Jumat, 29 Januari 2010

Libri di Luca

Judul : Libri di Luca
Penulis : Mikkel Birkegaard
Penerjemah : Fahmi Yamani
Penyunting : Moh. Sidik Nugraha
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Nov 2009
Tebal : 588 hlm

Masih ingatkah kita akan pengalaman masa kecil ketika kita sedang dibacakan cerita oleh orang tua kita ? Tentunya sangat mengasikan karena biasanya kita akan terpukau oleh ceritanya sehingga kita seolah-olah berada dalam kisah yang sedang kita dengar itu.

Namun pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa sebuah buku yang dibacakan akan memberi pengaruh yang lebih dahsyat lagi? Bukan hanya sekedar memukau pendengarnya dan menjadikan apa yang ada dalam buku terasa begitu nyata melainkan dapat mempengaruhi jiwa , pikiran, dan persepsi mereka yang mendengarnya. Hal inilah yang terpikirkan oleh Mikkel Birkegaard penulis muda Denmark yang ia tuangkan dalam novel perdananya yang berjudul Libri di Luca .

Dalam karyanya ini Mikkel menceritakan mengenai para pembaca buku yang dapat mempengaruhi jiwa dan pikiran mereka yang mendengar apa yang sedang dibacanya. Para pembaca ini disebut dengan Lector, yaitu mereka yang melatih sebuah seni membaca keras-keras dari sebuah teks sehingga dapat memberi penekanan sesuai dengan keinginan si Lector. Dengan demikian hal ini akan mempengaruhi persepsi mereka yang mendengarkan isi dari sebuah teks yang dibacanya

Lector ini sendiri dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pemancar yang dapat mempengaruhi persepsi pendengar terhadap tulisan yang sedang dibacanya, dan kelompok penerima yang mampu mempengaruhi persepsi seseorang yang sedang membaca sebuah buku. Jika dua kelompok ini disatukan makan akan tercipta sebuah sinergi yang dahsyat yang dapat mempengaruhi dunia sesuai dengan apa yang diinginkan para Lector. Di tangan mereka, buku bisa menjadi sebuah senjata!

Novel ini diawali dengan kisah kematian Luca Campelli seorang Lector yang memiliki sebuah toko buku antik terkemuka di Kopenhagen Denmark yang diberinya nama “Libri di Luca”. Kematiannya sangat ironis karena Luca Campelli meninggal secara mendadak di toko buku kebanggaannya ketika ia sedang membaca buku antik yang sangat ia sayangi.

Luca hanya memiliki seorang anak yang bernama John, seorang pengacara handal. Namun walau John adalah anak tunggalnya hubungan antara Luca dengan anaknya tidaklah sedekat hubungan antara seorang ayah dan anak pada umumnya sehingga tak heran jika John tidak pernah benar-benar mengenal ayahnya.

Kematian Luca otomatis membuat toko buku Libri di Luca diwariskan pada John. Dengan bantuan Iversen selaku sekretaris pribadi Luca dan Katherine, pegawai kepercayaan Luca lambat laun John mulai mengenal aktifitas ayahnya beserta isi dari Libri di Luca yang menyimpan begitu banyak buku-buku berharga.

Melalui penuturan Iversen akhirnya terungkap bahwa Libri di Luca ternyata merupakan markas sebuah perkumpulan rahasia pecinta buku yang terdiri dari para Lector yang memiliki kekuatan mempengaruhi pendengarnya baik sebagai pemancar maupun penerima . Dan yang paling mengejutkan bagi John adalah ternyata tanpa disadarinya dirinyapun mewarisi kemampuan ayahnya sebagai seorang Lector.

Tidak berapa lama setelah kematian Luca, toko buku Libri di Luca mendapat serangan bom yang menghanguskan sebagian toko buku antik tertua di Kopenhagen itu. Hal ini membuat John Iversen dan Katherne menaruh curiga bahwa kematian Luca bukanlah kematian biasa melainkan ada pihak-pihak yang ingin menghancurkan Libri di Luca beserta perkumpulan rahasianya.

