Rabu, 27 Mei 2009

Diary of a Wimpy Kid (Diary si Bocah Tengil)

Diary of a Wimpy Kid (Diary si Bocah Tengil)
Jeff Kinney @ 2007
Ferry Halim (Terj.)
Penerbit Atria – 2009
216 Hal.

Cover yang merah ceria, membuat gue tertarik waktu buku ini masih dalam edisi aslinya. Mau beli… uhhh… mahalll.. hehehe… untunglah, sekarang ada terjemahannya… untung juga, cover-nya gak diganti… pengen tau, seperti apa sih isi buku yang katanya dikategorikan sebagai novel-kartun…

Namanya juga diary, jadi isinya adalah peristiwa sehari-hari. Tapi, kata Greg Heffley – si empunya diary ini – jangan harap ada tulisan ‘Dear Diary, hari ini aku…”. Makanya, Greg wanti-wanti pada ibunya agar jangan membelikan buku yang di sampulnya ada tulisan ‘Diary’.

Maklum, sebagai anak cowok (lagi puber), malu dong kalo ketauan bawa-bawa buku yang centil. Dan, tujuan Greg bikin diary, supaya suatu saat dia nanti jadi ngetop, kalau ada pertanyaan tentang siapa dirinya, riwayat hidupnya, si penanya bisa langsung baca diarynya tanpa Greg perlu repot-repot menjawabnya.

Greg punya teman yang dipilih karena paling ‘culun’ bernama Rowley Jefferson. Sebagai anak yang baru gede, Greg pengen cari kegiatan yang tidak terlalu terkesan kekanak-kanakan. Rowley kadang menurut Greg gak ‘nyambung’, tapi, hanya dengan Rowley, Greg jadi merasa lebih ‘hebat’.

Greg selalu berusaha jadi anak yang ‘cool’ dengan melakukan berbagai aktivitas, atau mencari perhatian orang. Tapi, sayangnya, kadang, dia malah jadi ‘sial’.Misalnya, ketika ada lowongan untuk mengisi kolom komik di sekolahnya, Greg yang pinter gambar, mencoba ‘peruntungannya’. Bersama Rowley, Greg mencoba merancang sebuah komik kocak. Biar kesannya Rowley juga punya peranan, Greg membiarkan Rowley untuk berkreasi. Tapi, dasar Greg suka sok tahu, diam-diam dia malah menganggap kreasi Rowley terlalu norak. Sampai akhirnya Greg membuat komik sendiri tanpa sepengetahuan Rowley dan berhasil dimuat satu kali di kolom komik di koran sekolah mereka. Bukannya ngetop, malah Greg jadi ‘musuh’ bersama para murid. Dan tebak… siapa yang malah jadi bintang?? Rowley yang jadi bintang baru dengan komik ciptaannya yang sempat dipandan sebelah mata oleh Greg.

Satu lagi yang kocak, adalah masalah ‘Sentuhan Keju’, yang bisa bikin seseorang jadi dihindari sama satu sekolah. Apa sih ‘Sentuhan Keju’ itu? Yang pasti… menjijikan sekali…

Buku ini lumayan menghibur, kekocakan Greg yang sok tau, sifat polos Rowley tapi diam-diam mencuri perhatian. Belum lagi keluarga Greg yang juga gak kalah ngaconya.

Greg sebenernya anak yang kreatif, punya keinginan untuk jadi pusat perhatian, tapi, sayangnya, keinginannya gak selalu tercapai.
Read more »

Senin, 25 Mei 2009

Opera Orang Kaya

Opera Orang Kaya
Ita Sembiring
GagasMedia – 2009
262 Hal.

Pertama kali ‘kenal’ Ita Sembiring, lewat bukunya Jerit: Suatu ketika di Lho'seumawe, dan gue suka dengan cerita di buku itu, meskipun isinya serius banget dan tragis. Terus, gue baca buku lainnya, ‘Negeri Bayangan: Terorist Free’.. gue gak terlalu suka, karena aneh. Gue baca lagi cerita ‘When a Man Lost a Woman).. ini lumayan. Dan… gue pun tertarik untuk baca Opera Orang Kaya. Kenapa gue tertarik? Karena tema ceritanya yang lebih nge-pop dibanding yang lain, terus, settingnya di luar Indonesia.

Tapi, gue rada kecewa… karena gak seperti yang gue bayangin. Di synopsis, bikin penasaran (ya, iyalah… kalo gak, gak bakal ada yang beli deh… hehehe..). Kenapa begitu? Ceritanya di awal menjanjikan… tapi, semakin ke belakang, koq jadi semakin gak jelas… ngalor-ngidul aja… bingung mana yang katanya mau ‘diselesaikan’?

Jadi ini adalah kisah ketika seorang Gre Kinayan menjadi tour leader untuk sekelompok anak-anak yang sedang ikutan program belajar bahasa Inggris langsung di tempat asalnya, alias di London, Inggris. Ketika itu musim panas, Gre – bersama Christopher Park, si bule yang jadi kecengan ke 26 peserta.

Seru-seruan bareng berkisar anak-anak orang kaya itu yang kadang gak mau cape’, yang males kalo ke museum, lebih suka shopping daripada kembali ke tujuan semula mereka ada di tempat itu.

11 tahun kemudian, mereka sudah ‘tercerai-berai’. Gre tinggal di Belanda, sendirian, belum menikah. Tiba-tiba, muncullah sebuah email dari salah satu peserta yang ‘dianggap’ paling seru, bernama Aninda Lana. Si Aninda ini sekarang tinggal di Belanda juga, menikah sama bule Belanda.

Lalu, terbukalah semua cerita tentang gimana para eks-peserta summer course itu. Ada yang sudah menikah dan punya anak, ada yang sudah bercerai, ada yang masih menjalani ‘hidup bersama’.

Semua itu muncul dalam bentuk email-emailan, chatting dan percakapan via telepon atau langsung antara Aninda dan Gre.

Cerita-cerita di musim panas itu muncul lagi, yang dapat porsi paling banyak adalah cerita tentang peserta yang naksir-naksiran dengan si Christopher Park.

Gre sendiri sih, diam-diam juga naksir si Chris, tapi jaim karena posisinya sebagai tour leader.

Tapi, lama-lama gue baca, gue pusing sendiri, terlalu banyak percakapan becanda yang jadi garing, lalu, terlalu banyak tokoh tapi, gak ada yang ‘dalam’ untuk dikenal. Bahkan Gre pun jadi ‘buram’, gak jelas apa maunya. Agak cape’ juga ngikutin si Aninda yang sok seru itu.

Kaya’nya untuk seorang Ita Sembiring, koq buku ini jadi terkesan biasa banget.
Read more »

Gurun Bercerita Cinta

Gurun Bercerita Cinta
Diyah Ratna @ 2009
GagasMedia – 2009
328 Hal.

Hmmm… apakah another ‘Ayat-Ayat Cinta’? Untunglah ternyata tidak. Kalo iya, gue tentunya gak akan mau beli. Kenapa gue beli? Karena setting-nya yang gak biasa. Biasanya, setting cerita (yang gue baca), rata-rata berkisar di benua Eropa, tapi ini, ceritanya sebagian besar bertempat di Kuwait.

Di negara yang terik itu, Alena Soediro ‘seharus’nya jadi kembang di tengah-tengah para pekerja yang mayoritas laki-laki. Ababil Airways, sebuah perusahaan pesawat non-komersial, Alena ditempatkan sebagai Marketing Strategic Consultant, menyusul keberhasilannya dalam sebuah program pemasaran di sebuah perusahaan penerbangan lainnya.

Tapi, ternyata keberadaan Alena ditentang oleh beberapa pekerja – terutama pekerja lokal – yang tidak terbiasa bekerja di bawah pimpinan seorang perempuan. Bagi para lelaki Timur Tengah, seorang laki-lakilah yang harus jadi pemimpin.

Apalagi, dalam proyek terbaru mereka, yaitu Nimbus Project, Alena diberi tugas sebagai Project Leader. Karuan, Abdullah, salah satu pegawai menolak keras. Karena selama ini, mereka biasanya selalu dipimpin oleh Mario, orang Indonesia juga yang berada di divisi Engineering.

Sebenarnya, Mario tidak ada masalah dengan Alena. Tapi, mungkin karena egonya sebagai laki-laki yang menyebabkan ia bersikap dingin pada Alena. Setiap rapat Nimbus Project, Mario dan Alena selalu berbeda pendapat. Mario selalu ‘ngajak berantem’, sementara Alena bingung dengan sikap Mario.

Dalam sebuah tugas lain, mereka harus pergi bersama ke Al-Damman, ke ‘istana’ seorang Sheikh. Tugas ini kembali diawali dengan pertengkaran. Bener-bener, gak jelas deh, sikap si Mario. Tapi, kerana suatu hal, mereka ‘ditakdirkan’ untuk pergi berdua.

