Minggu, 23 Agustus 2009

Elle Eleanor

Judul : Elle Eleanor
Penulis : Zeventina Octaviani B & Ferry H. Zanzad
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : I, Juni 2009
Tebal : 454 hlm

Villa Van Der Sneijer di wilayah pantai Popoh Kediri berdiri gagah dan kokoh. Namun dibalik kekokohannya villa itu menyimpan sejuta misteri dan kutukan. Di masa lalu, pemilik villa, Robert Van der Sneijer pernah membunuh Eleanor, istrinya sendiri yang kedapatan berpesta sex dengan dua pemuda sekaligus di kamar rahasianya. Pembunuhan itulah menjadi awal dari semua keangkeran villa. Penghuni dan tamu-tamu villa di masa lalu seolah datang dan pergi untuk menyebarkan petaka.

Robert dan Eleanor sebenarnya merupakan pasangan yang sangat berbeda dalam hal karakter, Robert memiliki ketenangan sebagai seorang bangsawan sejati, ia lebih suka berkutat dengan bisnisnya dibanding bersama istrinya. Sementara itu Eleanor adalah wanita yang lincah, penuh gairah hidup, dan memiliki gelora yang meluap-luap dalam hal seks. Kebutuhannya akan belaian kasih sayang dan tak terpenuhinya kebutuhan seks dari suaminya membuatnya nekad melakukan rencana gila yang hanya diketahui olehnya dan seorang pembantu setianya.

Demi memenuhi hasrat seksnya yang berlebih ia membangun sebuah kamar rahasia dalam villanya. Kamar yang dibangun dengan cucuran keringat, darah dan tebusan nyawa kaum rodi penjara. Di kamar itulah ia melampiaskan gairah seksnya bersama pria-pria muda sambil diksaksikan oleh pembantu setianya. Ketika petualangan seksnya ini dipergoki oleh Robert, ia lalu menembak istrinya beserta kedua lelaki yang sedang menggaulinya. Robert sendiri akhirnya terperangkap di dalam kamar rahasia itu bersama tiga mayat yang dibunuhnya.

Kamar Rahasia dan apa yang telah terjadi di dalamnya tetap tersembunyi dan menjadi misteri seiring berjalannya waktu hingga akhirnya di masa kini sekelompok anak muda dari Jakarta menyewa villa ini untuk berlibur. Kegembiraan mereka terusik ketika seorang dari mereka tiba-tiba menghilang dan ditemukan tewas terhimpit karang pantai Popoh. Situasi semakin mencekam karena kemudian tiga orang dari mereka turut menghilang tertelan oleh keangkeran dan kemisteriusan villa Van Der Sneijer

Kisah di atas merupakan novel thriller yang berjudul Elle Eleanor yang ditulis oleh Zev Zanzad, nama pena dari dua orang penulisnya yaitu Zeventina Octaviani B, dan Ferry H. Zanzad. Hal ini menjadi unik dalam karena dalam ranah buku-buku non fiksi, buku yang ditulis oleh dua orang adalah hal yang lazim, namun untuk buku fiksi rasanya baru kali ini terjadi di Indonesia.

Proses kreatifnya pun unik karena ketika novel ini dibuat, kedua penulis terpisahkan oleh jarak antar benua, Zeventina di Ulm, Jerman sedangkan Ferry di Surabaya. Mereka belum pernah sekalipun bertemu secara fisik dan mencoba menyatukan imajinasi mereka hanya lewat media cyber. Barulah ketika sehari sebelum novel ini diluncurkan pada Juli lalu mereka akhirnya bertemu untuk pertama kalinya.

Hal yang patut diacungi jempol adalah walau ditulis oleh dua orang namun kita tak akan melihat adanya perbedaan. Karakteristik dari masing-masing penulis yang sebenarnya berbeda (Zev dengan gaya ceria dan metro sementara Ferry lebih cenderung pada gaya tradisional dan gelap) tak terlihat lagi, melainkan telah melebur menjadi satu seolah novel ini ditulis oleh satu orang saja.

Dari segi pemilihan setting dan latar kisah yang disajikan oleh dua penulis ini juga bisa dibilang menarik. Setting pantai Popoh – Kediri dan kemisteriusan laut pantai selatan bisa dibilang jarang disentuh oleh penulis-penulis lain. Dari segi waktu, pembaca juga akan diajak memasuki era zaman kolonial di tahun 30-an hingga masa pasca kependudukan Jepang sebelum secara tiba-tiba masuk ke masa kini dimana terror di villa Van Der Sneijer berlangsung.

Karakter tokoh-tokohnya juga menarik, selain karakter Eleanor seperti yang diungkap di atas, ia juga ternyata penderita nymphomania (tak puas dengan satu lelaki, tetapi bukan pelacur) dan hal ini akan dipertemukan dengan kegilaan pembantu setianya Sasto Pencor yang yang menderita svaptophilla (senang meilhat orang lain bersetubuh).

Dengan hadirnya karakter kegilaan seks seperti Eleanor ini tentunya deskripsi seks yang tak wajar menjadi tak terhindarkan dalam novel ini. Namun walau diwarnai oleh beberapa adegan kegilaan seks Eleanor penulis mendeskripsikannya dalam porsi yang pas dan santun sehingga tak terkesan vulgar sehingga novel ini tidak menjadi novel kontorversial karena unsur seksnya.