Kematian Luca dan serangan terhadap Libri di Luca memang pada akhirnya menimbulkan kecurigaan diantara para anggota perkumpulan, antara Lector penerima dan pemancar saling mencurigai sehingga perkumpulan rahasia ini nyaris terpecah belah. Kecurigaan John dan kawan-kawannya akhirnya mengerucut pada kemungkinan adanya Organisasi Bayangan diluar perkumpulan rahasia Libri di Luca yang bertujuan untuk memecah belah Perkumpulan dan mempengaruhi para Lector untuk dapat menguasai dunia lewat kekuatannya.

Pencarian siapa dalang dari kekisruhan ini tak mudah. John dan kawan-kawan harus berpacu dengan waktu, taruhannya adalah nyawa mereka sendiri dan nyawa para Lector yang satu persatu tewas dengan berbagai cara. Pencarian ini ternyata membawa John, Iversen, dan Katherene melintas benua menuju Mesir, dimana pernah berdiri dan kini sedang dibangun kembali sebuah Perpustakaan terbesar di dunia di Alexandria – Mesir (Bibliotheca Alexandria). Ternyata di tempat ini pulalah cikal bakal terbentuknya perkumpulan rahasia para lector.

Bagi para pecinta buku novel ini akan menjadi sangat menarik karena mengupas tentang buku dan pembacanya. Buku di tangan seorang lector bisa menjadi sebuah alat yang mempengaruhi dunia. Selain itu Mikkel juga dengan menarik memadukan sebuah fakta sejarah mengenai Bibliothica Alexandrina, perpustakaan paling besar sedunia yang pernah ada di muka bumi ini dengan kisah thriller fantasi yang menghibur.

Plot cerita yang disuguhkan Mikkel dibangun secara perlahan dan mencapai klimaksnya di bagian akhir. Berbagai fakta dibeberkan secara rinci sehingga pembaca bisa memahami logika dari sebuah kisah yang dibangun.

Yang agak disayangkan dalam novel ini adalah kurangnya penulis mengeksploitasi kisah ketika berada di Bibliothica Alexandrea. Setting di Alexandrea ini baru muncul di bagian-bagian akhir, andai saja setting di perpustakaan ini lebih diekplorasi lebih banyak lagi tentunya novel ini akan lebih menarik dan membuat wawasan pembaca mengenai Bibliothica Alexandrea semakin bertambah.

Saya juga agak menyayangkan deskripsi yang berlebihan mengenai kekuatan seorang Lector yang dengan kekuatan yang dimilikinya bisa menimbulkan fenomena lecutan-lecutan api, asap, cahaya, dll. Andai saja fenomena fisik seperti itu dihilangkan dan diganti dengan dskripsi mengenai bagaimana keadaan jiwa dan pikiran seseorang yang telah dipengaruhi oleh seorang Lector tentunya kesannya akan lebih dramatis dan dalam dibanding dengan menonjolkan fenomena fisiknya.

Terlepas dari hal di atas bagaimanapun novel ini sangat menghibur, setting toko buku antik, bibliothek Alexandria dan kemampuan seorang lector pasti akan menarik minat para bibliophile dan para pembacanya umumnya.

Selain itu novel ini juga berhasil menempatkan posisi pembaca buku ditempat terhormat sebagai tokoh sentral, dan merupakan ruh dari keseluruhan novel ini, berbeda dengan novel-novel lain yang kadang menempatkan tokoh seorang pembaca buku hanya sebagai pelengkap cerita dengan sosok seorang berkacamata tebal yang terasing dalam dunianya sendiri.

Dari semua hal diatas tak heran jika novel ini mencuri perhatian para pembaca buku fiksi dan menuai sukses, hal ini terbukti ketika cetakan pertamanya sebanyak 10.000 ekslempar ludes hanya dalam waktu tiga hari saja. Novel ini juga telah diterjemahkan ke dalam tujuh belas bahasa dan menjadi International Best Seller. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi penulisnya karena ini adalah novel perdananya.

@htanzil

Read more »

Senin, 25 Januari 2010

Remember Me?

Remember Me?
Sophie Kinsella @ 2008
Bantam Dell, 2008
430 Hal.

Lexi Smart tidak bisa menutupi rasa kesalnya ketika tahu dirinya gak dapet bonus, padahal masa kerjanya hanya kurang beberapa minggu dari hitungan satu tahun. Sementara teman-temannya sibuk mikirin mau beli apa dengan bonus itu, Lexi hanya bisa senyam-senyum. Suasana hujan, Lexi yang lagi hang-out sama teman-temannya tiba-tiba terjatuh… dan bum… tiba-tiba ia terbangun di rumah sakit London.

