Selasa, 28 April 2009

Metamorfosis

Judul : Metamorfosis
Judul Asli : Die Verwandlung
Penulis : Franz Kafka
Penerjemah : Juni Liem
Penerbit: Homerian Pustaka
Cetakan : I, Des 2008
Tebal : 154 hlm

Suatu pagi Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruknya, ia menemukan dirinya telah berubah menjadi seekor kutu besar yang menakutkan.” Demikian kalimat pembuka dari Metamorfosis (1915), sebuah novella muram yang ditulis oleh Franz Kafka (1883-1924) salah satu penulis asal Jerman yang paling berpengaruh dalam abad ke 20 . Tiba-tiba saja Gregor Samsa terputus hubungan dengan masa lalunya sebagai manusia. Sesuatu yang diluar nalar terjadi pada hidupnya. Bukan mimpi melainkan kenyataan. Walau cara berpikirnya masih manusia, namun fisiknya berubah bentuk menjadi seekor kutu besar.

Sebelum berubah wujud Gregor Samsa adalah seorang salesman kain yang merupakan tulang punggung keluarganya. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, dan Gretta, adik kandungnya. Karenanya ketika ia berubah wujud, ia tak dapat lagi bekerja sehingga kondisi keuangan keluarganya menjadi terganggu. Tak hanya itu Gregor menjadi terasing di tengah keluarganya sendiri. Ia menjadi tersisihkan, terpenjara dalam kamarnya sendiri. Ia kini menjadi obyek yang memalukan bagi keluarganya.. Bahkan ayahnya sendiri selalu memandangnya dengan jijik bahkan berusaha untuk membunuhnya.

Bisa dibayangkan bagaimana perubahan wujud itu membuat Gregor tertekan, ruang gerak dan perilakukanya menjadi seperti seekor serangga, merayap di dinding, di langit-langit, sembunyi disela-sela perabot kamar, kebiasaan makannyapun mulai berubah, ia kini lebih menyukai makanan-makanan sisa dibanding makanan segar. Walau ia bisa mendengar dan memahami apa yang diatakan keluarganya, ia tak mampu lagi berkomunikasi dengan keluarganya. Tak ada yang mempedulikannya lagi kecuali Gretta dan ibunya yang masih memperhatikannya dengan memberi makan dan memindahkan beberapa perabot kamarnya agar Gregor lebih leluasa bergerak.

Sebulan sudah Gregor berubah wujud dan terpenjara dalam kamarnya. Karena Gregor tak bisa bekerja, maka ketika keluaranya kehabisan uang, mereka memutuskan untuk menyewakan beberapa kamar di apartemen mereka pada tiga orang lelaki. Semenjak itu kehidupan keluarga Gregor menjadi layaknya pembantu karena mereka harus menyediakan makanan dan beberapa keperluan dari penyewa kamar.

Namun sayangnya ketenangan ketiga penyewa kamar keluarga Gregor terusik ketika sebuah peristiwa membuat Gregor tergerak untuk keluar dari kamarnya dan fisiknya terlihat oleh ketiga pria tersebut. Hal ini membuat mereka menjadi ketakutan dan mumutuskan untuk tak lagi menyewa kamar keluarga Gregor.
Kejadian ini tentu saja membuat ayah Gregor geram dan berniat membunuhnya, dengan melempar Gregor dengan apel. Salah satu apel bersarang dalam tubuhnya hingga membusuk dan membuat Gregor menderita kesakitan. Ia kembali terkurung dalam kamarnya. Peristiwa ini pula merupakan titik balik bagi keluarga Gregor untuk segera melupakan bahwa Gregor sebenarnya masih hidup, hal ini terungkap seperti yang dikatakan Gretta pada ayahnya :

“Ayah harus dapat melupakan bahwa ide bahwa itu adalah Gregor..Bagaimana mungkin itu Gregor? Jika itu adalah Gregor, ia harus melihat dari dahulu bahwa tak dapat manusia hidup dengan binatang seperti itu…Kita tak mempunyai saudara laki-laki lagi, tapi kita dapat mengingat dia di dalam hidup kita dengan hormat.” (hal 137).

Dilupakan oleh keluarganya sendiri membuat hati Gregor semakin pedih, Sebagai manusia ia telah mati. Dan Gregor dengan sisa-sisa kekuatannya mencoba bertahan, namun sampai berapa lama Gregor si kutu besar itu mampu bertahan sendirian tanpa seorangpun yang mempedulikannya ?




Edisi Pertama Metamorfosis
Kurt Wolff Verlag, 1915










Metamorfosis banyak dianggap sebagai kisah yang simbolik dengan berbagai interpretasi. Soal menjadi mahluk apa sebenarnya si Gregor ini sendiri menjadi banyak perdebatan, ada yang mengatakan kecoak, serangga, kutu, dll. Memang Kafka sendiri tak memberikan deskripsi detail seperti apa wujud Gregor yang telah berubah. Bahkan untuk keperluan sampul bukunya pun ia menyurati pada penerbitnya bahwa mahluk tersebut tidak untuk digambar.

Lalu bagaimana pula dengan penjelasan logis mengapa Gregor bisa berubah wujud? Kafka memang tak sedang membuat kisah fiksi ilmiah, jadi jangan harap kita akan menemukan jawaban atas perubahan wujud Gregor. Dalam novelnya ini Kafka tampak lebih mengutamakan penggambarkan kondisi psikologis yang dialami Gregor dibanding menjelaskan mengapa kejadian aneh ini bisa terjadi. Sastrawan Rusia Vladimir Nabakov, penulis novel "Lolita", juga mengatakan, "Barang siapa melihat `Metamorfosa` lebih dari sekedar fantasi ilmu serangga, aku anggap pembaca itu telah berhasil."

Nah, jadi apa yang bisa kita peroleh dari novel pendek ini ? Tentunya pembaca memiliki interpretasi masing-masing dari apa yang dibacanya. Dalam Metamorfosis Kafka menggambarkan betapa egoisnya manusia sekalipun itu berada dalam lingkungan keluarga sendiri. Ketika Gregor berubah wujud, begitu cepat keluarganya melupakan jasa Gregor yang telah menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya. Gregor kini dianggapnya sebagai parasit dalam keluarga, padahal sebelumnya keluarga Gregorlah yang menjadi parasit dalam hidup Gregor.

Kafka juga berbicara mengenai bagaimana kedekatan dan cinta dari orang-orang yang kita sayangi bisa berubah ketika kita mengalami ‘perubahan’. Memang Kafka memberikan contoh esktrim dengan mengubah Gregor menjadi binatang. Namun dalam kenyataannya mungkin suatu saat kita mengalami perubahan dalam kehidupan yang diakibatkan karena kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam karier, kejatuhan dalam dosa, dan lain-lain. Hal itulah yang membuat kita menjadi seperti Gregor. Dari sosok yang diandalkan, dibutuhkan, dan tiba-tiba menjadi pribadi yang diasingkan, dibenci, karena tak lagi sesuai dengan harapan orang-orang yang sebelumnya mengasihi kita.