Selain Eleanor, tokoh-tokoh lainnyapun ikut memberi warna dalam novel ini, ada tokoh Johan, pemilik vila di masa kini yang dingin dan menyimpan misteri, para pembatu villa yang memegang teguh tradisi dan memiliki pengabidan total pada tuannya. Lalu para anak muda yang datang berlibur ke vila yang beberapa dari mereka menyimpan konflik diantara mereka, salah satunya adalah Elle yang memiliki wajah dan postur tubuh yang sangat mirip dengan Eleanor. Kemudian ada pula sosok misterius pria pincang yang menebar teror kepada pengunjung villa. Semua tokoh-tokoh itulah yang mengisi kisah thriller yang menarik untuk disimak.

Seperti umumnya sebuah novel thriller, plot kisah novel ini melaju dengan cepat, tak jarang dalam satu setting waktu, penulis menghadirkan beberapa peristiwa yang terjadi di tempat yang berlainan secara bergantian sehingga kita bisa mengetahui apa yang terjadi dengan tokoh-tokoh lain dalam waktu yang bersamaan. Penulis juga piawai dalam menjaga ritme kisahnya yang meruapkan aroma kemisteriusan vila sehingga pembaca akan betah mengunyah novel setebal 454 halaman ini dan membangkitkan rasa penasaran untuk mengetahui akhir dari kisahnya.

Hal yang tampaknya kurang dalam novel ini adalah karakter Elle sendiri, karena novel ini berjudul Elle Elenaor sudah selayaknya tokoh Elle mendapat porsi yang sama dengan Ellenaor. Sepanjang novel ini ruh karakter Elleanor melekat dengan kuat, sedangkan eksplorasi karakter Elle sendiri saya rasa kurang ‘nendang’ karena yang ditonjolkan hanyalah wajahnya yang sangat mirip dengan Eleanor.

Unsur kejutan dalam novel ini saya rasa tak terlalu kentara, di tiga perempat terakhir novel ini pembaca mulai bisa menebak siapa sebenarnya pelaku pembunuhan di villa Van Der Sneijer beserta motifnya. Andai saja di bagian-bagian akhir penulis bisa memberikan fakta baru yang di luar dugaan pembacanya saya rasa novel ini akan lebih menarik lagi.

Selain itu pembaca yang teliti mungkin akan menemukan beberapa hal yang tampaknya luput dari pengamatan editor novel ini, seperti salah ketik, salah menuliskan nama tokoh, salah menampilkan bentuk font, dan ada beberapa hal yang sedikit menganggu logika yang seharusnya semua hal tersebut bisa terkoreksi saat novel ini berada dalam genggaman editornya.

Namun terlepas dari hal di atas, secara umum novel ini merupakan novel yang menarik karena memadukan kisah thriller dengan berbagai unsure seperti sejarah, seks, romansa, psikologis, benturan tradisi kuno dengan rasionalitas dan keanehan perilaku manusia.

Novel ini juga seolah memberikan pesan kepada pembacanya bahwa kegilaan yang tak disembuhkan akan melahirkan kegilaan. Dalam kisah ini kegilaan Eleanor kelak akan diwariskan oleh penerusnya. Mungkin ini merupakan pesan moral bagi kita dalam mendidik anak-anak kita. Mungkin kita tak segila Eleanor, tapi bukankah tiap manusia memiliki sisi gelap dan kegilaan dalam kadar tertentu ? Akankah kita mewariskan sisi gelap dan kegilaan kita pada anak-anak kita?

@h_tanzil

Read more »

Kamis, 20 Agustus 2009

Maximum Ride#4: The Final Warning (Peringatan Terakhir)

Maximum Ride#4: The Final Warning (Peringatan Terakhir)
James Patterson @ 2008
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – Juni 2008
320 Hal.

Tampaknya Max, Fang, Angel, Nudge, Iggy, Gasman – plus Total, tidak bisa hidup ‘santai’ sedikit atau menikmati ketenangan barang sesaat. Mereka selalu hidup dalam kewaspadaan ‘tingkat tinggi’. Lengah sedikit, nyawa mereka bisa jadi taruhannya.

Meskipun, nyaris merasakan kenyamanan yang sempurna dan merasakan bahagianya punya orang tua, Max tetap saja tidak percaya dengan Jeb. Ia tahu, Jeb adalah ayahnya, tapi Jeb jugalah yang ‘menjurumuskan’ Max dan anggota kawanannya ke dalam bahaya, dikejar-kejar Flyboy yang salah satu anggotanya ternyata adalah adik tirinya. Segala macam bentuk penelitian, petugas-petugas berseragam, selalu membuat Max curiga. Karena tidak semuanya akan semulus dan selancar pada awalnya. Apa pun itu, Max yakin, pasti hanya berujung pada eksperimen mengerikan yang selalu ia terima sebagai konsekuensi menjadi remaja ‘bersayap’.

Bahkan di dalam rumah ibunya pun, Max dan teman-teman nyaris jadi ‘pizza gepeng’. Ternyata, meskipun relatif aman, masih ada yang mengincar Max dan teman-temannya.

