Ia harus terus berada diatas kursi roda mekanis yang bisa bergerak sendiri dengan menekan tombol-tombolnya. Clifford senantiasa sendirian. Ia seperti orang yang tersesat. Ia butuh Connie disampingnya untuk meyakinkan kalau dia tetap ada. Walau mereka selalu berdekatan, tubuh mereka menjadi asing satu sama lain. Mereka begitu intim, namun sama sekali tidak pernah bersentuhan. Connie merasa ia tak mendapatkan kehangatan dari suaminya.

Setelah dua tahun di Wragby dan menjalani hidup pengabdian pada suaminya, Connie merasa hidupnya bersama Clifford tidaklah bahagia. Walau hidup berkecukupan dan menikah dengan seorang bangsawan, ia tetap tidak bahagia dan merasa belum mendapat pemenuhan dalam hidup. Connie tahu bahwa dirinya akan hancur. Ia telah kehilangan dunia dan vitalitas masa mudanya yang pernah dia nikmati sebelum dia menikah.

Keterasingan, kesepian, bosan, hampa, dan perasaan tertindas oleh sikap patriakhi suaminya membuat dirinya tak bergairah dan mengalami kegelisahan yang semakin hari semakin memuncak. Ketika gelisah datang, ia berlari melintasi taman dan meninggalkan Clifford. Lari dari semua orang menuju hutan, tempat ia bisa melupakan semua kegelisahannya.

Dalam hutan itulah Connie bertemu dengan Oliver Mellors si penjaga hutan yang merupakan pegawai Clifford. Berawal dari ketika Connie ditugasi oleh Clifford untuk mengirimkan pesan pada Mellors akhirnya mereka kerap bertemu. Walau awalnya keduanya tak saling suka namun perasaan kesepian yang sama-sama mereka alami membuat mereka lambat laun saling mencintai dan membutuhkan. Bersama si penjaga hutan itulah akhirnya Connie menemukan kehangatan dan keteduhan batinnya.

Connie terperangkah di antara dua pria. Pada Clifford ia tetap melaksanakan kewajibannya sebagai istri, namun ia juga tetap menjalin hubungan cintanya dengan Mellors di hutan. Hubungan mereka berlanjut dengan aktifitas seks di pondok di tengah hutan di tempat kediaman Mellors hingga akhirnya Connie hamil. Bisa dibayangkan bagaimana sikap Clifford jika kelak mengetahui bahwa dirinya hamil karena perselingkuhannya dengan lelaki kelas bawah yang notabene pegawainya sendiri. Namun Connie tidak takut, ia memang menghendaki anak dan kehamilannya ini dijadikannya alasan bagi dirinya untuk meminta cerai dari Clifford. Clifford terguncang, namun ia menampik keinginan istrinya untuk bercerai dan menawarkan sebuah solusi yang dianggapnya terbaik.

Ada banyak hal yang menarik dari novel ini. Seperti yang menjadi kontroversi sejak novel ini diterbitkan, novel ini memang memiliki banyak deksrpisi erotis. Walau D.H. Lawrence membungkusnya dalam balutan kalimat-kalimat sastrawi namun tetap saja pembaca akan terbakar oleh deskripsi persetubuhan Connie dan Mellors. Mereka bercinta di pondok Mellors, di tengah hutan di bawah naungan hujan, bertelanjang di tengah hujan, bercinta di bawah pohon, dll. . Namun tentunya bukan maksud penulisnya hanya untuk sekedar menghadirkan kisah erotis tanpa makna.

Persetubuhan antara Connie dan Mellors bukan hanya sekedar pemuasan nafsu mereka semata, tetapi sebagai perwujudan kelegaan atas pribadi-pribadi yang terkukung. Hubungan seks diantara mereka melahirkan ketenangan sejati bagi Connie. Jadi tujuan seks dalam novel ini lebih pada penyembuhan dan bukan sekedar pemuasan nafsu. Walau seks yang mereka lakukan adalah hal yang terlarang namun seks membawa kelahiran kembali Connie dan Mellors untuk bisa membuka diri dan menapak kehidupan baru mereka.

Karakter-karakter yang dihidupkan oleh D.H. Lawrence dalam novel ini sangatlah menarik. Walau merupakan roman percintaan namun novel ini bukanlah novel yang mendayu-dayu dan cengeng. Hampir semua tokoh dalam novel ini mentransformasikan dirinya dari pribadi yang rapuh menjadi pribadi yang kuat dan melawan. Clifford, Connie, dan Mellors awalnya merupakan pribadi-pribadi yang tertutup, tersisih, dan kesepian, namun berbagai peristiwa telah merubahnya menjadi pribadi yang kuat dan penuh perlawanan. Contohnya adalah perlawanan terhadap tradisi dan pendobrakan sekat-sekat kelas yang dilakukan secara simbolis oleh perselingkuhan Connie danMellors.