Sialnya, mobil rover yang dikendarai Mario ternyata tidak diperiksa dengan benar oleh petugas yang bertanggung jawab atas mobil tersebut. Mereka pun terjebak dalam badai pasir. Alena bingung. Mario sebagai laki-laki, mulai menunjukkan sikap melindungi. Sesaat, sifat lain, sisi lain Mario yang lebih lembut muncul dan membuat Alena ‘melunak’.

Tapi, sikap itu hanya tampak ketika badai itu. Saat mereka tiba di kediaman Sheikh, sikap Mario kembali dingin dan menyisakan tanda tanya besar dalam benak Alena. Begitu pun ketika kembali ke kantor. Sikap Mario semakin aneh. Hal ini juga menjadi pertanyaan di antara teman-teman mereka, apa yang sebenarnya terjadi ketika mereka terjebak dalam badai pasir itu.

Cinta yang dipendam membuat Alena kecewa dan sakit, hingga ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menerima pekerjaan di tempat lain. Alena pergi, Mario jadi makin kacau.

Hah... makanya kalo cinta jangan dipendam, jangan gengsi deh… hihihi…

Tapi, ada yang kurang sreg nih setelah gue baca, hmmm… di situ diceritain kalo Alena mengalami kecelakaan pesawat, tapi… gimana akhirnya Alena bisa selamat agak kurang jelas deh. Tau-tau, Alena muncul aja dengan identitas barunya.

Read more »

Jumat, 22 Mei 2009

Metropolis

Judul : Metropolis
Penulis : Windry Ramadhina
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2009
Tebal : 330 hlm

Narkotika, mafia, konspirasi, dan dendam, itulah tema sentral dalam novel Metropolis karya Windry Ramadhina, penulis muda yang novel perdananya “Orange” masuk dalam longlist Khatulistiwa Literray Award 2008 untuk kategori Penulis Muda Berbakat. Berbeda dengan novel Orange yang bergenre metropop, Metropolis merupakan novel thriller detektif yang menarik untuk disimak karena genre ini masih termasuk jarang digarap oleh penulis-penulis kita.

Dalam Metropolis dikisahkan bagaimana Augusta Bram, salah seorang anggota Satuan Reserse Narkotika Polda Metro Jaya mengungkap sebuah pembunuhan berantai yang menimpa para pemimpin sindikat mafia narkotika Indonesia. Selain karena tugas, Bram juga terobsesi untuk mengangai kasus ini karena ia menyimpan dendam pribadi karena keluarganya pernah berusan dengan masalah ini. Ayahnya yang pecandu narkoba tewas dibunuh oleh para pengedar narkoba karena tak sanggup membayar hutang-hutangnya.

Kisah dalam novel ini diawali dengan adegan pemakaman Leo Saada, salah seorang pemimpin mafia dari sindikat 12 yang menguasai bisnis narkotika terbesar dan merupakan momok bagi polisi-polisi Sat Reserese Narkotika karena selama lima tahun ini polisi tak memiliki cukup bukti untuk menyeret seluruh anggota sindikat 12 ke terali besi. Polisi berasumsi bahwa kematian Leo Saada karena kecelakaan mobil, bukanlah murni kecelakaan karena tim forensik berhasil menemukan beberapa peluru di lokasi kejadian.

Polisi juga menduga ada motif persaingan antar geng dalam kematian Leo Saada karena dalam satu tahun kebelakang sebelum peristiwa ini ada 6 orang pemimpin geng yang tergabung dalam sindikat 12 tewas dalam berbagai cara. Untuk itu Bram dan asistennya Eric, berusaha untuk membongkar dan menangkap siapa pelaku pembunuhan berantai itu.

Ternyata tak hanya Bram yang tertarik dalam kasus ini, Miaa, seorang wanita mantan polisi secara diam-diam mengamati kasus ini. Berkat kejelian Bram, keberadaan Miaa disetiap lokasi peristiwa pembunuhan pimpin sindikat 12 diketahui. Awalnya Bram menaruh curiga kalau Miia terlibat dalam kasus ini, namun akhirnya terkuak apa motifasi Miaa yang sesungguhnya.

Tak mudah mengungkap siapa pelaku dan apa motif dibalik peristiwa pembunuhan berantai ini. Ketika Bram harus memutar otak untuk memecahkan teka-teki kasus ini dengan sedikit bukti yang dia miliki, pembunuhan demi pembunuhan itu terus terjadi. Walau semua pemimpin geng telah meningkatkan kewaspadaannya dan Bram telah memperingatkan mereka, namun pembunuhan terus terjadi. Bram harus bergerak cepat menangkap pelakunya sebelum semua pemimpin sindikat 12 tewas.

Walau novel ini merupakan novel thriller detektif, namun pada pertengahan paruh pertama novel ini siapa pelaku dan apa motif pembunuhan berantai terhadap pemimpin sindikat 12 telah terang benderang diungkapkan oleh penulisnya. Tampaknya penulis sengaja membeberkan motif dan jati diri si pelaku, alih-alih menyimpan rapat siapa pelaku dan motif pembunuhan berantai dengan sasaran para pemimpin sindikat, penulis tampaknya lebih memilih menyajikan teka-teki dan berbagai kejutan dengan munculnya tokoh –tokoh yang memiliki keterkaitan dengan kasus ini. Dengan demikian walau pembaca sudah mengetahui apa motif dan siapa pelakunya, keasyikan pembaca untuk menuntaskan novel ini tak akan terganggu karena meraka tak akan bisa menduga akan kejutan-kejutan yang diberikan penulis hingga lembar-lembar terakhir novel ini.

Walau secara umum novel ini menarik untuk dibaca, namun ada beberapa hal yang tampaknya perlu diekplorasi lagi agar semakin menarik, antara lain kurangnya pendalaman karakter tokoh-tokohnya. Contohnya untuk tokoh utamanya Bram. Masa lalu Bram yang kelam bersama ayahnya hanya dibahas secara singkat saja sehingga tak tereksplorasi dengan baik, padahal jika digali lebih dalam lagi maka novel ini akan semakin menarik. Bukankah di bawah judul novel ini tercantum kalimat “ Demi ayahku yang sudah mati…”. Namun mungkin soal kedalaman karakter dalam novel ini adalah pilihan penulis yang lebih mengutamakan plot cerita dan unsur teka-teki dibanding mengupas habis karakter2-karakter tokoh-tokohnya secara lebih mendalam, dan hal ini sah-sah saja.

Dalam hal mengungkap hubungan antara atasan dan bawahan dalam struktur kepolisian saya rasa, penulis telah terjebak dalam pandangan umum yang diciptakan oleh film-film detektif dimana atasan tak mendukung bawahannya sehingga terjadi clash dan diminta mundur dari kasus yang ditanganinya, dll. Tentunya tak harus seperti itu, ada banyak hal yang mungkin bisa digali untuk soal hubungan antara atasan dan bawahan, jadi untuk membuat sebuah kisah lebih tentu tak selalu harus mengikuti ‘pakem’ film-film detektif pada umumnya.

Kemudian dalam hal seluk beluk dunia mafia narkotika Indonesia, saya rasa kalau saja penulis lebih berani mengupasnya tentu akan lebih menarik. Dalam novel ini intrik-intrik dan cara kerja sindikat 12 hanya terungkap secara garis besar dan apa yang diungkap oleh penulisnya tampak sudah menjadi rahasia umum yang diketahui oleh banyak orang . Selain itu dampak sosial terhadap perilaku para mafia narkotika dalam novel ini juga tak terungkap dengan jelas. Andai saja penulis lebih berani mengungkap sisi-sisi gelap dunia mafia tanah air yang belum banyak diketahui orang dan menyertakan dampak-dampak sosial yang mungkin dirasakan akibat perilaku mereka tentunya novel ini akan jadi novel yang menggegerkan, monumental. Tentunya untuk mengungkap itu semua perlu riset yang lebih dalam lagi dan keberanian untuk mempublikasikannya.

Namun terlepas dari semua hal di atas, apa yang disajikan oleh penulis dalam Metropolis tetaplah menarik dan menghibur. Walau karakter-karakter tokohnya tak diulas secara mendalam namun tetaplah menarik karena penulis tak menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna termasuk tokoh protagonis dalam novel ini. Semua serba abu-abu, ada unsur baik ada pula unsur jahatnya, demikian pula untuk tokoh-tokoh jahat dalam novel ini sehingga semua tokoh terlihat sangat manusiawi.

Selain itu novel ini juga menghadirkan narasinya yang enak dibaca, plot yang cepat, deskripsi yang filmis, dan kejutan-kejutan di sepanjang novel yang akan memacu rasa kepenasaran pembacanya untuk terus membaca novel ini hingga tuntas. Tema persaingan bisnis ilegal narkotika, konspirasi, kisah cinta, dan balas dendam antar geng tentu akan mengingatkan kita pada novel Godfather – Mario Puzo. Jadi mungkin bisa dikatakan inilah Godfather rasa lokal walau rasanya tak pada tempatnya membandingkan Metropolis dengan Godfather.