Kisah Gregor dalam Metamorfosis (Die Verwandlung dalam bahasa Jerman), adalah novella karya Franz Kafka yang paling terkenal selain The Trial dan The Castle. Kalau tidak salah Metamorfosis pernah dua kali diterjemahkan di Indonesia oleh dua penerbit yang berbeda (Bentang Pustaka dan Aksara). Dan kini novella ini diterjemahkan dan diterbitkan oleh Homerian Pustaka dengan cover yang menawan. Namun sayangnya ada yang tak konsisten antara terjemahan dengan cover, pada isi buku ini wujud Gregor diterjemahkan sebagai kutu besar, sedangkan di ilustrasi cover terjemahannya yang Nampak adalah wujud kecoak.

Dari segi terjemahannya, di halaman-halaman awal hingga pertengahan saya tak menemui kesulitan untuk memahami novella ini, namun di bagian-bagian berikutnya saya mulai sulit untuk memahami apa yang dimaksud dalam kalimat-kalimatnya. Setelah saya konfirmasikan ke beberapa kawan yang telah membacanya, ternyata merekapun mengalami hal yang sama. Mungkin di cetakan-cetakan berikutnya karya ini bisa diedit lagi agar terjemahannya lebih mudah dipahami dan enak dibaca.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 20 April 2009

Honeymoon with My Brother

Honeymoon with My Brother
Bertualang Keliling Dunia Gara-gara Putus Cinta
Franz Wisner @ 2005
Berliani M. Nugrahani (Terj.)
Penerbit Serambi – Cet. II, Desember 2008
485 Hal.

Diputusin pacar kaya’nya udah gak enak banget. Kaya’nya semangat untuk hidup dan beraktivitas lain udah gak ada. Apalagi yang namanya ditinggalin pasangan, calon pendamping, hanya seminggu sebelum hari pernikahan. Kebayang gak, gedung udah ok, catering, dekorasi, undangan udah tersebar dan tinggal menunggu sodara-sodara jauh pada dateng… tau-tau… jeng… jenggggg… si CMP or CMW bilang, “Ma’af, aku gak bisa meneruskan ini semua.” Hah… alesannya? Cuma gak bisa… gak ada penjelasan lain.

Franz Wisner, mengalami hal ini. Harusnya Sea Ranch, sebuah daerah di Pesisir California, jadi saksi ketika mereka mengucapkan sumpah yang sakral itu. Harusnya, kue buatan LaRue, nenek tiri Franz, jadi kue pengantin yang paling indah. Bulan madu ke Kosta Rica juga hanya tinggal kenangan. Annie, ‘mencampakkan’ Franz dengan alasan yang tidak jelas itu.

Beruntung Franz memiliki keluarga, teman-teman yang memberi dukungan. Pesta tetap ada, hanya saja tidak ada mempelai wanitanya. Di Sea Ranch juga, teman-teman Franz menghiburnya. Franz yang tentu saja terpukul, tidak langsung jadi terpuruk dan berlarut-larut dalam kesedihan. Malah ia mengajak adiknya, Kurt, untuk tetap melaksanakan perjalanannya ke Kosta Rika.

Ternyata perjalanan itu memberikan inspirasi positif bagi Franz dan Kurt. Franz yang selama ini tidak terlalu dekat dengan Kurt, merasa inilah saat melakukan sesuatu yang berbeda. Tak hanya kehilangan kekasih, tapi di tempatnya bekerja pun, Franz ‘dicampakkan’ oleh atasannya. Gara-gara ini, rencana ‘gila’ pun disusun. Bersama Kurt, yang juga mengalami masalah rumah tangga, Franz merencakan sebuah ‘bulan madu’ bersama adiknya. Padahal, dia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menghadapai Kurt yang selama ini tidak terlalu dikenalnya.

Rencana perjalanan segera disusun. Budget segera dihitung – ada dari bonus, ada dari hasil penjualan rumah. Didukung oleh LaRue, mereka pun pergi. Perjalanan mereka pertama menuju ke Eropa Timur. Perjalanan yang tidak selalu mulus, karena di awal saja, mereka sudah harus kehilangan paspor, padahal visa-visa untuk masuk ke negara-negara yang susah sudah diurus dan sudah ok. Kurt, yang lebih santai, selalu punya banyak akal. ‘Kesialan’ kecil di awal tidak menyurutkan langkah mereka.

Di Eropa Timur, mereka berkeliling dengan mobil baru Kurt menuju Rusia, Swedia, Rumania. Di Praha, Franz terlibat hubungan singkat dengan seorang perempuan.

Dari benua Eropa, Franz dan Kurt menuju Asia Tenggara – menuju Indonesia, Thailand, Kamboja, Vietnam. Indonesia… tentu saja mampir ke Bali, tapi, ternyata, buat mereka Bali terlalu ramai – meskipun mereka kagum dengan adu ayam-nya, sampai akhirnya mereka mempersingkat kunjungannya ke Bali dan menyepi ke Lombok dan bertemu sesama backpackers yang ternyata punya ‘dewa’, terus, ke Pulau Komodo demi ngeliat Komodo.

Setelah dari Asia Tenggara, mereka menuju Amerika Utara dan Selatan – Brazil membuat Franz jatuh cinta dan membuatnya ingin berkunjung ke sana sekali lagi.

Perjalanan berakhir di Benua Afrika, yang katanya mereka, merupakan ujian terberat selama perjalanan mereka yang menempuh waktu dua tahun itu. Di sana, semua pelajaran lengkap bisa didapat – tertawa ketika anak-anak kelaparan memeluk kaki mereka, ceria ketika hanya bermain di halaman karena gak ada tv, bahagia bahkan ketika lapar.

Di sela-sela ‘perpindahan’ antar benua, mereka selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Amerika, melihat anjing-anjing Kurt, menengok LaRue yang selalu mereka kirimi kartu pos di setiap persinggahan mereka – LaRue yang menempelkan paku-paku di peta, menandai jejak-jejak Franz dan Kurt.

Perjalanan panjang ini membuat Franz semakin bersyukur dengan apa yang dia miliki, dan belajar merelakan apa yang sudah lepas dari dirinya – terutama yang menyangkut soal Annie. Bergaul dengan penduduk setempat dan bernegosiasi sendiri dengan petugas travel, hotel, mereka pun jadi gak percaya dengan yang namanya Lonely Planet. Foto Franz dengan George W. Bush jadi jimat mereka untuk lolos dari dari polisi yang reseh. Banyak hal yang serius, tapi juga kocak. Misalnya saat Franz cerita tentang supir taksi yang paling menyebalkan. Perjalanan panjang mereka ini akhirnya menarik minat koran-koran di Amerika, sehingga Franz pun jad ‘wartawan travel’ dadakan.

Buku-buku traveling begini selalu membuat gue iri, selalu membuat gue bertanya-tanya, kapan gue bisa jalan-jalan, gak usah keliling dunia, tapi keliling Indonesia dulu aja deh… Karena ini cerita perjalanan a la backpacker, tempat-tempat yang didatangi mereka jadinya unik-unik, bukan apa yang ada di brosur biro travel, tapi justru dari rekomendasi teman-teman atau malah penduduk setempat.