Selain itu melalui novel ini kita juga dapat menangkap kritik sosial terhadap muramnya kehidupan di Inggris setelah perang di tahun 1920-an. Masyarakat terjebak ke dalam lapisan-lapisan kelas, industrialisasi mulai merasuk, dan uang menjadi senjata ampuh untuk pencapaian kekuasaan. Melalui tokoh Clifford, seorang berdarah biru dan tuan tanah pemilik tambang akan terungkap bagaimana sikap para bangsawan terhadap para pekerja tambang yang bagi mereka bukan lagi manusia seutuhnya melainkan hanya sekedar alat produksi untuk mengeruk keuntungan bagi usaha mereka.

Jadi novel ini bukanlah sekedar novel erotis semata seperti yang mungkin selama ini menjadi pendapat umum atas karya terkenal D.H. Lawrence ini . Ada banyak hal yang bisa dimaknai dalam kisah cinta Lady Chaterly. Michael Squares, editor Penguin Books menulis dalam kata pengantarnya bahwa Lawrence berusaha membangunkan dan mengarahkan rasa simpati para pembaca tanpa membuat novel ini menjadi sebuah kebosanan.

Salah satu yang ingin disampaikan oleh Lawrence dalam novel ini adalah upaya menyadarkan masyarakat atas dirinya sendiri, mempertanyakan berbagai asumsi yang telah mengakar dan membangkitkan sebuah kejujuran dan keberanian yang menantang. Karena itulah tampaknya karya yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini masih relevan untuk terus dibaca dan dimaknai.

Bersyukur kini karya klasik ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dibanding edisi aslinya, novel terjemahannya ini tampak lebih gemuk karena penerbit memasukkan berbagai artikel tambahan baik di awal maupun akhir novel ini. Di bagian awal, pembaca akan disuguhkan dengan 4 buah artikel berupa Catatan untuk edisi Penguin, Kata Pengantar, dan Catatan Panjang dari Penulis yang menghabisi sekitar seratus halaman sebelum kita masuk dalam novelnya sendiri. Sedangkan di akhir novel masih ada tambahan berupa Riwayat Panjang D.H. Lawrence, dan Apendiks sebanyak 23 halaman.

Bagi para pemerhati sastra, artikel-artikel tambahan itu tentunya sangat bermanfaat, namun bagi pembaca awam mungkin menjadi tak terlalu bermanfat karena membaca artikel-artikel tersebut ternyata cukup melelahkan. Novel ini dicetak diatas kertas yang bagus sehingga terkesan mewah, nyaman dibaca, dan layak dikoleksi, namun konsekuensinya harga buku ini menjadi relatif mahal yang tentunya membuat calon pembeli berpikir ulang untuk membeli novel seharga 99 ribu ini.

Beberapa kesalahan cetak juga ditemui di novel ini. Dari segi terjemahan bisa dibilang baik, walau ada beberapa frasa yang saya anggap janggal namun tak sampai mengurangi kenikmatan saya membaca novel ini. Ada satu hal yang tidak konsisten dalam terjemahannya. Di cover belakang novel ini disebutkan Connie berselingkuh dengan penjaga kebun/tukang kebun, sementara di seluruh bagian novel ini, profesi Oliver Mellors tidak disebut sebagai tukang kebun melainkan penjaga hutan.

Namun bagaimanapun usaha untuk menerjemahkan novel klasik yang menggugah ini patut dihargai. Jika sebelumnya novel ini hanya dapat dibaca oleh para kalangan yang melek sastra dan fasih membaca dalam bahasa Inggris, kini novel ini dapat terbaca oleh kalangan yang lebih luas lagi. Semakin banyak karya sastra klasik yang diterjemahkan dan dapat dibaca oleh para pembaca di negeri ini tentunya akan lebih mendorong perkembangan dunia sastra kita lebih baik lagi. Semoga.


@h_tanzil
Read more »

Jumat, 13 Februari 2009

Stromchaser

Judul : Stromchaser
Penulis : Paul Stewart & Chris Riddell
Penerjemah : Meithya Rose Prasetya

Penerbit : Matahati

Cetakan : Des, 2008

Tebal : 462 hlm

Stromchaser adalah buku kedua dari seri fantasi “The Edge of Chronicle” yang kisahnya merupakan kelanjutan dari buku “Beyond the Deepwoods” (Matahati, 2007). Kali ini Twig, putra sang perompak Langit, Cold Wolf telah berusia 16 tahun dan ikut serta dalam perjalanan ayahnya mengarungi langit The Edge dengan perahu langit yang diberi nama Stormchaser (Pemburu Badai).