Walau ending novel ini bisa dikatakan tuntas dan tak menggantung, namun masih ada celah yang bisa dijadikan bahan untuk membuat sekuel dari novel ini. Jika memang itu pilihan penulisnya untuk melanjutkan cerita ini, dan Windry terus konsisten untuk menulis dalam genre ini, bukan tak mungkin ia akan jadi penulis handal dalam genre thriller detektif yang hingga kini masih sedikit digarap oleh penulis-penulis kita.


@h_tanzil
Read more »

Minggu, 17 Mei 2009

Sastra Sepeda di Boja

Judul : Sastra Sepeda di Boja - Kumpulan Catatan Perjalanan
Penulis : Arif Khusnudhon, dkk
Kata Pengantar Sigit Susanto
Penerbit : lerengmedini press
Cetakan : I, April 2008
Tebal : 112 halaman

Membaca judul buku ini “Sastra Sepeda di Boja” tentu menimbulkan pertanyaan apa itu “Sastra Sepeda?” , lalu di mana pula kota Boja berada ? Sastra Sepeda adalah nama sebuah kegiatan dimana para pesertanya diajak bersepeda ke beberapa tempat dan menuliskan pengalaman mereka dalam sebuah catatan perjalanan. Seperti yang kita ketahui ‘Catatan Perjalanan/Travel Writing’, atau Sastra Pelancongan adalah salah satu genre dalam dunia sastra. Beberapa sastrawan dunia seperti VS. Naipul, DH. Lawrence, Charles Dickens, Ernest Hemingway, dll pernah menulis catatan perjalanan, karenanya tak berlebihan jika kegiatan bersepeda yang salah satu tujuannya untuk menuliskan pengalaman bersepeda dari tiap pesertanya ini diberi nama “Sastra Sepeda”.

Lalu dimana Boja?. Boja adalah nama desa di Kecamatan Boja, Kendal, Jawa Tengah. Desa seluas 1.024 ha yang berpenduduk sekitar 6000 jiwa ini berjarak sekitar 27 km dari Kota Semarang. Di perpustakaan desa yang bernama Pondok Maos Guyub yang berdiri sejak 2007 dan telah memiliki koleksi sekitar 1550 buku (700 komik, 350 novel berbahasa asing, 500 buku berbahasa Indonesia, terutama buku sastra dan kebudayaan) inilah kegiatan Sastra Sepeda dilaksanakan.

Pengagas Sastra Sepeda adalah Sigit Susanto, putra daerah asli Boja, pendiri Perpustakaan Pondok Maos Guyub dan penulis buku “Menyusuri Lorong-lorong Dunia jilid 1-2 yang kini bermukim bersama istrinya di Swiss. Sigit bersama pengelola perpustakaan dan milis Apresiasi Sastra bekerja sama untuk mewujudkan kegiatan Sastra Sepeda ini yang dilaksanakan pada tanggal 3- 10 Mei 2008 yang lalu. Pesertanya sebagian besar terdiri dari anak-anak / remaja Boja dan diikuti beberapa peserta tamu yang berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, Bali, Kalimantan, bahkan diikuti pula oleh Shiho Sawae, mahasiswi S3 Tokyo University of Foreign Studies Jepang yang tengah melakukan riset untuk disertasinya mengenai gaya kegiatan sastra di Indonesia terkini.

Sesuai dengan salah satu tujuan Sastra Sepeda dimana peserta didorong mengenal lingkungannya dan menuliskan pengalamannya masing-masing untuk mendorong kemajuan dunia baca-tulis di Boja dan sekitarnya, maka semua obyek-obyek yang dikunjungi adalah tempat yang berorientasi sosial seperti pabrik tempe, pabrik genting, puskesmas, rumah sakit jiwa, gereja, pesantren, makam Sunan Bromo, makam pahlawan, pasar hewan, dll, yang jika dijumlah ada 20 obyek yang dikunjungi oleh para peserta selama tujuh hari berturut-turut. Dari kegiatan inilah akhirnya terhimpunlah 15 tulisan dan dibukukan dalam sebuah buku sederhana dengan judul ‘Kumpulan Catatan Perjalanan Sastra Sepeda di Boja’ yang diterbitkan oleh penerbit lokal asal Boja, lerengmedini press.

Kelima belas cataran perjalanan pada buku ini dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama berisi 4 tulisan peserta lokal yang masih duduk di bangku SMP, sedangkan bagian kedua berisi 10 catatan penulis tamu dengan aneka profesi seperti penyair, mahasiswa, cerpenis, mantan TKW, pensiunan guru, dll. Semuanya menulis catatan perjalanan mereka dengan gaya dan sudut pandangnya masing-masing.

Yang menarik tentu saja tulisan anak-anak SMP, mereka mencatat hasil pengamatan obyek-obyek yang dikunjunginya dengan tulisan tangan. Bahkan untuk melengkapi catatan mereka, tak jarang tulisan-tulisan itu diberi gambar-gambar berupa sketsa dari apa yang mereka lihat. Semua tulisan tangan dan gambar tersebut terekam secara apa adanya dalam buku ini karena dengan cerdas penerbit menampilkan tulisan mereka dengan cara men-scan langsung dari apa yang mereka tulis. Jadi jika tulisannya agak sukar dibaca ya itu karena tulisan aslinya yang memang agak sukar dibaca. Tapi disinilah letak keasyikan membaca bagian ini karena pembaca akan dibawa memasuki nuansa anak SMP asal Boja dari apa yang mereka tulis dan gambar sesuai dengan aslinya.

Dibagian kedua, yang merupakan catatan perjalanan para peserta tamu , barulah tersaji seperti naskah-naskah buku pada umumnya. Dari ke sepuluh catatan ini kita akan melihat bagaimana para peserta tamu dari berbagai profesi menulis catatan perjalanan mereka dengan sudut pandang dan gayanya masing-masing.

Semua menulis pengalamannya bersepedanya dengan menarik, termasuk penak-pernik perjalanan seperti bangun kesiangan sehingga harus berangkat sendiri menuju Boja, ada yang terjatuh dari sepeda, anak kecil yang merengek ingin menonton pementasan kuda lumping hingga usai, suasana dalam rumah sakit jiwa, dan pernak-pernik lain yang mereka temui dalam kegiatan ini. Yang pasti munculnya tulisan para peserta tamu dari berbagai daerah juga menambah ragamnya sudut pandang akan Boja dan sekitarnya, sehingga Boja tidak hanya dipotret oleh orang setempat, tapi juga oleh orang luar yang biasanya akan lebih obyektif dalam menggambarkan keberadaan suatu tempat.

Tampaknya tak ada batasan harus seperti apa dan apa saja yang perlu dituliskan. Semua peserta hanya diminta untuk menulis apa yang mereka lihat dan amati, karenanya tulisan-tulisan dalam buku ini sangat beraham. Ada yang panjang dan mendetail, ada pula yang singkat. Jika ingin mengetahui kegiatan ini secara rinci mungkin bisa membaca tulisan Sigit Susanto dan Adi Toha yang merekam kegiatan ini dari obyek ke obyek dari hari pertama hingga ke enam lengkap dengan deskripsi yang mengajak pembacanya ikut merasakan apa yang dialami oleh peserta Sastra Sepeda ini.

Selain itu ada pula yang tulisannya lebih menekankan pada munculnya kenangan masa kecil, alih-alih merinci pengalaman bersepeda, Maria Bo Niok, pengelola rumah baca “Istana Rumbia” di Wonosobo malah menulis bagaimana girangnya ketika ia menemukan buku Ko Ping ho di perpustakaan Pondok Maos Guyub. Atau bagaimana Stevi Sundah menuliskan pengalamanannya dengan kalimat-kalimat puitis plus dengan beberapa puisi yang ia goreskan untuk melengkapi tulisannya.

Sebagai pelangkap, buku ini menyajikan pula beberapa foto kegiatan ‘Sastra Sepeda’ , semua fotonya tersaji dengan tajam di bagian akhir buku ini sehingga membuat pembacanya dapat lebih merasakan bagaimana seru dan menariknya kegiatan Sastra Sepeda di Boja.

Ide untuk membukukan kegiatan Sastra Sepeda ini sangatlah mulia. Mungkin awalnya para peserta sastra sepeda tak mengira jika tulisan-tulisan mereka akan terkumpul dalam sebuah buku yang dan diterbitkan oleh penerbit lokal. Dengan demikian apa yang telah mereka tulis menjadi abadi, dan bisa dibaca dan menjadi inspirasi bagi pembaca buku ini. Tentunya kita bisa membayangkan bagaimana senangnya anak-anak SMP yang tulisan tangannya dimuat di buku ini, yang pasti mereka akan terharu dan merasa bangga membaca tulisannya sampai dibukukan. Semoga kebanggaan ini kelak akan berbuahkan semangat bagi mereka untuk terus menulis dan berkarya. Dan seperti yang menjadi harapan M. Ali Muakhor, seorang peserta tamu Sastra Sepeda, “Semoga dalam 5 atau 10 tahun kedepan akan lahir penulis-penulis baru yang berasal dari Boja” (hal 78)

Buku ini selain dapat mendokumentasikan kegiatan Sastra Sepeda dan menyulut semangat literasi di Boja, tentunya buku ini juga akan mengispirasi pembacanya bahwa sebuah catatan perjalanan tidak harus ditulis dari pengalaman mengunjungi tempat-tempat yang jauh, obyek-obyek wisata terkenal di dalam dan luar negeri. Jika kita membuka mata kita, maka ada tempat-tempat di sekitar kita yang sering kita lewati dan tampaknya biasa-biasa saja namun memiliki muatan sosial dan budaya yang unik yang ternyata bisa ditulis untuk menjadi sebuah catatan perjalanan yang menarik untuk diketahui oleh semua orang.

