Minggu, 29 Maret 2009

The Road

Judul : The Road
Penulis : Cormac McCarthy
Penerjemah : Sonya Sondakh
Penyunting : Sapardi Djoko Darmono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Januari 2009
Tebal : 260 hlm ; 20 cm

Bumi dilanda bencana yang maha dahsyat. Iklim berubah secara drastis, abu dari hutan-hutan yang terbakar menghalangi teriknya matahari. Udara menjadi dingin dan lembab, salju pun turun bercampur debu, hewan mati, tanaman tak tumbuh, bumi menjadi sepi dan hanya segelintir orang yang bertahan. Mereka hidup di dunia yang sepi, mencari makan dengan jalan menjarah rumah-rumah yang ditinggal mati pemiliknya. Dan ketika makanan habis, harus tetap ada yang harus dimakan. Mereka harus bertahan. Kelaparan dan naluri untuk tetap hidup membuat manusia melupakan sisi kemanusiaan dan menghancurkan peradaban agung yang telah terbentuk ribuan tahun. Memaksa manusia memangsa sesamanya.

Seorang ayah dan anak lelakinya yang masih kecil terseok-seok melakukan perjalanan panjang, melintasi Amerika yang telah hangus terbakar. Dengan perbekalan seadanya yang ditaruh diatas kereta belanja, mereka melakukan perjalanan panjang ke arah selatan menuju pantai, daerah yang bersuhu lebih hangat daripada di tempat-tempat lain yang telah menjadi dingin dan lembab. Bukan perjalanan yang mudah, karena selain harus berjuang untuk memperoleh makanan, tempat yang layak untuk tidur, mereka juga harus waspada terhadap kehadiran orang-orang asing yang mengincar perbekalan mereka, dan yang lebih mengerikan mereka harus menghadapi beberapa orang telah menjadi kanibal.

Dalam novel ini, pembaca diajak menyelami perjuangan ayah dan anak dalam bertahan hidup di dunia paska tragedi dahsyat. Uniknya dari awal hingga akhir, penulis sama sekali tak menjelaskan peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi sehingga bumi menjadi hancur. Cormac hanya mendeskrpisikannya dengan hutan-hutan yang terbakar, udara yang penuh debu, mayat-mayat kering, rumah kosong, aspal meleleh karena panas, dll. Pembaca diminta untuk menafsirkan sendiri apakah ini bencana alam atau bencana karena perang. Tampaknya Cormac lebih menekankan kisah perjalanan ayah dan anak lelaki kecilnya yang mencoba bertahan hidup.

Berbagai peristiwa menyesakkan dialami oleh mereka. Dengan hanya bersenjatakan sepucuk pistol dengan dua butir peluru mereka mencoba bertahan dari kehadiran orang-orang yang hendak merampok perbekalan dan mungkin akan memakan mereka. Udara yang buruk membuat mereka terserang demam dan diare. Mereka harus bertahan dalam dingin dan rasa lapar yang menghantui mereka. Rumah demi rumah mereka masuki untuk mencari makanan, namun seringnya rumah itu telah habis dijarah oleh orang-orang lain yang masih hidup.

Mayat-mayat kering bergelimpangan, mereka juga menemukan beberapa tengkorak kepala terjejer membuktikan bahwa bagian-bagian tubuh mereka telah habis dimakan. Mereka juga menghadapi dilema apakah harus menolong seseorang yang kelaparan seperti mereka atau tak mempedulikannya. Semua peristiwa itu membuat novel ini menjadi sangat kelam. Untunglah Cormac menyelipkan berbagai peristiwa melegakan seperti ketika mereka menemukan sebuah ruang bawah tanah yang luput dari penjarahan. Selama beberapa hari mereka tinggal dengan nyaman di tempat tersebut. Peristiwa inilah yang akan membuat pembaca novel ini lega sejenak sebelum kembali diperhadapkan dengan peristiwa-peristiwa kelam lainnya.

Cormac Mc Carthy, novelis terkenal Amerika yang sebelumnya mungkin dikenal dengan novelnya yang berjudul No Country Old Man (2005) meramu novel The Road (2006) ini dengan sangat menarik. Pembaca tak diberi kesempatan sedikitpun untuk keluar dari inti cerita. Novel ini tak memberikan kisah-kisah lain diluar perjalanan si lelaki dan anaknya. Cormac hanya memberi secuil keterangan tentang masa lalu mereka. Kedua tokoh itupun tak diberinya nama. Dialog-dialog antara lelaki dan anaknya hanya sedikit dan pendek-pendek saja, itupun hanya berputar masalah ketakutan yang mereka hadapi, kelaparan, nasehat-nasehat untuk bertahan hidup, dan ungkapan cinta ayah kepada anaknya. Kehadiran tokoh-tokoh lain hanya selewat-selewat saja sehingga dengan demikian pembaca digiring oleh Cormac untuk hanya terpusat pada kisah perjalanan dan tujuan akhir perjalanan lelaki dan anaknya tersebut.

Cormac juga tak memberi kesempatan pembacanya untuk jeda sejenak, seluruh kisahnya mengalir dari halaman pertama hingga akhir tanpa ada pembagian bab. Ditulis dalam kalimat yang pendek-pendek, lugas namun tak mempedulikan aturan penulisan bahasa. Dialog-dialognya dibiarkan polos tanpa tanda baca. Untungnya dialog-dialog tersebut tersusun dalam baris-baris berurut ke bawah sehingga agak memudahkan untuk memahami mana kalimat dialiog, mana yang bukan. Awalnya pembaca mungkin akan sedikit kesulitan memahaminya, namun lambat laun akan terbiasa juga dengan gaya menulis Cormac ini. Mungkin gaya penulisan yang tidak biasa inilah yang membuat penerbit merasa perlu melibatkan sastrawan senior Sapardi Djoko Darmono untuk menyunting novel ini.




The Road, Vitage books publisher







Kisahnya yang menarik, terjemahan yang baik dan penyuntingan yang prima membuat novel ini menurut hemat saya memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Walau saya merasa tertekan dengan begitu kelabunya kisah ini, lembar demi lembar saya nikmati dengan antusias dan tak sabar ingin mengetahui ada peristiwa apa di lembar berikutnya. Semangat bertahan hidup di tengah kondisi yang ekstrim dan ikatan cinta antara ayah dan anaknya yang dideskripsikan dalam novel ini juga menjadi sebuah pembelajaran tentang pentingnya cinta dan harapan dalam mengarungi kehidupan yang sulit ini. Tak heran jika novel ini berhasil meraih penghargaan Putlitzer untuk kategori fiksi pada 2007 yang lalu.

Sama seperti karya lain Cormac, No Country Old Man yang pernah difilmkan dan memenangkan 4 piala Oscar 2007 termasuk sebagai Best Picture 2007, The Road juga kini sedang didadaptasi menjadi sebuah film oleh John Hillocat pada dengan dibintangi oleh Viggo Mortensen,Robert Duvall,Charlize Theron,Guy Pearce dan Kodi Smith McPhee. Fim ini rencananya akan dirilis pada kawartal terakhir 2009 ini. Akankah film yang diadaptasi dari novel Cormac ini akan sesukses adaptasi No Country Old Man. Kita lihat saja nanti.