Belum lagi Lexi sadar sama apa yang terjadi, Lexi melihat dirinya di kaca sama sekali berbeda dengan apa yang ia tahu – punya tas LV, nyupir Mercedes – padahal ia tahu gak bisa nyupir, ada di kamar Super VIP, lalu… menjabat sebagai Direktur – padahal yang Lexi inget, dia hanyalah karyawan baru, lalu, badan yang super keren, gigi bagus, dan.. oh.. oh… ia sudah menikah dengan seorang pengusaha, lalu mereka tinggal di sebuah rumah yang keren dan canggih banget.

Kecelakaan membuat dirinya hilang ingatan. Memorinya selama tiga tahun ke belakang benar-benar kosong. Yang ia ingat justru kehidupannya yang lama, dengan teman-temannya yang lama. Dia gak kenal teman-teman barunya yang ‘berkelas’, dia gak kenal isi lemarinya yang penuh dengan baju-baju rancangan desainer terkenal, dia bahkan gak inget sudah menikah, dia bahkan gak kenal dirinya sendiri sekarang.

Kehidupan ‘baru’nya benar-benar membuat Lexi gak nyaman. Dia pengen hang out lagi bareng-bareng teman-teman lamanya, yang ternyata sekarang malah menjauhinya. Lexi ternyata dikenal sebagai atasan yang ‘bitchy’, yang ambisius dan punya julukan ‘The Cobra’.

One more… belum lagi inget dengan semuanya, seorang pria bernama Jon, mengaku kalau mereka punya affair!! Lexi mencoba jadi istri yang setia dan berusaha mempertahankan pernikahannya, meskipun udah sebel banget denger istilah ‘loft-style living’… tapi kenapa hatinya justru lebih nyaman kalau dekat Jon?

Sementara Lexi sibuk menggali ingatannya, Lexi juga harus berusaha mendapatkan hati teman-temannya lagi dan berusaha menyelamatkan pekerjaannya dan teman-temannya di kantor.

Wooo… gimana ya, rasanya kalo tiba-tiba terbangun, lalu gak inget apa-apa lagi? Gak kenal diri sendiri dan merasa aneh? Gue gak mau…

Dibanding sama Shopaholic series, buku-buku Sophie Kinsella seperti Remember Me? Undomestic Goddess, Can You Keep a Secret? lebih lucu dan segar. Tokoh-tokohnya gak sekonyol Becky Bloomwood. Sekarang, gue lagi mencari-cari Twenties Girls – bukunya yang paling baru.
Read more »

Kamis, 21 Januari 2010

Moonlight Waltz

Moonlight Waltz
Fenny Wong
Gagas Media, Cet. II – 2009
246 Hal.

Kalau saja Dora tidak mengajak Arlin ke sebuah resital piano, Arlin gak akan pernah dekat dan jatuh cinta sama Aldo. Dibanding adiknya yang tergila-gila sama piano, Arlin lebih memilih basket sebagai pengisi waktu luangnya. Di sekolah, Arlin termasuk salah satu pemain basket andalan. Makanya, dia tidak tahu kalau Aldo yang satu sekolah dengannya itu, adalah pemain piano berbakat.

Malam itu, Arlin terbius oleh alunan permainan piano Aldo. Arlin langsung ‘melihat’ ada sesuatu dalam diri Aldo, dan itu membuatnya susah untuk melupakan Aldo. Malam itu, jadi awal kedekatan Arlin dengan Aldo yang kebetulan tinggal tidak jauh dari apartemennya.

Tapi, Aldo hanya menganggap Arlin sebagai seorang sahabat. Ada orang lain di hati Aldo, bernama Liora. Liora – juga satu sekolah dengan Arlin dan Aldo, tapi beda kelas. Memiliki suara yang indah. Cocok banget kan, pemain piano dan penyanyi? Arlin jelas cemburu banget, karena Aldo selalu memberi perhatian lebih sama Liora. Arlin merasa tersisih. Seberapa keras ia menunjukkan perhatiannya sama Aldo, tapi tetap, Liora yang utama.