@h_tanzil
Read more »

Jumat, 15 Mei 2009

Goloso Geloso

Goloso Geloso
Tanti Susilawati @ 2009
GagasMedia – 2009
316 Hal.

Larasati, seorang gadis dari Indonesia, mendapatkan beasiswa pendidikan musik di Italia. Italia – kota mode, kota yang romantis, juga tempatnya para penggila bola. Beruntung Larasati juga adalah seorang penggila bola, terutama klub Inter Milan.

Sebelum ke Milan, Larasati tinggal di Perugia bersama keluarga Italia yang juga punya anak gadis bernama Renata. Tapi, jangan harap bisa bicara tentang sepak bola dekat Renata, kalau tidak mau mendengar teriakannya yang membahana dan langsung diikuti dengan kemarahan yang hebat. Kenapa? Sesuatu membuat Renata trauma dengan hal-hal yang berbau sepak bola.

Di Milan, Larasati berkenalan dengan sepupu Renata, bernama Chico. Ia ditugaskan Renata untuk menjemput Larasati di bandara. Ternyata, mereka sama-sama tertarik satu sama lain dan akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih.

Tapi, ada ‘ganjalan’ di antara mereka. Keluarga besar Chico adalah fans berat klub bola AC Milan. Mereka menganggap Inter Milan sebagai musuh besar mereka. Larasati akhirnya harus berpura-pura kalau ia juga penggemar fanatik AC Milan.

Masalah lain muncul ketika Larasati semakin sibuk dengan orkestranya. Ia mendapat kesempatan untuk membuat album solo sebagai pemain biola. Kesibukan membuat mereka jarang bertemu. Apalagi secara tidak sengaja, salah satu pentolan klub Inter Milan ternyata ‘tertarik’ pada Larasati. Fransesco Paganini (hmmm.. semoga gak salah nulis), mengajak Larasati untuk bergabung dalam sebuah yayasan yang ia bentuk. Chico cemburu berat.

Masing-masing mementingkan egonya sendiri dan tidak ada yang mau mengalah, dan akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah.

Hmmm.. mampukah romantisme Italia menyatukan mereka kembali? Yang pasti di buku ini, kita bisa membayangkan indahnya kota Milan, karena ada foto-fotonya, meskipun hitam putih tapi mencuri perhatian. Ditambah lagi, berbagai menu Italiano bertebaran di buku ini (bukan resepnya sih – tapi, silahkan bayangkan betapa yummy-nya masakan-masakan itu).

Tema cerita mungkin gak terlalu istimewa, tapi pilihan lokasi dan pernak-perniknya yang bikin jadi menarik.

Read more »

Rabu, 13 Mei 2009

9 Matahari

9 Matahari
Adenita @ 2008
Grasindo – 2008
359 Hal.

Sederetan nama-nama terkenal dan ‘penting’ mewarnai bagian endorsement buku ini. Menjanjikan bahwa buku ini adalah buku yang layak dibaca. Tapi, bukan karena itu (saja) yang bikin gue tertarik untuk membacanya, tapi lebih karena judulnya. Gue merasa dari judulnya koq sepertinya mengandung sesuatu yang ‘magis’, yang memberi semangat. Gimana gak… matahari-nya ada 9 gitu, lho…

9 Matahari bercerita tentang perjuangan seorang gadis bernama Matari Anas. Ia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, kalau gak boleh dibilang kekurangan. Ayahnya tak punya pekerjaan jelas, karena krisis moneter membuatnya tak lagi semangat untuk mencari pekerjaan. Ibunya seorang ibu rumah tangga. Kakaknya, Hera, meskipun lulus dengan predikat cum laude, tapi pasrah ketika tak ada perusahaan yang merespons lamaran pekerjaannya.

Tapi, Tari punya semangat lain. Meskipun tertunda hampir 3 tahun, keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi tidak pupus. Meskipun ia tahu keluarganya tidak mampu untuk membiayainya, tapi ia tetap tak patah arang. Ia terus membujuk kakaknya dan berusaha mencari pinjaman untuk menutupi biaya kuliahnya.

Perjuangan Tari betul-betul panjang, sulit dan penuh hambatan. Kuliah di Bandung, jauh dari orang tua. Ia betul-betul harus berjuang sendiri menghadapi hari-hari penuh tekanan, terutama dalam soal keuangan. Perhitungan yang cermat dilakukan demi menghemat biaya hidup. Mencari pekerjaan sampingan juga dilakukan untuk mencicil hutang. Tak sediki teman yang mau membantunya, tapi tetap saja, namanya juga hutang, pasti akan ditagih terus.

Belum lagi ternyata, bapaknya yang sudah keburu pesimis, malah nyaris menjatuhkan semangat Tari. Tekanan demi tekanan, ternyata berpengaruh juga pada kondisi kejiwaan Tari. Sampai akhirnya, Tari terpaksa cuti kuliah.

Beruntung masih banyak orang-orang yang peduli pada Tari, karena tahu Tari punya semangat dan cita-cita. Beruntung juga, Tari punya kemampuan lain yang membuka banyak kesempatan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.

Mmmm… novel ini sebenarnya adalah novel yang memberikan ‘pencerahan’. Kaya’nya nih… ini pengalaman hidupnya Adenita sendiri. Karena semuanya begitu detail dan teratur. Mulai dari awal kuliah sampai akhirnya lulus kuliah. Kalau ngeliat riwayat hidup Adenita di halaman belakang buku ini, mudah bagi kita untuk menghubungkan semua tempat-tempat yang tersamar dalam buku ini dengan apa yang Adenita sendiri alami.

Mungkin karena ‘percakapan’ yang minim, lalu alur yang lambat dan seolah tanpa kejutan, kita emang betul-betul seperti baca memoar seseorang. Ada kalanya jadi bosan, karena terlalu berpanjang-panjang penjelasannya. Tapi, buat gue, siapa pun tokohnya, entah nyata atau nggak, gue salut dengan perjuangannya yang ‘berdarah-darah’. Gue dapet sesuatu dari buku ini…
Read more »

Senin, 11 Mei 2009

Negeri van Oranje

Negeri van Oranje
Wahyungirat, Adept Widiarsa, Nina Riyadi & Rizki Pandu Permana @ 2008
Bentang – Cet. I, April 2008
478 Hal.

Satu lagi buku yang bikin gue iri, bikin gue menyesal terlalu banyak ‘bermain-main’ pas kuliah. Bikin gue kembali bermimpi untuk bisa menjejakkan kaki di luar sana – di tempat lain. Hehehe.. mimpi boleh kan… biar makin semangat (atau makin asyik bermimpi).

Buku yang ditulis ‘keroyokan’ ini bercerita tentang 5 anak Indonesia yang ‘terdampar’ di Belanda demi mengejar gelar master. Mereka berkenalan di Amersfort, di stasiun kereta api yang jadwal keberangkatannya tertunda gara-gara badai – lebih khususnya lagi gara-gara rokok. Biasa deh, di tempat dingin, apalagi yang dibutuhkan seorang cowok untuk mendapatkan kehangatan. Di tengah-tengah sekelompok orang berambut pirang – terselip 5 orang berambut gelap yang saling bertegur sapa, saling menawarkan rokok kretek dan korek api – o ya, lebih tepatnya 4 orang cowok yang saling ber’transaksi’ rokok dan satu perempuan yang ikut bergabung mencari teman setanah air.

Dari sana lahirnya nama Aagaban – yang terdiri dari Lintang – kuliah di Leiden, Daus – si anak Betawi Asli, PNS dari Departemen Agama yang dapet beasiswa untuk kuliah di Utrecht, ada Wicak – pekerja di sebuah LSM yang sekarang kuliah di Wageningen, lalu, Banjar – si manager marketing perusahaan rokok terkemuka di Indonesia, sekarang berjuang di Rotterdam, dan terakhir, cowok yang paling ganteng (di antara mereka), Geri, anak orang kaya yang udah lama bermukim di Belanda, dan kuliah di Den Haag.

Kebersamaan mereka menghadirkan berbagai petualangan – bukan hanya menjelajah kota-kota di Belanda, tapi juga petualangan batin yang membuat mereka terus mempertanyakan idealisme mereka, apa tujuan mereka setelah mereka lulus – apa mereka akan pulang ke Indonesia, tapi gak berkembang, atau terus berkarya demi bangsa tapi dari kejauhan.