Gue ikut ‘terpukau’ dengan perjalanan mereka. Bahkan ikutan ngerasa capek ketika mendekati akhir perjalanan. Serasa pengen cepet-cepet sampai rumah, tapi masih belum mau liburan berakhir. Jarang-jarang, gue bisa suka sama buku non-fiksi seperti ini. Kemasan cerita jalan-jalan bikin menarik. ‘Pelajaran’ didapat dengan cara-cara yang gak terlalu serius, tapi tetap ‘dalam’.
Read more »

Minggu, 19 April 2009

Glam Girls series: Reputation

Glam Girls series: Reputation
Tessa Intanya
GagasMedia – Cet. I, 2009
346 Hal.

Di buku kedua seri Glam Girls ini, yang jadi tokoh ‘pencerita’ adalah Rashida Agashi Pradokso alias Rashi. Rashi yang jutek abis, yang bossy, yang paling bitchy di antara Adrianna dan Maybella.

Rashi adalah anak ketujuh dari seorang pengusaha terkenal dan seorang seniwati yang juga terkenal. Ibu Rashi, yang namanya Ibu Ayu – orang Bali, adalah istri keempat dari bapak Pradokso. Rashi, bisa dibilang anak kesayangan Pak Pradokso, his lucky #7.

Di novel ini, pembaca jadi bisa lebih mengenal sosok Rashi di balik sikapnya yang judes itu. Diliat dari judulnya, Reputation, tentu saja menyangkut sepak terjang Rashi di dunia pergaulan yang glamour.

Di buku pertama, tentunya udah tau kalau Rashi mendepak Marion karena menganggap Marion, si bule blasteran Peranci itu, adalah pengkhianat, sampai akhirnya, Rashi ‘merekrut’ anggota baru yang dianggap geek, yaitu Adrianna.

Ternyata, memang banyak yang pada dasarnya berniat mencari-cari kejelekan Rashi (meskipun ia emang dikenal ngeselin, demi menjatuhkan reputasi Rashi. Sebuah blog misterius muncul, yang isinya mengupas kenakalan, kejahatan Rashi satu per satu. Rashi tentu saja marah besar, meskipun ia tetap bersikap tenang dan menunjukkan kalau dia gak peduli dengan omongan ‘sampah’ kaya’ begitu.

Awalnya, berita di blog itu hanya seputar kegiatan-kegiatan clubbing, shopping dan hal yang remeh-temeh, seperti Rashi yang kedapatan jalan berdua cowok lain yang bukan pacarnya. Tapi, lama-lama, koq, mulai menyinggung keluarga Rashi. Blog itu mulai menjelekkan orang tua Rashi – ayahnya yang sakit-sakitan, ibunya yang lagi gila popularitas. Buntutnya juga menjelekkan, Arian, seorang cowok anak baru di VIS, yang juga anak dari pegawai administrasi di VIS. Arian, yang mungkin selama ini gak masuk kategori cowok yang bakal dideketin Rashi. Rashi mulai gerah, ia mulai mengatur strategi untuk melancarkan serangan balas dendam bagi si pembuat blog yang sudah ia ketahui identitasnya.

Di buku ini juga dibahas tentang hubungan Rashi dan Lukas, cowoknya, yang ternyata hanya untuk having fun-nya Rashi.

Ternyata, kalau setelah membaca tentang Rashi, emang dia itu bossy banget. Gampang banget marah-marah dan gak suka ditentang. Suka meremehkan orang… tapi, ternyata, Rashi juga punya keahlian seperti fotografi. Dia juga sayang banget sama ayahnya. Anggota klub renang – bukan cheerleader. Dan lebih punya sikap dan pendirian yang lumayan kuat.

Mungkin karena ditulis sama penulis yang beda, karakter Adrianna jadi keliatan beda dari di buku pertama, kalo May sih, masih tetap dengan sikap centilnya. Gue jadi lebih suka sama si Rashi, daripada Ad yang dulu sebel-sebel gak jelas sama Rashi and the gank. Emang sih, Rashi terkadang mampu bikin orang susah… tapi, hmmm.. emang jangan main-main sama Rashi… hehehe…

Kalimat-kalimat berbahasa Inggris dan gaul masih bertebaran di buku ini, dan tentu saja merk-merk terkenal. Gak terlalu istimewa juga sih dibanding buku pertama.

Read more »

Glam Girls

Glam Girls
Nina Ardiana
GagasMedia – Cet. 1, 2008
342 Hal.

Hmm… Hmm… Hmm… sebenernya kalo baca buku ini, bakal kepikir kalo temanya gak asing lagi. Tinggal liat sinetron, atau kalo mau kerenan dikit, bayangin film ‘Clueless’-nya Alicia Silverstone jaman dulu… Cerita tentang para ABG, anak-anak orang kaya, sekolah ekslusif, dan tambahin aja, segala aksesoris ber-merk yang bakal bikin kita terkaget-kaget, koq ya anak-anak SMA udah pake merk ibu-ibu? (hmm.. bukan gue yang ketinggalan jaman, kan??

Jadi, ceritanya Adrianna, yang bt berat gara-gara harus kembali meneruskan SMU-nya di Voltaire International School. Sebenernya, Adrianna pengen banget sekolah di Harapan Bangsa, bareng sama dua sahabatnya. Soalnya, dari TK sampai SMP, Ad sekolah di VIS. Ad, yang tentu saja anak orang kaya itu, mulai males sekolah di VIS, karena sering banget acara sekolah jadi ajang pamer, ajang gaya dan sombong-sombongan, pokoknya serba glamor. Tapi, Ad gak bisa membantah keinginan orang tuanya.

So, singkat kata, Adrianna harus kembali ke VIS. Adrianna bukanlah siswi yang hanya mentingin gaya. Meskipun gak suka pamer, tapi tetap, ‘perabotan’ Adrianna gak kalah bermerk dengan siswi lain yang emang ke sekolah dengan niat gaya.

Makanya, Adrianna, nyaris gak peduli ketika pertama kali melihat tiga serangkai – Rashi, May dan Marion – kelompok or clique – yang bikin semua orang – kecuali Ad – pengen jadi di antara mereka bertiga, pengen gabung dengan gang mereka atau paling nggak, dilirik dikit sama tiga orang yang udah kaya’ dewi itu.

Rashi, May dan Marion – anak-anak pejabat, gak peduli dengan uang mereka, tampil abis-abis setiap mau ke sekolah, dan digemari, sekaligus dibenci. Karena sikapnya yang kadang jahat, pedes.. pokoknya… mmm… bitch abis gitu. Rashi, bisa dibilang sebagai pemimpin dari kelompok itu. Dia yang nentuin arah pembicaraan, yang ambil keputusan, bahkan nentuin ‘tema seragam’ mereka tiap hari jum’at, di mana hari itu para siswa-siswi boleh pake baju bebas.

Tadinya, Adrianna gak mau berurusan sama sekali dengan mereka bertiga. Bagi Ad, fokusnya hanya belajar. Karena, system di VIS udah canggih banget. Setiap hasil ulangan, langsung dikirim ke ortu mereka… real time via email. Jadi, kalo dapet nilai jelek, gak ada tuh, yang bisa disembunyikan dari orang tua.