Dikisahkan saat ini kota terapung Sanchtaprax dalam keadaan krisis karena stormphrax yang merupakan batu pemberat agar kota itu berada dalam ketinggian ideal semakin menipis karena terus menerus diambil untuk memurnikan air sungai di Undertown yang telah tercemar. Guna menyelamatkan Sanchtaprax maka satu-satunya cara adalah dengan mencari Stormphrax! Jika tidak maka rantai penahan Sanchtaprax yang diikat ke Undertown tak akan mampu menahan tarikan keatas dari Sanctaphrax dan kota yang merupakan pusat ilmu pengetahuan, tempat tinggal para cendekiawan The Edge, itu akan melayang lenyap menuju kehampaan.

Bukan hal yang mudah untuk memperoleh Stormphrax karena batu kristal pemberat tersebut hanya terbentuk oleh ledakan petir di atas Hutan Temaram saat munculnya Badai Akbar yang hanya muncul beberapa tahun sekali. Menurut tradisi untuk mencari Stromphrax diutuslah seorang Akademikus Ksatria yang bertugas untuk mengejar badai akbar, menembus belantara hutan temaran dan membawa pulang stromphrax. Para ksatria itu bersumpah untuk tidak pulang sebelum memperoleh stromphrax. Malangnya walau telah beberapa ksatria diutus untuk mencari stromphrax namun tak satupun yang berhasil pulang untuk membawa stromphrax.

Singkat cerita, Cold Wolf (Quintinius Verginix) yang pernah menjadi Akademikus Ksatria akhirnya berangkat mengejar badai akbar dengan kapal langitnya (Stromchaser). Walau Twig menginginkan untuk ikut serta, Cold Wolf tak mengizinkannya. Ternyata dalam ekspedisinya ini seorang awak stromchaser, Slyvo Spleethe yang merupakan kaki tangan Vilnix Pompolnius, (akademia tertinggi yang jahat) diam-diam telah merencanakan niat jahat dalam ekspedisi ini. Slyvo memanfaatkan keinginan Twig untuk ikut serta dalam ekspedisi ini. Secara diam-diam ia menyeludupkan Twig kedalam Stromchaser tanpa diketahui siapapun.

Tepat ketika Stromchaser berada di atas hutan temaram, muncullah badai akbar, ketika seluruh awak kapal berjuang melawan keganasan badai tiba-tiba Slvyo merampas stromchaser dan Twig dimanfaatkan sebagai sandera. Tentu saja Kapten Cold Wolf tak menyerah begitu saja sehingga ia harus berduel dengan Slyvo. Stromchaser menjadi tak terkendali dan mengalami kerusakan berat. Cold Wolf memerintahkan seluruh awak kapalnya terjun menuju hutan temaram sementara ia sendiri berjuang untuk mempertahankan kapal.

Twig dan seluruh awak kapal terjun menuju hutan temaram dengan menggunakan parawing (sayap buatan). Twig mendarat terpisah dari para awak kapal lainnya sehingga ia harus menyusuri hutan temaram untuk mencari teman-temannya. Walau akhirnya ia dapat bertemu dengan beberapa awak kapal Stromchaser namun untuk mencari strompharax yang baru saja terbentuk di hutan temaran dan membawanya pulang bukanlah hal yang mudah. Hutan Temaram dengan segala kemisteriusannya ternyata membuat siapa saja yang berada di dalamnya menjadi berhalusinasi dan merampas kesadaran tiap awak kapal yang selamat. Belum lagi ditambah tantangan alam dimana Twig dan kawan-kawannya harus melewati lumpur hisap, lubang tiup beracun, dan bermacam monster jahat penghuni rawa.

Petualangan Twig dan kawan-kawannya di hutan temaram inilah yang membuat seri kedua dari The Edge of Chhronicle ini menjadi menarik. Lebih menarik dari seri pertamanya (Beyond The Deepwoods, Matahati, 2007) yang hanya sekedar menceritakan petualangan Twig yang bertemu dengan berbagai monster saat keluar dari hutan Deepwoods.

Dalam Stromchaser, selain disuguhkan petualangan Twig menembus belantara Hutan Temaram guna mencari Stromprharax, dikisahkan pula intrik-intrik para akademia di Sanctahprax yang merupakan tempat yang penuh persaingan, konspirasi, dan perjuangan sengit antar golongan. Juga akan dikisahkan bagaimana Cold Wolf sebelum menjadi perompak langit ternyata pernah menjadi Akademikus Ksatria terbaik selama seratus generasi yang diutus untuk mencari Strompharax namun gagal karena kelicikan Vilnix Pompolnius yang berambisi untuk menjadi Akademia Tertinggi.