Dr. Martinez, Ibu Max, memperkenalkan mereka pada sekelompok ilmuwan. Meski sempat curiga, Max pun mempercayai mereka, karena Ibunya juga percaya. Brigid dan teman-temannya mengajak Max dan kawan-kawan ke Antartika untuk menyelidiki pemanasan global dan mencari cara pencegahannya. Wow.. satu tugas menyelamatkan dunia yang sangat menarik… Meskipun tempatnya jauh dari kehangatan matahari yang diinginkan Max.

Seperti biasa, di antara orang-orang yang baik, pasti ada satu atau dua orang yang menjadi mata-mata, yang akhirnya membawa Max dan teman-temannya ke dalam jebakan yang berbahaya. Mereka kembali menjadi tawanan sekelompok orang-orang ‘aneh’ yang ingin melenyapkan mereka.

Buku ini gak setebal buku-buku sebelumnya, tingkat ketegangan yang ada juga gak terlalu tinggi. Max makin jago ‘menyindir’ orang. Para kawanan juga di’anugerahi’ kelebihan baru. Misalnya, Angel yang selain bisa membaca pikiran, sekarang bisa berubah jadi binatang, Nudge yang bisa ‘menarik’ besi, Iggy yang bisa ‘merasakan’ warna, bahkan bisa melihat kalau dia berada di tempat yang putih sempurna, Fang yang bisa meleburkan diri dengan warna gelap. Bahkan Total pun ‘berubah’, dia menjadi ‘anjing bersayap’!
Read more »

Selasa, 18 Agustus 2009

How the World Makes Love

How the World Makes Love... And What It Taught a Jilted Groom
(Petualangan Keliling Dunia Sang Pecundang Cinta)

Franz Wisner @ 2009
Berliani M. Nugrahani (Terj.)
Serambi, Cet. I – Juni 2009
495 Hal.

Karena gue ‘jatuh cinta’ sama buku Honeymoon with My Brother, gue pun menanti ‘sekuel’-nya dengan tidak sabar. Makanya, begitu buku kedua ini terbit, gue segera menamatkan beberapa buku di rumah, dan membaca buku ini.

Buku ini diawali dengan Franz Wisner yang masih ‘menjomblo’. Masih mencari-cari ‘karakter’ pasangan yang cocok dengan dirinya setelah berbagai peristiwa, perjalanan yang dilaluinya. Ternyata, Franz ‘ketagihan’ jalan-jalan. Ia pun mengajak Kurt, adiknya, untuk kembali ‘berbulan madu’. Tapi, kali ini, bukan hanya sekedar jalan-jalan, tapi mencari apa arti cinta, bagaimana bentuk cinta di berbagai penjuru dunia. Dengan warisan dari La Rue, nenek mereka, Franz dan Kurt kembali berkeliling dunia, berusaha menemukan cinta.

Mereka berkunjung ke Brasil, negara favorit Franz, yang katanya seksi itu. Lalu, ke India, di mana cinta ditentukan oleh perjodohan. Di mana kalo janda, perawan tua atau orang tua tunggal adalah hal yang sangat buruk, ada di halaman paling akhir di kolom kontak jodoh. Atau ke Mesir, yang eksotis, tempat perempuan jarang punya andil dalam menentukan pasangan hidup mereka. Gak ketinggalan juga ke Ceko dan Nikaragua.

Yang paling kocak menurut gue, waktu Franz di Afrika Selatan, tempat di mana, pemandu wisata dan para turis sering jatuh cinta. Gak perlu bertampang keren, yang penting macho dan pemberani.

Di sela-sela perjalanannya keliling dunia, Franz menyempatkan diri untuk kembali ke Amerika. Ia sempat kencan beberapa wanita, tapi ternyata, satu yang menarik hatinya, yaitu si aktris-hippie bernama Tracy. Menjalin hubungan dengan Tracy adalah sebuah langkah baru yang cukup besar. Tracy, adalah tipe wanita yang mungkin berbeda dari kriteria Franz yang lama, selain itu, Tracy juga memiliki anak laki-laki berusia tiga tahun bernama Calvin. Tapi, ternyata ada rasa nyaman ketika Franz berada dekat Tracy.

Tracy-lah yang menjadikan perjalan ke Selandia Baru menjadi perjalanan yang paling romantis, tempat Franz menyadari akan cinta sejatinya.

Tulisan di buku kedua ini lebih ‘bervariasi’. Sekilah sempat ada kesinisan Franz tentang cinta – yah, mengingat dia pernah ditinggalin tunangannya hanya beberapa hari menjelang pernikahan mereka. Tapi, makin lama, makin ke belakang, tulisannya jadi kocak, apalagi membaca berbagai percakapan-percakapan Franz dengan penduduk setempat di negara-negara yang ia datangi. Hmmm… sayang, Indonesia gak masuk daftar kunjungannya kali ini.

Kurt, jarang diikutsertakan dalam buku ini, hanya di beberapa perjalanan, Kurt tampil sekilas. Untuk menjawab pertanyaan pembaca, Kurt pun menulis di beberapa lembar terakhir buku ini.

Di akhir buku ini juga ditulis beberapa definisi ‘cinta’ yang Franz dapatkan dari perjalanannya. Cinta itu ternyata gak rumit koq… Gue jadi berpikir, buku ini pasti lebih keren kalo ada foto-fotonya...
Read more »

Joshua Files: The Invisible City (Kota yang Hilang)

Joshua Files: The Invisible City (Kota yang Hilang)
M. G. Harris
GPU, Juni 2009
384 Hal.

