Selasa, 30 Juni 2009

Coraline

Judul : Coraline

Penulis : Neil Gaiman

Adaptasi & Ilustrasi : P. Craig Rusell

Alih Bahasa : Maya Aprillisa

Penerbit : m&c!

Cetakan : I, 2009

Tebal : 185 hlm

Genre : Novel Grafis



Novel grafis Coraline merupakan adaptasi dari novel horor fantasi Neil Gaiman dengan judul yang sama, ‘Coraline’. Novelnya sendiri terbit pada tahun 2002 dan berhasil meraih beberapa penghargaan yaitu Hugo Award for Best Novella 2002, Nebula Award for Best Novella 2003, dan Bram Stoker Award for Best Work for Young Readers 2002. Karenanya tak heran jika novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Di Indonesia sendiri sendiri novel Coraline telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2004 yang lalu.



Pada tahun 2008, Coraline diadaptasi menjadi novel grafis oleh P. Craig Rusell, pemenang Harvey and Eisner Awards yang merupakan penghargaan bergengsi di dunia komik. Coraline adalah kolaborasi kelimanya bersama Neil Gaiman. Seolah tak ingin dilupakan orang, kisah Coraline terus bergaung hingga kini, terbukti dengan diadaptasinya kisah ini kedalam stop-motion animation yang disutradarai oleh Henry Selick (sutradara The Nightmare Before Christmas) dan telah dirilis pada Febuari 2009 yang lalu.



Walau filmnya tidak diputar di bioskop-bioskop tanah air, penggemar karya-karya Neil Gaiman di Indonesia tetap terhibur dengan diterjemahkannya novel grafis Coraline kedalam bahasa Indonesia dengan kualitas cetak yang sangat baik serta dicetak di atas kertas mengkilap sehingga semua keindahan ilustrasi Craig Rusell tersaji secara sempurna.



Dikisahkan Coraline adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang baru saja pindah ke sebuah rumah tua yang besar. Saking besarnya, rumah itu dibagi menjadi beberapa flat. Coraline dan keluarganya menepati salah satu flat, sementara flat lainnya dihuni oleh dua mantan artis yang telah tua, yaitu Miss Forcible dan Miss Spink, sedangkan flat lainnya ditempati oleh Mister Bobo, seorang pelatih sirkus tikus.



Walau Coraline merupakan anak tunggal namun tak berarti ia mendapat perhatian yang penuh dari kedua orang tuanya. Ibu dan ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaanya masing-masing sehingga Coraline selalu merasa kesepian. Untuk mengusir rasa sepinya Coraline menyusuri seluruh ruangan yang ada di flatnya. Ketika memasuki ruang perjamuan yang hanya digunakan untuk acara-acara penting ia menemukan sebuah pintu yang terkunci. Ternyata saat dibuka, yang ada di balik pintu terkunci itu hanyalah tembok bata. Dahulu sebelum rumah itu dibagi menjadi beberapa flat, pintu itu tembus ke flat sebelah yang hingga kini masih dibiarkan kosong. Karenanya akses menuju flat sebelah ditutup dengan tembok batu-bata.



Beberapa hari kemudian, saat kedua orang tuanya tak ada di rumah, Coraline tergerak untuk membuka kembali pintu yang telah tertutup tembok itu. Anehnya ketika ia membuka pintu itu, tembok batu bata itu lenyap dan berubah menjadi sebuah koridor gelap. Rasa penasarannya membuat Coraline menyusuri koridor gelap itu dan sampailah ia ke sebuah ruangan yang persis sama dengan flatnya. Di situ juga ada ayah dan ibunya, hanya saja jari-jari tangan ibunya tampak lebih panjang dan mata mereka terbuat dari kancing hitam.



Caroline seolah masuk dalam dunia baru yang paralel dengan dunia nyata, hanya saja dunia di balik pintu ini ia melihat banyak keanehan seperti hewan yang bisa berbicara, Mrs Spink dan Foccible yang tampak terlihat lebih muda, buku gambar yang bisa bergerak, makanannya yang lebih enak, dll. Selain itu kedua orang tuanya ‘yang lain’ tampak lebih perhatian dibandingkan orang tua aslinya.



Awalnya memang semua terasa menakjubkan dan lebih menarik daripada dunianya sendiri. Namun Coraline menjadi curiga ketika kedua orang tua ‘yang lain’ terus membujuknya untuk tinggal dan menjadi anak mereka di sana, syaratnya Coraline harus mau dijahit matanya dengan kancing hitam seperti mereka. Coraline menolak dan ia bergegas kembali ke dunianya.



Namun setelah ia kembali ternyata orang tuanya lenyap. Yang ia temui hanyalah bayangan kedua orang tuanya dibalik cermin lemari yang seolah meminta pertolongan padanya. Saat itulah Coraline yakin bahwa kedua orang tuanya diculik oleh ayah ibunya ‘yang lain’, terperangkap dalam dunia di balik pintu flatnya. Karenanya Coraline kembali memasuki dunia di balik pintu untuk mengembalikan kedua orang tuanya ke dunia nyata.



Niat Coraline untuk membebaskan kedua orang tuanya segera diketahui oleh ibunya yang lain, karenanya mahluk itu menghukum Coraline dengan menyekapnya ke dalam sebuah lemari. Di situ Coraline bertemu dengan hantu 3 anak kecil dari masa lalu yang telah lama jiwanya disekap dalam lemari tersebut.



Setelah dibebaskan, Coraline membuat kesepakatan dengan ibunya yang lain bahwa jika ia berhasil menemukan kedua orang tuanya dan membebaskan jiwa tiga anak kecil yang tersekap, maka ibunya yang lain harus membebaskan kedua orang tua aslinya dan membawanya pulang ke tampat asalnya . Sebaliknya jika gagal, Coraline bersedia tinggal selamanya bersama ibunya yang lain di dunia di balik pintu flatnya, termasuk mengganti matanya dengan mata kancing.



Tantangan ini diterima oleh ibunya yang lain dan mulailah petualangan Caroline yang menegangkan untuk membebaskan jiwa ketiga anak yang telah lama mati, menemukan kedua orang tuanya, dan bersama-sama mereka kembali kepada kehidupan normalnya.



Kisah yang ditulis oleh Neil Gaiman ini tentu saja mengingatkan kita pada dunia Narnia (C.S Lewis) dimana terdapat dunia lain di balik sebuah pintu. Namun jika dunia Narnia merupakan dunia baru yang berbeda dengan dunia nyata, dunia dibalik pintu rumah Coraline adalah dunia yang sama persis dengan dunia nyata termasuk manusianya, hanya saja wujud mereka tampak lebih mengerikan dibanding aslinya.



Kisah yang ditulis Neil Gaiman dan ilustrasi yang dibuat Craig Russell memang menghadirkan sebuah kisah petualangan dengan nuansa yang suram . Walau sebagian besar panel-panel gambar dalam buku ini dihiasi ilustrasi yang indah dan didominasi sapuan warna-warna yang cerah namun ada banyak ilustrasi yang berpotensi untuk mencekam pembacanya seperti bayangan di cermin, wajah menakutkan, hantu, gambaran mimpi kelam, sumur tua, sepenggal tangan, dll. Untungnya tak ada darah dalam novel ini, karenanya kengerian yang ditampilkan oleh Gaiman dan Russel dalam buku ini masih dapat diterima sebagai bacaan remaja yang menghibur sekaligus mendidik.