Tapi, ternyata, Adrianna harus ‘menghabiskan’ sedikit waktunya dengan May dan Rashi, ketika mereka ada di kelompok yang sama untuk pelajaran Indonesian Studies. Di pelajaran itu, mereka diharuskan bikin paper tentang salah satu propinsi di Indonesia.

Sejak awal, Adrianna sudah khawatir, kalau hanya dia sendiri yang bakal mengerjakan tugas itu, mengingat untuk bawa pulpen aja mereka lupa. Tapi, Ad gak mau membiarkan dirinya jadi korban. Meskipun malas, Ad harus berani untuk ngedeketin mereka. Emang awalnya, dia di-jutekin abis sama ketiga orang itu. Sampai-sampai, Adriana pengen membalas perlakuan mereka, terutama Rashi.

Kesempatan itu datang, ketika secara gak sengaja, Ad mendengarkan pertengkaran antara di antara mereka bertiga. Entah kenapa, Ad yang pada dasarnya anak baik-baik, malah secara halus menyebarkan gosip, yang bikin ‘pertemanan’ di antara mereka bertiga pecah. Ad sempet gak enak, dan akhirnya bikin pengakuan ke Rashi.

Tapi…. Bukannya marah, Rashi malah ngajak Ad untuk ‘gabung’ jadi anggota baru di clique mereka. Ad pun ikut terbawa arus pergaulan mereka. Clubbing pas malam sekolah, belanja gila-gilaan, sampai-sampai Ad dihukum gara-gara harus ikut remedial class karena nilainya jelek.

Kalo menurut gue, karakter Adrianna rada-rada ‘ngambang’. Sebel-sebel gak jelas sama Rashi and the gank, tapi, ternyata gak bisa ngelawan diri sendiri untuk gak ikutan gaya pergaulan mereka. Padahal, kalo diliat dari cara Ad bicara atau berpikir, harusnya dia lebih kuat dari pada itu. Karena dia punya style yang beda.

Buku ini juga gak terlalu banyak menyorot soal cinta-cintaan. Kalo awalnya gue pikir bakal ada apa-apanya antara Rifky, yang temen kakak Ad and yang jadi pelatih sepak bola di VIS – ternyata gak tuh. Hanya ada ribut-ribut dikit antara Rashid and Marion soal backstabber karena ngedeketin mantan cowoknya Rashi.

Entah kenapa, gue merasa banyak banget yang gak jelas di buku ini. Mungkin bakal jelas di buku-buku selanjutnya.

Lumayan lah, buat bacaan ringan pas weekend kemarin. Dan gue juga langsung buru-buru baca lanjutannya – Reputation – yang bakal disusul sama Unbelievable.
Read more »

The Worlds of Chrestomanci: Charmed Life

The Worlds of Chrestomanci: Charmed Life
(Dunai-Dunia Chrestomanci: Eric Chant dan Korek Api Bertuah)
Diana Wynne Jones @ 1977
Yohanna Yuni (Terj.)
GPU – Maret 2009
256 Hal.

Eric Chant, yang biasa dipanggil Cat, amat sangat bergantung pada Gwendolen, kakak perempuannya yang seorang penyihir. Mereka berdua menjadi yatim piatu, ketika kecelakaan kapal uap merengut nyawa orang tua mereka. Sebenarnya, mereka berdua juga ada di kapal itu, tapi, karena Gwendolen seorang penyihir, ia berhasil selamat, dan Cat juga selamat karena ia berpegangan pada Gwendolen.

Mereka akhirnya diasuh oleh Mrs. Sharp, seorang penyihiri juga di wilayah Wolcercoter, tepatnya di Coven Street. Mrs. Sharp, adalah penyihir tingkat rendah, dan di daerah tempat tinggal mereka, tinggal banyak berbagai jenis penyihir. Karena bakatnya, Gwendolen diikutan belajar sihir, sementara Cat tidak karena dianggap tidak punya kemampuan itu. Bersama gurunya, Mr. Nostrum, Gwendolen menyusun rencana untuk menaklukan dunia.

Orang tua mereka tidak banyak meninggalkan warisan. Di kotak barang-barang peninggalan mereka, hanya ditemukan surat-surat cinta orang tua mereka, anting berlian milik ibu mereka, sekotak korek api yang aneh dan setumpuk surat dari seseorang bernama Chrestomanci.

Seperti yang akhirnya diketauhi, Chrestomanci adalah seorang enchanter, penyihir yang sangat berpengaruh. Maka itu, ketika Chrestomanci datang dan menjemput mereka berdua, Gwendolen sangat senang. Ia berharap akan bisa mendapatkan pengetahuan sihir yang lebih banyak saat tinggal bersama Chrestomanci nanti.

Tapi, Gwendolen harus kecewa. Ketika datang di kastil Chrestomanci, Gwendolen berharap diperlakukan seperti ratu, tapi ternyata mereka hanya disambut pelayan biasa. Bahkan ia sama sekali tidak boleh menggunakan sihir di kastil itu.

Gwendolen adalah anak yang keras hati dan pantang menyerah. Berbagai sihir dilakukannya untuk menunjukkan kemampuannya di hadapan Cherstomanci, agar ia diperhatikan dan dianggap punya potensi. Tapi, tetap saja, Chrestomanci tidak memperhatikannya, malah ia menghukum Gwendolen dan menghilangkan kemampuan sihirnya.

Namun, Gwendolen memang anak yang pintar. Untuk menjalankan rencana gelapnya, ia ‘pindah’ ke dunia lain, dan bertukar tempat dengan seorang gadis yang mirip dengannya bernama Janet. Hanya Cat yang tahu perbedaan antara Gwendolen dan Janet. Janet bukan penyihir, ia hanya anak biasa yang datang dari dunia yang menganggap sihir itu adalah hal bohong.

Tapi, dengan perginya Gwendolen, justru membuka potensi tersembunyi dalam diri Cat. Bukan sembarang julukan, karena ternyata Eric memang punya sembilan nyawa seperti kucing! Dan itu baru diketahuinya ketika ia nyaris terbakar gara-gara main-main dengan korek api.

Sementara, Cat masih merasa kehilangan kakaknya, Gwendolen ternyata ada di dunia lain dan diperlakukan sesuai dengan yang ia mau, seperti ratu. Rencana jahat untuk menghancurkan Chrestomanci terus dilakukan, dan Cat, secara tidak sadar, ikut andil dalam rencana itu.

Gue langsung ikut membayangkan suasana kastil Chrestomanci, dengan taman-tamannya yang indah. Novel yang tipis ini ternyata menarik, karena, justru tokoh yang ketahuan punya kekuatan sihir ternyata adalah tokoh antagonisnya. Geli juga saat Gwendolen yang pintar melakukan semua cara untuk mendapat perhatian Chrestomanci yang gemar berganti-ganti jubah itu. Tapi, kenapa, hampir semua novel fantasi yang terbit sesudah Harry Potter, harus ‘menjual’ nama Harry Potter? Seolah gak pd dengan daya tarik novel itu sendiri. Padahal, novel Chrestomanci pertama ini ditulis 32 tahun yang lalu! Ha… seumur gue???!!!
Read more »

Spellbound (Tersihir)

Spellbound (Tersihir)
Jane Green
Monica D.C (Terj.)
GPU – Maret 2009
488 Hal.