2012 – ramai dibicarakan orang sebagai tahun di mana dunia akan kiamat. Kenapa begitu? Kalau dihubungkan dengan buku ini, tahun itu diambil berdasarkan tahun terakhir di dalam sistem penanggalan atau kalender bangsa Maya. Betul atau tidak? Hmmm… gak tau juga deh…

Itulah yang sedang diselidiki oleh Andres Garcia, seorang arkeolog, sebelum ia dikabarkan tewas. Andres Garcia diberitakan tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat yang dikemudikan sendiri oleh dirinya. Josh Garcia, anak Andres, tak percaya bahwa ayahnya meninggal begitu saja. Ia menduga ada konspirasi di balik kematian ayahnya.

Bagi Josh, urusan arkeolog bukanlah hal asing. Ia sering diajak ayahnya berlibur ke situs-situs tempat ayahnya mengadakan penyelidikan. Ia puna berusaha menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Ia membuka email-email terakhir yang dikirim ayahnya dan mendapati bahwa pembicaraan tentang codex-codex atau surat-surat berharga mengenai suku Maya, tahun 2012 adalah hal yang sangat berbahaya. Benar saja… tiba-tiba saja rumahnya dibobol maling, tempat kerja ayahnya juga dibongkar.

Bersama dua temannya, Josh nekat pergi ke Meksiko, mencari jejak terakhir yang ditinggalkan ayahnya. Sampai di sana berbagai kejutan menanti. Bukan saja bahwa ternyata Josh memiliki saudara tiri, tapi juga, ternyata ia adalah seorang pewaris takhta yang sangat penting. Sebuah hal yang menjadikannya dewasa dalam sekejap, bukan sekedar seorang bocah berusia 12 tahun lagi.

Perjalanannya sendiri tidaklah mulus, ia harus dikejar-kejar agen rahasia yang mengincar apa yang sedang dicari oleh Josh. Dia pun sampai di sebuah kota di bawah tanah, sebuah kota yang hilang bernama Ek Naab. Di sana ia segera dilantik sebagai seorang pemimpin baru, yang mewarisi apa yang juga dimiliki ayahnya.

Baca buku ini, gue teringat permainan packrat di facebook.. hehehe.. ngumpulin banyak codex buat melengkapi kartu terbesar. Tapi, buku ini menurut gue lumayan ‘rumit’, dan gue agak kesulitan membayangkan kota yang hilang di bawah tanah itu. Gue sempet berharap, kalau bapaknya Josh itu gak meninggal, tapi diculik atau apa gitu… Kaya’nya semua beban yang ada terlalu berat untuk anak sekecil Josh…

Read more »

Gaul Jadul - Biar Memble Asal Kece

Judul : Gaul Jadul - Biar Memble Asal Kece
Penulis : Q Baihaqi
Penerbit : Gagas Media
Cetakan I, 2009
Tebal : 277 hlm

“Zona 80… masih ada! “, Demikian slogan yang selalu diteriakkan para penonton pada acara zona 80, sebuah program musik plus talkshow di Metro TV yang mencoba mengangkat kembali berbagai musik, penyanyi, gaya hidup, trend, sampai peristiwa-peristiwa yang populer di era 80an. Seperti slogan di atas, walau telah dua dekade terlalui , era 80an masih ada dalam kenangan kita, berbagai peristiwa dan gaya hidup 80an selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan dan dimunculkan kembali dalam berbagai bentuk.

Selain acara TV Zona 80 yang hingga kini masih terus ditayangkan dan digemari oleh penontonnya, di stasiun TV yang sama kini muncul acara “Legendary Album” yang memutar kembali video klip lagu-lagu yang pernah jaya di era 80an. Selain dalam bentuk acara TV, era 80an juga dikenang dalam berbagai cara. Dalam ranah musik tanah air tentunya kita masih ingat group music Club Eighties yang mencoba mempopulerkan kembali langgam gaya tahun 80-an, sayang group ini kini lama tak muncul di panggung musik.

Di ruang cyber, pada tahun 2005 dibuatlah blog lapanpuluhan (http://lapanpuluhan.blogspot.com) yang mencoba memunculkan kembali berbagai peristiwa dan gaya hidup 80an. Blog ini mendapat respon yang sangat baik dari pembacanya, per-harinya blog ini di’klik’ sebanyak 250-500 kali!. Blog ini pula yang mendorong lahirnya sebuah milis di tahun 2006 yang diberi nama milis ‘lapanpuluhan’ yang hingga kini masih eksis dan telah beranggotakan 3861 member.

Kepopuleran blog dan milis 80an dan antusiasme masyarakat akan era 80 an inilah yang akhirnya menarik minat penerbit Gagas Media untuk membukukan tulisan-tulisan yang ada di blog tersebut sehingga terbitlah sebuah buku yang mengangkat berbagai fenomena 80an yang diberinya judul “Gaul Jadul – Biar Memble asal Kece.

Buku Gaul jadul ini dibagi dalam 6 bagian besar berdasarkan kategorinya yaitu : Serial TV, Musik, Dunia Anak-anak, Film, Buku dan Majalah, dan Sukseskan. Masing-masing bab terdiri dari 2 hingga 5 tulisan, sehingga buku setebal 277 halaman ini berisi 19 tulisan plus 6 tulisan pengantar antar bab yang membahas berbagai icon dan gaya hidup 80an.