Di sela-sela tugas mereka, pontang-panting menyelesaikan thesis, terselip ‘kisah perjuangan’ merebut hati Lintang, satu-satunya ‘kembang’, kisah yang sempat membuat mereka terlibat perang dingin. Keuangan yang pas-pasan membuat mereka juga harus mengatur strategi agar uang beasiswa mereka cukup untuk hidup mereka. Demi mendapatkan tambahan, mereka harus rela mengorbankan waktu mereka untuk kerja paruh waktu. Seperti Banjar kerja di sebuah restoran Indonesia atau Lintang yang nyambi jadi guru tari.

Gak setiap hari mereka ketemu, tapi yang pasti hari-hari mereka nyaris selalu diisi dengan chatting via YM atau kirim-kiriman email garing di milis Aagaban. Dan mumpung di negeri orang, kadang-kadang mereka juga punya ‘obsesi’ untuk melakukan sesuatu yang belum tentu bisa mereka lakukan di Indonesia, misalnya nih, minum bir, nyoba ‘cimeng’ – atau kaya’ Lintang, pacaran sama orang bule. Tapi, sialnya (atau untungnya) Daus, berkat doa, aji-ajian sapu jagat sang Engkong, dia selalu terhindar dari perbuatan maksiat. Hahaha…

Kurang tidur, ke kampus naik sepeda, menunggu kiriman rokok kretek plus jalan-jalan yang menyenangkan, adalah ritual yang mereka jalani selama di Belanda. Meskipun banyak teman lain, tapi tetap mereka selalu mencari anak-anak Aagaban kalau lagi ada masalah. Tapi, nih… ketika salah seorang dari mereka punya rahasia besar, bisa gak ya mereka menerima hal itu?

Bagusnya buku ini juga dilengkapi sama berbagai tips seputar kehidupan di Belanda (tentunya tips yang membuat pundi-pundi uang gak jebol), misalnya tips seputar sarana transportasi, lalu nyari tempat tinggal yang hemat, ada juga daftar hari-hari perayaan di Belanda yang menarik, terus, tips backpacking dan lain-lain.
Read more »

Kamis, 07 Mei 2009

Orange

Orange
Windry Ramadhina @ 2008
GagasMedia – 2008
296 Hal.

Faye Muid, gadis tomboy, seorang fotografer. Bercita-cita bikin pameran foto sendiri. Foto-foto Faye unik (katanya), punya sentuhan pribadi.

Diyan Adnan, pengusaha muda, pemilik sejumlah mall. Konon, dia beli mall sambil makan siang, atau lagi main golf.

Secara ‘kebetulan’, kedua orang tua mereka berteman baik. Orang tua Faye pemilik beberapa franchise ternama, sedangkan orang tua Adnan memiliki sejumlah pertokoan dan bisnis besar lainnya. Atas nama bisnis, para orang tua sepakat untuk menjodohkan Faye dan Diyan.

Semua segera diatur, kencan pertama, konferensi pers yang berisi sejumlah pertanyaan dan jawaban yang harus mereka berdua berikan. Faye dan Diyan tentu kaget, tapi mereka menerima perjodohan ini tanpa banyak perlawanan.

Faye berusaha keras menyukai Diyan. Sementara Diyan masih berkutat dengan masa lalunya. Ia pernah sakit hati karena ditinggal kekasinya, Rera, yang mengejar impian untuk jadi model terkenal. Meskipun, Rera ada di Paris, tapi, Diyan belum bisa melupakannya. Ia (dan juga Rera), ternyata masih berharap masih ada secuil kesempatan untuk mereka berdua.
Rera kembali ke Jakarta dalam rangka promosi produk kosmetik yang memakainya sebagai model iklan. Pada saat yang sama, Diyan dan Faye bertunangan. Meskipun berita pertunangan mereka berdua sudah sampai ke teling Rera, tapi, Rera tetap nekat menghubungi Diyan.

Selama Rera di Jakarta, Diyan diam-diam menemuinya. Faye sesungguhnya kecewa. Tapi, ia tidak bisa berharap banyak karena ia tahu Diyan tidak mencintainya.

Lalu, ada Zaki, yang ternyata adik Diyan. Tapi, Zaki ini tipe pemberontak, yang gak mau ngikutin jejak orang tuanya sebagai pengusaha. Dia memilih jalur bisnisnya sendiri. Zaki punya biro iklan bersama teman-temannya. Dan, kebetulan ia memakai jasa Faye sebagai fotografer. Zaki sama sekali gak menyangka kalau Faye akan bertunangan dengan kakaknya, karena dia tahu, Faye bukanlah tipe cewek idaman Diyan. Diam-diam, Zaki juga menaruh hati pada Faye.

Bertunangan dengan pengusaha terkenal, membuat hubungan mereka sarat dengan gosip. Faye harus belajar diam ketika ia dikejar-kejar wartawan. Dan harus belajar juga menerima tunangannya yang masih menyimpan hati pada mantan kekasihnya.

Tapi, lagi-lagi ini adalah tentang sebuah pilihan. Karena cinta toh gak bisa dipaksain, apalagi atas nama bisnis. Ternyata membuat pilihan itu, meskipun awalnya ada rasa terpaksa, tetap sulit - tetap sulit melepaskan apa yang udah ada dalam genggaman kita (wise mode: on)

Buku ini bikin gue ‘termehek-mehek’. Hahahaha… mungkin karena gue lagi PMS, makanya sifat melow dan cengeng gue jadi keluar (tapi… tenang… gak ada yang namanya banjir air mata). Gue suka sama cara mbak Windry menulis. Sebagai pembaca, gue ngerasa ‘dituntun’ pelan-pelan, setiap gue penasaran, pelan-pelan ketemu jawabannya. Berbeda genre sama novel keduanya yang sarat ketegangan dan butuh konsentrasi tinggi, buku ‘Orange’ ini bikin segar. Dan, seperti biasa ditulis dengan 'persiapan' yang lengkap - liat aja di blog-nya.

O ya, tadinya gue pikir, Rei - sepupunya Diyan yang juga asistennya - bakal jatuh cinta sama Diyan dan bikin Faye jadi mundur (hehehe, mungkin adegan ini hanya ada dalam sinetron) - eh.. tapi gak mungkin juga kan... mereka kan sepupuan... atau... Rei jadi jutek karena Faye bikin Diyan 'mangkir' dari meeting-meeting penting (lagi-lagi sinetron mode: on)
Read more »

The Dragon Scroll

Judul : The Dragon Scroll

Penulis : I. J. Parker

Penerjemah : Meithya Rose Prasetya

Penerbit : Penerbit Kantera

Cetakan : Februari 2009

Tebal : 484 hlm



The Dragon Scroll adalah sebuah kisah detektif dengan setting Jepang di abad ke 11 ketika pemerintahan Jepang berada dalam periode Heian (794-1185). Mirip dengan kekaisaran Teng di China yang pemerintahannya terpusat, Jepang dikendalikan langsung dari ibukota Heian Kyo (Kyoto) oleh seorang kaisar dengan birokrasi yang rumit. Saat itu Jepang dibagi ke dalam beberapa propinsi yang diperintah oleh seorang gubernur yang bertugas mengawasi hukum dan tata tertib di daerahnya, termasuk penarikan pajak propinsi.



Sugawara Akitada, seorang bangsawan muda yang cerdas dan idealis yang sedang menata kariernya, baru saja dilantik menjadi panitera muda dalam Kementrian Kehakiman. Ia diberi tugas pertama oleh pemerintah untuk menyelidiki hilangnya iring-iringan pajak yang dikirim dari propinsi Kazusa. Ini adalah perjalanan pertamanya ke luar ibukota, untuk itu ia dibantu oleh Seimei, pelayan keluarga Akitada yang setia, mahir dalam pembukuan, dan memiliki pengetahuan yang sangat luas soal ramuan herbal. Selain itu dalam perjalanannya ia juga bertemu dengan Tora, seorang pengelana urakan yang turut menyertai Atikada dan Seimei dalam menjalankan tugas mereka.



Tugas yang diemban Atikada bukanlah hal yang mudah, karena ia harus berhadapan dengan pejabat-pejabat setempat seperti Motosuke, gubernur Kazusa, Residen Ikeda, mantan gubernur Lord Tachibana, yang merupakan tokoh-tokoh senior dan terpandang. Hal pertama yang dilakukannya adalah memeriksa arsip-arsip dan pembukuan gubernur Motosuke. Walau ia disambut dengan hangat namun Atikada tetap menjaga jarak dengan Motosuke, apalagi ketika diketahui Motosuke memberikan batangan emas di mangkuk makanannya. Apakah sang gubernur hendak menyogoknya?



Temuan sementara ternyata arsip dan laporan pembukuan sang gubernur rapih dan bersih dari unsur-unusur penggelapan keuangan negara, namun pemberian sang gubernur membuat Akitada mencurigainya. Belum lagi ia menyelidiki lebih lanjut, sebuah peristiwa berdarah terjadi. Lord Tachibana, mantan gubernur Kazusa terbunuh dalam ruang kerjanya. Padahal sehari sebelumnya Lord Tachibana mengundang Akitada untuk berkunjung ke rumahnya karena ada hal penting yang ingin disampaikannya secara rahasia. Pembunuhan ini tentu saja membuat Akitada curiga bahwa Lord Tachibana memiliki informasi mengenai hilangnya iring-iringan pajak dan ia sengaja dibunuh agar tak membuka mulut pada Akitada.