Dibalik kisahnya yang suram dan mencekam memang ada pesan moral yang sangat baik bagi para remaja yang terkandung dalam kisah Coraline. Rasa tidak puas terhadap keluarga sendiri yang dialami oleh Coraline tentunya hal yang umum dirasakan oleh para remaja. Sama seperti yang diinginkan Caroline, kitapun selalu mendambakan bahwa semua hal yang kita inginkan bisa terlaksana, kita ingin hidup bebas sekehendak kita, tanpa larangan, tanpa batasan.



Dari peristiwa yang dialami Coraline, akhirnya ia sendiri menyadari bahwa kemudahan untuk memperoleh semua hal yang diinginkannya ternyata tak juga mengasyikan. Ketika ibunya yang lain membujuk Coraline untuk tinggal bersamanya dan dijanjikan akan mengabulkan semua keinginannya, ternyata Coraline yang telah menyadari kekeliruannya serta merta menolaknya.



Kau betul tidak paham, ya? Aku tidak mau semuanya terkabul. Tak ada yang mau begitu. Apa asyiknya kalau aku punya semua yang kuinginkan? Semudah itu, dan itu semua tidak berarti apa-apa. Sesudah itu apa ya?” (hal 133).



@h_tanzil













Read more »

Senin, 29 Juni 2009

Perempuan Lain

Perempuan Lain
Kristy Nelwan @ 2007
Grasindo – Cet. II, Maret 2009
362 Hal.

Maya marah berat ketika Fauzan, tunangan sahabatnya, Hesti, ketauan berselingkuh dengan perempuan yang ya… ma’af-ma’af, rada kecentilan dan gak sebanding banget dengan Hesti. Maya nekad melabrak Cindy, si WIL itu, ketika dengan santainya dia datang menggantikan Fauzan yang gak bisa dateng ke ulang tahunnya Cindy.

Masalah ‘perempuan lain’ bukan hanya dialami Cindy, tapi juga Tiara, kakak Maya sendiri. Parahnya, Tiara-lah yang jadi perempuan lain dalam pernikahan orang lain. Bahkan dia hamil, tapi, karena tak mau karirnya terancam, Tiara nekat melakukan aborsi.

Tapi, siapa sangka, Maya sendiri akhirnya terjebak menjadi si ‘perempuan lain’ itu. Tak ada niat atau bahkan kepikiran sama sekali dalam benak Maya untuk mendapatkan predikat pengganggu kekasih orang. Ketika, Maya ketemu Sandi di restoran makanan Menado, Maya hanya iseng memperhatikan sosok ganteng itu. Mana dia tahu kalo Sandi itu GM sebuah produk ponsel ternama yang meng-hire kantor Maya sebagai EO untuk launching produk terbaru mereka. Dan kebetulan Maya adalah PO dari project baru itu.

Maya yang sudah lama gak jatuh cinta, gak bisa melupakan begitu saja sosok Sandi. Sandi yang perhatian, yang hangat dan yang kocak, mampu ‘melumerkan’ hati Maya. Tapi, ternyata, gak disangka-sangka, ternyata Sandi sudah punya tunangan.

Maya hancur. Ia jadi kerja gila-gilaan, makan gak teratur, apalagi tidur. Sampai-sampai, bossnya, mengirim dia berlibur ke Lombok, tempat Maya akhirnya bertemu dengan kekasih masa lalunya dan bisa kembali tersenyum

Ketika Maya mencoba bangkit, Sandi malah gak mau melepaskannya. Maya pun menjalani hubungan ini dengan diam-diam, menyembunyikan ini dari sahabat-sahabatnya sendiri. Meskipun Maya sudah mencoba untuk menjalin hubungan dengan pria lain, Sandi tetap tak tergantikan.

Tapi, ketika Sandi datang lagi kepadanya, dan Maya justru gak mampu untuk menerimanya. Kenapa?? Karena ternyata… sosok dalam mimpi Maya selama ini bukanlah Sandi (upppss… apakah ini spoiler?)

Dibanding novel ‘L’, gue lebih suka yang ini. Emang sih, tokoh perempuannya, sama-sama galak (apakah ini menggambarkan sosok Kristy Nelwan?), terus, sama-sama perokok berat, galak, susah ‘mencari cinta’, dan sama-sama pekerja keras. Tapi, buat gue, tema-nya lebih ‘membumi’, dibanding tema nyari cowok berdasarkan abjad. Sifat idealis seseorang yang harus diuji ketika dia sendiri melanggar apa yang dia ‘haramkan’. Dan, kadang, kita juga gak sadar, sosok yang selama ini kita cari, ada pada seseorang yang selalu hadir di depan mata kita.

Meskipun ini, banyak ‘keseleo’nya nih, banyak salah tulis… Adiel Peterband beberapa kali keseleo jadi Ariel Peterpan, yang memang tampaknya berasal dari nama itu.
Read more »

Jumat, 26 Juni 2009

Ingo

Ingo
Helen Dunmore @ 2005
Rosemary Kesauli (Terj.)
GPU – Juni 2009
312 Hal.

Buku ini berkisah tentang legenda Putri Duyung. Kalo dalam dongeng-dongeng anak-anak a la Walt Disney, Putri Duyung (dan juga makhluk-makhluk bawah air lainnya), selalu digambarkan sebagai makhluk yang ramah, cantik dan baik. Tapi, coba liat atau baca Harry Potter. Putri Duyung di dalam cerita itu, digambarin berwajah menyeramkan (meskipun awalnya sempet ‘cantik’), terus, penggoda.

Di buku ini juga gitu. Legenda Putri Duyung yang jatuh cinta dengan manusia darat. Laut tempat si putri duyung tinggal terus memanggil-manggil pemuda yang bernama Matthew Trewhella. Karena selama mereka masih tinggal di dua dunia yang berbeda, mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Matthew pun memilih ‘pindah’ ke tempat pujaan hatinya dan meninggalkan dunia yang selama ini ia kenal. Jika sudah masuk ke dalam dunia bawah laut, akan laut akan terus menarik dan memisahkan manusia dari tempat tinggalnya sebelumnya.

Legenda itu sering didengar Sapphire. Ayahnya yang ‘kebetulan’ bernama Matthew Trewhella sering menceritakan kisah itu kepadanya. Sapphire, ayahnya, ibunya dan kakaknya, Connor, tinggal di pesisir pantai yang dingin (bahkan saat musim panas pun, gue mendapatkan kesan yang tetap dingin). Lautnya begitu misterius, sampai-sampai ibu Sapphire membencinya. Tapi, Sapphire, seperti ayahnya mencintai laut.

Suatu malam, ayah Sapphire pergi dan tak pernah kembali lagi. Semua orang menganggap ia sudah mati tenggelam. Tapi, Sapphire dan Connor tak percaya. Mereka yakin, entah bagaimana dan di mana, ayah mereka masih hidup.

Sepeninggal Matthew, ibu mereka, Jannie, terpaksa bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran yang letaknya cukup jauh dari rumah, sehingga mereka kerap ditinggal sendiri di rumah. Suatu hari di musim panas, Connor pergi, tanpa pamit. Sehingga Sapphire panik. Sapphire mencarinya ke pantai, dan menemukan Connor sedang berbicara dengan seorang gadis yang berpakaian mirip penyelam. Tapi, Connor tidak mau mengakui siapa yang ia temui.