Di bagian serial TV pembaca akan diajak mengenang film seri TV buatan lokal dan luar negeri yang ditayangkan TVRI di era 80an yaitu drama seri Rumah Masa Depan, Little House on The Praire, The A Team, Isaura, dan Little Missy. Di bagian musik kita diajak untuk melantunkan kembali Madu dan Racun, Kokoro No Tomo, dan mengenal artis-artis JK Records. Berbagai jenis permainan dan jajanan era 80an seperti Game Watch, Kwartet, permen Chelsea, Cocorico, dan lain-lain hadir kembali dalam imajinasi kita ketika kita membaca bagian Dunia Anak-anak di buku ini.

Di bagian film, dibahas mengenai FFI, film-film horror yang dibintangi Suzanna, film Nagabonar, dan film Catatan si Boy yang merupakan icon anak muda 80an. Bagi para kutu buku, buku-buku Lima Sekawan dan Trio Detektif tentunya merupakan bacaan wajib yang tak boleh terlewatkan. Dan di bagian akhir, buku ini juga membahas mengenai program pemerintah di tahun 80an yaitu wajib belajar dan senam SKJ yang musik pengiringnya masih terngiang-ngiang sampai sekarang.

Sama seperti yang tersaji dalam blog-nya, kesemua tulisan di atas tersaji dengan gaya yang nyantai dan diselingi juga dengan celetukan-celetukan lucu dari penulisnya sehingga membuat kita tertawa-tertawa seolah sedang ngobrol santai dengan seorang teman mengenai fenomena 80an. Hal ini pula yang membuat pembaca betah melahap semua tulisan yang ada dalam buku ini dalam sekali duduk saja. Namun walau terkesan nyantai, bahasan dalam buku ini bisa dibilang cukup lengkap dan detail. Tampaknya penulis tidak asal menulis berdasarkan memori semata melainkan melakukan riset yang cukup memadai sebelum membuat tulisan-tulisannnya.

Ketika membahas mengenai film, penulis mengurai lengkap dengan beberapa synopsis, dan keterangan tentang pemain-pemainnya. Ketika membahas mengenai FFI tersaji daftar lengkap susunan pemenang dari tahun 1980-1991 termasuk rekapnya seperti artis-aktor yang pernah mendapat dua piala citra, film-film yang nyaris menyapu bersih piala Citra, dan beberapa keunikan-keunikan lainnya. Di bagian musik ada juga teks lengkap beberapa lagu, sedangkan di bagian akhir buku ini ada pula gambar dan deskripsi gerakan SKJ.

Selain mengaduk-ngaduk kenangan kita akan era 80an, sebagian pembaca juga mungkin akan menemukan hal-hal yang baru diketahuinya , misalnya lagu Madu dan Racun itu sebetulnya diciptakan dan pertama kali dipopulerkan pada tahun 1975-an oleh Vocal Group Prambors dengan judul “Bingung”. Lagu yang diciptakan oleh Sidosa ini lalu dipopulerkan kembali dengan judul baru (Madu & Racun) yang dinyanyikan oleh pengarangnya yang berganti nama menjadi Arie Wibowo bersama groupnya Bill & Board.

Selain itu mungkin tak banyak yang menyadari bahwa seri Trio Detektif itu bukanlah karya sutradara besar Hollywood yang piawai membesut kisah-kisah misteri, Alfred Hitcock. Walau dalam setiap cover bukunya selalu menampilkan logo dan nama Alfred Hircock, namun ia hanya menjadi cameo diseri novel detektif tersebut, sedangkan nama penulisnya yang secara bergantian ditulis oleh empat orang pengarang hanya tertera di halaman dalam novel-novelnya.

Masih banyak hal-hal menarik yang mengaduk-ngaduk kenangan era 80an di buku ini. Lalu apakah semuai isi di buku ini sama dengan apa yang ada di blog lapanpuluhan? Karena media blog dan buku merupakan hal yang berbeda, maka tentunya tak semua tulisan dan materi yang ada dalam buku ini sama persis dengan apa yang ada dalam blog. Tentunya apa yang dalam buku lebih lengkap dan detail dibanding di blog. Bahkan ada beberapa tulisan baru yang tidak akan ditemui di blognya.

Selain itu buku ini juga hanya memuat tulisan-tulisan yang dibuat oleh salah satu kontributor sekaligus pendiri blog ini yaitu Baihaqi. Jadi memang tak semua tulisan di blog lapanpuluhan akan muncul di buku ini seperti serial si Unyil, Oshin, trend fashion, sandiwara radio, dll. Pertanyaan yang mungkin akan muncul di benak pembaca buku ini yang juga pengunjung blognya adalah : “Kenapa buku ini hanya memuat tulisan-tulisan Baihaqi saja ?”. Sayangnya di buku ini baik penulis maupun penerbit tak memberikan keterangan yang memadai atas pertanyaan ini.

Yang juga patut disayangkan dalam buku ini adalah minimnya penyajian foto-foto, padahal dengan semakin banyaknya foto maka memori pembaca akan lebih tergali lagi. Selain itu buku ini juga tak menyertakan “Kata Pengantar” seperti lazimnya yang terdapat dalam buku-buku kumpulan tulisan. Padahal dalam kata pengantar penulis atau penerbit bisa menjelaskan ‘sejarah’ terbitnya buku ini, darimana sumber tulisannya, mengapa ada beberapa icon 80an yang tidak muncul dalam buku ini, dan lainnya. Semua itu tak dijelaskan sedikitpun dalam buku ini, sehingga pembaca yang tidak mengetahui blog lapanpuluhan tak akan mengetahui kalau buku ini bersumber dari blog tersebut.