Alice Chambers, perempuan usai 30 tahunan, kerap menjadi cover di majalah Tatler terbitan Inggris karena seringnya ia menghadiri acara-acara sosialita. Dengan postur tubuh tinggi semampai, kulit kecokelatan, rambut pirang yang panjang dan lurus, berbalut busana dari desainer terkemuka. Siapa yang tak akan menoleh kepadanya dengan penampilan seperti itu. Tinggal di kawasan bergengsi di London. Mungkin nyaris semua perempuan ingin menggantikan tempatnya sekarang.

Tapi, siapa sangka semua itu dilakukan Alice hanya demi suaminya. Joe Chambers, laki-laki impiannya sejak remaja. Alice, yang dulunya berambut hitam dan keriting, memakai celana jeans dan sweater kumal, bermimpi untuk memiliki rumah di pedesaan dan menikah dengan suasana yang tradisional dan kekeluargaan. Penampilan canggih Alice yang sekarang, adalah semata-mata karena keinginan Joe.

Alice sangat mencintai Joe. Tapi, dasar laki-laki hidung belang. Memiliki istri seperti Alice tidaklah cukup. Joe adalah tipe lelaki petualang. Ia gemar melakukan ‘one night stand’ dengan perempuan-perempuan yang ia temui, entah di café, di pesta-pesta. Joe yang tampan dan mudah bergaul, membuatnya dengan mudah mendekati perempuan-perempuan yang tentu saja dengan senang hati meladeninya.

Joe pun kena batunya, ketika ia berhubungan dengan teman sekantornya sendiri, Josie. Joe dipindahkan ke Amerika. Bagi Alice – dan juga Joe – kepindahan ini dimanfaatkan untuk memperbaharui pernikahan mereka. Joe berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang baik dan setia pada Alice.

Alice pun segera menyukai Amerika, atau tepatnya sebuah kota kecil bernama Highfield di Connecticut. Di sana Alice menemukan rumah yang selama ini hanya ada dalam mimpinya. Rumah yang ternyata memiliki legenda di kalangan warga Highfield. Segera saja Alice jatuh cinta pada rumah itu dan langsung bekerja keras untuk mewujudkan rumah impiannya itu.

Tanpa disadarinya, hubungannya dengan Joe merenggang. Joe yang tinggal di Manhattan hanya pulang seminggu sekali ke tempat Alice berada. ‘Pertahanan’ Joe diuji. Dengan begitu banyak wanita cantik bersliweran di depannya, mau tak mau, Joe kembali tergoda. Apalagi, Alice berubah – kembali menjadi Alice yang tak peduli dengan penampilan, kembali menjadi Alice yang dikenalnya ketika remaja dulu.

Ketika Alice menyadari, Joe kembali ke kebiasaan lamanya, tak urung Alice terpukul. Ia harus memilih antara menyelamatkan pernikahannya tapi tidak menjadi dirinya sendiri, atau, kehilangan Joe tapi kembali menjadi Alice yang santai.

Hmmm… laki-laki… sekali hidung belang, tetap aja gak akan berubah. Some people don’t change, they just grow older J

Ada bagian yang menurut gue rada dipaksain, atau, gak pas… menurut gue lhooo… misalnya, kenapa Alice harus ‘dipaksain’ jadian atau deket atau suka-sukaan sama Harry, pacar sahabatnya, Emily? Kenapa endingnya, gak dibiarin aja, Alice menikmati masa-masa bahagianya sendiri, di rumah pedesaannya? Dan, coba, cerita tentang rumahnya Alice, yang katanya bekas rumah Rachel Danburry, penulis controversial itu, rada dibanyakin. Biar ada misteri-misterinya dikit gitu, bukan sekadar ‘pemanis’ aja.
Read more »

Tak Tik Foto

Judul : Tak Tik Foto - Panduan Mengolah Foto Online
Penulis : Angel
Penerbit : Bukune
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : 95 hlm

Setelah Era jaringan pertemanan mewabah di internet seperti friendster, multiply, myspace, dan kini facebook, tiba-tiba saja kita seolah menjadi orang yang narsis. Masing-masing berlomba memajang foto-foto diri terbaiknya. Berharap dari foto yang menarik itu kita menjadi dikenal, mendapat kawan baru atau menemukan kembali kawan lama yang lama tak berjumpa.

Menampilkan foto diri sebaik dan seunik mungkin untuk dipajang di jaringan pertemanan kini merupakan sebuah kebutuhan utama. Tak cukup hanya satu foto, kita seolah dipacu untuk terus memperbaharui foto-foto di profil kita masing-masing. Kadang mungkin kita bosan dengan foto kita dengan gaya yang itu-itu saja. Kita ingin mengubahnya menjadi menjadi sesuatu yang unik, menarik, dan tentunya menarik banyak komentar dari teman-teman kita.

Jika demikian, maka sudah waktunya kita mengutak-ngatik sendiri foto-foto kita agar tampil lebih menarik dan unik. Bagaimana caranya? Software yang paling umum tentunya adalah Photoshop, namun untuk menjalankan software ini tidak mudah, selain harus menginstall dulu programnya, diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk menguasai Photoshop. Jadi adakah cara paling mudah untuk mengotak-ngatik foto kita?

Jawabannya ada di buku Tak Tik Foto (Panduan Mengolah foto Secara Onlen) karya Angel, seorang web designer yang juga dikenal sebagai pengelola situs www.kutukutubuku.com. Sebelum membuat buku ini, ia bersama sahabatnya Olie telah menelurkan buku sejenis yaitu : Tak Tik Blog : Cara Bikin Blog Paling Tokcer, Cepat Populer (Bukune, 2008)

Dalam bukunya ini Angel memberikan panduan praktis bagaimana mengedit foto dengan mudah melalui online photo editing. Caranya mudah, tak perlu menginstall apapun ke dalam computer kita, cukup masuk ke website yang menyediakan aplikasi photo editing, kemudian meng-upload foto baik dari computer maupun dari flickr atau facebook. Dan foto kita seketika itu juga akan siap untuk diedit (resize, crop, rotate, membuat animasi, red eye removal, menambahkan special effect, dll) dengan sangat mudah, menyenangkan, dan tentu saja gratis!.

Dari sekian banyak Online Photo Editing yang ada di internet, buku ini mengulas 6 buah oline photo editing yang saat ini populer digunakan yaitu : PICNIC LUNAPIC, SPLASHUP, FOTOFLEXER, LOONAPIC, dan MAGMYPIC. Kesemua itu dibahas satu-persatu dengan praktis dalam buku ini sehingga kita bisa belajar step by step mengolah foto online, step by step upload foto ke Fecebook, Friendster, Flickr, dan jaringan pertemanan lainnya, kita juga akan belajar menampilkan efek-efek unik yang dapat diaplikasikan ke dalam foto kita, membikin kartu ucapan, serta gambar-gambar lucu dan menarik.