Sapphire yang penasaran mencoba mengikuti Connor, dia malah bertemu dengan Faro, laki-laki ‘setengah’ anjiing laut. Sapphire pun diajak ke dunia bawah laut yang menakjubkan, yang disebut Ingo, tempat yang membuatnya ingin kembali lagi karena daya tariknya yang begitu kuat.

Misteri Ingo seolah mengikuti misteri hilangnya ayah Sapphire. Sebagai anak paling kecil dan yang paling dekat dengan ayahnya, Sapphire tidak rela ketika posisi ayahnya nyaris tergantikan oleh pria lain. Ia merasa diabaikan, ia merasa bukan di ‘Udara’ – begitu kaum Mer menyebut dunia darat – tempatnya seharusnya berada. Sapphire ingin kembali dan kembali lagi ke Ingo. Meskipun Connor terus mencegahnya untuk memikirkan Ingo.

Biasanya gue gak terlalu suka misteri kaya’ begini, tapi koq gue jadi ikutan ‘terpesona’ dengan Ingo. Gue ikutan penasaran, apa sebenarnya yang ada di Ingo, terus, apa memang ayah Sapphire masih hidup? Kalau memang masih hidup, ke mana dong Matthew pergi dan berada sekarang? Dan hal ini, benar-benar jadi misteri sampai akhir cerita.

Helen Dunmore gak membiarkan pembacanya mengambil kesimpulan sendiri. Pembacanya diajak ‘berfantasi’ dengan dunia Ingo dan mencari jawaban sendiri. Dan, ternyata, Ingo ini ada sequelnya. Semoga aja segera terbit juga terjemahannya.

Read more »

Selasa, 23 Juni 2009

Para Penggila Buku : Seratus Catatan di Balik Buku

Judul : Para Penngila Buku - Seratus Catatan di Balik Buku
Penulis : Diana AV.Sasa & Muhidin M. Dahlan
Penerbit : i: boekoe (indonesia Buku)
Cetakan : 2009
Tebal : Hardcover, 667 hlm ; 24 cm

Sadarkah kita jika buku ternyata tak sekedar berbicara tentang apa yang terkandung di dalamnya. Dunia buku ternyata begitu luas dan kaya, bagaikan sebuah mata air yang tak pernah kering, kisah-kisah dibalik dunia buku selalu mengalir, memberikan kesegaran, dan memberi inspirasi baru bagi mereka yang selalu haus akan buku dalam hidup mereka. Namun kisah-kisah dibalik dunia buku itu harus dicari, ditelisik, diwartakan, agar semua penggila buku tahu bahwa dunia yang mereka geluti setiap harinya itu ternyata memiliki banyak kisah yang menarik dan tak terduga.

Muhidin M Dahlan dan Diana AV Sasa, adalah sedikit diantara para penggila buku yang mau berjerih lelah mencari kisah-kisah luar biasa dibalik buku. Muhidin yang kerap disapa Gus Muh adalah novelis, essais, kerani i:boekoe (Indonsia buku) yang hingga kini telah memiliki 3000-an buku di kamarnya. Sedangkan Diana AV Sasa adalah, aktivis buku yang juga kerap menulis essai tentang dunia buku di Koran Jawa Pos. Duo penggila buku inilah yang akhirnya memproklamirkan kegilaannya akan buku dengan membuat 100 catatan di balik buku dan membukukannya ke dalam sebuah buku dengan cover bersampul tebal yang kokoh dan menarik.

Selama kurang lebih tujuh bulan, dengan modal beberapa catatan yang sudah pernah mereka buat baik untuk konsumsi dunia cyber maupun media cetak, akhirnya mereka berhasil mengumpulkan dan menulis 98 catatan tentang dunia buku, dan 2 catatan tentang profil mereka masing-masing. Ke 100 catatan itu dibaginya dalam delapan bagian besar yaitu : Kisah Buku, Klub Buku, Musuh Buku, Guru Buku, Revolusi Buku, Film Buku, Rumah Buku, dan Tokoh Buku.

Dari delapan bagian besar tersebut kita akan mengetahui bagaimana ternyata sejarah perbudakan Indonesia itu berawal dari skandal buku, lalu bagaimana di zaman demokrasi terpimpin politik menjadi panglima buku sehingga pameran-pameran buku di zaman itu dijadikan arena adu ideologi baik melalui buku-buku yang dipamerkan maupun melalui poster-poster yang terdapat di stand-stand yang tersedia. Kebalikan dari itu kita juga akan diajak mencermati bagaimana di tahun 2000 an tema syahwat begitu dominan dan menjadi salah satu pentas menarik dalam perbukuan di Indonesia.

Kecintaan seseorang akan membaca juga membuat para pembaca buku berusaha mencari komunitas-komunitas buku, maka lahirlah Klub-Klub Buku. Di kota Zurich, Switzerland, ada Klub Baca James Joyce yang setiap pekannya dengan tekun membaca dan mendiskusikan novel bantal ‘Ullyses’ kalimat perkalimat, selama 3 tahun!. Jika kita terkagum-kagum dengan kebesaran koleksi perpusatakaan Harvard, maka buku ini mengajak kita berkenalan dengan George Parker Winship, pendiri klub buku Harvard Fine Arts 5e. Ia mengajarkan bagaimana memiliki dan menghasilkan buku-buku bagus. Melatih kepekaan selera anggotanya untuk membeli buku dari sisi kelangkaan dan keindahannnya, menjadikan koleksi buku sebagai sebuah aktivitas berkelas sehingga akhirnya anggota klub ini dapat dengan cemerlang memahami latar belakang sejarah dan kondisi zaman ketika sebuah buku diterbitkan.

Di bagian Musuh Buku kita akan diajak melihat bagaimana kekuatan api dan tiran bahu membahu untuk menghancurkan buku yang tidak disukai oleh rezim tertentu dari zaman ke zaman, yang paling tua adalah perpustakaan Alexandria yang hancur lebur dimakan api pada 640 SM. Ada banyak versi kisah yang menyatakan siapa sebenarnya pembakar perpustakaan ini dan hingga kini masih diperdebatkan. Terlepas dari siapa pelakunya, peristiwa pembakaran Perpustakaan Alexandria adalah sebuah peristiwa penghilangan bukti sejarah terbesar yang pernah ada. Pembakaran buku oleh rezim tertentu tampaknya telah menjadi budaya bagi orang-orang yang ingin melanggengkan tirani. Mereka menganggap buku sebagai sebuah ancaman.

Membaca erat kaitannya dengan menulis buku, para pembaca akut biasanya memiliki keinginan untuk menulis buku sehingga namanya tertoreh di cover depan buku karyanya. Karenanya buku ini membahas beberapa buku yang berhubungan dengan proses membaca dan menulis , mulai dari karya klasik Arswendo, “Mengarang Itu Gampang” hingga buku-buku terbaru seperti Quantum Reading, Quantum Writing, Speed Reading, Chicken Soup for The Writer Soul, dan lain-lain yang semuanya mengetengahkan bagaiman membaca dan menulis adalah dua hal yang saling bersisian dan bisa dipelajari lewat berbagai buku sehingga siapapun bisa melakukannya.