Alangkah baiknya juga jika dalam buku ini ada kata pengantar yang ditulis oleh salah satu tokoh 80an atau pengamat kebudayaan yang gaul yang bisa memberikan sedikit tambahan wawasan pada pembacanya mengenai fenomena 80an secara ringan dan nyantai. Sayang semua itu tak ada dalam buku ini.

Terlepas dari hal di atas, buku ini sangat menarik untuk membuka kembali album lama kita di era 80an. Tidak hanya sekedar untuk bernostalgia, tentunya ada banyak hal-hal positif yang bisa diambil dalam buku ini. Dan yang harus diingat, mungkin saja buku ini merupakan satu-satunya buku non fiksi yang membahas berbagai fenomena era 80an di Indonesia secara khusus. Yang pasti, buku ini sangat berjasa karena telah mendokumentasikan dan mengabadikan berbagai hal yang pernah menjadi trend, icon, kebijakan pemerintah, yang pernah terjadi di era 80an.

@h_tanzil
Read more »

Minggu, 09 Agustus 2009

Anne of the Island

Anne of the Island
Lucy M. Montgomery
Indradya SP & Nur Aini (Terj.)
Qanita, Cet. 1 - Juni 2009
400 Hal.

Di buku ketiga ini, Anne terasa jauh berbeda dari dua buku sebelumnya. Makin dewasa dan makin bijaksana. Buku ini berkisah tentang Anne yang terpaksa ‘pergi’ dari Avonlea untuk sekolah di Redmond – meninggalkan Marilla, si Kembar Davy dan Dora, dan juga sahabatnya, Diana Barry. Untungnya, Anne gak sendiri – tempat ‘satu kampungnya’, Pricilla dan Gilbert juga ikutan sekolah di sana.

Anne, merasa tertinggal dalam urusan ‘percintaan. Diana Barry sudah bertunangan dengan Fred Wright dan akan segera menikah. Sementara Anne, meskipun sering berdebar-debar kalau berdekatan dengan Gilbert, gak mau mengakui perasaannya karena takut akan merusak persahabatan mereka sejak kecil.

Di Redmond, Anne bertemu dengan teman-teman baru dan beberapa pengagum baru. Anne juga banyak menerima lamaran yang sangat tidak romantis. Yup, di usia Anne yang 18 tahun itu, ternyata banyak yang mengantri untuk menjadikan Anne sebagai istri mereka. Beberapa bahkan berani mengajukan lamaran. Di antaranya – yang bikin Gilbert salah paham – adalah Roy Gardner, pemuda yang persis seperti ada dalam gambaran Anne – tampan, puitis dan sangat memuja Anne. Tapi, aneh… makin lama, kenapa Roy gak membuat Anne berdebar-debar? Gilbert sendiri gak kalah banyak penggemarnya, bikin Anne cemburu, tapi tetap sok jual mahal.

Kesibukan di Redmond tidak membuat Anne melupakan Avonlea. Di setiap kesempatan berlibur, Anne selalu menyempatkan diri pulang ke Avonlea. Ternyata, warga Avonlea suka ngegosipin Anne sama Gilbert. Sementara Anne berusaha cuek dan sok gak peduli.

Gak hanya Anne yang sibuk dengan masalah cowok, tapi juga teman baru Anne, Pricilla, gadis manja dan kaya yang sering kali plin-plan. Pernikahan demi pernikahan terjadi, makin membuat Anne merasa tertinggal.

Terlalu banyak peristiwa di buku ketiga ini dan cerita di setiap bab jadi relatif lebih pendek.. banyak orang baru yang datang terus menghilang di cerita berikutnya. Banyak yang lewat sekilas aja. Tapi, emang, yang paling ‘menggemaskan’, adalah hubungan ‘gak jelas’ antara Anne dan Gilbert. Antara mau, tapi gengsi, tapi ragu. Dari awal cerita, gue udah yakin, kalo Anne dan Gilbert bakal di’takdirkan’ jadi pasangan, tapi emang, sifat Anne yang keras kepala dan gengsian bakal jadi sedikit ‘halangan’ buat Gilbert untuk terus maju. Sampai akhir, gue menanti-nanti kisah romantis mereka.

Tapi, mungkin karena udah makin gede (kaya’nya sangat dewasa dibandingkan anak-anak seusia Anne di jaman sekarang, ya?), Anne jadi gak terlalu konyol, ‘imajinasinya’ lebih dewasa. Justru teman-teman Anne yang malah keliatan lebih ke’kanak-kanak’-an. Gue jadi ‘kangen’ dengan inisiatif dan spontanitas Anne, atau kejadian-kejadian konyol, kaya’ adegan Anne kejeblos di genteng (ada di Anne of Avonlea).
Niat gue nih, gue pengen coba-coba baca Anne’s House of Dreams (sambil menanti terjemahannya)… tapi, baru baca kalimat awal.. aduh… koq bahasa Inggris-nya ‘kriting’ banget…

Read more »

Jumat, 07 Agustus 2009

Dream From My Father : Pergulatan Hidup Obama

Judul : Dream From My Father - Pergulatan Hidup Obama
Penulis : Barack Obama
Penerjemah : Miftahul Janah, dkk
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : 493 hlm

Gegap gempita terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat ke 44 sudah berakhir, namun hingga kini kisah kehidupan Barack Obama tetap diminati oleh banyak orang. Latar belakang keluarganya yang berasal dari Afrika, dan perjuangan Obama meraih impiannya untuk menjadi orang nomor satu di sebuah negara adidaya yang dalam kultur dan sejarahnya telah mengesampingkan kaum minoritas kulit hitam menjadi kisah yang mampu menginspirasi banyak orang.