Udah lah… dikit aja ‘cerita’nya. Gue membaca buku ini dengan setengah hati. Iseng-iseng aja sebetulnya. Membaca judulnya seolah ‘menjanjikan’ cerita yang indah. Apalagi begitu tau ini ‘hanya’ kisah cinta anak SMA, gue membacanya jadi sambil lalu. Hehehe.. ma’af ya, dik Fenny… gue udah terlalu ‘tua’ untuk baca yang beginian.
Read more »

Rabu, 20 Januari 2010

The Girl with The Dragon Tattoo

The Girl with The Dragon Tattoo
Stieg Larsson @ 2005
Nurul Agustina (Terj.)
Qanita, Cet. I – Juli 2009
780 Hal.

Mikael Blomkvist, seorang wartawan investigasi dari majalah Millenium, terjerat kasus pencemaran nama baik yang menyebabkannya harus dihukum penjara dan dapat menghancurkan karirnya sebagai wartawan. Millenium sendiri terancam gulung tikar karena pemasang iklan banyak yang menarik diri. Lawan Blomkvist tidak tanggung-tanggung, seorang pengusaha besar bernama Wennerström yang memiliki banyak pengaruh.

Datanglah tawaran dari Henrik Vanger, pemilik perusahaan Vanger dan salah satu yang paling berpengaruh di Swedia, yang memintanya menyelidiki sebuah kasus pembunuhan yang terjadi 40 tahun yang lalu. Henrik meminta Blomkvist untuk menyelidiki hilangnya Hariet Vanger, keponakan kesayangannya, yang hilang dan diduga dibunuh, tapi mayatnya tidak pernah ditemukan.

Blomkvist mau menerima tugas itu karena Henrik menjanjikan imbalan berupa data yang bisa membuat Wennerström mati kutu dan membersihkan nama Blomkvist. Maka, pindahlah Blomkvist ke Pulau Hedeby. Dengan alasan untuk membuat biografi keluarga Vanger, Blomkvist mulai mendekati anggota keluarga Vanger dan mencari data-data yang mendukung. Tak semua keluarga Vanger menerima kehadiran Blomkvist. Mereka menganggap, Blomkvist hanyalah alat Henrik untuk ‘memuaskan’ rasa penasaran atas hilangnya Hariet – yang mereka anggap sudah menjadi obsesi atau ‘hobi’ Henrik.

Semua orang yang ada di Pulau Hedeby pada hari itu bisa jadi tersangka. Apalagi menurut Henrik, semua anggota keluarga Vanger memilik ‘keanehan’. Fakta-fakta yang ditemukan sangat mengejutkan. Berhubungan dengan ayat-ayat yang diambil dari Kitab Injil, yang kemudian mengarah pada serangkaian kasus pembunuhan yang tak pernah terpecahkan. Pembunuhan berantai terhadap perempuan-perempuan yang dilakukan dengan cara sadis – merujuk pada penafsiran ayat-ayat Kitab Injil itu dari sudut pandang yang sangat salah. Tak bisa dipungkiri lagi, pelakunya adalah orang yang sangat ‘sakit jiwa’.

Lisbeth Salander dan Blomkvist baru bertemu di tengah-tengah cerita ini. Untuk membantu Blomkvist, Dirch Frode – pengacara keluarga Vanger, meminta bantuan Lisbeth Salander – perempuan muda yang punya masalah pribadi yang tak kalah rumit, selalu berdandan a la punk, jago meng-hack computer, punya ingatan fotografis dan cuek. Kecepatan, ketelitian dan keberanian Salander mampu membantu Blomkvist dalam mengungkap kasus ini. Ternyata kerjasama mereka menghasilkan penemuan yang sangat mengejutkan. Karenanya Blomkvist juga nyaris kehilangan nyawanya.