Benarkah Lord Tachibana dibunuh agar pelaku penggelapan pajak tak terungkap?. Akitada harus memutar akal agar dapat mengungkap semua itu. Bukannya semakin mudah karena berbagai persoalan rumit mulai menghadangnya, mulai dari persoalan perselingkuhan istri muda Lord Tachibana dengan seorang pejabat negara, terbunuhnya seorang mucikari, hingga keberadaan biara Empat Wajah Kebijaksanaan yang semakin kaya serta rahib-rahibnya yang sering membuat onar penduduk kota. Adakah keterkaitan semua itu dengan hilangnya iring-iringan pajak yang tak pernah sampai ke ibukota?



Akitada tak menyerah pada tantangan yang dihadapinya, bersama Seimei dan Tora, mereka berbagi tugas dalam melaksanakan tugas mereka, berhadapan dengan dunia politik yang kelam dan birokrasi yang rumit, mencoba menguak apa yang sesungguhnya terjadi di Kazuza yang penuh dengan intrik politik dan beberapa kasus pembunuhan yang terjadi selama Akitada berada di Kazusa.



Selain itu konsentrasi Akitada juga terpecah karena hatinya tertaut pada seorang gadis lokal yang memiliki seorang adik yang bisu yang ternyata merupakan salah satu saksi kunci dalam mengungkap kasus yang dihadapinya.



Bagi yang menyenangi kisah-kisah misteri detektif atau penggemar kisah-kisah samurai atau Jepang kuno tentunya kisah Akitada dalam The Dragon Scroll ini layak dicoba karena memadukan kisah detektif ala Alfred Hitcock dengan petualangan samurai Jepang. Pertarungan ala Samurai dan penyelidikan ala Alfred Hitchcock kental mewarnai novel ini. Selain itu yang membuat menarik dalam novel ini adalah settingnya yang eksotis yaitu Jepang di abad ke 11.



Melalui novel kita bisa mengetahui bagaimana kondisi sosial dan budaya Jepang di masa tersebut, misalnya budaya korupsi, birokrasi yang rumit, nuansa politik kotor dan bagaimana hilangnya kepercayaan masyarakat pada petugas negara mewarnai novel ini, selain itu kisah percintaan juga menjadi menu tambahan didalamnya.



Apa yang dicoba dideskripsikan oleh IJ Parker dalam novel ini bukanlah khayalan semata karena penulisnya telah melakukan riset yang mendalam mengenai suasana Jepang abad ke 11. Beberapa tempat, kejadian-kejadian, dan beberapa tokoh dalam novel ini didasarkan pada apa yang tercatat dalam sejarah. Karenanya dalam kadar tertentu, melalui novel ini kita memperoleh beberapa informasi mengenai sejarah kuno Jepang.



Sayang plotnya yang tak terlalu cepat dan halamannya yang tebal kadang membuat saya agak bosan membacanya. Untungnya jalinan peristiwa misteri yang saling kait mengkait yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang mudah dicerna dan enak dibaca membuat saya bertahan untuk menamatkan novel ini hingga selesai dan menemukan semua jawaban atas kasus yang dihadapi Akitada.



Sebagai pelengkap, di bab terakhir novel ini terdapat bab “Latar Sejarah” yang berisi latar sejarah dan situasi sosial, politik, agama, dan budaya Jepang di abad ke 11. Walau diletakkan di bagian akhir, bab ini ada baiknya juga dibaca sebelum kita mulai membaca novel ini karena setidaknya apa yang ditulis di bab ini memberikan gambaran riil mengenai setiing cerita yang dibangun dan memudahkan kita untuk lebih memahami dan menikmati kisah petualangan Akitada melalui latar sejarah, sosial, dan budaya Jepang di masa itu.

Kisah Akitada ternyata tak berhenti pada novel ini saja karena The Dragon Scroll merupakan buku pertama dari serial Sugawara Akitada. Selanjutnya masih ada lima judul seri Akitada yang telah ditulis oleh I.J. Parker yaitu : Rahsomon Gate, Black Arrow, Island of Exiles, The Hell Screen, dan The Convict Sword. Semoga kesemua judul ini kelak akan diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Kantera.





Akitada's Series













Inggrid J. Parker adalah penulis kisah-kisah detektif kelahiran Jerman. Pada tahun 2000 ia meraih penghargaan Private Eye Writers" dari America Shamus Award untuk Best P. I. Short Story untuk bukunya “Akitada First Case” (1999). Ketertarikannya pada literasi dan budaya Jepang kuno membawanya pada riset yang mendalam tentang Jepang di abad ke-11 hingga kini. Apa yang dipelajarinya mengilhaminya untuk menciptakan tokoh Akitada dalam karya-karyanya. Cerita pertamanya tentang Akitada “Istrument of Murder” muncul di majalah Alfred Hitchcock's Mystery di Oktober 1997. . Saat ini Parker tinggal di Virginia Beach, Virginia. Hingga saat ini dia masih menulis untuk Alfred Hitchcock’s Mystery Magazine.



@h_tanzil
Read more »

Selasa, 05 Mei 2009

After the Honeymoon

After the Honeymoon
Ollie @ 2008
GagasMedia – Cet. I, 2008
242 Hal.

Jadi pengantin baru, gak berarti semuanya jadi indah. Bayangan tentang masa-masa indah sebagai pengantin baru setelah bulan madu – rumah sendiri, sarapan berdua, berangkat kerja berdua. Tapi… ternyata, tinggal berdua juga membuka pandangan baru tentang pasangan kita. Kalau yang tadinya keliatannya rajin, ternyata males bangun pagi. Yang katanya suka kopi, begitu dibikinin kopi – bahkan yang instant – tetap aja ada yang salah.

Ata dan Barra berusaha mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Tapi, ternyata semuanya berbeda dengan yang mereka bayangkan. Setiap hari, Ata yang jadi supir karena Barra trauma dan tidak pernah mau mengendarai mobil lagi. Barra ternyata juga termasuk orang yang santai, gemar handphone model terbaru. Tapi, dengan niat menjadi istri yang baik dan pengertian, Ata mencoba mengerti kegemaran dan segala kekurangan Barra.

Dibanding Barra, dalam hal pekerjaan Ata lebih baik. Baru pulang dari bulan madu, Ata sudah ditawari posisi baru yang menuntut dirinya untuk bekerja lembur. Sementara Barra dengan terpaksa menerima ajakan temannya untuk dugem, sekedar menunjukkan kalau dirinya tidak berubah meskipun sudah menikah.

Masalah mulai semakin runyam ketika Ata hamil dan memutuskan pindah ke rumah orang tuanya. Tinggal di rumah mertua membuatnya tidak nyaman. Apalagi memang, sebelum menikah, baik Ata maupun Barra, bukanlah menantu idaman.

Puncaknya, ketika Barra diam-diam mengambil tabungan milik mereka berdua. Sementara Ata berniat menyimpan tabungan itu untuk keperluan persalinan. Hubungan mereka memanas. Barra pun pergi meninggalkan Ata.

Campur tangan kedua orang tua juga terkadang bikin runyam. Anak-anak mereka pengen berbaikan, tapi orang tua malah bkin makin panas. Godaan adanya perempuan lain (atau mungkin laki-laki lain) juga mampu menggoyahkan iman di saat hubungan antar suami-istri sedang berada di ujung tanduk.

Lagi-lagi pengertian dan mampu meredam ego masing-masing, juga komunikasi, selalu jadi kunci dalam menyelesaikan masalah. Harus selalu ingat, apa sih tujuan kita ketika kita memutuskan untuk menikah. (hehehe.. curcol…)

Buku ini mungkin bisa jadi buku ‘panduan’ bagi pengantin baru. Buku panduan yang ringan dan gak penuh teori-teori. Yahhh.. meskipun tentunya kenyataan kadang gak seindah dan semudah gambaran di buku ini. Mungkin di luar sana, banyak pasangan muda yang kasusnya mirip dengan Ata dan Barra, atau mungkin mirip dengan Widi dan Jeff. Meskipun kasus Widi dan Jeff beda sama Ata dan Barra, tapi tetap aja, kuncinya sama.

Tapi… ada satu yang gak pas nih… katanya, Barra takut nyetir mobil, tapi koq, di Solo dia berani aja tuh nyetir mobil? Apa dia takut nyetir di Jakarta aja ya?

Like this book, like the cover…

Read more »

Senin, 04 Mei 2009

Metropolis

Metropolis
Windry Ramadhina @ 2009
Grasindo – 2009
331 Hal.