Seperti di buku pertamanya, buku ini masih menyajikan ilustrasi hitam putih yang indah dengan tarikan-tarikan garis yang tajam, kuat dan detail. Ilustrasi garapan Chris Riddel ini menghiasi hampir seluruh halaman buku dengan penempatan yang dinamis, kadang di tengah halaman, di pinggir, di atas, di bawah, terkadang menempati satu halaman penuh bahkan hingga menyeberang ke halaman berikutnya sehingga terkesan begitu menyatu dengan narasinya. Hal ini ini juga membuat pembacanya seakan ‘diculik’ dan dipindahkan ke dunia fantasi The Edge.

Jika mencermati segi kemasan dari buku terjemahannya ini, tampaknya penerbit Matahati telah melakukan beberapa perbaikan dibanding buku pertamanya. Di buku pertama cover buku terjemahannya tidak begitu menarik dan kertas di halaman dalamnya menggunakan kertas koran sehingga keindahan ilustrasinya terdistorsi. Sedangkan di buku keduanya ini covernya tampak lebih menarik dan eye catching, dan halaman dalamnya menggunakan kertas HVS putih sehingga ilustrasinya terlihat lebih sempurna untuk dinikmati.

Sayangnya di halaman 438 ada yang salah dalam layoutnya. Ilsutrasi di sisi kiri halaman tersebut menutupi 16 baris kalimatnya sehingga sangat mengganggu kenikmatan membaca, padahal narasi di halaman tersebut sedang seru-serunya. Semoga kesalahan fatal seperti ini tak lagi terulang di buku-buku berikutnya

Seri Fantasi The Edge of Chronicles ini hingga kini telah dibuat hingga jilid yang ke sebelas. Dari kesebelas buku tersebut, Paul Steward dan Chris Riddel membaginya ke dalam 3 buah Saga yaitu The Quint Saga, The Twig Saga, The Roog Saga, Stromchaser merupakan bagian dari Twig Saga yang terdiri dari 3 judul (Beyond the Deepwoods, Stromcahser, dan Midnight over Sancaptrax)

Tentunya akan sangat menarik jika seluruh judul dari The Edge of Chronicle ini dapat diterjemahkan. Semoga penerbit Matahati memiliki nafas yang panjang dan komitmen untuk menerbitkan seluruh buku dari serial ini. Ada banyak kisah fantasi yang diterjemahkan di Indonesia, namun tak banyak yang menerbitkan novel fantasi berilustrasi indah seperti seri ini. Dengan promosi yang baik serta penerbitan terjemahan yang teratur antara satu judul ke judul berikutnya, saya percaya seri ini akan menjadi seri fantasi yang populer di Indonesia.

@h_tanzil

Read more »

Jumat, 06 Februari 2009

Old Surehand 1 : Oase di Llano Estecado

Judul : Old Surehand 1 - Oase di Llano Estecado
Penulis : Karl May
Penerjemah :
Primadiana Hermila Wijayanti (koord)
Ani Inataliza
Diah Puspita W
Eli Puji Setyowati
Lilis Afifah
Nasirotussa'dyah
Widyana Ika Rosidah
Penyunting :
Andrea K. Iskandar
Pandu Ganesa
Penerbit : Pustaka Primatama & PKMI
Cetakan : I, Nov 2008
Tebal : x + 534 hlm

Old Shatterhand dan Winnetou adalah superhero di dunia wild west Amerika di abad ke 19. Walau telah berusia ratusan tahun sejak pertama kali muncul, tokoh fiksi ciptakan maestro kisah petualangan Karl May ini tampaknya tetap akan abadi dan terus hidup di hati para penggemarnya dari generasi ke generasi. Buku-bukunya dengan beragam versi terus dicetak dalam berbagai bahasa dunia. Demikian juga di Indonesia, kisah Old Shatterhand / Kara Ben Nemsi & Winneotu yang pernah populer dan menjadi bacaan para pejuang kemerdekaan kita (Hatta, Hario Kecik, Syahrir ) kini secara kontinyu diterbitkan ulang oleh Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI) dan Pustaka Primatama (Puspri).

Kali ini setelah menerbitkan seri Winneotu (Win I-IV, Anak Pemburu Beruang, Hantu di Llano Estecado) dan seri Kara Ben Nemsi (I-III), PKMI kini menerbitkan sebuah lagi serial Winnetou yang berjudul Old Surehand 1 : Oase di Llano Estacado.