Dari banyak blog yang gue kunjungi dan pemiliknya pernah baca buku ini, rata-rata mereka memberikan rekomendasi bahwa buku ini bagus dan keren. Bahkan beberapa juga memasukkan buku ini ke dalam daftar buku favorit mereka. Buku ini memang bagus. Buku ini ‘datang’ di saat yang tepat ketika gue lagi pengen baca buku thriller atau yang rada-rada meneganggkan. Emosi gue, ‘adrenalin’ gue dibuat naik turun. Di bagian awal, gue dibuat penasaran dengan cerita kiriman bunga-bunga kering tak bernama, tapi, gue sempat dibuat bosan waktu baca bagian kasus Blomkvist. Adrenalin dan rasa penasaran gue kembali naik ketika udah masuk bagian penyelidikan tentang kasus Hariet Vanger, apalagi waktu fakta-fakta mulai muncul pelan-pelan, rasa ngeri dan ngilu ketika baca detail-detail pembunuhan sadis itu. Lalu, kembali turun, menjelang ending buku ini.

Buku ini menyorot pada kasus pelecehan perempuan yang banyak terjadi di Swedia (atau di belahan dunia manapun). Pelakukanya terkadang orang yang dekat dengan kita – bahkan keluarga sendiri, orang yang harusnya kita percaya. Gak heran kalo Lisbeth Salander akan mencari cara sendiri yang sama sadis dan dinginnya untuk membalas pelaku-pelaku kejahatan itu. Lisbeth sendiri digambarkan sebagai sosok yang juga mengalami kasus pelecehan oleh walinya sendiri, tapi, tidak mampu melaporkan ke polisi atau ke orang lain, karena dia menganggap, tidak akan ada orang percaya, karena si pelaku memiliki kekuasan atau kedudukan yang lebih tinggi dari dia.

The Girl with The Dragon Tattoo adalah buku pertama dari trilogi Blomkvist & Salander (atau The Millenium-series")
Read more »

Rabu, 13 Januari 2010

Garis Perempuan

Garis Perempuan
Sanie B. Kuncoro @ 2009
Bentang, Cet. I – Januari 2010
378 Hal.

Ranting – gadis anak penjual karak – kerupuk beras, ayahnya sudah meninggal. Terpaksa putus sekolah demi membantu ibunya yang terkena tumor ganas. Mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk membiayai operasi ibunya. Tapi, tak bisa menolak ketika dirinya terpaksa ‘ditukar’ atau terpaksa mengorbankan dirinya jadi istri ketiga seorang pengusaha, Basudewo, yang bersedia menanggung biaya pengobatan ibunya.

Gendhing – anak seorang buruh cuci pakaian dan tukang becak. Lulus SMA, tapi belum mampu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi karena masalah biaya. Mencari pekerjaan, tapi sulit, karena yang dicari lebih dari sekedar lulusan SMA. Beruntung salah satu pelanggan ibunya, Cik Ming – seorang pemilik salon – mau menerimanya sebagai salah satu kapster di salonnya. Tapi… lagi-lagi masalah biaya, hutang-piutang menjerat. Ibunya kehilangan seluruh tabungannya, gara-gara koperasi tempat ia menyimpan uang bangkrut. Malangnya, uang simpanan itu merupakan uang pinjaman dari tengkulak. Gendhing harus memilih, apakah menyerahkan dirinya kepada Indragiri, laki-laki pelanggan salon yang bersedia menerima dirinya sebagai simpanan, atau ‘dibawa’ oleh tengkulak itu sebagai ganti pelunasan hutang?

Tawangsri – anak penjual batik, pendidikan lebih beruntung dibanding dua temannya yang lain. Merindukan sosok ayah yang ada tapi seolah hanya berupa bayangan. Ayahnya pulang ketika ia sudah tidur di malam hari. Dan ketika ia bangun, ayahnya masih tertidur. Ibunya tak pernah protes atau mengeluh. Yang penting bagi ibunya, adalah ayahnya selalu pulang ke rumah. Tawangsri, menemukan sosok ayah yang dirindukan pada laki-laki bernama Jenggala, duda beranak satu yang ditinggal mati oleh istrinya ketika melahirkan anaknya. Ketika Tawangsri pasrah ‘menyerahkan diri’ pada laki-laki itu, jusru bayangan Langit Biru – nama anak kecil itu – yang menyadarkannya.

Zhang Mey – gadis keturunan Cina, anak seorang jurangan becak. Mencintai seorang laki-laki pribumi bernama Tenggar, tapi terbentun adat-istiadat Cina. Terbentur pada keinginan orang tua yang ingin Zhang Mey tetap setia pada leluhur mereka. Meskipun memiliki pendapat yang berbeda dengan orang tuanya, tetap saja ia tak sanggup untuk melawan.