Di bagian Revolusi Buku muncul beberapa tulisan menarik, antara lain bahasan bahwa di era cyber ini buku telah mengalami revolusi, kehadirannya tak hanya berupa teks yang dicetak diatas kertas, namun telah berevolusi menjadi serba elektrik, sehingga lahirlah audio book dan e-paper. Tak hanya bentuk buku yang berevolusi jalur-jalur pendistribusian buku pun ikut berubah, ada toko buku onlen, perpustakaan onlen, Print on Demand, dan lainnya. Jika buku berevolusi, penulis resensipun ikut berrevolusi, mereka kini tak hanya berlomba menulis agar dimuat di media cetak, kini para peresensi memiliki lahan baru untuk membagikan apa yang telah mereka baca secara jujur dan apa adanya, merekalah yang disebut dengan Bloger Buku.

Ternyata kisah dalam sebuah buku tak hanya dapat dibaca, banyak film-film yang menjadikan buku sebagai latar cerita. Buku ini mencatat dan memberikan resensi 7 buah film yang merupakan adaptasi dari sebuah buku, mulai dari Fahrenheti 451, Il Postino, Finding Forester, Quills hingga film Indonesia, Gie. Selain film buku penulis juga menyertakan 18 catatan mengenai Rumah Buku, yaitu perpustakaan. Berbagai kisah kelam tentang kondisi perpustakaan di Indonesia akan terungkap termasuk nasib perpustakaan di kampung halaman SBY yang dikenal sebagai presiden yang gemar sekali membaca.

Sebagai penutup buku ini mencatat pula tentang para penggila buku buku baik dari mancanegara maupun tokoh buku Indonesia. Bukan hanya tokoh-tokoh besar di dunia buku seperti Antonio Magliabechi yang hidup dan mati demi buku, atau konributor kamus Oxford, William Chester Minor yang ternyata seorang gila, namun ada juga kisah Blumberg, si bandit buku, dimana ia berhasil mencuri 23.600 buku dari 268 perpustakaan di 45 negara bagian, 2 propinsi di Kanada dan Colombia. Jika dinilai dengan uang, maka hal tersebut setara dengan $20 juta ! Lalu ada juga kisah Frank J. Hogan yang uangnya ludes karena terus membeli sejumlah buku. Karena hasratnya untuk membeli buku tak pernah reda ia rela berhutang ke bank demi memperoleh buku.

Sedangkan untuk penggila buku tanah air, kita akan diajak berkenalan dengan Bung Hatta, Harry Kunto, Oie Hiem whie, Taufik Rahzen, Kiswanti, Dauzan Farouk, Pramoedya AT, Omi Intan Naomi yang begitu mencintai dan mengerti akan arti sebuah buku dalam hidupnya. Mereka berdiam di balik buku itu menyimpan banayak rahasia besar akan cita-cita kebesaran sebuah bangsa.

Selain semua hal diatas, diantara rimbunan catatan dalam buku ini satu hal yang menarik bagi saya adalah munculnya ide-ide gila dari penulisnya untuk memajukan dunia buku tanah air, misalnya ide Kantor Pos sebagai jalur distribusi buku, TV Buku, Kapal Buku, dll. Tentunya hal ini bukan sekedar angan-angan karena penulis juga menyertakan argumennya bahwa semua itu sangat mungkin dilakukan.
D
emikianlah apa yang terdapat dalam buku ini, saking banyaknya catatan yang terdapat dalam buku ini, tampaknya bukan pada tempatnya saya untuk membahasnya satu persatu secara detail. Namun walau kedua penulisnya telah merawi 100 catatan mengenai dunia buku, masih saja ada yang luput dari pengamatan mereka misalnya tentang dunia resensi buku, majalah buku, dan buku-buku yang dilarang. Jika semua hal tersebut muncul akan semakin lengkaplah isi dari buku ini. Beberapa kesalahan data dan kesalahan cetak juga terdapat dalam buku ini, hal tersebut semakin meyakinkan saya bahwa buku-buku terbitan i:boekoe memang lemah dalam hal editing. Semoga ke depan hal ini bisa lebih dicermati.

Akhir kata dengan membaca buku yang ditulis dengan kalimat-kalimat yang renyah dan enak dibaca oleh dua orang penggila buku ini kita akan diajak melihat semua pernak-pernik dalam dunia buku, wawasan kita akan terbuka bahwa dunia di balik buku itu begitu luas dan kaya, buku menyimpan berbagai kisah menarik yang tak habis-habisnya untuk diceritakan.

Selain itu jika kita mencermatinya lebih dalam lagi ternyata apa yang terdapat dalam buku ini juga menyimpan catatan penting tentang dunia perbukuan tanah air sehingga buku ini sangat layak dikoleksi dan dimiliki oleh para praktisi dan pemerhati dunia buku Indonesia.

Buku yang dikemas dengan kokoh, bersampul tebal, desain cover yang menarik dan dicetak secara terbatas dengan system POD (Print on Demand) ini memang membuat buku ini menjadi relatif mahal. Perlu dua lembar uang bergambar Soekarno-Hatta agar bisa memiliki buku ini. Mengapa demikian mahal ? Tentunya penerbit memiliki alasan sendiri dalam hal ini. Yang pasti penjualan buku-buku terbitan I; boekoe (Indonesia Buku) rencananya akan disumbangkan untuk pembangunan sejumlah taman bacaan. Salah satu yang sudah terealisasi adalah tama bacaan di Pacitan yang akan dibuka pada bulan Juli nanti.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 22 Juni 2009

The Bed and Breakfast Star

The Bed and Breakfast Star (Bintang Kelarga)
Jacqueline Wilson @ 1994
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – Juni 2009
216 Hal.

Elsa, gadis kecil berusia 10 tahun, berambut ‘jigrak’ seperti surai singa. Namanya sendiri diambil dari seekor singa yang terkenal. Sejak lahir, Elsa memiliki rambut yang lebat dan sengaja disisir oleh ibunya ke atas. Elsa, suka sekali membuat lelucon, ia bercita-cita jadi komedian terkenal. Tapi, sayang, tak semua orang mengerti dan tertawa dengan lelucon Elsa.

Kisah Elsa berawal dari tempat tidur. Ia menghitung dan membandingkan setiap tempat tidur yang pernah ia miliki. Elsa tinggal bersama ibunya, ayah tirinya- Mack dan dua adik tirinya. Mack adalah laki-laki yang pemarah. Biar begitu, ia tetap menyayangi adik tirinya.

Keluarga Elsa terpaksa pindah dari rumah mereka karena rumah mereka disita oleh para penagih hutang. Mack tidak punya pekerjaan. Mereka pun terpaksa tinggal di sebuah ‘hotel’ kecil yang sangat buruk pelayanannya, sebuah hotel ‘bed and breakfast’, di mana mereka harus tinggal berhimpit-himpitan.

Elsa berkenalan dengan teman-teman baru, ada yang baik seperti Naomi, atau gerombolan anak laki-laki nakal yang suka menuliskan kata-kata jorok.

Karena sifatnya polosnya juga, Elsa sering jadi sasaran kemarahan Mack. Ibunya sendiri kadang pasrah aja, karena sudah terlalu sedih dan ‘hopeless’ dengan keadaan mereka. Meskipun menurut gue, mereka cukup ‘beruntung’ karena gak jadi ‘gelandangan’.