Pokoknya semua menu-menu utama yang ada dalam beberapa situs photo onlen editing yang dibahas dalam buku ini dipaparkan dengan sangat jelas. Semuanya disertai dengan tampilan foto-foto seperti halnya yang kita lihat dalam layar monitor ketika kita membuka situs tersebut, hal ini tentunya membuat apa yang dipaparkan menjadi sangat mudah diikut, dipahami, dan dapat langsung dipraktekkan di komputernya masing-masing.

Karenanya bagi mereka yang gemar mengotak-ngatik fotonya agar lebih menarik dan unik, buku ini dapat dijadikan buku pegangan yang sangat praktis. Dijamin, baru beberapa halaman saja kita membaca buku ini, maka tangan kita akan segera ‘gatal’ untuk mencoba berbagai menu menarik yang ditawarkan semua situs onlen photo editing yang dibahas dalam buku ini. Melalui buku ini, kita akan memukan kesenangan baru dalam mengotak-ngatik foto-foto kita menjadi lebih indah, unik, dan lucu. Dan yang pasti kita akan semakin narsis dibuatnya…:D

@h_tanzil
Read more »

Senin, 13 April 2009

Teka-teki Cinta Sang Pramusaji (Q&A)

Teka-teki Cinta Sang Pramusaji (Q&A)
Vikas Swarup @ 2005
Agung Prihantoro (Terj.)
Serambi – Juli 2008
458 Hal.

Siapa sangka seorang pramusaji di bar, bekas pemandu wisata illegal, mantan pembantu seorang bintang film dan sederet pekerjaan lainnya, bisa memenangkan hadia 1 Milyar rupee. Tapi itulah yang terjadi dalam kehidupan seorang Ram Mohammad Thomas, bocah berusia 18 tahun, seorang yang tinggal di gubuk kumuh di daerah Dharavi, India. Semua beranggapan itu keberuntungan semata, sebagian menganggap adanya kecurangan.

Karena itulah, Ram ditangkap polisi dan dipaksa menandatangani surat pernyataan bahwa ia telah melakukan kecurangan. Namanya saja kuis Who Will Win a Billion, tapi ternyata produser acara itu belum sanggup untuk memberikan hadiah sebesar itu jika pemenangnya memang benar ada. Ram pun jadi korban. Ia disiksa oleh polisi. Beruntung ada seorang pengacara perempuna muda yang tiba-tiba muncul bernama Smita, menyelamatkan Ram dan mencoba membantu Ram membuktikan bahwa ia tak bersalah.

Dari sini dimulailah kisah perjalanan Ram sampai akhirnya ia bisa sampai di ‘kursi panas’. Ram bilang, ia tahu semua jawaban dari pertanyaan yang diajukan dalam kuis itu. Dari setiap pertanyaan yang diajukan, terungkaplah satu kisah hidupnya.

Ram Mohammad Thomas, awalnya hanya bernama Thomas, nama yang diberikan oleh seorang pastor berkebangsaan Inggris. Thomas adalah anak yatim piatu yang ditemukan di sebuah panti, ditinggalkan begitu saja dalam sebuah keranjang. Nyaris tak ada yang mau mengadopsinya. Karena sesuatu hal, akhirnya, Thomas diasuh oleh Romo Timothy. Pemberian nama itu mengundang perdebatan di antara pendeta umat Hindu dan seorang imam umat Muslim. Karena itulah, namanya mengandung tiga unsur yang mewakili ketiga agama itu.

Perjalanan hidupnya nyaris bagai neraka bagi diri Ram. Ia harus lari dari satu tempat ke tempat lain. Bersembunyi karena ketakutan dikejar polisi, nyaris jadi pengemis, membunuh perampok, bersahabat dengan Salim, lalu jatuh cinta pada seorang pelacur, nonton film India bareng Salim, jalan-jalan di Taj Mahal. Ram mungkin anak yang polos, cita-citanya biasa aja, tapi, dia cerdik, selalu bisa lolos dan bertahan dalam kesulitan. Sifat Ram, pema’af, baik hati dan gampang tersentuh. Coba aja minta bantuan uang sama Ram, meskipun dia sendiri masih kekurangan.

Yang paling kocak di buku ini adalah waktu Ram jadi pemandu wisata illegal di Taj Mahal. Pertama kalinya dia datang ke sana, dengerin cerita dari guide resmi, terus, dia ceritain lagi ke turis Jepang dengan informasi yang kebolak-balik.

Alur ceritanya flashback, maju mundur. Gak bikin bingung, tapi, terus bikin penasaran, koq bisa si Ram ikut kuis itu dan menang. Klimaksnya tentu saja ada di bab 1,000,000,000 rupee (iya.. setiap pergantian bab ditandai dengan jumlah uang yang bakal dimenangkan sama Ram). Layaknya film India, tokoh-tokoh di buku ini lengkap.. hehe.. ada polisi, ada penjahat, ada cewek cantik, ada ‘pahlawan’nya, berlinang air mata. Tapi, yang gak disampaikan di sini, gimana Ram bisa ikut acara itu. Apa acara itu gak pake audisi kaya’ Who Wants to be a Millionaire, ya? Rasanya terlalu mudah buat seorang Ram untuk sampai ke sana.

Mungkin kalo gak karena Slumdog Millionaire menang Oscar, buku ini masih terbungkus rapi di lemari buku gue. Mungkin kalo gak karena ganti cover, gue gak akan tertarik beli buku ini. Cover yang lama, gambar anak cowok dengan tampang memelas, nyaris gak menarik perhatian gue. Terus, terjemahannya enak dibaca, meskipun kadang pilihan katanya banyak yang ‘aneh’, gak lazim. Kadang gue harus menebak-nebak apa artinya. Tapi, ternyata gue suka cerita di buku ini.
Read more »

Sabtu, 11 April 2009

Lara Kusapa

Judul : Lara Kusapa
Judul Asli : Bonjour Tristesse
Penulis : Francoise Sagan
Penerjemah : Ken Nadya
Cetakan : I, Feb 2009
Tebal : 164 hlm

Lara Kusapa (Bonjour Tristesse) adalah novel perdana karya novelis Perancis terkenal, Francoise Sagan (1935-2004). Novel ini pertama kali diterbitkan pada 1954 saat Sagan berusia 18 tahun dan langsung menjadi best seller dan menyulut sensasi heboh pada masanya. Hal ini mungkin dikarenakan usia si penulis yang masih begitu muda namun kisahnya ditulis bagaikan penulis-penulis dewasa senior yang menceritakan kisah cinta disertai bumbu pengalaman seksualitas gadis remaja yang dituturkan tanpa malu-malu. Novel inilah yang akan melejitkan Sagan menjadi sosok penulis terkemuka dalam sastra Perancis dan menjadi karya abadi yang terus dibaca orang hingga kini.

Judul novel ini diambil Sagan dari sebuah puisi karya penyair Perancis, Paul Eluard "À peine défigurée", yang diawali dengan kalimat “Bonjour tristesse ...". Dalam novelnya ini Sagan bertutur mengenai kisah Cecile, gadis manja berusia 17 tahun yang telah tinggal bersama ayahnya(Raymond) seorang duda keren berusia 40 tahun yang gemar bergonta-ganti wanita semenjak istrinya meninggal dunia ketika Cecile masih berusia 2 tahun.