Dalam petualangannya kali ini, Old Shatterhand dikisahkan mendapat pesan tertulis dari Winnetou yang sedang dalam perjalanan untuk menyelamatkan seorang westman, ‘Blody Fox’ yang hendak diserang oleh suku Indian Comanche. Selagi hendak menyusul Winnteou ia bertemu dengan Fred Cutter alias Old Wable, koboi tua yang juga dikenal dengan “King of Cowboys”. Dari penuturan Old Wable diketahui bahwa Old Surehand, seorang westman yang terkenal karena kemahirannya dalam menembak sasaran. telah tertangkap oleh sekelompok Indian Comanche. Akhirnya Old Shatterhand, Old Wabble dan beberapa temannya menyusun strategi untuk menyelamatkan Old Surehand.

Setelah Old Surehand berhasil diselamatkan, mereka bersama-sama menyusul Winnetou menuju tempat persembunyian Blody Fox di sebuah oase di Llano Estacado. Bukan perjalanan yang mudah karena mereka harus menaklukkan ganasnya gurun pasir Llano Estacado yang karena selain luas dan sulitnya memperoleh air, Llano Estacado juga dikuasai oleh para penyamun yang sering menyesatkan orang-orang yang lewat dengan mengubah tonggak2 penunjuk arah. Para penyamun yang dikenal dengan istilah ‘Stakeman’ itu kerap menjarah harta benda sang korban dan tak segan membunuh korbannya atau meninggalkan korbannya hingga mati kehausan.

Dari berbagai penyelidikan yang dilakukan Old Shatterhand, diketahui bahwa selain hendak menyerang Bloddy Fox, orang-orang Coamnche juga berencana menyerang sekelompok pasukan kaveleri dengan cara membuat mereka tersesat di padang tandus Llano Estecado lalu mengepungnya ketika pasukan tersebut sedang tersesat dan kehausan.

Begitu mengetahui rencana tersebut, Old Shattehand menyusun strategi jitu. Tanpa disadari oleh orang-orang Comanche, Old Shatterhand dan kawan-kawannya berusaha memutarbalikkan keadaan, mereka berencana membuat orang-orang Comanche itulah yang akan masuk perangkap dengan membawa mereka memasuki padang kaktus yang luas. Dan disitulah Old Shatterhand dan kawan-kawannya berserta pasukan Apache pimpinan Winneotu akan berhadapan langsung dengan suku Comanche.

Seperti biasa Karl May meramu kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou dengan sangat menarik. Namun jangan menduga buku ini akan dipenuhi adegan-adegan pertempuran layaknya kisah dalam film-film koboy Hollywood. Old Shatterhand & Winnetou yang cinta damai selalu lebih mengutamakan perundingan dengan musuh-musuhnya dibanding harus angkat senjata dan menimbulkan banyak korban yang tidak perlu. Jadi yang menarik dalam buku ini bukanlah serunya pertempuran berdarah-darah antara kulit putih dan suku Indian melainkan bagaimana pembaca diajak memahami berbagai strategi cerdas Old Shatterhand & Winnetou dalam mengalahkan musuh tanpa perlu mengeluarkan satu pelurupun.

Selain menyuguhkan kisah petualangan yang menarik buku ini juga menyelipkan dialog-dialog bertema kemanusiaan dan spiritual sehingga bisa dikatakan buku ini merupakan kisah petualangan dengan nilai moral dan religiuitas yang tinggi. Bertemunya Old shatterhand dengan Old Wabble yang ceroboh, atheis, dan rasis dalam sebuah misi yang sama tentunya membuat perjalanan mereka sarat dengan konflik. Karl May tampaknya sengaja menyandingkan Old Shatterhand dengan Old Wabble agar ia bisa menghadirkan sebuah dialog yang bertema kemusiaan, rasialisme dan religi.

Misalnya ketika Old Wable yang atheis menantang Shatterhand untuk membuktikan keberadaan Tuhan, maka Shatterhand berujar,

“Sebagaimana yang tertulis di Alkitab, sulit bagi Anda untuk tetap berpegang teguh kepada keyakinan Anda. Saya yakin pada suatu saat Tuhan akan menunjukkan sebuah bukti nyata kepada Anda. Bukti itu lebih kuat daripada keyakinan Anda sehingga membuat Anda putus asa. Satu-satunya yang dapat menolong Anda adalah doa. Semoga Tuhan memberkati dan mengasihi Anda, meskipun Anda tidak percaya dan berdoa kepada-Nya.” (hal 319)

Tampaknya usaha Karl May untuk menyelipkan dialog-dialog religi dan kemanusiaan bukan hanya sekedar tempelan belaka, hal ini terbukti untuk episode dialognya dengan Old Wable dalam masalah keTuhanan saja dibutuhkan 14 halaman penuh!