Meski kadang sedih dipadang sebelah mata sebagai anak dari ‘bed and breakfast’. Elsa tetap ceria. Ia selalu melontarkan lelucon-lelucon konyolnya, berharap orang lain juga mengerti kelucuannya. Tapi, dasar orang dewasa, kadang terlalu sibuk dengan masalahnya sendiri, hingga lupa caranya tertawa.

Siapa sangka, lewat 'auman'-nya, Elsa jadi pahlawan dan kebanggaan Mack si Skot.

Gue suka sama cover buku-bukunya Jacqueline Wilson, meskipun ini baru buku keduanya yang gue baca setelah Lola Rose. Dari dua tokoh yang gue baca, gue melihat karakter seorang anak kecil yang meskipun susah, tapi tetap bisa gembira dan tersenyum. Sampai akhirnya, ia malah jadi kesayangan banyak orang.
Read more »

Selasa, 16 Juni 2009

The Missing Rose

Judul : Mawar yang Hilang
Judul Asli : The Missing Rose
Penulis : Serdar Ozkan
Penerjemah : Rosemary Kesauli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Mei, 2009
Tebal : 221 hlm

Coba bayangkan, bagaimana jika tiba-tiba kita diberitahu oleh orang tua kita bahwa sesungguhnya kita memiliki saudara kembar yang saat ini keberadaannya tidak kita ketahui. Tentunya kita akan kaget setengah mati dan berusaha untuk bertemu dengan saudara kembar kita.

Hal inilah yang dialami oleh Diana, wanita muda mahasiswa hukum tingkat akhir yang cerdas dan cantik. Ia tinggal di kota Metropolitan, San Francisco bersama ibunya. Dalam hal materi ia tak pernah kekurangan, baginya popularitas adalah segalanya, karenanya ia melakukan segala cara agar ia memperoleh banyak teman, mendapat pujian, dan populer di lingkungan kampusnya.

Namun dibalik kesuksesan yang diraihnya, ada satu hal yang harus ia korbankan, yaitu cita-citanya untuk menjadi penulis. Menurut anggapan orang-orang di sekitarnya menjadi seorang pengacara tentunya lebih cepat terkenal dan popular dibanding menjadi seorang penulis. Hal inilah yang membuat dirinya menekan keinginannya. Kebutuhannya untuk mendapat popularitas dan pujian dari teman-temannya lebih diutamakan. Ia harus memenuhi keinginan teman-temannya agar bisa diterima diantara mereka, lambat laun ia merasa tak nyaman karena tak mampu menjadi dirinya sendiri.

Suatu saat ketika ibunya meninggal karena sakit, Diana membaca sebuah surat yang ditulis oleh ibunya untuk dirinya. Melalui surat itu barulah diketahui bahwa sebenarnya ia memiliki saudara kembar yang bernama Mary yang tinggal bersama ayahnya semenjak kedua orang tuanya bercerai ketika Diana masih berusia satu tahun. Dalam surat tersebut ibunya menulis bahwa Mary kini sedang dalam bahaya dan meminta Diana untuk menemukan dan menyelamatkannya.

Tak ada petunjuk apapun dalam mencari Mary selain surat-surat Mary yang ditujukan pada ibunya. Itupun bukan hal yang mudah karena semua surat yang dikirimkan Mary pada ibunya selalu tak menyertakan alamat si pengirim. Dalam surat-suratnya Mary hanya menceritakan kerinduannya untuk bertemu dengan ibunya dan perjalanannya ke sebuah taman mawar di Istanbul di mana dia belajar berbicara dengan mawar. Berbicara dengan mawar ? Apakah Mary sudah gila? Hal itulah yang membuat Diana khawatir, apalagi dalam sebuah suratnya terungkap keinginan Mary untuk melakukan bunuh diri.

Kekhawatirannya akan keselamatan saudara kembarnya, dan pesan terakhir dari ibunya membuat Diana bertekad mencari saudara kembarnya. Berbekal surat itu, Diana mencoba menapaktilasi perjalanan Mary hingga ke Istanbul, tempat Mary belajar berbicara dengan mawar. Perjalanannya ini kelak akan membawanya pada sebuah penemuan tak terduga yang juga akan membawanya pada penemuan jati dirinya yang selama ini hilang karena selalu melakukan apa yang diinginkan orang lain demi mengejar popularitasnya.

Perjalanan Diana mencari saudara kembarnya di atas adalah kisah yang terdapat dalam novel The Missing Rose karya penulis Turki, Serdar Ozkan. Walau merupakan novel perdananya, novel ini langsung menjadi novel best seller dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia.

The Missing Rose mendapat apresiasi yang baik dari pembacanya karena novel ini memang indah, menyentuh, dan menggugah kesadaran pembacanya akan pencarian jati diri. Jika kita membaca novel ini, kita akan melihat bahwa gaya berututur Ozkan hampir mirip dengan penulis novel inspiratif asal Brazil, Paulo Coelho.

Tak banyak tokoh yang muncul dalam novel ini, sehingga pembaca seolah diajak untuk lebih fokus pada kisah pencarian Diana untuk menemukan saudara kembarnya. Bagian yang paling menarik tentu saja ketika Diana sampai di Istanbul, dimana akhirnya ia menemukan Zeynep Hanim, wanita pemilik taman mawar yang pernah mengajari Mary berbicara pada mawar.

Betapa gembiranya Diana ketika diketahui bahwa kedatangannya ke Istanbul sangat tepat, karena Zaynep Hanim mengatakan bahwa ia telah menerima kabar dari Mary yang juga berencana mengunjungi taman mawar pada saat itu. Sambil menunggu kedatangan saudara kembarnya Diana pun melakukan hal yang sama yang pernah dilakukan Mary, ia belajar mendengar dan berbicara pada mawar.

Di bagian inilah pembaca akan dibawa pada dialog-dialog filosofis yang penuh dengan makna. Dengan dibimbing oleh Zeynep Hanim, Diana mencoba belajar dari mawar. Ia disadarkan bahwa apa yang dilakukannya untuk mengejar popularitas dan mendapat sanjungan dari orang lain membuat dirinya tidak bahagia karena tidak menjadi dirinya sendiri .

Diana kini mengerti bahwa menjadi dirinya sendiri adalah hal yang paling istimewa dan membahagiakan dalam hidup setiap orang. Sayangnya selama ini ia tidak memahami hal itu. Untuk meraih kebahagiaan ia selalu membutuhkan hal lain seperti perhatian, pujian, atau apa saja yang bisa membuat dirinya istimewa. Selama ini ia tidak bisa hidup jika tidak ada yang mengaguminya sehingga ia menjadi Diana dalam pandangan ‘yang lain’, sampai-sampai ia menekan impian terbesarnya untuk menjadi penulis agar cepat meraih popularitas dan disukai lingkungannya.

Demikian akhirnya kisah yang Diana dalam dalam novel ini memang pada akhirnya akan menggugah kesadaran kita, tanpa kita sadari mungkin perjalanan hidup dan cita-cita kita bukan lagi berdasarkan apa yang kita inginkan, melainkan apa yang dikatakan orang lain.