Cerita tentang empat gadis yang bersahabat sejak masa kecil. Saling menguatkan, tapi tetap tidak mampu membantu ketika takdir ‘menghampiri’ mereka. Buku ini seolah ingin menggambarkan ketidakberdayaan perempuan, bahwa perempuan tidak punya pilihan. Berlatar budaya Jawa (tapi gak tau Jawa bagian mana – mungkin gue agak terlewat pas bacanya). Sebagai perempuan (halah…), gue agak gemes pas baca buku ini. Gemes dengan segala kepasrahan mereka. Tapi, ya gitu deh, kadang, kita sendiri mungkin gak bakal bisa berbuat apa-apa, atau mencari pilihan lain kalau lagi terdesak.

I did judge this book by its cover. Hehehe… sejujurnya malah gue sempet lupa judulnya. Abis, covernya lucu sih, menarik. Ini ‘perkenalan’ pertama gue dengan karya Sanie B. Kuncoro. Gue cukup tertarik untuk membaca buku beliau yang lainnya.
Read more »

Senin, 11 Januari 2010

Jampi-Jampi Varaiya

Jampi-Jampi Varaiya
Clara Ng @ 2009
GPU, Cet. I - Desember 2009
320 Hal.

3 orang gadis dari keluarga penyihir – yang lebih dikenal dengan Keluarga Karbohidrat dari nama-namanya. Ada Zea, Solanum dan Oryza. Penyihir di tengah-tengah manusia, yang biasa mereka sebut dengan ‘masyarakat jelata’. Mereka berinteraksi, bekerja sama dengan manusia. Seperti Oryza, yang jadi staf human resources, punya sahabat manusia. Tapi, bukan itu yang diceritakan di sini.

Masalah bermula dari pencurian rempah-rempah Varaiya dari rumah yang merangkap sebagai resto nasi tim bebek milik Nenek Gray, nenek-nya Strawberi. Strawberi ini naksir berat sama Xander. Tapi, Xander sudah dijodohkan sama si tomboy, Oryza. Oryza ditaksir sama Pax – yang juga merangkap jadi kucing jadi-jadian bernama Dakocan.

Salah satu kegunaan rempah-rempah itu adalah untuk membuat masakan jadi lebih lezat. Oryza, penyihir level delapan. Kemampuan sihirnya tidak diikuti dengan kemampuan memasak. Makanya, dia ingin menunjukkan pada semua orang, kalau dia bisa masak. Tapi, siapa sangka, karena terlalu banyak bumbu yang dipakai, malah membuat rendang kreasinya jadi ‘hidup’.

Dan tanpa disengaja, Zea dan Solanum meminum teh Varaiya yang khasiatnya membuat orang jadi punya tenaga ekstra, gak ada cape’nya dan malah jadi hiperaktif. Tapi, kalau terlalu banyak, efeknya adalah kematian bagi orang itu. Ada sih penawar racunnya, tapi obat itu hanya ada di Pulau Varaiya, pulau terpencil yang penuh pengaruh sihir, yang tidak ada di peta Indonesia.

Maka, dimulailah petualang mencari Temarin, obat penawar racun dari rempah Varaiya. Oryza, Samudra (ayah Oryza), Xander dan Pax, ditambah Nuna, anak perempuan kapten kapal yang mereka sewa, mengarungi lautan menuju Pulau Varaiya.

Tapi, ada dua perempuan lain, yang gak rela kalo perjalanan itu berhasil. Mereka ingin salah satu penyihir pria itu ada di tangan mereka. Strawberi dan Aqua, sama-sama naksir Xander. Tapi, Xander tetap cool dan setia sama Oryza.

Gue termasuk penikmat setia karya-karya Clara Ng. Rasa-rasanya, hampir semua buku Clara Ng gue punya, termasuk buku anak-anaknya. Dan, rasa-rasanya juga, baru kali ini Clara Ng nulis buku yang (maunya) kocak – setelah Indiana Chronicles. Tapi, sejujurnya, gue lebih suka baca buku Clara Ng yang rada serius, kaya’ Dim Sum Terakhir atau Uttuki. Di sini banyak lelucon atau joke yang jadi garing, kaya’nya panggilan untuk Strawberi yang selalu disalah-salahi jadi ‘Nangka’, atau ‘Cempedak’ atau apalah – yang berlaku juga untuk Strawberi pas manggil Aqua, jadi ‘Milo’ atau ‘Pocari’. Karena berulang-ulang dan keseringan malah jadi ‘basi’.