Dalam buku ini Karl May juga menyinggung masalah rasialisme. Di masa itu kedudukan orang kulit hitam menempati strata terbawah, lebih rendah dari orang-orang berkulit merah (Indian). Dikisahkan Bob, seorang negro yang merupakan sahabat Blody Fox tertangkap oleh suku Comanche. Tanpa pandang bulu Shatterhand berniat membebaskan Bob, suatu hal yang dianggap aneh dan ditentang oleh Old Wable. Dengan nada penuh ejekan Old Wable mengatakan bahwa :

“Seorang nigger adalah mahluk rendah sehinga tidak ada gunanya membicarakan mereka.” “ Orang kulit berwarna sama sekali bukan manusia sejati, kalau tidak Tuhan akan menciptakannya sebagai kulitputih!” (hal 190)

Dan, apa kata Old Shatterhand untuk menyangkal pandangan Old Wabble ?

“Sebaliknya dengan hak yang sama besarnya, seorang negro dapat juga mengatakan demikian: orang kulit putih sama sekali bukan manusia sejati, kalau tidak Tuhan akan menciptakannya sebagai kulit hitam. Saya pernah berkeliling dunia dan bertemu dengan orang-orang kulit hitam, coklat, merah, dan kuning. Setidaknya mereka sama baiknya seperti orang kulit putih” (hal 190)

“Semua manusia adalah ciptaan dan anak-anak Tuhan dan jika Anda menganggap bahwa Ia telah menciptakan Anda dari zat-zat yan paling bagus dan Anda adalah mahluk kesayangannya maka pemikiran Anda itu keliru dan sama sekali tidak dapat diterima.” (hal 191)

Masih banyak hal menarik yang akan kita temui dalam buku ini. Tokoh Old Surehand dengan masa lalu yang misterius membuat pembaca penasaran akan siapa sebenarnya Old Surehand ini. Dengan mahir Karl May membuka sedikit demi sedikit identitas Old Surehand. Kemunculan Apanatskha seorang Indian Comanche yang memiliki fisik yang mirip dengan Old Surehand, dan pertemuan Old Shatterhand dengan ibu Apatskha yang memberinya beberapa petunjuk terselubung membuat pembaca bertanya-tanya apakah mereka mungkin bersaudara ?

Di penghujung kisah Old Surehand 1 ini Karl May masih menyisakan kejutan bagi pembacanya, senapan lagendaris (Senapan Henry, senapan pemburu beruang, dan senapan perak) milik Shaterhand dan Winnetou ini hilang entah kemana. Bagaimana mungkin? Apakah Shaterhand dan Winnetou akan berhasil mendapatkan senapannya kembali?

Ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab ketika kisah Old Surehand 1 harus berakhir, namun jangan khawatir karena kisahnya masih berlanjut di buku keduanya yang berjudul Old Surehand II : Di Jeferson City, dan Old Surehand III : Di Gunung Setan yang kedua-duanya masih dalam proses terjemahan. (OS II sudah selesai diterjemahkan, tinggal finishing, OS III sudah diterjemahkan sebagian).

Tentunya akan sangat menarik kalau kita bisa menuntaskan membaca trilogi Old Surehand ini dalam waktu yang tidak terlalu lama semenjak diterbitkannya buku ini. Kisah perualangan yang bercampur dengan tema kemanusiaan dan religi ini membuat seri ini banyak mendapat pujian dan bahkan bisa dikatakan merupakan salah satu masterpiece dari Karl May. Memang sosok tokoh-tokoh baik (Shatterhand, Winnetou, Old Surehand) dalam karya ini bisa dikatakan sangat ideal, sulit rasanya menemukan sosok seideal dan sebaik mereka dalam dunia nyata. Namun disinilah kelebihannya, bukankah di tengah dunia yang serba abu-abu ini kita masih memerlukan patron ideal seperti Old Shatterhand dan Winnetou ?

Saya telah berbicara. Howgh!

Sejarah Penerbitan

Old Surehand I ditulis oleh Karl May setahun setelah diterbitkannya Winneotu I (1893). Seperti sebagaian besar karya-karya Karl May, Old Surehand I ditulis dalam bentuk cerita bersambung di media sejak September 1894, dan langsung dijadikan buku begitu serialnya berakhir. Tanpa direncanakan sebelumnya akhirnya kisahnya terus menyambung hingga menjadi 3 seri.