Adalah sesuatu yang normal dan manusiawi jika kita berharap untuk dikagumi dan diterima oleh orang-orang di sekeliling kita, namun janganlah hal itu menjadi obsesi yang membabi buta sehingga kita menjadi begitu khawatir kalau perilaku dan cita-cita kita membuat kita dijauhi oleh orang lain. Akibatnya kita menjalani kehidupan yang dipilih orang lain untuk kita, bukan kita yang memilih jalan hidup kita sendiri melainkan orang lain. Apakah ini normal?

Marilah kita mendengar apa kata mawar tentang dirinya :

Menjadi mawar berarti ‘merdeka’. Artinya keberadaanku tidak tergantung pujian Yang Lain dan aku juga tidak akan punah kalau mereka tidak menyukaiku. Jangan salah tangkap; aku juga menyukai orang banyak. Aku ingin mereka mengunjungiku dan menghirup wangiku. Tapi aku hanya menginginkan hal itu sayapa aku bisa membagikan keharumanku. (hal 167)

Tentang Penulis :

Serdar Ozkan

Serdar Ozkan adalah penulis muda asal Turki (34 thn) yang pernah mengenyam pendidikan di Marketing and Psychology at Lehigh University in Pennyslvania, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan studinya di Amerika ia pulang ke Turki dan melanjutkan studinya di Psychology at Istanbul's Bosphorous University.

Sejak Tahun 2002, ia memutuskan untuk menjadi seorang penulis, novel pertamanya The Missing Rose (2006) langsung menuai sukses dan mendapat apresiasi dari pembaca di berbagai negara. Novel tersebut kini telah diterjemahkan lebih dari 25 bahasa dunia. Dengan demikian Serdar Ozkan merupakan tiga novelis Turki dalam sejarah liturearut Turki yang karyanya paling banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia setelah Orhan Pamuk dan Yasar Kemal.

Beberapa pengamat berpendapat bahwa The Missing Rose adalah novel indah yang menyentuh dan mengispirasi pembacanya, dan merupakan kombinasi dari mistisme Sang Alkemis nya Paulo Coelho, novel liris Jonathan Livingston Seagull, dan keajaiban The Little Prince.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 15 Juni 2009

Burning Sea

Burning Sea: Bara Cinta di Tengah Deru Perang
(Beside a Burning Sea)
John Shors @ 2008
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita – Cet. I, Mei 2009
692 Hal.

Benevolence – kapal rumah sakit milik Amerika Serikat, sedang berlayar dengan tenang di perairan di sekitar Kepulauan Solomon. Sesuai dengan fungsinya, kapal itu membawa para korban Perang Dunia II - tidak hanya korban dari pihak Amerika, tapi juga dari pihak Jepang. Kapal itu dinakhodai oleh Joshua. Sementara Joshua sedang memeriksa segala tetek-bengek untuk kapal, istrinya, Isabelle sedang bekerja merawat pasien bersama adiknya, Annie.

Tak ada yang menduga bahwa kapal dengan lambing palang merah besar itu akan terkena hantaman torpedo. Tapi itulah yang terjadi. Seorang pengkhianat memberi tahu pihak musuh bahwa kapal itu milik Amerika. Hantaman torpedo itu berasal dari pesawat pengebom Jepang.

Hanya 9 orang yang selamat, terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni. Kesembilan orang itu adalah Joshua, Isabelle, Annie, Scarlett – seorang pesawat, awak kapal: Jake, Nathan dan Roger, seorang bocah asal Fiji yang menjadi penyelundup di kapal itu bernama Ratu, dan seorang pasien berkebangsaan Jepang bernama Akira.

Belum habis rasa shock mereka akibat kecelakaan yang mereka alami, mereka harus mencari cara untuk bertahan di pulau itu. Beruntung ada Joshua yang memimpin mereka, sehingga mereka bisa saling menguatkan satu sama lain. Meskipun sempat ada perdebatan apa yang akan mereka lakukan terhadap Akira. Tapi, karena Akira menderita luka di kaki yang cukup parah, pelan-pelan kekhawatiran mereka sirna.

Tapi, salah satu di antara mereka adalah si pengkhianat, yang dengan persiapan cermat terus-menerus menghubungi pihak musuh.

Di sela-sela kehidupan baru mereka, ada rasa saling tertarik antara Akira dan Annie. Akira, di ‘kehidupan’ sebelumnya adalah seorang guru bahasa. Ia pintar membuat haiku, sajak dalam bahasa Jepang. Meskipun Akira dan Annie dalam perang berada di pihak yang berlawanan, sifat Akira yang lembut dan Annie yang penuh perhatian mampu meredam berbagai perbedaan.

Hari-hari para penumpang Benevolence yang selamat dilewati dengan berjalan-jalan di pulau yang indah itu – Ratu dan Jake bagian menangkap ikan untuk persediaan makanan mereka, Scarlett mengawasi keadaan dari atas bukit, Isabelle dan Joshua mencoba menata kehidupan pernikahan mereka kembali, Roger sibuk dengan misi tersembunyinya, Annie dan Akira yang saling jatuh cinta. Sedangkan Nathan, gak terlalu banyak perannya.

Serasa kehidupan damai banget, padahal ada musuh yang mengintai, dan mereka harus siap setiap saat apa bila ada kapal musuh yang datang. Akira sebagai satu-satunya Jepang di antara mereka, juga selalu siap siaga menghadapi Roger yang senantiasa mengincarnya, yang selalu berharap agar bisa 'mematikannya'.

Karakter Roger emang bikin geram. Kata-katanya kasar, sikapnya yang licik, kejam dan penuh kebencian dibentuk oleh masa kecilnya. Sementara Joshua, dipenuhi rasa bersalah karena tidak berhasil menyelamatkan penumpang kapal Benevolence. Annie, berusaha setia pada tunangannya, Ted, tapi tak bisa dipungkiri kalau ia jatuh cinta pada Akira. Lalu, ada Ratu yang mencari ayahnya, rela nyaris digigit ikan hiu, demi mendapatkan taring hiu untuk keberuntungan. Ia bersahabat dengan Jake, yang menyembunyikannya selama ia berada di kapal.

Semua punya latar belakang masing-masing, tapi yang pasti, tujuan dan harapan mereka (nyaris)sama - keluar dari pulau itu dengan selamat, dan kembali ke keluarga mereka masing-masing.

Untuk cerita dengan latar belakang peperangan, novel ini mungkin terhitung datar. Karena fokusnya tentu saja di masalah percintaan. Ketegangan hanya muncul sekilas-sekilas, misalnya ketika terjadi pertentangan antara si pengkhianat dan orang-orang yang lain. Mereka jadi lebih mirip sekelompok orang-orang yang lagi ‘liburan’, tapi dengan tingkat stres yang tinggi. Hehehe… Di setiap awal bab, ada baris-baris haiku seperti yang diciptakan oleh Akira.
Read more »

Rabu, 10 Juni 2009

Tanah Tabu

Judul : Tanah Tabu

Penulis : Anindita S. Thayf

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Mei 2009

Tebal : 240 hlm



Tanah Tabu adalah novel karya penulis muda Anindita S Thyaf dimana novelnya ini merupakan satu-satunya pemenang lomba Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2008.