@ h_tanzil
Read more »

Senin, 23 Maret 2009

Inkheart

Judul : Inkheart
Judul Asli : Tintenherz
Penulis : Cornelia Funke
Penerjemah : Dinyah Lacutonsina
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Januari 2009
Tebal : 536 hlm

Bagi kita para kutu buku, membaca kisah fiksi adalah sebuah pengalaman yang sangat mengasyikan, apalagi jika buku tersebut ditulis dengan begitu hidup sehingga seolah kita masuk dalam kisahnya dan bertemu langsung dengan tokoh-tokohnya. Namun pernahkah kita membayangkan ketika kita sedang asyik-asyiknya membaca tiba-tiba tokoh-tokoh dalam buku yang kita baca muncul dari buku dan berada di depan kita?

Cornelia Funke, penulis kisah-kisah remaja asal Jerman tampaknya memiliki imajinasi seperti itu. Ia kembangkan imajinasinya itu ke dalam sebuah tulisan fiktif, karena kisahnya berawal dari sebuah buku yang sedang dibaca, maka ia ciptakan karakter tokoh-tokohnya yang begitu mencintai buku lengkap dengan deskripsi perilaku seorang kutu buku sejati, ia ciptakan juga tokoh antagonis untuk menghidupkan sebuah kisah yang seru, maka jadilah sebuah kisah fantasi menarik berlatar dunia buku lalu diberinya judul ‘Tintenhertz’ (Inkheart).

Inkheart adalah judul sebuah buku misterius yang disimpan dengan sangat hati-hati oleh Montmiger (Mo) , seorang kutu buku dan restorator buku yang sehari-hari bekerja mereparasi, dan menjilid ulang buku-buku tua yang rusak. Begitu hati-hatinya ia menyimpan buku tersebut hingga anaknya sendiri, Meggie tak tahu menahu akan keberadaan buku tersebut.

Ternyata Mo, memiliki alasan sendiri untuk menyimpan dan menyembunyikan buku Inkheart dari siapapun termasuk anaknya sendiri. Sembilan tahun yang lalu, saat Meggie masih berusia tiga tahun, ketika Mo membacakan buku Inkheart dengan suara keras tiba-tiba saja tanpa disadarinya terjadilah sebuah peristiwa ajaib. Tiga tokoh dalam Inkheart yang bernama Capricorn, Basta, dan Staubfinger tiba-tiba muncul dihadapannya . Malangnya hal itu diikuti dengan hilangnya Teressa, istri Mo yang masuk dalam buku tersebut.

Usaha Mo untuk mengeluarkan kembali Teressa dari buku tersebut sia-sia. Dan semenjak itulah ia menyembunyikan buku tersebut, sambil berharap bisa mengembalikan istrinya ke dunia nyata. Menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan untuk mengeluarkan tokoh-tokoh, dan benda-benda dari buku yang sedang dibacanya dengan suara keras, semenjak itu pula Mo tidak pernah membacakan dongeng untuk Meggie karena khawatir kejadian ajaib itu akan terulang kembali.

Sembilan tahun telah berlalu, lalu bagaimana dengan nasib ketiga tokoh yang keluar dari buku Inkheart? Tampaknya Capricorn yang merupakan tokoh jahat dalam Inkheart sangat kerasan tinggal di bumi. Sama seperti dalam bukunya, ia menyebar kejahatan dan terror di wilayah yang dikuasainya. Capricorn juga selalu berusaha mencari buku Inkheart dan Mo. Ia ingin agar Mo memunculkan lebih banyak lagi dari tokoh jahat dari Inkheart. Termasuk Sang Bayangan, monster menakutkan yang dapat membunuh semua musuh Capricorn.

Dalam suatu usahanya untuk menyembunyikan Inkheart dan dirinya dari incaran Capricorn, Mo dan Maggie terpaksa harus hidup berpindah-pindah rumah hingga akhirnya Mo memilih untuk bersembunyi da menyembunyikan buku Inkheart di rumah Ellanor, seorang wanita penggila buku yang rumahnya bagaikan perpustakaan karena dipenuhi oleh ratusan ribu buku. Namun karena penghianatan Staubfinger, salah satu tokoh Inkheart yang dimunculkan oleh Mo, akhirnya Mo, Meggie, Ellanor beserta buku Inkheart jatuh ke tangan Capricorn. Keadaan bertambah runyam ketika akhirnya diketahui bahwa Meggie ternyata memiliki kemampuan yang sama seperti ayahnya yang bisa mengeluarkan tokoh-tokoh dari buku yang dibacanya.

Bagi saya yang tidak terlalu menyukai kisah-kisah fantasi, buku ini menjadi menarik karena tokoh-tokoh dalam buku ini begitu mencintai buku. Semua perilaku kutu buku terungkap dengan jelas dalam buku ini. Melalui buku ini kita akan melihat bagaimana ketekunan Mo dalam merestorasi buku-buku tua hingga masih layak disimpan puluhan tahun kemudian. Atau bagaimana Meggie menyimpan buku-buku kesayangannya dalam sebuah kotak khusus yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi. Kita juga akan terperangah melihat deskripsi rumah Ellinor yang bagaikan perpustakaan, dan bagaimana dia begitu menyayangi dan memperlakukan seluruh koleksi buku-bukunya bagaikan anaknya sendiri. Elllinor juga rela bergelap-gelap untuk menghemat biaya listrik agar uangnya bisa disisihkan untuk membeli buku.

Pokoknya semua hal tentang perilaku dan pemikiran tokoh-tokohnya yang pecinta buku akan muncul mewarnai kisah petualangan yang ajaib ini. Yang pasti kisah ini memberikan pembacanya pelajaran bagaimana seharusnya mencintai buku dan bagaimana sebuah buku dapat begitu berpengaruh dalam kehidupan pembacanya.

Dari plot ceritanya sendiri saya agak kecewa karena Cornelia Funke tampaknya kurang memberikan adegan-adegan dramatis dalam beberapa peristiwa. Bertemunya Mo dangan istrinya setelah sekian tahun menghilang tak terceritakan secara dramatis. Peristiwa kemunculan Monster Bayangan dan Capricorn yang digambarkan dengan begitu menakutkan dan keji ternyata tak diikuti dengan adegan akhir yang menuju klimaks sehingga ending kisahnya terasa begitu cepat dan tak sesuai dengan harapan saya bahwa akan ada pertempuran pamungkas yang menegangkan dan seru.

Inkheart adalah novel pertama dari sebuah Trilogi Inkworld. Kelanjutan kisah Mo dan Meggie akan berlanjut di buku Inkspell dan Inkdeath yang edisi jermannya telah terbit pada tahun 2005 dan 2007 yang lalu. Semoga Gramedia dapat segera menerjemahkannya dan saya berharap di buku-buku selanjutnya deskripsi mengenai buku dan perilaku kutu buku dari para tokoh-tokohnya masih akan terkesplorasi dengan baik.

Novel ini sendiri telah dibuat filmnya dengan dibintangi oleh Brendan Fisher selaku Mo dan telah diputar di bioskop-bioskop Amerika dan Kanada pada Januari 2009 yang lalu. Entah kapan film ini akan beredar di bioskop-bioskop Indonesia. Saya tak berharap banyak bahwa filmnya akan sebagus novelnya seperti umumnya film-film yang diadaptasi dari sebuah buku. Namun saya penasaran ingin melihat setting rumah Ellinor yang dalam bukunya dideskripsikan sebagai rumah yang dipenuhi oleh rak-rak buku.



@h_tanzil
Read more »

Kamis, 19 Maret 2009

Cinta Andromeda

Cinta Andromeda
Tria Barmawi @ 2007
GPU – Januari 2007
336 Hal.

Indonesia tahun 2070? Wow… seperti apa ya? Yang ada dibayangan gue adalah kota Jakarta – tentunya – yang sibuk banget, kendaraan yang bersliweran, gak hanya di darat dalam hal ini mobil biasa, tapi juga mobil yang bisa terbang. Monorail, terus, apalagi ya… gue jadi inget film-nya Will Smith yang I Robot.