Old Surehand sendiri sebenarnya merupakan kisah sambungan dari Hantu Llano Estecado (1890) walau dalam jilid pertamanya ini Karl May lebih banyak berbicara tentang tokoh lain seperti Old Wabble yang ditafsirkan orang sebagai representasi masa lalu si pengarang yang gelap. Untuk pertama kalinya juga Karl May menyampaikan pandangan-pandangan tentang religiutas yang kentara. Hal ini tak ditemui dalam karya-karya Karl May yang lain
Old Surehand I pernah diterbitkan oleh penerbit Pradnya Paramita pada tahun 60-an dengan judul Llano Etecado.

Saat itu penerbit menerjemahkan buku ini dari versi Belanda yang merupakan versi ringkasan dari buku aslinya yang dilakukan oleh Editor Belanda. Mungkin karena versi ringkasannya itu ditujukan untuk pembaca remaja maka buku ini mengalami banyak penyunatan sehingga misi penulisnya tentang persahabatan, kemanusiaan, dan keTuhanan tak tersampaikan dan hanya menyisakan kisah petualangannya saja. Kini, hampir 40 tahun kemudian buku ini diterbitkan kembali langsung dari versi aslinya yang berbahasa Jerman. Karenanya orisinalitas dan esensi kepenulisan Karl May seperti yang telah disinggung diatas tetap terjaga.

Berbeda dengan penerbitan-penerbitan terdahulu, kali ini buku Old Surehand 1 dicetak berdasarkan sistem Print on Demand (PoD) yang dapat dipesan di situs www.tokowinneotu.com karenanya jangan heran jika buku ini tak terdapat di toko-toko buku. Bagi yang berminat tinggal melakukan pembelian secara onlen dan penerbit akan mencetak dan mengirimkannya langsung ke rumah-rumah pembelinya.

Sistem ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Bagi mereka yang tidak memiliki akses internet tentu saja akan mengalami kesulitan untuk mengetahui dan memperoleh buku ini. Karenanya diperlukan usaha keras bagi penerbit dan para pegiat komunitas PKMI untuk menginformasikan kehadiran buku ini pada masyarakat luas agar misi perdamaian, kemanusiaan, dan religiutas yang tersirat dalam buku ini bisa tersampaikan ke seluruh lapisan masyarakat Indoensia.

@h_tanzil
Read more »

Minggu, 01 Februari 2009

Spring-Heeled Jack (Jack si Pelompat)

Spring-Heeled Jack (Jack si Pelompat)
Philip Pullman
Yashinta Melati F (Terj.)
GPU – September 2008
128 Hal.

Satu lagi buku Philip Pullman yang lebih ditujukan untuk anak-anak. Tapiii… Karena, gue suka buku-bukunya Philip Pullman, buku yang tipis ini segera masuk jadi daftar bacaan… Dan… selesai hanya dalam waktu singkat.

Ceritanya sih sederhana aja. Ada tiga orang kakak-beradik – Rose, Lily dan Ned Summers. Mereka terpaksa tinggal di Panti Asuhan Alderman Cawn-Plaster Memorial, di kota London, sejak ayah mereka pergi ke Australia dan ibu mereka meninggal dunia. Di panti asuhan itu, mereka dijaga oleh dua orang pengurus yang jahat, bernama Mr. Killjoy dan Miss Gasket. Mungkin buat menggambarkan situasinya nih, bayangkan film atau sinetron a la Ratapan Anak Tiri. Hehehe… Orang-orang jahat dan anak-anak baik hati yang terlantar, tak terurus.

Untungnya, Rose, Lily dan Ned bukanlah anak yang penakut. Mereka memebuat rencana agar bisa kabur dari tempat mengerikan dan menyebalkan itu. Rencana untuk segera kabur dan menumpang kapal menuju Amerika sudah matang. Malam yang direncanakan pun tiba.

Tapi… mana ada rencana yang mulus di awal cerita.. karena kalau mereka berhasil kabur… cerita pun selesai… dan mereka pun hidup bahagia selamanya. Gak.. gak begitu .. masih panjang dan penuh liku-liku. Terpisah satu sama lain, tertangkap Mack si Pelempar Pisau yang jahat banget.