Saat liburan musim panas Cecile dan ayahnya yang juga ditemani oleh kekasihnya, Elsa Mackenbourg berlibur di sebuh villa mewah di pinggir pantai. Elsa sendiri adalah wanita muda, gaul, kurang berpendidikan, dan penggoda pria yang usianya hanya terpaut 12 tahun dari Cecille dan merupakan kekasih ayahnya yang entah untuk keberapa kalinya yang telah memasuki kehidupan ayahnya. Selain Elsa, Raymond juga mengundang Anne, kawan lama mendiang ibu Cecile untuk sama-sama menghabiskan liburan mereka di pantai. Anne yang seumuran dengan ayahnya adalah sosok wanita ‘lurus’ dan terpelajar.

Awalnya tak ada masalah dalam liburan mereka, Cecile pun menemukan kebahagiaan karena berkenalan dengan Cyril, seorang pemuda yang juga sedang berlibur di pantai tersebut. Bersama Cyrill Cecile menjalin cinta yang penuh gairah tanpa batas tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya hingga akhirnya Anne memergokinya dan menyatakan ketidaksukaannya pada hubungan mereka.

Sikap Anne yang lambat laun mulai merecoki kehidupannya dan sok mengatur membuat Cecille menjadi tak menyukai Anne, apalagi ketika akhirnya ia mengetahui bahwa ayahnya dan Anne berencana untuk menikah. Setelah rencana ini diketahui juga oleh Elsa, maka Elsa pun pergi meninggalkan Raymond. Rencana pernikahan ini ditentang oleh Cecile. Ia mulai membayangkan jika ayahnya jadi menikah dengan Anne maka kehidupannya akan berubah, dari tadinya serba tak teratur, seenaknya, ugal-ugalan, menjadi kehidupan yang tertib dan membosankan.

Untuk menggagalkan pernikahan ayahnya itu, Cecile menyusun rencana yang melibatkan Cyrill, kekasihnya dan Elsa, mantan kekasih ayahnya. Berhasilkah ia dengan rencananya itu ? di tengah usahanya menggagalkan rencana pernikahan ayahnya itulah akhirnya Cecile berjumpa dengan Lara…

Novel tipis ini dibagi menjadi dua bagian besar, jika dicermati maka di bagian pertama kita akan diajak mengenal karakter Cecile sebagai gadis remaja yang nakal, naïf, dan belum matang. Sedangkan di bagian berikutnya, kegelisahan dan ketakutan akan masa depannya membuat Cecile tampak lebih matang dan dewasa baik dalam berperilaku maupun dalam berpikir.

Tema dan kisah yang dibangun oleh Sagan tampak biasa-biasa saja dan mungkin sangat umum dan seperti layaknya kisah-kisah sinetron. Namun kepiawaian Sagan menyusun konflik antar tokohnya dan sedikit gambaran seksualitas Cecille dalam novel ini yang mungkin menjadikan novel ini menarik untuk dibaca, tak heran novel ini menjadi best seller dan menjadi salah satu novel klasik. Bahkan novel ini jgua mengilhami Simon Gerfunkel untuk membuat salah lagunya yang terkenal, ‘Sound of Silence’

Sagan memang piawai menghidupkan konflik-konflik antar tokohnya, ia juga dengan baik mengeksplorasi konflik batin dan ketakutan Cecille akan masa depannya jika ayahnya jadi menikah dengan Anne. Ketika kekalutan itu datang dan dirinya kehilangan akal, Cecille berlari menuju pantai, seolah laut adalah representasi atau simbol dari seorang ibu yang tidak dimilikinya semenjak ia kecil.

Semua peristiwa yang dialami Cecille tampak begitu nyata, dan menyentuh, menggemaskan, semua itu tersaji dengan wajar, tak ada kesan yang dilebih-lebihkan. Mungkin hal ini karena Sagan menghadirkan tokoh Cecille yang seumuran dengan dirinya sehingga Sagan tahu betul bagaimana perasaan seorang gadis remaja jika menghadapi situasi seperti yang dialami Cecille. Tentunya hal ini merupakan hal yang sangat luar biasa bagi seorang penulis yang masih berusia 18 tahun. Dan mungkin hal inilah juga yang membuat novel ini mengantar nama Sagan sebagai penulis terkenal di Perancis dan dunia.

Setelah Novel perdananya ini sukses dan menjadi best seller, Sagan terus berkarya dan sepanjang hidupnya ia telah menghasilkan puluhan novel, beberapa cerita pendek, naskah drama, biografi, lirik lagu, dll. Kebanyakan karya-karyanya menggambarkan karakter remaja yang kecewa seperti halnya karya-karya J.D. Salinger. Banyak dari novel-novelnya juga telah diadaptasi ke dalam film. Bonjour Tristesse sendiri telah beberapa kali ke dalam sebuah film antara lain yang diproduksi Columbia Picture pada tahun 1958 yang diperani oleh Deborah Kerr, David niven, Jean Seberg.




Pada tahun 1985, Sagan menerima penghargaan Prix De La Foundation dari Pangeran Pierre de Monaco untuk keseluruhan karyanya. Di Perancis sendiri, ia begitu terkenal sampai-sampai ketika Sagan meninggal di usianya yang ke 69 pada tahun 2004 lalu akibat penyakit paru-paru yang didieritanya. Presiden Perancis, Jaques Chirac mengatakan: " Perancis kehilangan salah seorang penulisnya yang paling cemerlang dan peka, seorang sosok terkemuka dalam kehidupan sastra kita”.

Mungkin nama Francoise Sagan di negara kita masih terasa asing dan hanya dikenal oleh mereka yang ‘melek sastra’. Karenanya dengan terbitnya karya Sagan untuk pertama kalinya dalam bahasa Indonesia ini kita patut disyukuri karena dapat menambah wawasan pembaca Indonesia khususnya dalam hal sastra Peracis. Novel ini tampaknya diterjemahkan dengan sangat baik oleh Ken Nadya, penerjemah yang pernah belasan tahun tinggal di Perancis dan terbiasa menerjemahkan buku-buku dalam bahasa Perancis. Pilihan menerjemahkan judul “Bonjour Trisete” menjadi Lara Kusapa merupakan pilihan kalimat yang sagat baik karena terkesan indah dan liris, bandingkan dengan terjemahan inggrisnya yang menjadi “Hello, Sadness”.




Cover Bonjour Tristesse edisi Perancis









Satu hal yang mengganjal dari novel terjemahan ini adalah covernya. Saya rasa covernya yang menampilkan foto wajah seorang wanita, tampak terlalu sensual sehingga membuat calon pembaca menyangka bahwa ini adalah novel dengan kisah sensual. Padahal setelah saya membaca tamat novel ini, tak ada hal berlebihan dalam mengumbar deskrispi seks, walau memang ada, namun semua menyatu dalam kisahnya dan tak ada yang berlebihan. Mungkinkah
ini hanyalah strategi marketing? Jika memang demikian, saya rasa penerbit terlalu berlebihan dalam mengemas sebuah novel klasik yang seharusnya bisa dikemas dengan lebih elegan namun menarik orang untuk membacanya.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 06 April 2009

Kepleset!