Jadi, dalam ‘rekaan’ Tria Barmawi, Indonesia di tahun 2070, penuh dengan berbagai kecanggihan, seperti smartphone, mobil yang bisa dioperasikan secara manual ataupun dengan mesin, dan yang paling keren adalah para robot yang semakin lama semakin mirip dengan manusia. Robot gak hanya untuk membantu pekerjaan rumah tangga, tapi juga sedang diusahakan menciptakan robot yang punya ‘perasaan’, bahkan bisa bereproduksi - yang dalam bahasa kerennya disebut Humanoid.

Vinidici sebuah perusahaan teknologi tengah mengembangkan Nunoid Project – sebuah proyek untuk menciptakan robot yang semakin menyerupai manusia dari segi fisik bahkan emosional. Terciptalah humanoid dengan nama Andromeda. Berjenis kelamin laki-laki, berwajah ganteng dan memiliki ‘sifat’ yang nyaris jadi dambaan setiap perempuan. Andromeda diprogram untuk bisa jatuh cinta, tapi program itu haruslah sealamiah mungkin. Vinidici berambisi menciptakan robot yang tercanggih yang pernah ada di abad itu.

Untuk mewujudkan ambisi itu, maka ditentukanlah target – seorang perempuan yang memiliki kriteria cowok impian yang mendekati sosok Andromeda. Pilihan itu jatuh kepada Salsabilla atau yang biasa dipanggil Salsa. Salsa, seorang konsultan keuangan, memimpikan seorang laki-laki yang gentle, dan bisa mengerti perasaan perempuan. Ketika Andromeda muncul dalam kehidupannya, semua jadi terasa sempurna. Keanehan Andromeda saat mereka bersama-sama jadi tertutup karena Salsa yang sedang jatuh cinta berat sama Andromeda.

Hanya Wina, sahabat Salsa, yang membaca keanehan Andromeda. Andro, yang tahu segalanya, data-data orang yang baru sekali ia lihat, bisa berbagai macam bahasa, kecanggihan dalam berhitung dan lain-lain, tak luput dari pengamatan Wina yang wartawan majalah mode itu. Instingnya sebagai wartawan berkata ada sesuatu yang ‘salah’ dalam diri Andromeda.

Tapi, hal itu ditampik Kika, sahabat Salsa dan Wina, yang bekerja sebagai programmer computer. Malahan Salsa berkata Wina cemburu karena Andromeda tak sedikit pun tertarik pada Wina yang biasanya selalu jadi pusat perhatian laki-laki.

Sifat ingin tahu Wina malah membuatnya celaka, sementara Vinidici malah semakin ambisi untuk membuat terobosan baru dalam diri Andromeda – yang artinya juga semakin membiarkan Salsa terjebak dalam situasi yang diciptakan orang lain untuk dirinya.

Tinggallah Kika, yang akhirnya harus memilih antara sahabatnya dan ambisinya dalam pekerjaannya.

Ide cerita yang menarik. Salsa kaya’nya emang target yang pas. Dia hidup tidak dalam keadaan yang serba canggih karena kondisi keuangan yang gak memungkinkan, berbeda dengan dua sahabatnya. Maka itu, Salsa jadi gak ngeh kalo ada yang aneh dengan Andromeda. Gue baru ngerti benang merahnya ketika di tengah-tengah ada ‘kejutan’ kecil. Tapi, yang rada gak asyik, adalah orang seambisius Harison - otak di balik Nunoid Project ini - gampang banget dibujuk sama tunangannya, padahal dia lagi di tengah-tengah 'perburuan' orang-orang yang menentangnya. Masa' sih segitu mudahnya?? Harusnya, dia lebih bisa 'bertahan' dong dengan segala rencana jahatnya di depan orang-orang yang ketakutan itu. (ups... otak 'psikopat' lagi kumat.) Terus, bagian Wina ngomel-ngomel di kantor orang gara-gara ada android seksi yang jadi resepsionis... agak berlebihan kaya'nya.

Gila ya, ambisi manusia emang gak ada abisnya. Udah tercapai target yang satu, malah mau bikin target baru… gak peduli harus gimana.
Read more »

Senin, 16 Maret 2009

Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi

Taj Mahal: Kisah Cinta Abadi (Beneath a Marble Sky: A Novel of the Taj Mahal)
John Shors @ 2004
Meithya Rose (Terj.)
Mizan – Cet. VII, Maret 2008
457 Hal.

Waktu baca buku ‘Mehrunissa’ dan ‘Nur Jahan’, gue tau, gimana ‘berdarah-darah’nya sejarah kesultanan Mughal di India. Gimana seorang ayah bisa demikian kejam sama anaknya, atau bahkan, anak yang rela melakukan apa pun demi mendapatkan kedudukan tertinggi sebagai Sultan Mughal, rela membunuh saudaranya sendiri untuk memuluskan jalan dengan berbagai intrik-intrik yang mengerikan.

Seperti yang diketahui, dari tiga anak Sultan Jahangir: Pangeran Khusrau, Pangeran Khuram dan Pangeran Parvis – hanya Pangeran Khuram-lah yang sejak awal dianggap berpotensi menggantikan kedudukan ayahnya.

Memang setelah berbagai pemberontakan, akhirnya, Pangeran Khuram pun naik tahta menggantikan ayahnya. Ia pun bergelar Shah Jahan. Beristrikan Arjumand, yang kemudian diberi gelar Mumtaz Mahal. Shah Jahan dan Mumtaz Mahal memiliki banyak anak – yang paling menonjol di buku ini adalah Pangeran Dara, Putri Jahanara dan Pangeran Aurangzeb. Anak-anak laki-laki yang lain tidaklah terlalu menonjol, sehingga jarang diberi tugas penting oleh ayah mereka, sementara anak-anak perempuan, lebih banyak diasuh oleh para dayang-dayang di dalam harem. Hanya Putri Jahanaralah yang mirip sekali dengan ibunya.

Dalam buku ini, Putri Jahanara membagi kisahnya kepada dua orang cucunya, Gulbadan dan Rurayya tentang sejarah keluarga yang penuh dengan rahasia dan sangat berbahaya. Di masa tuanya, Putri Jahanara harus hidup dalam penyamaran demi keselamatan dirinya dan keluarganya.

Jauh sebelum kedua cucu itu lahir, ketika Putri Jahanara masih hidup di balik Benteng Merah, ketika kakek mereka – Shah Jahan masih berkuasa dan Mumtaz Mahal masih hidup, persaingan terselubung antara Pangeran Dara dan Pangeran Aurangzeb sudah mulai terasa. Mungkin bukan Pangeran Dara yang menghendaki adanya persaingan, tapi sikap Pangeran Aurangzeb yang sangat ambisius menimbulkan percikan-percikan itu.

Pangeran Dara, lebih santun, pendiam dan lebih memilih membaca kitab-kitab sejarah, seni daripada mengasah keterampilan di medan perang. Berbeda dengan Pangeran Aurangzeb, yang dengan senang hati menunjukkan kekuasaannya di arena perang dan bangga dengan luka-luka yang ia dapat. Ia tak segan-segan membunuh dan selalu berdalih dengan mengambil ayat-ayat di kitab suci Al-Qu’ran demi membenarkan tindakannya.

Sementara Jahanara, ia adalah gadis yang cerdas, cerminan ibunya. Tapi, tetap saja, ia tak kuasa menolak ketika harus dinikahkan dengan saudagar kaya oleh ayahnya demi kepentingan kerajaan. Khondamir nama suaminya itu, adalah laki-laki yang kasar, tamak, sombong dan gemar main perempuan. Ia kerap menyalahkan Jahanara karena tak kunjung hamil dan memberinya seorang anak laki-laki.