Awalnya mungkin ia tak menduga kalau novel yang tercipta tanpa disengaja ini dapat memenangkan lomba menulis Novel DKJ 2008. Menurut pengakuannya ide untuk menulis Tanah Tabu datang ketika ia hendak melakukan riset untuk menulis buku non fiksi anak tentang keindahan alam Papua. Alih-alih menemukan berbagai keindahan tanah Papua, ia malah banyak menemukan berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sana. Jiwanya terpanggil untuk menyuarakan ketidakadilan yang ia temui dalam risetnya. Atas dasar itulah maka Anindita berganti haluan dari menulis buku non fiksi tentang keindahan Papua ke sebuah novel yang sarat dengan kritik sosial dengan setting Papua.

Berdasarkan riset pustaka yang dilakukannya selama 2 tahun, ia dengan teliti mencoba mengenali sumber permasalahan rakyat Papua. Ia susun dan olah semua data yang ia peroleh menjadi sebuah cerita tentang perjalanan hidup sebuah keluarga . Ia hidupkan tokoh-tokohnya dengan karakter-karakter yang menarik, dan jadilah sebuah novel. Tanah Tabu dipilih menjadi nama novelnya karena ia beranggapan bahwa setiap tanah yang merupakan warisan leluhur pastilah ditabukan oleh turunannya yang berbakti. Ditabukan dalam arti dipergunakan sesuai manfaat dan kebutuhan, serta dijaga kelestariannya.

Novel ini mengisahkan kehidupan tiga generasi perempuan Papua yaitu: Mabel, Mace, dan Leksi. Mereka semua adalah satu keluarga penduduk asli Papua dari suku Dani, pewaris kekayaan alam Papua yang kaya namun ironisnya mereka hidup miskin dan menderita akibat terjarahnya tanah mereka oleh para pendatang yang dengan rakus mengeruk kekayaan alam Papua.

Walau ada beberapa tokoh utama dalam novel ini, kisah kehidupan Mabel merupakan kisah yang dominan dalam novel ini. Sewaktu masih kecil hingga beranjak dewasa Mabel diasuh oleh keluarga Belanda dan tinggal di Wamena, otomatis ia dibesarkan dan dididik dalam tradisi masyarakat barat. Namun ketika keluarga angkatnya harus pulang ke negeri asalnya, Mabel kemudian mengalami masa-masa kelam dalam hidupnya, dua kali pernikahannya mengalami kegagalan , ia juga pernah diculik dan mengalami siksaan hebat karena tuduhan bersekongkol dengan para pengacau keamanan. Semua pengalamannya inilah yang membuat Mabel kini menjelma menjadi sosok yang mandiri, tegar, pemberani, cerdas, dan memiliki wawasan dan cara berpikir yang modern dibanding para wanita Papua

Dalam kesehariannya Mabel menjual sayur di pasar dan tinggal bersama Mace selaku menantunya dan Leksi, cucunya yang masih berusia 7 tahun yang hingga usianya kini belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya yang meninggalkan Mace sebelum Leksi lahir. Lalu ada pula tokoh Pum sahabat setia Mabel, dan Kwe yang setia menemani dan menjaga Leksi kemanapun Leksi pergi. Selain itu ada pula tokoh-tokoh tambahan lain seperti keluarga Mama Helda dan anaknya Yosi yang saban hari harus menghadapi kemarahan ayahnya yang pemabuk.

Melalui novel ini terlihat dengan jelas bahwa penulis ingin mengungkap berbagai ketimpangan yang terjadi di tanah Papua. Novel ini dengan gamblang menyuarakan berbagai kenyataan pahit yang dialami penduduk Papua, terlebih ketika orang-orang asing mulai berdatangan ke kampung mereka. Mereka memang datang membawa perubahan dan modernisasi, namun dua hal itu ternyata tak dirasakan manfaaatnya bagi kehidupan penduduk asli Papua. Di tengah tempat yang justru terus menerus dipoles menjadi semakin modern dan indah, masyarakat Papua justru tetap menderita, miskin, terkena penyakit, dan bencana, salah satunya dikarenakan sungai yang tercemar akibat limbah dari pabrik tambang emas yang berdiri megah ditengah-tengah mereka.

“Perusahaan di ujung jalan itu hanya setia pada emas kita. Tidak peduli apakah tanah air, dan orang-orang kita jadi rusak karenanya, yang penting semua emas punya mereka. Mereka jadi kaya, kita ditinggal miskin. Miskan di tanah sendiri!” (hal 134)

“..kau mungkin tidak akan percaya kalau kubilang hutan ini sekarang tidak lagi menghasilkan sagu, sedangkan sungainya dipenuhi kotoran perusahaan itu. “ (hal 135)

Selain membongkar berbagai ketimpangan sosial yang terjadi di Papua, novel ini juga berbicara mengenai budaya patriakhi suku Dani yang amat merugikan bagi kaum perempuan. Lelaki adalah penguasa, sedangkan para wanita Papua dianggap sebagai mahluk yang lemah sehingga patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri. Hal ini terlihat jelas pada semua tokoh wanita dalam novel ini. Mabel, Mace, dan Mama Helda, mengalami nasib yang sama, mereka mengalami penderitaan fisik dan mental akibat perlakuan para suaminya tanpa bisa melawan. Hanya Mabel yang berhasil lepas dari belenggu nasibnya, dan ia yakin bahwa akar permasalahannya adalah karena jerat kebodohan yang menimpa perempuan Papua sehingga mereka terbelenggu oleh takdirnya yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun, dan babi.

“Sejak dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Ya, jadilah seperti itu. Tertindas di bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga kematian memisahkan mereka”. (hal 170)

Melalui tokoh Mabel-lah suara perempuan Papua yang sebelumnya hanya berbisik dan nyaris membisu kini menjadi lantang terdengar. Mabel dengan berani melawan takdir perempuan sukunya dan menggugat berbagai ketimpangan yang terjadi di kampungnya. Mabel yakin bahwa satu hal yang dapat merubah takdir mereka adalah melalui perjuangan melawan kebodohan. Keyakinannya ini ditularkannya pada Mace selaku menantunya, karenanya betapapun sulitnya kehidupan mereka, Mabel dan Mace bahu membahu mencari uang agar Leksi bisa terus sekolah agar terlepas dari belenggu kebodohan yang menimpa para wanita Papua.

Usaha Mabel berjuang melawan kebodohan kaumnya dan menggugat ketidakadilan yang dialami sukunya tak berhenti hanya untuk keluarganya saja. Ia lebarkan medan perjuangannya ke lingkungan sekitarnya. Sayangnya langkahnya terhenti juga ketika akhirnya Mabel tertangkap dan dibelenggu oleh pihak-pihak yang tak menyukai sepak terjangnya.

Walau sarat dengan pesan kriktik sosial, dan memiliki tema yang kompleks namun novel ini tak terkesan seperti menggurui atau mengkotbahi pembacanya. Anindita melebur berbagai pesan sosial yang hendak disampaikannya itu ke dalam kisah kehidupan para tokohnya sehingga berbagai pesan moral yang hendak disampaikan penulis dengan halus menyelusup ke dalam alam bawah sadar pembacanya. Cara bertuturnya juga sangat baik sehingga novel ini enak dibaca dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi, selain itu penulis juga menyertakan beberapa kalimat inspiratif yang menggugah kesadaran pembacanya akan banyak hal.