Kepolisian disibukkan dengan pembunuhan berantai pimpinan kelompok pengedar narkotika. Adalah Augusta Bram, polisi dari bagian narkotika yang sudah menangani kasus ini. Awalnya, perkiraan terjadinya pembunuhan ini ‘hanya’ karena persaingan antar gank memperebutkan daerah kekuasaan mereka. Para kelompok ini dikenal dengan nama Sindikat 12.

Kalau sudah tahu siapa para pemimpin dan siapa saja anggotanya, kenapa gak ditangkap aja? Hmm.. ternyata gak semudah itu. Para pengedar ‘bermain’ dengan sangat hati-hati dan bersih. Mereka pintar mengatur semua transaksi dan keuangan mereka, agar polisi tidak bisa melacak bisnis kotor mereka. Terkadang polisi juga harus tarik ulur, saling bertukar informasi dan bukti, demi mendapat keping-keping informasi lainnya.

Augusta Bram mulai mencari pola dari pembunuhan berantai itu. Apa motif dari si pembunuh sebenarnya? Dibantu Erik, asistennya, mulailah ia merunut dari awal, siapa di antara Sindikat 12 yang pemimpinnya dibunuh paling awal. Pola yang begitu rumit dan tidak berbentuk.

Keanehan lain timbul, ketika di setiap tempat kejadian perkara, ada seorang perempuan yang hadir. Perempuan yang sama yang ada ketika pemakaman Leo Saada – ada juga di tempat Markus ditemukan tewas, bahkan ada di tempat Soko Galih terjun bebas dari rukonya.

Ternyata perempuan itu bernama Miaa, mantan polisi juga. Ia punya misi tersendiri untuk ada di setiap tempat kejadian.

Bram harus mau kembali bekerja sama dengan Ferry Saada agar bisa menangkap pembunuh ayah Ferry. Dari penyelidikan yang panjang, terungkaplah kejadian tragis di tahun 1991. Motif balas dendam menjadi latar belakang dari pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini.

Kerja keras Bram nyaris terhenti karena atasannya, Burhan, yang ingin mengalihkan kasus ini ke bagian lain. Tapi, Bram tidak mau berhenti begitu saja, ketika titik terang sudah mulai terlihat.

Nama-nama baru muncul seiring berkembangnya kasus ini. Seperti jaring laba-laba, semuanya ternyata berhubungan satu sama lain dan punya kepentingan masing-masing. Tapi, yang rada gak jelas… kaya’nya tokoh Aretha? Kenapa dia begitu baik sama keluarga Al? Apa hubungannya ya?

Gue suka novel ini. Cara penulisannya rapi banget. Semuanya teratur dan detail. Mulai dari awal, ketika pemakaman Leo Saada, gue bisa ngebayangin gimana prosesinya. Gue jadi membayangkan film-film mafia, dengan mobil limousine hitam, para pelayat dengan baju hitam-hitamnya, yang perempuan lengkap dengan kacamata hitam, yang pria tetap cool. Lalu, masuk ketika tokoh-tokoh mulai muncul, gue ngebayangin sosok Ferry Saada bertampang seperti mafia-mafia Cina (tokoh langsung berubah dari wajah Latino ke wajah-wajah seperti Andy Lau – hehehe.. gue gak terlalu hafal nama-nama pemain film Cina, hanya sebatas Andy Lau). Lalu, tokoh Johan yang tampak rapuh, tapi berhati dingin. Tapi, entah kenapa, gue agak kesulitan membayangkan tokoh Bram – rasanya, semua yang gue inget, rada kurang macho untuk menggambarkan sosok Bram.

Perpindahan setiap bagian cerita juga rapi banget. Meskipun tempat dan tokohnya berbeda, tapi tetap berhubungan dengan bagian sebelumnya. Selain itu, Mbak Windry juga bikin blog khusus untuk novel ini. Di sana bisa diliat foto-foto ‘setengah wajah’ dari tokoh-tokoh di sini. Kaya’nya riset buat buku ini juga lumayan dalem. Istilah-istilah narkotika, kepolisian cukup detail. Gue menikmati banget baca buku ini. Gue ikutan tegang dan penasaran (beneran lho… Bukan karena gue dapet buku ini gratis, makanya gue suka…)
Read more »

Breaking Dawn (Awal yang Baru)

Breaking Dawn (Awal yang Baru)
Stephanie Meyer @ 2008
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
GPU – Cet. I, Januari 2009
864 Hal.

Huaaaaa… akhirnya… akhirnya… selesai juga baca Breaking Dawn ini. Setelah separo baca bahasa Inggris, terus, gak sabaran… beli yang bahasa Indonesia. Tapi, ternyata, juga tidak mempercepat selesainya. Buku yang super tebal ini ternyata menghabiskan waktu berbulan-bulan. Soalnya bacanya diselingi sama baca buku-buku yang lain.

Akhirnya… Bella dan Edward menikah. Meskipun banyak pro dan kontra (terutama dari para werewolf… lebih tepatnya lagi dari Jacob), toh Bella tetap pada pendiriannya dan pada pilihannya. Prosesi pernikahan dilakukan di rumah kediaman keluarga Cullen. Dengan dekorasi rancangan Alice, pesta itu menjadi pesta itu menjadi indah dan romantis. Para tamu terdiri dari golongan manusia dan para vampire. Satu-satunya tamu yang paling diharapkan Bella tidak hadir untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Tapi, Edward membuat kejutan untuk Bella, meskipun nyaris terjadi kekacauan.

Seperti layaknya pengantin baru, Bella dan Edward pun pergi berbulan madu. Tentu saja, tempat bulan madunya juga pasti luar biasa – gak mungkin kan, Edward kasih kejutan yang biasa-biasa aja untuk Bella. Tapi, tetap saja, mereka tidak bisa menikmati bulan madu itu. Karena, Edward yang takut. Benar saja, selama bulan madu, tubuh Bella penuh dengan lebam.

Bulan madu itu juga berakhir dengan tidak enak, karena Bella ternyata langsung hamil! Kehamilan itu tidak wajar. Bukan hanya karena periode kehamilan yang tidak seperti manusia biasa, yaitu 9 bulan. Tapi, juga karena asupan gizi yang dibutuhkan Bella bukanlah susu kehamilan, melainkan darah segar!. Sementara itu, bayi di kandungan Bella juga membuat Bella kesakitan dan berkembang dengan cepat.

Charlie yang sejak hari pernikahan Bella belum melihat Bella lagi, diberitahukan bahwa Bella sakit karena virus yang menyebar di tempat bulan madu mereka, sehingga tidak mungkin ditengok. Lalu, di kawanan werewolf, terjadi perpecahan – antara Jacob yang ingin Bella tetap menjadi ‘Bella’ dan Sam – yang ingin segera ‘bertempur’ dengan kaum vampire untuk mencegah lahirnya bayi immortal dari rahim Bella.

Jacob memilih memisahkan diri dari kawanannya. Seth – yang bersahabat dengan vampire mengikuti Edward. Dan karena ingin menjaga keselamatan Seth, akhirnya dengan terpaksa, Lea juga ikut dengan Jacob. Mereka bertiga bergiliran berpatroli di sekitar kawasan tempat tinggal keluarga Cullen.

Persalinan Bella tidak berjalan dengan lancar. Bella mempertaruhkan nyawanya, meskipun itu artinya semakin dekat dengan apa yang sudah dipilihnya. Edward pun tidak punya pilihan lain, selain ‘menyelamatkan’ nyawa Bella dengan caranya sendiri. Jacob harus kembali kecewa.

Tapi, hehehe… ternyata Jacob meng-imprint Renesmee – itu nama anak Bella dan Edward. Bella sempat berang. Sebagai vampire baru (upss… spoiler), perilaku Bella terus diawasi, karena ada kecenderungan ia mengincar para manusia. Bahkan, Bella harus diawasi ketika berdekatan dengan anaknya yang ‘blasteran’ manusia – vampire. Perkembangan Renesmee juga berbeda dari bayi pada umumnya. Dalam hitungan hari, Renesmee sudah seperti anak dua tahun dan pinter banget.

Kalau Edward punya kemampuan membaca pikiran, Bella – selain kuat – punya kemampuan ‘melindungi’ dirinya agar vampire lain tidak mudah membaca pikirannya.

Kehadiran Renesmee membuat heboh dunia ‘pervampiran’. Kelompok Volturi yang sangat ditakuti akan datang untuk mencegah kehadiran bayi immortal. Mereka menganggap keluarga Cullen sudah melanggar aturan. Ketegangan melanda kaum vampire, tampaknya pertumpahan ‘darah’ tidak dapat dielakkan. Carlisle, Alice dan Jasper pergi untuk mencari teman-teman vampire yang bisa mendukung mereka. Rumah keluarga Cullen kedatangan vampire dari berbagai penjuru dunia.

Buku ini tebeeelllll banget… agak cape’ juga bacanya. Buku ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama, itu Bella saat masih jadi manusia, masa-masa honeymoon-nya. Bagian kedua itu bagiannya Jacob. Dasar bahasa cowok, kadang sembarangan… hehehe.. bukan gak sopan, tapi cuek banget. Nah, bagian ketiga dan bagian yang panjang, bagian ketika Bella sudah berubah wujud – gimana Bella belajar bertarung dalam waktu singkat, terharunya jadi ibu dan akhirnya bisa merasakan ‘true love’-nya yang bener-bener sama Edward.