Jahanara yang sejak kecil bermimpi agar bisa jatuh cinta seperti ayah dan ibunya harus menerima kenyataan. Tapi, Jahanara bukanlah perempuan yang mudah putus asa. Ia mencari jalan agar bisa berada sejauh mungkin dari Khondamir. Kesempatan itu datang setelah kematian ibunya karena melahirkan bayi yang hmmm… kesekian belas.

Jahanara berjanji pada Arjumand untuk selalu menjaga ayahnya. Sementara Shah Jahan yang sangat berduka karena wafatnya Arjumand, mengurung diri di dalam kamar, melupakan tanggung jawabnya sebagai sultan. Demi cintanya pada Arjumand, ia memerintahkan seorang perancang bangunan bernama Ustad Isa untuk membangun sebuah bangunan megah untuk tempat peristirahatan terakhir istrinya dan untuk mengenang cintanya pada Mumtaz Mahal. Bangunan yang harus mencerminkan kecantikan istrinya dan mencerminkan cinta kasihnya yang begitu besar.

Jahanara diperintahkan untuk mengawasi jalannya proyek itu dan mengharuskan Jahanara tinggal di dalam lingkungan Benteng Merah. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata Jahanara dan Isa pun jatuh cinta, tapi, statusnya sebagai seorang istri, menahan dirinya untuk berbuat lebih. Namun, tak disangka-sangka, ternyata Shah Jahan, merestui hubungan itu. Hubungan cinta itu pun berlangsung sembunyi-sembunyi. Jahanara yang ingin memiliki anak, mengatur bagaimana caranya agar Khondamir berpikir bahwa Jahanara mengandung anaknya dan bukan anak dari Isa.

Arjumand - nama anak Jahanara dan Isa - lahir di tengah-tengah perselisihan keluarga yang makin meruncing. Aurangzeb makin melebarkan pengaruhnya untuk melancarkan jalannya sebagai sultan. Ia membenci Dara, membenci para seniman, membenci kaum Hindu. Ketika ayahnya jatuh sakit, kesempatan baginya untuk mengambil alih kepemimpinan. Usaha untuk menghalangi Aurangzeb gagal. Puteri Jahanara ditahan bersama ayahnya, di sebuah menara di Benteng Merah dengan pemandangan yang mengarah ke Taj Mahal. Sedangkan, Pangeran Dara pun dihukum mati.

Kalau mau dibilang ini ‘pure’ tentang kisah cintanya Shah Jahan dan Mumtaz Mahal, rasanya gak juga ya. Malah lebih banyak cerita ‘cinta terlarang’nya Jahanara yang terlalu muluk dan penuh mimpi dan bahasa yang berbunga-bunga. Belum lagi, gimana mungkin, seorang ayah yang notabene seorang sultan – penguasa tertinggi kesultanan yang sangat dihormati – mendukung anaknya untuk perselingkuh. Padahal, taruhannya kan adalah harga diri dan kehormatan para anggota keluarga kesultanan itu sendiri. Kaya’nya di dalam buku ini, gak disebut-sebut adanya pernikahan antara Jahanara dan Isa… jadi sampai tua, mereka gak nikah dong??

Masih gak kebayang gimana seorang anak bisa begitu sadis sama keluarganya sendiri. Dengan enteng, memerintahkan hukuman mati untuk saudara kandungnya sendiri, memenjarakan ayahnya. Meskipun Aurangzeb gak berani untuk menghancurkan Taj Mahal. Bahkan ia membiarkan ayahnya dimakamkan di dalam Taj Mahal, berdampingan dengan Mumtaz Mahal. Karena kalau Aurangzeb – kemudian dikenal dengan nama Sultan Alamgir – memperlakukan ayahnya dengan semena-mena, hanya akan menyulut pemberontakan dari orang-orang yang masih mencintai dan setia pada ayahnya.

Gara-gara membaca buku ini, gue jadi berangan-angan – semoga suatu saat, gue bisa membuktikan sendiri keindahan Taj Mahal… Hmmm….


-> Koboooo... minta covernya ya.. ma kasih :)
Read more »

Tintin dan Alpha Art

Judul : Tintin dan Alpha Art
Penulis : Herge
Penerjemah : Anastasia W. Mustika & Donna Widjajanto
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Februari 2009
Tebal : 64 hlm ; 22 cm

Tintin dan Alpha Art (Tintin et l'alph-art) adalah buku terakhir dari seri Petualangan Tintin. Sayangnya kisah ini tak tuntas diselesaikan oleh komikusnya, Herge. Ketika komik ini masih dalam bentuk sketsa dan narasinya sendiri masih belum selesai, Herge keburu meninggal di tahun 1983 akibat penyakit yang dideritanya.

Pada tahun 1986 atas permintaan para penggemarnya, Fanny Remi (istri Hergé) bersama penerbit Casterman dan La Fondation Herge akhirnya menerbitkan Tintin et l'alph-art dalam bentuk apa adanya berupa sketsa dan narasi ala kadarnya. Persis sebagaimana yang Herge tinggalkan sebelum wafat. Hal ini sesuai dengan amanat Herge bahwa Tintin tak boleh diselesaikan tanpa dirinya. Kemudian dalam rangka memperingati ulang tahun ke-75 Tintin pada tahun 2004, menerbitkan ulang Tintin et l'alph-artdengan menambahkan beberapa material tambahan yang baru ditemukan di tahun-tahun belakangan.

Di Indonesia sendiri, baru kali ini Tintin dan Alpha Art diterjemahkan. Langkah Gramedia selaku pemegang hak cipta Tintin untuk menerbitkan ulang seluruh kisah petualangan Tintin termasuk cepat. Belum genap setahun sejak diterbitkannya Tintin di Soviet pada April 2004, Gramedia kini telah menuntaskan kerjanya dengan menerbitkan judul ke 24, Tintin dan Alpha Art. Dengan demikian lebih dari 20 tahun semenjak Tintin hadir di Indonesia baru kali inilah seluruh kisah petualangan Tintin dapat dinikmati secara lengkap.

Dalam kisah terakhirnya ini Tintin terlibat dalam petualangan yang melibatkan seni. Alpha Art sendiri adalah gerakan kreasi seni yang berdasarkan huruf-huruf alphabet. Dikisahkan karya-karya seniman Alpha Art, Ramosh Nash saat itu sedang dipamerkan di sebuah Galeri milik Henri Fourcart. Melalui telepon Tintin secara langsung diundang oleh Foucart untuk menemuinya di galerinya. Namun pertemuan itu tak pernah terjadi karena Foucart tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Naluri Tintin mengatakan bahwa ada yang tidak wajar dalam kematian Foucart. Ketika meninjau lokasi kejadian kecelakaan, tiba-tiba Tintin diserang oleh beberapa penjahat. Kejadian ini membuat Tintin semakin curiga dan memutuskan untuk mengungkap ada apa dibalik tewasnya Fourcart. Kelak akan terungkap bahwa pembunuhan ini terkait juga dengan pemalsuan karya-karya seni.

Seperti yang diungkap di paragraf awal tulisan ini, kisah Tintin ini memang tak tuntas dan masih berupa sketsa kasar. Demikian juga dengan edisi terjemahannya yang tampaknya dibuat berdasarkan edisi Casterman terbitan tahun 2004. Selain soal ukuran yang lebih kecil dibanding edisi aslinya, semua lay out dalam versi Gramedia ini sama persis dengan edisi Casterman 2004 dimana di satu sisi menampilkan script dialog dan narasi yang tersaji seperti pada naskah drama, sementara di sisi yang lain ditampilkan goresan asli dari halaman-halaman sketsa yang dibuat oleh Herge.