Obama tak hanya menginpirasi dan menjadi tumpuan harapan warga kulit hitam di negara asalnya, spirit perjuangan Obama meluber melampaui batas-batas negara. Tak hanya Amerika yang bangga, kemenangannya juga dirayakan di kampung halamannya di Kenya, Afika ikut berpesta, Asia dan negara-negara di Timur Tengah ikut lega. Rakyat Indonesia yang memiliki kedekatan emosional dengan Obama pun ikut terharu karena setidaknya Jakarta, khususnya kawasan Menteng pernah ikut membentuk kepribadian Obama hingga ia menjadi seperti sekarang ini.

Nama Obama kini tercatat dalam sejarah sebagai Presiden Amerika pertama yang berasal dari kalangan kulit berwarna. Ia kini telah mencapai puncak tertinggi dalam karier politiknya. Namun tak banyak yang tahu bagaimana proses yang harus dilalui oleh Obama hingga ia menjadi seorang tokoh yang besar dan berpengaruh seperti saat ini. Melalui buku The Dream From My Father inilah semua perjuangan Obama semenjak kecil hingga ia memulai kariernya di bidang politik akan terpapar dengan jujur, gamblang, dan apa adanya.

Dalam The Dream From My Father Obama membagi kisah hidupannya dalam tiga bagian besar berdasarkan wilayah geografis dimana ia dibesarkan. Bagian Satu : Asal Usul menuturkan kehidupan Obama kecil di Indonesia, masa remajanya Hawai, Los Angeles hingga New York. Bagian Dua : Chicago, tentang embrio politiknya sebagai pekerja sosial di Chicago, dan Bagian Tiga : Kenya, mengenai perjalanan Omaba ketika menyusuri akar keluarganya di kampung halamannya di Kenya.

Ketiga bagian tersebut ditulis dengan runut dan detail. Di bagian pertama ada sebuah bab yang diberinya judul : Indonesia. Kenangan akan Indonesia tampak begitu melekat di hatinya, sayangnya hal yang paling diingatnya adalah pandangannya bahwa Indonesia adalah negara miskin. Di sekujur buku ini Obama kerap menyinggung Indonesia sebagai perbandingan ketika ia melihat berbagai kemiskinan di sekelilingnya.

Di bagian ini juga Obama mengungkapkan kehidupan masa kecilnya di Jakarta. Dibutuhkan 20 halaman bagi Obama untuk medeskripsikan pengalaman masa kecilnya bersama ayah tirinya Lolo Soentoro dan ibu kandungnya Ann Dunham. Kesehariannya bersama ayah tirinya terekam dengan kuat dan diakuinya bahwa ayah tirinya sedikit banyak telah memasukkan nilai-nilai kehidupan yang tak terlupakan hingga kini.

Figur ibu kandungnya yang sangat mempedulikan pendidikan dan masa depan anaknya juga terungkap dengan jelas, dikisahkan bahwa selama di Indonesia ibunya selalu membangunkan dan mengajari Barry (nama kecil Obama) pada dini hari jam 4 pagi agar Obama dapat menyesuaikan dengan pelajaran di sekolah Amerika jika kelak mereka kembali ke Amerika.

Seperti kebanyakan anak-anak Jakarta lainnya, Barry melewati tiga tahun masa kanak-kanaknya dengan bersekolah, lalu bermain sepanjang siang hingga malam, menerbangkan layang-layang, menangkap jangkrik, dll bersama anak petani, nelayan, hingga anak birokrat rendahan. Setelah menikmati keindahan masa kanak-kanak di Jakarta, Obama bersama ibu dan adiknya kembali ke Hawai. Di sana ia pula untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya Obama bertemu dengan ayah kandungnya yang mengunjunginya hanya beberapa hari saja.

Di bagian kedua buku ini, dikisahkan masa remaja Obama yang dilaluinya di Hawai . Di sinilah ia mulai menyadari bahwa menjadi remaja berkulit hitam adalah hal yang berat baginya karena saat itu rasialisme di AS masih sangat kental. Ia marah dan frustasi akibat diskriminasi terhadap orang-orang kulit hitam. Namun, Barry tak mampu menuangkan amarah tersebut karena ibu dan kakek-neneknya berkulit putih. Obama juga bingung dengan identitas dirinya, hal tersebut membuat Obama gelisah dan mempertanyakan jati dirinya. Sebagai pelarian ia mulai minum minuman keras, bahkan ganja pun pernah dinikmatinya.