Well… cerita berakhir bahagia. Tapi, mungkin asyik juga diceritain gimana kehidupan Renesmee yang ‘blasteran’ itu, sementara orang tuanya sendiri udah jadi vampire.

Read more »

Minggu, 03 Mei 2009

The Spook’s Apprentice

The Spook’s Apprentice
Joseph Delaney @ 2004
Hardi Liman Saputra (Terj.)
Penerbit Matahati – Cet. I, Maret 2009
326 Hal.

Menjadi anak ketujuh tampaknya tidak menjadikan Thomas J Ward punya banyak pilihan akan jadi apa dirinya kelak ketika dewasa. Tanah pertanian milik ayahnya sudah pasti diwariskan untuk kakak tertuanya, Jack. Sedangkan anak-anak yang lain ditawarkan untuk pekerja di penambangan. Hingga giliran Tom tiba, sudah tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dicarikan ayahnya untuk Tom. Akhirnya, pilihan terakhir jatuh kepada menjadi murid seorang Spook. Menjadi Spook bukanlah pekerjaan favorit, justru menjadi Spook membuat seseorang akan dijauhi oleh masyarakat desa.

Salah satu syarat untuk menjadi Spook adalah anak laki-laki ketujuh dari anak laki-laki ketujuh. Ayah Tom juga anak ketujuh, dan bukan sebuah kebetulan hal ini terjadi pada Tom. Ternyata, ibu Tom yang misterius sudah merencanakan ini sejak ia berniat menikah dengan ayah Tom. Spook sendiri tugasnya adalah membasmi segala hal yang jahat yang selalu mengganggu masyarakat desa County. Hal jahat itu bukan hanya perampok, pencuri, tapi lebih kepada ‘kekuatan’ jahat itu sendiri, seperti misalnya ‘membasmi’ para penyihir. Karena itulah, mereka kerap dijauhi dan disegani, karena pekerjaan mereka yang berbau-bau mistis.

Tom harus meninggalkan rumah mereka, mengikuti Sang Spook, Gregory, untuk tinggal di rumahnya. Perjalanan jauh ditempuh dengan berjalan kaki, hanya dengan membawa bekal sepotong keju. Di perjalanan, memasuki daerah hutan yang kelam, Tom beberapa kali merasakan adanya hawa-hawa aneh yang melingkupi mereka. Sembari berjalan, Gregory terus menjelaskan berbagai hal yang nantinya harus dihadapi oleh Tom.

Pelajaran-pelajaran yang bersifat teori menanti Tom. Meskipun teori, tapi menyisakan banyak misteri, yang kadang enggan dijawab oleh Sang Spook.

Suatu hari, Tom mendapati ‘pelajaran praktek’ secara kebetulan. Ia diminta Gregory untuk pergi ke desa, mengambil beberapa bahan untuk keperluan pokok mereka. Dalam perjalanan pulang, Tom diganggu oleh beberapa anak yang ingin mengambil belanjaan Tom. Ia ditolong oleh seorang gadis bersepatu runcing – seseorang yang harusnya ia hindari, tapi ia malah membuat janji.

Inilah awal bencana, awal semua kesulitan yang harus dihadapi oleh Tom. Apalagi Alice – si gadis bersepatu runcing itu, meminta Tom untuk membantunya membebaskan Mother Malkin – penyihir tua yang sangat jahat, yang kejahatannya bisa dibayangkan seburuk yang bisa kita pikirkan. Teror pun dimulai – beberapa anak kecil hilang. Darah anak-anak konon dikabarkan bisa membangkitkan kekuatanan Mother Malkin.

Tom harus bertanggung jawab atas ‘kekacauan’ yang ia buat. Ya.. sebagai anak ‘magang’, belum tahu ‘medan’ yang sebenarnya. Tom jadi kurang berhati-hati dan cenderung kurang berpikir panjang. Mampu apa gak dia jadi the Next Spook?

Buku ini benar-benar gelap. Sesekali bikin merinding. Abis settingnya di hutan, sebagian besar di waktu malam… Hiii… Kaya’ film apa ya? Sleepy Hollow?
Read more »

Jumat, 01 Mei 2009

The Tales of Beedle the Bard

The Tales of Beedle the Bard (Kisah-Kisah Beedle si Juru Cerita)
J.K. Rowling @ 2007/2008
Nina Andiana & Listiana Srisanti (Terj.)
GPU – Maret 2009
144 Hal.

The Tales of Beedle the Bard adalah buku yang salah satu ceritanya adalah tentang Kisah Tiga Bersaudara, sebuah kisah yang diwariskan Dumbledore kepada Hermione Granger. Buku yang berisi dongeng-dongeng pengantar tidur yang ditulis para penyihir – layaknya para muggle yang punya kisah Cinderella, Putri Tidur, Putri Salju dan lain-lain yang pada umumnya berakhir dengan bahagia.

Nah, dalam buku ini, kisah-kisah yang disajikan cenderung berakhir ‘tragis’ atau tidak seindah dongeng-dongeng muggle – meskipun ada segi positif yang bisa diambil. Dari lima kisah yang ada, kalau dilihat dari judul-judulnya, emang lucu-lucu sih. Tapi. Ternyata, kalau dibaca lebih lanjut… wah, bisa-bisa gak cocok buat anak-anak, karena terlalu ‘mengerikan’. Professor Dumbledore sendiri ‘membuat’ beberapa catatan di tiap akhir cerita –komentar atau pendapatnya tentang kisah-kisah tersebut, beserta pro-kontranya di kalangan penyihir sendiri. Hehehe… jadi serius nih, buku ini. Mari kita liat satu-satu ceritanya.

Yang pertama adalah kisah Sang Penyihir dan Kuali Melompat. Cerita tentang anak seorang penyihir yang sifatnya bertolak belakang dengan ayahnya. Jika ayahnya mau menolong para muggle, maka anaknya akan membiarkan saja muggle-muggle yang membutuhkan pertolongannya. Hingga suatu hari ia sangat terganggu dengan keributan yang disebabkan oleh kuali peninggalan ayahnya. Hmmm… kebencian terhadap kaum muggle pun jadi inspirasi untuk sebuah dongeng.

Sementara kisah kedua Air Mancur Mujur Melimpah. Kisah tentang legenda sebuah air mancur yang bisa setiap harinya akan mengambil satu orang yang beruntung untuk mendapatkan berkah. Ini mungkin bisa disamakan dengan legenda-legenda sumur wasiat (hahaha… ngarang banget sih, gue…). Justru di kisah ini diajarkan bahwa kita harusnya bisa percaya pada kemampuan diri kita sendiri, jangan mengandalkan kekuatan sesuatu benda atau mitos-mitos yang beredar.

Kisah ketiga - Penyihir Berhati Berbulu – adalah kisah yang paling mengerikan menurut gue. Berdarah-darah dan yang paling ‘hitam’. Cerita tentang seorang penyihir yang hatinya itu begitu dinging, buta sampai-sampai ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Justru ia meremehkan orang-orang yang mabuk kepayang. Tapi, ketika cinta itu datang, justru hati itulah yang membunuhnya. Hiii.. serem dan tragis banget. Kisah cinta sehidup semati yang berakhir tidak seindah kisah Romeo dan Juliet.

Kisah keempat - Babbity Rabbity dan Tunggul Terbahak – yang paling gue suka dari namanya. Abis lucu aja namanya. Ceritanya ada raja yang pengen banget diakui kalau dia itu penyhir yang paling handal, padahal dia sama sekali gak bisa menyihir. Maka itu, dia minta semua penyihir diberantas, diburu. Tapi, ternyata ada satu orang yang licik, yang pura-pura jadi guru si raja. Babbity Rabbity yang nantinya akan jadi pahlawan yang bisa menyadarkan si raja kalau sikapnya itu salah. Katanya sih, Babbity Rabbity ini merupakan salah satu ‘pengakuan’ adanya penyihir yang bisa bertransfigurasi.

Kisah kelima Kisah Tiga Bersaudara – kisah yang menurut gue paling bagus, dan paling bijaksana. Sebenernya sih standard aja, tentang tiga bersaudara, yang harus membuat prioritas mana yang paling dia inginkan ketika mereka boleh meminta satu permintaan. Seperti biasa, tentu saja si saudara paling kecil yang paling bijaksana, sehingga ia bisa membuat satu permintaan yang paling baik.

Cerita-ceritanya simple aja kan? Tapi, disajikan dari sudut ‘penyihir’ yang bahkan ketika dibacain untuk anak-anak penyihir bisa berefek muntah-muntah, pusing-pusing, kalau si anak gak suka. Makanya, kisah ini sering dimodifikasi jadi versi yang bersahabat untuk para penyihir.

Tapi, kaya’nya lebih panjang penjelasannya Dumbledore dibanding dongeng-dongengnya sendiri.

Read more »