Kadang halaman sktesa asli itu tersaji dalam ukuran kecil yang ditempatkan secara dinamis, namun ada juga beberapa sketsa yang tampil satu halaman penuh. Beberapa sketsa yg ingin ditonjolkan tampak diperbesar dan disajikan secara artistik sehingga pembaca bisa melihat dengan jelas coretan-coretan Herge yang mungkin tak terlihat secara jelas di bagian halaman sketsa yang kecil.

Herge sendiri hanya sempat membuat 42 halaman sktesa yang telah memiliki alur cerita, dari ke 42 halaman sketsa itu hanya tiga halaman pertama saja yang telah agak halus dan mungkin sudah 90% selesai. Sisanya masih berupa sketsa kasar seperti yang terdapat di cover komik ini dimana Tintin hanya digambarkan bermuka bulat, hidung pentul dan jambul, atau Kapten Haddock yang digambarkan bermuka bulat, hidung besar, jenggot dan rambut yang kasar.



Sketsa terakhir Herge (Tintin & Alpha Art)





Namun selain ke 42 halaman sktesa inti, ada pula 9 halaman tambahan yang tak kalah menariknya karena setidaknya dapat memberikan gambaran cerita akhir dari komik ini. Di halaman tambahan ini akan diperoleh informasi antara lain Kapten Haddock yang tampak berubah karena bergaul dengan para seniman, menyukai benda-benda seni, dan mengubah penampilannya layaknya seorang seniman., menyanyi, bermain gitar, dan merubah kediamannya menjadi seperti galeri seni.

Lalu muncul pula musuh bebuyutan Tintin, Rastapopoulus yang berniat menyiram Tintin dengan cairan polyester agar menjadi sebuah karya seni. Yang tak kalah menariknya adalah munculnya kata Sondonesia dibawah sketsa bangunan berundak yang menyerupai candi bodobudur. Mungkinkah yang dimaksud adalah Indonesia ?

Kesemua sketsa pada halaman tambahan tersebut memang tampak tak terususun secara teratur dan membingungkan, jadi pembaca hanya bisa menduga-duga atau berimajinasi sendiri kira-kira seperti apa kelanjutan dan akhir dari petualangan Tintin ini, namun disinilah letak kenikmatan membaca komik ini. Melalui karya terakhir Herge yang masih berupa sketsa ini kita dapat mengetahui bagaimana sang maestro Herge mencoretkan garis-garis awal dari sebuah komik yang indah. Selain itu buku ini juga menawarkan sebuah pengalaman baru dalam membaca dan menginterpretasi sebuah komik yang masih berbentuk sketsa kasar dan belum selesai.

@h_tanzil

Tintin dan Alpha Art kemudian dilanjutkan dan diberi warna oleh komikus Perancis, Yves Roider.























Komiknya bisa dilihat di : http://membres.lycos.fr/dafilu/tintin/couverture.html


Segera setelah penerbitan sketsa oleh Herge dari Casterman terbitlah sebuah versi Tintin dan Alpha Art dengan kualitas yang kurang baik (Ramo Nash) hingga akhirnya muncullah versi Yves Rodier yang berhasil menyelesaikan Tintin & alpha Art. Dibutuhkan waktu 5 tahun oleh Roider untuk menyelesaikan komik yang belum selesai itu. Selain dirinya beberapa penulis telah mencobanya tetapi versi Yves Rodier adalah karya yang paling utama yang dicari oleh kolektor.

Read more »

Minggu, 15 Maret 2009

Citizen Girl

Citizen Girl
Emma McLaughlin & Nicola Kraus
Penguin Books, 2004
307 hal.

Satu kata yang bisa gue berikan untuk buku ini, ‘membosankan’. Mungkin gak pas kalo dibilang book review, karena gue gak selesai bacanya… udah keburu bosen duluan.

Ceritanya, tentang Girl, cewek yang kerja di majalah, punya boss yang aneh, yang meskipun Girl udah berusaha sebaik mungkin, sesempurna mungkin, tetap aja, salah dan Doris, bossnya, bukan termasuk orang yang suka dikasih tau kalo dia salah. Dan akhirnya, Girl pun dipecat.

Girl jadi pengangguran, yang kerjanya cuma tidur-tiduran aja di apartementnya. Someday, Jack, adiknya Girl, datang dan atas ‘perintah’ ibunya, ngajak Girl ke ‘Career Days’. Tadinya, Girl udah pesimis bakal dapet kerjaan dengan cara kaya’ gitu. Di sana dia bahkan kenal sama cowok namanya Buster, yang seneng banget sama YGames.

Terus, Girl ketemu sama Guy, pemilik My Company, website yang membahas tentang isu-isu perempuan. Setelah, melewati test, Girl keterima di My Company. Girl dipercaya untuk menangani ‘anak’ My Company, MsMagazine Jadilah, dia mengundang aktivis perempuan, dan pemimpin majalah perempuan termasuk Doris.

Udah.. sampai sini, gue males nerusinnya. Gak tau deh, cara ceritanya rada ngebosenin. Sempet bingung, sebenernya Buster sama Girl itu pacaran gak sih.

Mungkin karena abis baca Bergdorf Blonde yang lucu, begitu baca ini, koq jadi datar banget.

05.08.01
Read more »

Ungu Violet - The Novel

Ungu Violet - The Novel
Miranda
Gagas Media - Cet. I, 2005
256 Hal.


Tadinya aku udah gak mau beli buku ini, karena aku pikir, toh kita juga mau nonton. Dari yang udah-udah, adaptasi novel dari scenario film biasanya cenderung sama dengan apa yang ada di film. Tapi.. untung aku beli buku ini… karena ternyata ada bedanya.

Karena aku udah nonton filmnya duluan, baru baca bukunya, jadinya aku berasa buku ini kurang ‘nendang’. Mungkin akan berasa sebaliknya, kalo aku baca bukunya dulu.

Buku ini bagus, sama seperti filmnya. Hanya kalo di film, kita langsung bisa ngeliat ekspresi Kalin & Lando, di buku, kita bisa tau apa sih kata hati mereka, apa yang ada di benak mereka. Covernya, adegan waktu Lando meluk Kalin di rumah sakit.

Banyak bagian yang ada di buku ini, tapi gak ada di film atau bahkan beda sama sekali. Misalnya, di film, setelah Rara ngucapin selamat tinggal via handycam, Lando & Rara gak pernah ketemu lagi, tapi di buku, waktu Lando lagi belanja di supermarket, dia ketemu sama Rara & cowok barunya.

Terus, ada lagi, kalo di film, untuk ngucapin terima kasih, Kalin belanja makanan dan minuman untuk Lando terus langsung dianter sendiri ke apartemen Lando, kalo di buku, Kalin dan Lando belanja bareng ke supermarket terus mereka ‘party’ di apartemen Lando.

Kalo di buku, diceritain juga, sebelum ke agency yang besar, Kalin sempet ikut audisi di agency yang gak jelas alias agency ‘ecek-ecek’. Terus, di buku dibilang kalo Lando beliin Kalin baju untuk audisi di agency yang lebih besar.

Kalo buat aku, ‘keromantisan’ cerita di buku baru berasa di akhir buku ini. Waktu Kalin membaca surat yang tertinggal di baju Lando.