Untungnya berkat dorongan ibunya, Obama juga berhasil melewati masa-masa frustasi dan pencarian jati dirinya, walau sempat putus asa dan berniat berhenti sekolah ia melanjutkan sekolahnya hingga tamat dan berhasil mendapat pekerjaan yang cukup mapan di pasar saham Wall Street, New York. Namun semua itu kelak ia tinggalkan dan memilih untuk menjadi community organizer alias aktifis penggalang masyarakat di Chicago. Inilah awal karier politiknya.

Melalui pekerjaannya inilah ia mulai mengenal akar permasalahan yang dialami oleh kalangan bawah dari kulit berwarna. Dan disini pulalah semua pengalaman berpolitik Obama dan semangat perubahan yg diusung Obama hingga ke puncak kampanye Presiden berawal . Ia datangi rumah warga satu-persatu untuk mendengar masalah mereka mulai dari selokan mampat, ledeng air tak menetes, membuka lowongan pekerjaan , hingga menggalang masyarakat untuk mendemo wali kota agar mau membongkar asbes di apartemen yang diketahui terbuat dari bahan yang dapat mengganggu kesehatan mereka. Sepak terjangnya di Chicago akhirnya harus berakhir ketika akhirnya ia diterima sebagai mahasiswa di Harvard Law School.

Di bagian ketiga, dikisahkan perjalanan Obama ke tanah kelahiran ayahnya di Kenya – Afika sebelum ia masuk kuliah di Harvard. Perjalanannya ini merupakan upaya Obama untuk mencari akar keluarga dan budayanya di Afrika, Di sinilah Obama bertemu dengan adik-adik tirinya dan neneknya. Melalui mereka Obama mencoba mengenal lebih dalam tentang keluarga besar ayahnya dan bagaimana perjuangan ayahnya dari seorang anak miskin kulit hitam dari desa terpencil di Kenya yang berhasil mengejar ilmu sampai ke Amerika. Di tanah leluhurnya inilah Obama merasa menemukan kembali impian yang diwariskan ayahnya baik yang telah diraih maupun yang belum tercapai oleh ayahnya.

Buku yang merekam perjalanan hidup Obama sejak kecil hingga perjalanannya ke Kenya ini ditulis jauh sebelum Obama terpilih menjadi Presiden AS ke 44, buku yang berjudul asli Dreams from My Father: A Story of Race and Inheritance ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1995 selepas pelantikan Obama sebagai presiden kulit hitam pertama Harvard Law of Review. Seiring popularitasnya yang kian bersinar di kancah politik, dan menyusul pidatonya yang terkenal saat Konvensi Partai Demokrat pada tahun 2004 saat Obama terpilih sebagai senator , maka buku ini dirilis ulang dengan kata pengantar tambahan dari Obama untuk edisinya kali ini .

Secara umum buku ini memang menarik dan menginspirasi pembacanya dalam hal kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, serta toleransi yang nyata. Bagi pembaca Indonesia tentunya bagian yang paling menarik adalah bab mengenai masa kecil Obama di Indonesia, sedangkan bagian yang agak membosankan adalah ketika Obama mengisahkan sepak terjangnya ketika menjadi aktifis penggalang masyarakat di Chicago.

Sama seperti di bagian-bagian lain, di bab ini Obama menuturkan pengalamannya secara rinci namun karena mungkin permasalahan agak berbeda dengan kondisi kita dan minimnya pengetahuan saya akan kondisi sosial di Chicago, maka bab ini terasa membosankan. Barulah ketika Obama mengisahkan perjalanannya ke Kenya, buku ini menjadi menarik lagi. Satu hal yang juga dapat mengurangi kenikmatan membaca buku ini adalah minimnya Obama menyebutkan angka tahun sehingga pembaca akan kehilangan oreintasi waktu dari kisah yang diceritakannya.

Terlepas dari hal diatas, di memoarnya ini Obama menulis dengan sangat baik, ingatannya yang kuat membuat buku ini kaya akan detail, ia juga tampak piawai dalam mendeskripsikan semua pengalamannya hingga membuat pembaca seolah ikut merasakan apa yang dialami Obama. Hal ini pula yang dipuji oleh nobelis sastra Toni Morison yang mengatakan bahwa buku ini adalah, “ Buku yang luar biasa dan unik”, sedangkan kolumnis Time, John Klein mengungkapkan bahwa buku ini merupakan, "Salah satu memoar terbaik yang pernah ditulis politikus Amerika." Pendapat mereka tak berlebihan karena buku ini menjadi buku bestseller versi New York Times, selain itu buku ini juga meraih British Book Award 2009 kategori Bigorafi Terbaik.

Bersyukur, kini terjemahan buku The Dream from my Father ini telah hadir di Indonesia. Semoga buku ini dapat menjadi buku inspiratif yang menggambarkan kekuatan impian, harapan, cita-cita, persaudaraan, dan toleransi. Melalui buku juga ini kita akan mengenal bagaimana kaum minoritas AS dalam menyikapi hidupnya dan berjuang untuk melawan ketidakadilan, hal yang relevan bagi kita yang hidup dalam masyarakat yang multikultural.

Dan terakhir, semoga buku ini juga ikut menginspirasi para politisi kita dari kalangan minoritas bahwa merekapun kelak bisa memimpin negara ini. Mungkinkah ? Obama telah membuktikan bahwa ia yang berasal dari kaum minoritas bisa menjadi pemimpin yang dapat dipercaya oleh rakyatnya.

@h_tanzil
Read more »