Selain ceritanya yang menarik, novel ini juga dituturkan dengan cara yang unik. Kisah Mabel dan beberapa tokoh lain dalam novel ini dituturkan oleh beberapa narrator secara bergantian menurut sudut pandangnya masing-masing . Uniknya tak hanya manusia yang menjadi narrator, melainkan seekor babi dan anjingpun tak ketinggalan untuk ikut menjadi naratornya. Hal ini tentu mengingatkan kita pada novel My Name is Red karya Orhan Pamuk dimana seekor anjing menjadi naratornya.

Namun dalam hal ini, apa yang dilakukan Anindita lebih berani daripada Pamuk, karena dalam novel ini porsi binatang sebagai narrator lebih dominan dan lebih berperan dibanding My Name is Red-nya Pamuk. Yang juga menarik dan yang membedakannya dengan Pamuk adalah kemampuan penulisnya yang dengan rapi menyamarkan jati diri kedua binatang itu sehingga sebagian pembaca akan tersentak kaget ketika mengetahui bahwa beberapa narrator dalam novel ini adalah seekor binatang.

Kisah yang menarik, gaya berutur yang, unik, memikat, kompleksnya tema yang diangkat (social, politik, feminisme, kapitalisme, militerisme,dll) dengan seting di provinsi paling ujung Indonesia yang jarang ditulis oleh penulis-penulis lokal kita tampaknya ‘mencuri’ perhatian para juri novel DKJ sehingga menobatkan novel ini menjadi juaranya.

Sayangnya dalam novel ini penulis tampaknya terlalu memberikan persepsi negatif terhadap kaum pria suku Dani. Tak ada tokoh pria baik dalam novel ini kecuali ayah angkat Mabel itupun karena ayah angkatnya seorang Belanda. Semua pria Papua digambarkan dengan begitu buruk, suka memukul, pemabuk, tak menghargai wanita, licik, bahkan seorang anak laki-laki (Karel), teman Leksi pun digambarkan sebagai anak yang sombong. Apakah memang semua pria Papua demikian?.

Novel ini juga kurang mengeksplorasi budaya Papua, padahal ada banyak hal sisi budaya lokal yang bisa diangkat, misalnya tarian perang suku Dani atau pesta babi yang menjadi bagian dari kehidupan mereka. Jika saja muatan budaya lokal ini bisa dimasukkan menjadi sebuah unsur cerita dalam kisah Mabel, tentunya novel ini akan semakin lengkap sehingga pembaca tak hanya mengetahui berbagai ketimpangan yang terjadi di Papua melainkan mendapat bonus tambahan berupa budaya lokal yang unik dan tentunya sarat dengan makna kearifan lokal.

Namun terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel ini, apapun yang telah ditulis oleh Anindita dalam karyanya kali ini semakin membuktikan, bahwa karya sastra tak hanya memberikan hiburan sastrawi kepada pembacanya. Namun, sastra juga dapat menjadi alat kontrol yang dapat menyelusup di celah-celah yang memungkinkan dirinya dapat menyampaikan pemberontakan terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Selain itu seperti yang pernah dikatakan oleh alm. Pramoedya Ananta Toer, “Pengarang itu korps avant garde, bukan penghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya!”. Dan Anindita dalam novelnya kali ini telah menunaikan tugasnya, bukan hanya sebagai penghibur melainkan sebagai penulis yang melawan diskriminasi dan kejahatan terhadap keadilan dan kemanusiaan.

@h_tanzil





Read more »

Marriage Most Scandalous (Terjerat Cinta Pura-Pura)

Marriage Most Scandalous (Terjerat Cinta Pura-Pura)
Johanna Lindsey @ 2005
Isma Badrawati (Terj.)
Gagas Media – Cet. I, 2009
452 Hal.

‘Batu Duel’ – tempat para lelaki mempertahankan harga dirinya, tempat mereka bertarung agar mereka yakin mereka lelaki sejati. Tempat itu mempertaruhkan banyak hal – harta, kehormatan dan juga persahabatan.

Sebastian dan Giles sering melewati tempat itu sepanjang umur mereka. Tak ada yang menyangka persahabatan mereka harus berakhir di tempat itu. Sebagai pemuda tampan, kaya raya, dan seorang bangsawan, Sebastian tentu saja digilai banyak wanita. Demikian juga dengan Giles. Tapi, ketika Sebastian tergoda – atau lebih tepatnya digoda – oleh wanita yang ternyata adalah istri Giles, Giles marah dan akhirnya menantang Sebastian di Batu Duel.

Tadinya – meskipun sama-sama marah – tak ada yang menginginkan duel yang sebenarnya terjadi. Mereka sama-sama tak ingin kehilangan persahabatan mereka. Tapi, gengsi dan harga diri mengharuskan Sebastian memenuhi tantangan itu. Mereka sudah sama-sama mengatur strategi secara diam-diam agar tidak saling melukai. Namun… kenyataan berkata lain. Secara tidak sengaja, Sebastian yang kaget malah menembak Giles. Buntutnya, keluarga Giles dan keluarga Sebastian terluka. Sebastian diusir oleh ayahnya, tidak diakui lagi sebagai anak dan dilarang menginjakkan kaki lagi di Inggris.

Sebastian yang juga sakit hati dan sedih bersumpah tidak akan pernah datang lagi ke Inggris. Bersama pelayan setianya, ia mengembara berkeliling Eropa. Ia kemudian dikenal sebagai The Raven, lelaki bengis dan keras yang bersedia melakukan pekerjaan apa pun. Ia dikenal bisa menemukan orang-orang yang hilang, sebagai penyelidik yang dibayar mahal dan nyaris tidak pernah gagal.

Suatu hari datanglah seorang wanita bernama Margaret yang ingin minta bantuannya untuk menyelidiki penyebab kecelakaan yang dialami ayah angkatnya. Tak disangka-sangka, Margaret bukan orang asing bagi Sebastian. Sebelum kejadian itu, Margaret kecil diam-diam menyukai Sebastian, dan ayah angkatnya tak lain adalah ayah Sebastian sendiri.

Awalnya, Margaret pesimis Sebastian mau kembali ke Inggris. Tapi, dengan persyaratan yang sebenarnya Margaret sendiri tak yakin bisa memenuhinya, Sebastian menerima ‘pekerjaan’ dari Margaret. Syarat itu, selain bayaran amat sangat tinggi, Margaret bilang mereka harus berpura-pura menikah, supaya orang-orang di sana mau menerima Sebastian kembali.

Di Inggris, Sebastian memulai penyelidikannya. Sementara Margaret harus ‘berperang’ melawan perasaannya sendiri. Pastinya akhirnya mereka jatuh cinta beneran.

Buat gue, buku yang lumayan tebal ini, memberi kejutan yang ‘nanggung’, yang kaya’nya justru lebih seru dan ‘normal’ kalau itu gak ada. Alasan-alasan di balik duel Sebastian dan Giles juga kaya’nya kurang ‘kuat’.

Dengan setting Inggris di abad mungkin hmmm… 17? Or 18? – yang terbayang di benak gue, hanyalah wanita dengan baju-baju gaun berbawahan lebar dan bagian atas yang menyesakkan karena pake korset, lalu pria dengan setelah jas ber-rimple, lalu pesta dansa, makan malam resmi yang penuh basa-basi. Ditambah lagi, tentu saja gak ketinggalan ‘bagian percintaan’ antara Margaret – Sebastian yang gak perlu tebak-tebakan untuk mengetahui apakah bakalan terjadi beneran atau gak.

Read more »