Dan… hehehe.. dengan baca buku ini, jadi ketauan deh… siapa yang donor mata untuk Kalin, dan apakah Lando akhirnya meninggal atau nggak…

Buku gue baca dalam waktu satu hari saja… rekor… karena udah lama aku gak baca buku yang selesai dalam satu hari….

Lagi-lagi… jadi pengen nonton filmnya lagi….

05.06.27
Read more »

Bergdorf Blondes

Bergdorf Blondes
Plum Sykes
Penguin Books, 2004
312 hal

Buku ini menurutku sih, lumayan lucu. Yup, another chick-lit. Cerita tentang kehidupan kaum ‘jet-set’ di Manhattan. Di awal buku ini, disebutkan, “Bergdorf Blondes are a things, you know, a New York craze. Absolutely everyone wants to be one, but it’s actually trés difficult. You wouldn’t believe the dedication it takes tp be a gorgeous, flaxen-haired, dermatologically perfect New York girl wit a life that’s fabulous beyond beliefe. Honestly, it all requires a level of commitment comparable to, say, learning Hebrew or quitting cigarettes. (page 1).

Tokoh utamanya, seorang cewek yang gak disebutin namanya, cuma dia selalu menyebut Moi. Si Moi ini punya sahabat namanya Julie Bergdorf, cewek blonde yang tajir banget, dia selalu bisa ‘membeli’ apa aja yang dia mau. Kakeknya Julie ini pemilik department store Bergdorf. Tapi, anehnya, meskipun dia bisa beli segalanya yang dia mau, Julie punya penyakit ‘klepto’ di ‘toko’nya sendiri.

Moi sendiri, sebelum ke Manhattan, dia tinggal di Inggris bareng ortunya. Ayahnya orang Inggris, tapi Ibunya, perempuan Amerika yang pengen banget dibilang orang Inggris. Ibunya pengen banget ngejodohin Moi sama tetangga sebelah rumah mereka yang sering disebut-sebut ‘Little Earl’.

Cerita dimulai, waktu si Moi cerita ke Julie kalau ada salah satu teman mereka yang baru aja tunangan dan saling memamerkan cincin pertunangan mereka. Langsung aja Julie bilang, “E-mail me the whole things, lie everyone but me having a fiancé. It’s so unfair.” (page 16). Sepertinya Julie gak mau ketinggalan ‘trend’ tunangan di antara teman-temannya, dia bilang, “Fiancés are so glam!” (page 18)

Akhirnya, mereka berdua (dengan Julie sebagai ‘penggagas’ utama), datang ke pesta demi mencara ‘Potential Husband’. Pokoknya buat Julie, asal cowok itu ‘tidak terlalu kreatif’, maka si cowok bisa dikategorikan sebagai Potential Husband. EO pesta itu temen mereka berdua, yang sering banget ngadain pesta dengan tema ‘Saving bla… bla.. bla…’ Diaturlah supaya mereka berdua bisa duduk di antara cowok-cowok keren dan kaya. Moi ini dari awal udah gak terlalu antusias pergi ke dinner party itu, karena bosan, Moi jalan-jalan keliling ruang pesta, sampai akhirnya ketemulah dia dengan seorang fotografer nge-top, Zach. Bisa ketebak, akhirnya Moi jatuh cinta and pacaran sama Zach, bahkan akhirnya mereka bertunangan. Julie yang punya ide, malah belum dapat PH yang dia impikan itu.

Tapi, ternyata Zach, yang romantis di awal-awal pacaran mereka, malah berubah justru di saat-saat menjelang pesta pertunangan, bahkan akhirnya pertunangan mereka pun bubar. Di pesta pertunangan, Moi sempat berkenalan dengan seorang sutradara muda yang lagi naik daun, Charlie. Charlie sempat digambarkan tertarik sama Moi, tapi Moi malah menjodohkan dia sama Julie.

Kalut karena putus sama Zach, sempat membuat Moi ingin bunuh diri. Tapi di detik-detik terakhir, justru Charlie datang menyelamatkannya.

Moi sempat menjalin hubungan dengan beberapa pria kaya, tapi selalu aja gak mulus. Misalnya, ketika berhubungan dengan Eduardo, seorang ‘bangsawan’ Spanyol, ternyata dia sudah berkeluarga. Terus, coba-coba dekat dengan Patrick Saxton, taunya malah diancam sama istrinya yang rada ‘psikopat’.

Dan, Charlie selalu menjadi ‘penyelamat’ Moi di setiap dia dalam kesulitan, yang malah sempat membuat Moi sebal banget sama Charlie.

Tapi, toh, akhirnya Moi menemukan juga cowok idamannya, the Potential Husband, seperti kata Julie, yang gak lain adalah the ‘Little Earl’. Siapa sih Little Earl ini sebenarnya?

Di buku ini ‘bertebaran’ merk-merk terkenal. Julie bisa dibilang ‘berteman dekat’ sama Emanuel Ungaro, Vera Wang – bahkan Vera Wang ini, waktu Julie mau tunangan, katanya bakalan ‘resign’ kalau Julie gak pakai gaun pengantin rancangannya. Kekonyolan juga ada, misalnya, waktu Julie mau ngadain ‘book club’, tujuannya biar teman-temannya gak hanya tau tentang fashion tapi juga tentang dunia sastra.

Kalau ngebayangin tokoh Julie, yang muncul adalah Paris Hilton, cocok banget kaya’nya sama sosok seorang Julie yang blonde, keturunan keluarga kaya’, rada manja dan centil.

05.07.26



=> 'Bergdorf Blondes' ini udah diterjemahin ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Cewek-Cewek Bergdorf ", tapi sayang... cover-nya, koq gak ceria banget. Gak sesuai dengan betapa 'centil'nya isi buku ini.
Read more »

Buku-Buku di Blog Lama

Sepertinya, gara-gara Facebook yang gak bisa dibuka lagi di kantor (entah untuk sementara atau for good), waktu gue jadi untuk menguntak-atik blog gue jadi lumayan banyak (hmm.. di sela-sela pekerjaan kantor tentunya). Tiba-tiba gue terpikir, untuk mengumpulkan buku-buku yang pernah gue baca yang ceritanya gue 'review' di blog gue yang lama. Jadi nih, di beberapa postingan ke depan, bakalan ada re-post dari blog ceritaceritaku. Hehehe... akibat 'mati gaya', gak tau mau ngapain kalo lagi bosen di kantor nih. Sempet kemarin nyari-nyari template baru... tapi.. aduh, kenapa ya, gue koq masih blom bisa mencari 'pengganti' si burung gendut ini?
Read more »

Rabu, 11 Maret 2009

Eclipse

Eclipse
Stephanie Meyer
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
GPU – Cet. 1, September 2008
688 Hal.

Sebenernya buku ini udah lama selesai gue baca. Tapi, entah kenapa, waktu itu gue males banget nulis di blog ini. Mungkin karena udah cukup dibuat bosan dengan cerita yang makin lama makin panjang dan koq jadi rada bertele-tele. Sekarang, akhirnya gue buat juga karena bentar lagi bakal ‘tayang’ Breaking Dawn yang akhirnya juga setelah berbulan-bulan sudah mendekati lembar-lembar terakhir.

Jadi, buku ini diawali dengan gaya pacaran ‘kucing-kucingan’-nya Bella dan Edward. Charlie marah besar karena Bella lagi-lagi kabur demi Edward. Charlie tentu saja khawatir sama keselamatan Bella.