Ada orang-orang yang masih berbaik hati membantu mereka, seperti pasangan kekasih Jim, kelasi dan Polly, pelayan hotel Saveloy. Tapi, tetap saja, kepolosan mereka, malah membuat ketiga bersaudara itu kembali jatuh ke tangan Mr. Killjoy dan Miss Gasket yang licik. Tapiii… si pahlawan penyelamat dan pembela kebenaran pun muncul, dialah Jack si Pelompat. Yang mendengar nama saja sudah bikin merinding…

Dengan kostum merah menyala lengkap dengan tanduk, Jack si Pelompat malah lebih mirip ‘setan’ atau tokoh jahat. Tapi, emang bikin takut dan membuat orang harus berpikir dua kali untuk menghadapinya kalo gak mau mengalami nasib sial. Namanya juga Jack si Pelompat. Aksinya bukan dengan terbang di udara, atau merayap di dinding, atau pake alat-alat canggih seperti Batman, tapi hanya dengan melompat dari atap rumah yang satu kea tap yang lain dengan saaanggaatttt tinggi.

Ceritanya sih simple banget, alur yang mudah ditebak. Yang pasti bisa bikin kita mikir, “Pasti si anu ada hubungannya sama si anu.” Hehehe.. lagi-lagi sinetron style kan?? Tapi, ya itulah, cerita anak-anak gak mungkin dibuat ribet. Yang bikin menarik adalah ilustrasinya, yang bukan hanya sekedar penghias cerita, tapi, tetap menjadi bagian cerita yang gak mungkin dilewatkan.

Kapan ya, seri Sally Lockhart akan ada terjemahannya?
Read more »

The Thirteenth Tale(Dongeng Ketiga Belas)

The Thirteenth Tale(Dongeng Ketiga Belas)
Dianne Setterfield
Chandra Novwidya Murtiana (Terj.)
GPU – November 2008
608 Hal.

Vida Winter, penulis perempuan yang novelnya selalu jadi best-seller. Novelnya selalu terkesan misterius, semisterius jati diri Vida Winter yang sebenarnya. Di setiap wawancara, kisah hidupnya selalu berubah-ubah. Sesukanya, akan seperti apa kisah dirinya ketika sedang diwawancara. Sampai suatu hari, pertanyaan – atau lebih tepat permintaan seorang wartawan mengusik hatinya. Sebuah permintaan yang sederhana: “Ceritakan padaku yang sesunggunya.” Kalimat yang menyentil Vida Winter untuk mengisahkan masa lalunya sebelum ajalnya tiba.

Margaret Lea, seorang penulis biografi muda, dipilih untuk mewujudkan keinginan Vida Winter. Margaret menerima surat yang misterius dari Vida Winter. Buku-buku Vida Winter bukanlah kategori buku-buku yang jadi favoritnya. Ayah Margaret mempunyai toko buku yang khusus menjual buku-buku langka. Itulah yang kerap jadi bacaan Margaret. Tapi, agar lebih mendapat gambaran sosok Vida Winter, Margaret membaca sebuah bukunya yang secara kebetulan ada di toko itu – buku yang paling fenomenal yang berjudul Tiga Belas Dongeng.

Dengan rasa penasaran dan berbagai pertanyaan di otaknya, Margaret pun berangkat menuju kediaman Vida Winter. Vida Winter, di masa tuanya, menyimpan banyak rahasia. Tapi, dengan berbagai aturan, rasa penasaran Margaret tidak dapat dituntaskan. Cerita harus mengalir, tanpa pertanyaan, tidak boleh melompat langsung ke bagian akhir.

Margaret pun dibawa ke masa lalu Vida Winter, ke masa kecilnya di rumah keluarga Angefield. Keluarga aneh dan cenderung menyimpan kegilaan. Charlie, si kakak laki-laki yang menyimpan cinta pada adiknya, Isabel. Lalu, Isabel yang menyia-nyiakan si kembar, anaknya. Sosok si kembar Adeline dan Emmeline yang terlantar, tapi tak terpisahkan. Lalu, tokoh pendukung, seperti tukang kebun, John-the-Dig, pengurus rumah tangga, Missus dan Hester, guru yang punya misi tersendiri.

Seperti biasa, sebenernya gue rada gak suka dengan buku ber-cover kelam, hitam seperti ini. Tapi, cerita yang rada misterius jadi ‘teredam’ dengan adanya gambar anak kembar yang lagi main-main, terus gambar nenek berpayung di cover buku. (Mirip bukunya John Connoly - The Book of Lost Things, ya?)

Buku ini kesannya sepi banget, tokohnya yang memang sedikit, lalu percakapan yang sering hanya satu arah. Lambat, tapi menarik banget. Ending cerita rada gak terduga. Misteri di cerita ini banyak banget, tapi ‘mengikuti’ aturan Vida Winter, cerita yang pelan malah jadi menarik dan masa lalunya pun pelan-pelan terungkap. Jangan langsung ke bagian akhir, karena bakal banyak banget bagian menari yang terlewatnya. Tapi, ya, memang harus sabar…
Read more »