Terus, petualang di Pulau Varaiya malah porsinya gak terlalu banyak. Hmmm.. mungkin karena yang difokuskan bukan di pulaunya, tapi di ‘jampi-jampi’-nya ya.

Tapi, cerita belum selesai sampai di sini. Masih ada lanjutan kisah tentang penyihir yang kocak-kocak ini di buku selanjutnya.
Read more »

Selasa, 05 Januari 2010

Weekend in Paris

Weekend in Paris
Robyn Sisman @ 2004
Penguin Books, 2004
389 Hal.

Molly Clearwater, gadis cerdas, suka sama sastra dan seni, kadang-kadang gampang banget mengkhayal. Berkhayal a la tokoh-tokoh sastra klasik dari buku-buku yang sering dibacanya. Bekerja sebagai asisten pribadi seorang boss bernama Malcolm Figg. Boss yang narsis, sok keren, sok macho, sok berkuasa, tapi masih jadi anak ‘mummy’. Molly nekat resign dari kantornya yang bergerak di industri farmasi, gara-gara si Malcolm bilang Molly adalah ‘stupid secretary’, pas di hari seharusnya dia sama bossnya berangkat ke Paris untuk sebuah konperensi kedokteran.

Molly nyaris down, pulang ke flat-nya malu, telp ibunya, pasti bikini bunya panik. Akhirnya, di stasiun kereta, tiba-tiba aja Molly dapat inspirasi. Semua orang tau seharusnya sekarang dia ada di Paris, stasiun Eurostar tiba-tiba ada di depan mata, koper udah siap, lengkap dengan baju baru persiapan untuk ke Paris. Kenapa gak sekalian aja Molly mewujudkan rencana ke Parisnya?

Jadi… dengan nekat, Molly pergi ke Paris. Molly yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke Paris, gak punya kenalan, sempat bingung mau ke mana. Nyari-nyari hotel, akhirnya ketemulah sebuah hotel kecil. Di hotel ini, Molly secara tidak sengaja berkenalan dengan perempuan bernama Alice – yang langsung membawa Molly ke club di malam pertamanya di Paris. Di club ini, Molly bertemu cowok Perancis keren bernama Fabrice.

Singkatnya, Molly pun terlibat petualangan romantis (paling gak ini yang ada di pikiran Molly) dengan Fabrice. Fabrice membawanya melihat pemandangan Paris di waktu malam yang indah, bagian-bagian yang terlewatkan oleh turis.

Molly nyaris lupa sama keberadaan Malcolm. Yang ada di pikirannya, hanya menghabiskan waktu bersama Fabrice. Tapi, ternyata, Fabrice nyaris sama dengan Malcolm – merendahkan dirinya, membuat dirinya hampir merasa tidak berharga.

Di Paris, Molly mendapatkan banyak hal baru – teman baru, pengalaman romantis baru, dan kejutan indah yang tak terduga.

Sedikit mengkhayal di awal tahun… ‘ikutan’ Molly jalan-jalan ke Paris, meskipun gak terlalu ‘mengeksploitasi’ keindahan kota Paris, atau makanan yang ‘aneh-aneh’. Ya, seperti biasa, lebih banyak ditekankan pada hal-hal ‘petualangan’ cinta. Coba, bagian Molly nyamar dipanjangin dikit, ngerjain boss-nya. Atau, bagian ‘kejutannya’ ditambah dikit lagi, karena yang harusnya sedikit mengharukan jadi biasa aja.

Tapi, yang gue suka sama Molly, dia gadis yang berani. “It only takes a weekend to change your life…” Hanya tiga hari, Molly jadi tau apa yang sebenernya dia inginkan, bahwa gak seenaknya orang bisa men-judge dia serendah-rendahnya.

Tau gak sihhh… buku ini gue beli October 2006… baru kebaca sekarang.

Read more »