Setelah mengetahui ‘identitas’ baru Jacob dan ternyata ada perasaan khusus Jacob kepada Bella, terjadi perang dingin antara Jacob dan Edward. Karena, permusuhan yang ada sejak jaman dahulu kala antara kaum vampire dan kaum werewolf.
Di buku ini juga, adalah saat-saat di mana Bella harus membuat pilihan antara menjadi vampire atau tetap menjadi manusia. Banyak pihak vampire yang menginginkan Bella segera menjadi bagian dari mereka – seperti Victoria yang ingin membalaskan dendamnya atas kematian James atau klan Volturri yang ada di Italia.

Untuk itu, mereka berdua – meskipun Edward masih sangat berat menjadikan Bella sebagai vampire – merancang skenario dengan cermat agar nantinya Charlie tidak curiga terhadap perubahan Bella. Mereka berdua akan segera melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, pilihan mereka jatuh pada perguruan tinggi di Alaska – tempat yang cocok bagi kaum vampire dan juga jauh dari kontrol Charlie maupun Renee.

Sementara itu, di Seattle, terjadi pembunuhan misterius – yang menurut Edward disebabkan oleh adanya vampire-vampire baru. Pergerakan para vampire itu mengarah ke Forks – segera saja Edward berkesimpulan bahwa semua itu akan segera mengarah ke Bella sebagai sasaran utama.

Penjagaan terhadap Bella segera diperketat. Karena pelaku utamanya sudah diduga dengan pasti. Demi Bella, keluarga Cullen – khususnya Edward, harus menekan egonya dan meminta bantuan kaum werewolf untuk melawan para vampire. Bella ‘diungiskan’ ke sebuah tempat yang dingin, selain untuk keamanan Bella, juga untuk memancing Victoria keluar dari persembunyiannya.

Selain usaha untuk membantu memusnahkan para vampire, Jacob juga masih usaha untuk mendekati Bella, mencoba membuat Bella berubah pikiran dan tetap jadi manusia. Jacob juga gak segan-segan menyatakan cintanya secara langsung kepada Bella. Tapi, Bella tentu saja gak bisa memilih antara Jacob dan Edward, karena dia menyayangi keduanya dengan cara yang berbeda.

Tenang... di buku ini, Bella belum jadi vampire, meskipun keputusannya sudah bulat. Tapi, ya, lagi-lagi Bella masih belum berubah, masih nyaris seperti anak manja yang ngerepotin semua orang. Makin tebal buku ini, makin cape’ baca romance antara Bella dan Edward (hahaha.. tapi tetap aja dibaca terus…)
Read more »

Senin, 09 Maret 2009

You Need a Good Lawyer to Set You Free form the Jail of Your Heart

You Need a Good Lawyer to Set You Free form the Jail of Your Heart
(Kumpulan Cerita Hukum)

Zara Zettira ZR & Blogger Indonesia
Rose Heart Publishing, Januari 2009
305 Hal.

Gue baru menyadari betapa panjang judul kumpulan cerita ini waktu udah di rumah. Yang membuat gue tertarik membeli buku ini adalah karena nama seorang Zara Zettira yang pernah jadi penulis favorit gue waktu masih baca majalah Gadis, lalu, kedua, hmmm… niatnya sih gue pengen ‘godain’ temen-temen gue yang jadi lawyer, karena kebetulan juga gue kerja di konsultan hukum.

Ada 18 cerita pendek dalam buku ini – yang kasusnya beragam, begitu pula dengan penyelesaiannya. Ada tentang pelecehan seksual, narkoba, pembunuhan, KDRT, penolakan terhadap perempuan PSK, dan lain-lain.

Ya, jujur gue gak terlalu bisa menulis komentar tentang kumpulan cerpen. Tapi secara keseluruhan, gue gak terlalu terkesan dengan kum-cer ini. Di buku ini, sebagian besar pengacara (yang rata-tara perempuan) adalah pengacara yang berhasil, kerja di kantor hukum ternama, kehidupannya udah mapan, dan aduh… kalo ngomong, kaya’nya susah banget ya, pake bahasa Indonesia. Terus, selalu menang dalam setiap kasus. Gue malah pengen menemukan sebuah cerita di mana si pengacara adalah pengacara baru, dari kantor hukum yang biasa-biasa aja, terus berjuang demi mendapat pengakuan dari orang-orang yang pernah mandang dia sebelan mata. Atau, pengacara yang ‘tersandung’ sedikit. Soalnya di buku ini, lawyer-nya rata-rata ‘lurus’ semua. Gimana ya, seandainya dibuat cerita pengacara yang idealis, tapi ternyata harus ‘tersandung’ masalah suap-menyuap? Hmmm… gue gak pinter nulis, jadinya gue hanya bisa kasih ide…

Zara Zettira-nya hanya menyumbang satu cerita. Cerita-cerita di sini juga banyak berakhir dengan buru-buru, terkadang juga rada bertele-tele. Gue malah gak sabar pengen menuntaskan buku ini. Gue berharap menemukan satu cerita yang special, tapi ternyata gak.

Udah ah.. gue koq jadi nyela melulu ya? Hehehe… Ma’ap…
Read more »

Jumat, 06 Maret 2009

Istanbul - Kenangan Sebuah Kota

Judul : Istanbul, Kenangan sebuah kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 363 hlm

Istanbul adalah memoar dari peraih nobel sastra 2006 asal Turki, Orhan Pamuk. Namun berbeda dengan memoar-memoar lainnya yang biasanya lebih mengutamakan kisah hidup si penulisnya, dalam memoarnya ini Pamuk tak hanya berkisah mengenai sejarah hidupnya. Dengan cara betutur seperti dalam novel-novelnya , Pamuk mencatat penggalan memori kehidupan masa lalunya yang dikaitkan dengan memori kolektif Istanbul, kota kelahirannya yang begitu ia cintai. Jadi bisa disimpulkan bahwa buku ini merupakan serpihan-serpihan memoar dan essai panjang Pamuk tentang dirinya danIstanbul

Bagi Pamuk yang begitu lekat dengan kota kelahirannya, takdir Istanbul adalah takdir dirinya sebab Istanbullah yang membuat dirinya seperti sekarang ini. Istanbul baginya adalah mata air yang terus menerus memberinya inspirasi. Tak heran jika sebagian besar novel-novelnya berlatar Istanbul, kota yang merupakan warisan kesultanan Usmani yang tak henti bergumul dengan identitas Barat dan Timur. Begitupun dalam memoarnya ini, di mata Pamuk, Istanbul dimetaforkan sebagai mahluk yang berwajah murung, atau istilah dalam bahasa arabnya adalah “huzun”.

Setelah Kesultanan Usmani ambruk, dunia nyaris lupa bahwa Istanbul ada. Kota tempat saya dilahirkan ini lebih miskin, lebih kumuh, dan lebih terasing ketimbang sebelumnya selama sejarahnya sepanjang dua ribu tahun. Bagi saya, Istanbul selalu merupakan kota penuh reruntuhan dan kemurungan masa akhir kesultanan. Saya menghabiskan hidup memerangi kermurungan ini atau (seperti semua penduduk Istanbul) menjadikannya kemurungan saya. (hal 7)

Istanbul modern dalam kacamata Pamuk memang telah mengalami kemunduran sejak jatuhnya Kesultanan dan berdirinya pemintahan Republik dengan reformasinya yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk (pendiri Turki dan presiden pertama Turki). Bagi Ataturk satu-satunya jalan untuk melangkah maju adalah mengembangkan konsep baru mengenai ke-Turkian yag modern, sayangnya konsep ini dilakukan dengan cara melupakan masa lalu sehingga kultur, seperti bahasa dan pakaian tradisional, dilupakan. Bahkan literatur tradisional pun dilupakan.