Judul : Kepleset! Gerundelan Tentang Gaya Hidup
Penulis : Regina Kencana
Editor : Chusnato
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Maret 2009
Tebal : 99 hlm

Sejak paham globalisasi muncul di tahun 90-an kita diperkenalkan dengan dengan berbagai produk gaya hidup sehari-hari. Mau tak mau tentunya hal ini berpengaruh pada pada gaya hidup masyarakat. Berbagai produk dan merek-merek terkenal kelas dunia mulai dari pakaian, aksesori, hingga makanan kini semakin dikenal oleh masyarakat luas. Hampir semua produk kehilangan ciri khas lokal karena mencoba meniru atau dimirip-miripkan dengan merek-merek kelas dunia.

Contoh paling mudah ditemui adalah dalam hal berpakaian. Kini semakin banyak orang yang ingin tampil gaya dan mendunia. Salah satunya tentu saja dengan gaya berbusana dengan memakai brand atau merek-merek terkenal kelas dunia. Rasanya kalau menggenakan baju, sepatu, tas, dll yang bermerek kita akan semakin pe de. Bagi mereka yang berduit mereka rela membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang dengan merek terkenal hingga ke luar negeri, tapi bagi mereka yang pas-pasan cukuplah dengan membeli merek ‘aspal’ yang penting kalau dilihat tampak mirip dan bisa dipakai untuk bergaya.

Selain soal fashion, dalam berbisnis pun ada yang menggunakan brand terkenal agar menarik minat orang untuk membelinya. Ada yang rela merogoh kantung dalam-dalam agar bisa membeli right dari merek kelas dunia, misalnya di bidang kuliner kita mengenal Bread Talk, Starbuck, Kentucky Fried Chicken, dll. Jika right tak terbeli maka disiasati dengan menggunakan ‘plesetan’ dari merk-merk terkenal dengan logo yang mirip dengan yang aslinya.

Begitupun dalam spanduk-spanduk pinggir jalan atau papan-papan informasi yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan, biar gaya dan terkesan intelek, biasanya digunakan kata-kata dalam bahasa inggris, namun sayangnya banyak yang asal-asalan sehingga kalau dibaca secara jeli bisa jadi hal-hal yang lucu dan jauh dari arti yang sesungguhnya.

Awalnya, Regina Kencana, yang memiliki latar pendidikan di jurusan Fashion Design and Pattern Making dan pernah bekerja sebagai Fasshion Editor a+ magazine (2005-2009) secara iseng memfoto berbagai merek-merek ‘aspal’ dan istilah-istilah inggris yang ditemui dalam kesehariannya dalam sebuah blog yang dinamainya http://serasasekali.blogspot.com

Blog yang dikelolanya sejak tahun 2007 ini praktis hanya berisi foto-foto merek-merek plesetan dan merek terkenal dan spanduk-spanduk lucu di pinggir-pinggir jalan, dengan sedikit komentar, lengkap dengan lokasi dimana dia memperoleh foto tersebut. Mulai dari sandal milik keluarganya di rak sepatu rumahnya, baju-baju di Pasar Baru Jakarta, menu makanan di sebuah restoran di Kemang, toko elektronik di M Plaza, otlet-outlet di Bandung, hingga papan-papan reklame di Solo, semua tak luput dari pengamatannya.

Keunikan, kelucuan, dan keganjilan dari 80 foto-foto yang ditampilkan Regina dalam blognya ini rupanya menarik salah seorang kawannya, Chusnato (jurnalis) yang mencoba menggelitik penerbit Gramedia untuk membukukan blognya hingga akhirnya terbitlah sebuah buku yang berjudul Kepleset! – Gerundelan Tentang Gaya Hidup.

Jika dalam blog-nya semua foto-fotonya disusun berdasarkan kronologis waktu pememotretan, maka dalam bukunya ini Regina membagi foto-fotonya kedalam 4 bab. Bab pertama yang berjudul Barang Palsu Bukan Asli menyajikan foto-foto berbagai barang / produk fashion hingga minuman yang merek-nya merupakan plesetan dari merk-merk terkenal, misalnya reguess, adilas, es seprit, dll.

Di bab kedua, Impossible (Enggak Mungkin Tapi Mungkin), Regina menyajikan merek-merek aneh misalnya sandal merek Nokia, sepatu merek Oprah Winfrey, dll. Di Bab tiga, Refeksi atau Kepribadian Ganda kita akan menemui hal-hal ganjil seperti merek obat untuk memperbesar tanaman umbi-umbian yang diberi nama Mc.Errot atau nama kedai martabak Martabuck’s. Sebagai bab penutup yang berjudul Hikayat Sang Huruf, buku ini mengungkapkan berbagai salah cetak, kemiripan bunyi, salah sablon, dll yang terdapat di spanduk-spanduk reklame yang bertebaran di pinggir-pinggir jalan hinggal mall-mall terkenal.

Selain berisi foto-foto lucu dan ganjil, buku ini juga dilengkapi dengan berbagai tanya jawab seperti bagaimana cara membedakan produk asli dan palsu, soal gaya berbusana, membedakan bahan yang bagus dan tidak, cara membaca merek fashion terkenal hingga 10 anak tangga tingkat keberbahayaan barang palsu. Kesemua artikel-artikel tambahan tentunya memberikan nilai tambah bagi pembacanya, sehingga buku ini tidak hanya sekedar menghibur dan mengungkap hal-hal ganjil yang berkaitan dengan merek sebuah produk.

Buku yang dikemas dengan menarik, dicetak diatas kertas art paper yang mengkilat sehingga semua foto-foto berwarnanya tersaji dengan jelas memang bukan sekedar buku yang menghibur, setidaknya mengerengahkan gerundelan hidup tentang gaya hidup dan menyadarkan kita bahwa dunia kita kini dibanjiri oleh barang-barang aspal dengan berbagai merek yang aneh-aneh dan lucu.
Selain itu buku ini juga memberikan gambaran yang kuat bahwa dunia keterpukauan kita terhadap merek-merek terkenal telah begitu merasuki gaya hidup kita sehingga berbagai cara dilakukan agar kita dapat menggenakan merek-merek terkenal itu.

Bagi produsen, harga yang mahal untuk memperoleh right dari merek-merek dunia disiasati dengan membuat merek yang mirip-mirip dengan aslinya. Berharap konsumen kepleset seolah telah membeli produk kelas dunia. Konsumen mungkin ada yang terpeleset oleh siasat produsen, namun tak jarang konsumen secara sadar terpeleset untuk memakai barang-barang aspal, yang penting mirip dan bisa bergaya. Akhirnya memang kita semua terpeleset agar bisa tampil gaya demi gengsi dan untuk menaikkan status sosial kita sebagai warga dunia. Karennya bersiaplah untuk mentertawai diri kita sendiri dalam buku ini, karena siapa tahu kitapun telah terpeleset agar bisa tampil makin gaya.

@h_tanzil
Read more »