Kemurungan Istanbullah yang menjadi benang merah seluruh kisah dalam memoarnya ini. Karenanya jangan harap dalam memoarnya ini kita akan disuguhkan panorama keindahan Istanbul, alih-alih membicarakan bangunan megah Hagai Sophia atau situs-situs bersejarah lainnya, kita malah akan disuguhkan deskripsi rumah-rumah kayu yang kumuh yang dibangun diatas reruntuhan bangunan megah dari era kejayaan kesultanan Usmani dan kehancuran puri-puri para Pasha karena tak terawat atau terbakar.

Dalam memoarnya ini, wajah Istanbul modern yang kini semakin carut marut itu dikisahkan secara parallel dengan kehidupan masa lalu Pamuk yang dilahirkan dari keluarga kelas menengah yang hidup dalam budaya sekuler Barat. Dengan begitu hidup Pamuk menceritakan tentang dirinya dan keluarganya, apartemen-apartemen yang pernah didiaminya, jalan-jalan yang sering dilaluinya, peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya, kisah cinta pertamanya yang kandas, serta keinginannya yang besar untuk menjadi pelukis sebelum ia banting setir dan akhirnya memutuskan untuk menjadi penulis.

Karena setiap jejak langkah masa lalu Pamuk senantiasa dikaitkan dengan memori kolektif Istanbul maka daya pikat memoar ini bukan hanya terletak pengalaman pribadi penulisnya, melainkan dalam identifikasi puitisnya dengan Istanbul . Hasilnya adalah semacam essai yang berisi sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Istanbul baik dari apa yang diperolehnya dari pengalaman dan risetnya sendiri maupun dari catatan orang-orang yang pernah menulis sejarah Istanbul seperti, Yahya Kemal, seorang penyair, Resat Ekrem Kocu, seorang sejarawan, Tampinar, seorang novelis, dan Abdulhak Sinasi Hisar, seorang kronologis. Sedangkan untuk penulis barat terwakili oleh Gerard du Nerval, Teophile Gautier, Gustave Flaubert.

Untuk lebih menghidupi memoarnya ini, Pamuk juga menampilkan ratusan foto hitam putih baik yang berasal dari koleksi keluarga Pamuk sendiri maupun foto-foto Istanbul karya fotografer lokal, Ara Guller. Dan yang tak kalah menarik adalah foto-foto lukisan engraving Antoine-Ignace Melling, pelukis Jerman yang merekam Istanbul di abad ke 18. Jika foto-foto karya Ara Guller didominasi wajah Istanbul modern yang muram, maka pada karya Mellinglah keindahan masa lalu Istanbul terungkap.



Salah satu lukisan karya Melling



Sebagai seorang novelis terkemuka, Pamuk menyajikan memoarnya ini dengan begitu menarik dan hidup sehingga membaca ke 37 bab kisahnya tak membuat kita bosan kendati dia terkadang menceritakan hal-hal yang sederhana yang pernah dialaminya. Hal-hal sederhana itu ia hubungkan dengan, lukisan, buku-buku, landskap, bangunan kuno, legenda, sejarah, politik, dll sehingga potret dirinya dan Istanbul terekam dengan menarik.

Sayangnya memoar Pamuk terhenti di era 70-an ketika Pamuk memutuskan merubah jalan hidupnya dari seorang pelukis menjadi seorang penulis. Jadi dalam memoar setebal 363 halaman ini kita tak akan menemukan jejak Pamuk dan Istabul ketika ia meniti kariernya sebagai seorang penulis. Semenjak kecil hingga menjadi seorang mahasiswa arsitektur tampaknya tak ada tanda-tanda Pamuk yang kelak akan menjadi seorang penulis terkenal kecuali kesenangannya membaca.

Akhir kata novel yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 2003 dalam bahasa Turki dengan judul Istanbul : Hatiralar ve Sehir ini memang sangat-sangat menarik, kisah kehidupan Pamuk, pergumulan batinnya , serta responnya atas lingkungan yang membesarkannya membawa pembacanya pada sebuah perenungan yang dalam. Berbagai kisah mengenai Istanbul membuat kita memahami sejarah dan kultur Istanbul modern di tahun 50-70an yang menyiratkan wajah Turki yang murung dan terbelahnya kultur masyarakat Turki antara Islam dan sekularisasi, modern dan tradisional, timur dan barat, yang ternyata masih bisa dirasakan hingga kini.

Seperti yang ditulis oleh Irish Times sebagai pujian untuk buku ini bahwa memoar Pamuk ini layak disejajarkan dengan karya-karya terbaik Pamuk dan buku-buku terbaik yang pernah ditulis mengenai Istanbul. Buku ini wajib dibaca dan kota itu wajib dikunjungi.

@h_tanzil

Read more »

Kamis, 05 Maret 2009

Kira-Kira

Kira-Kira
Cynthia Kadohata
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU, Februari 2009
200 Hal.

Katie Takeshima, anak perempuan keturunan Jepang yang tinggal di Amerika Serikat. Bersetting masa sesudah perang dunia ke 2, tahun 1950-an, warga keturunan Jepang menjadi warga minoritas yang dipandang sebelah mata oleh warga asli Amerika.

Bersama keluarganya – ayah, ibu dan kakaknya Lynn – awalnya Katie tinggal di Iowa, di mana ayah dan ibunya membuka toko kelontong, dengan harapan akan mendapat untung dengan berjualan barang kebutuhan bagi sesama warga Jepang. Tapi, ternyata, usaha itu tidak kunjung berhasil. Keluarga itu pun memutuskan untuk pindah ke Georgia. Di sana ada paman Katie, Paman Katsuhisa yang sudah lebih dulu mencoba peruntungannya.

Tapi, toh, tak banyak pilihan yang bisa diambil oleh orang tua Katie. Di Georgia, mereka bekerja lebih keras di sebuah perusahaan pengolahan ayam. Katie pun hanya tinggal ditemani Lynn. Sebagai adik, Katie sangat bergantung dengan Lynn, ditambah lagi memang sikap Lynn yang protektif terhadap adiknya. Lynn yang selalu mengajari Katie kata-kata baru – kata favoritnya adalah ‘Kira-Kira’ yang artinya ‘gemerlap’.

Keadaan tak banyak berubah, mereka masih tetap miskin. Katie dan Lynn menabung untuk membantu orang tua mereka mewujudkan mimpi mereka memiliki rumah sendiri. Seorang anggota keluarga baru pun hadir, adik laki-laki yang dipanggil Sammy.

Berbeda dengan Katie, Lynn adalah anak yang cerdas. Di sekolah, ia selalu mendapatkan nilai yang bagus. Pujian selalu datang untuk Lynn. Katie juga sempat cemburu ketika Lynn mempunyai teman bernama Amber. Sikap Lynn jadi berubah, sok dewasa dan membuat Katie selalu dianggap seperti anak kecil.

Tapi, Lynn tetaplah kakak kesayangan Katie. Ketika Lynn tiba-tiba menjadi sakit-sakitan, Katie selalu setia mendampingi Lynn, meskipun terkadang kesabarannya diuji saat Lynn sering berubah-ubah mood.

Dan, Katie harus jadi gadis kecil yang tabah, ketika tiba saatnya Lynn untuk pergi. Tapi, Lynn selalu mengajarkan bahwa selalu ada sesuatu yang ‘gemerlap’ – kira-kira – di balik semua yang terjadi.

Cerita di novel ini sederhana banget, tapi menyentuh. Gak bisa banyak-banyak comment, karena ‘gak terlalu berbekas’ dalam hati gue. Lewat novel ini, Cynthia Kadohata memperoleh penghargaan Newberry Medal.

Read more »