Minggu, 28 Februari 2010

Susanna Sees Stars

Susanna Sees Stars
Mary Hogan @ 2006
Simon & Schuster - 2006
247 Hal.

Layaknya para ABG, Susanna Barringer tergila-gila dengan segala hal yang berbau selebritis. Sebuah hal yang tidak didukung oleh orang tuanya yang rada-rada hippie. Ayah Susanna adalah seorang ilmuwan, ibunya seorang manager di sebuah pertokoan besar.

Di liburan musim panas kali ini, Susanna yakin ia akan segara menjemput impiannya. Ketika ia diterima sebagai pegawai magang di majalah Scene, Susanna yakin ini adalah awal karirnya yang cemerlang dan sebuah kesempatan untuk bertemu dengan selebritis yang selama ini hanya ia lihat di majalah.

Susanna menyiapkan dirinya dengan sesempurna mungkin, bersiap-siap dengan segala ide-ide cemerlang yang ia yakin akan membuat bos-nya, Nell Wickham, melihat potensi dirinya yang tersembunyi.

Semangat Susanna yang mengebu-gebu di awal, lama-lama luntur. Nell, si boss, hanya memerintah dia melakukan hal-hal sepele banget dan gak ada hubungannya sama kerjaan, seperti beli kopi di Starbucks, beli bunga yang harus lain-lain setiap hari, ngajak anjingnya jalan-jalan, terus, nyari eyeshadow kuning yang harus sama dengan kelopak bunga.

Kadang Susanna udah gr duluan kalo dipanggil Nell ke ruang meeting, ternyata dia hanya disuruh membeli kopi pesanan seluruh peserta meeting di Starbucks. Keinginannya untuk bertemu selebritis idolanya seolah pupus begitu saja. Bahkan, ketika ia menyebutkan nama Randall Sanders sebagai idolanya, Susanna malah jadi bahan tertawaan. Susanna butuh Plan B.

Bersama Amelia, sahabatnya, Susanna menyusun sebuah rencana. Ia harus mencari berita yang akan membuat Nell akhirnya melirik potensi dirinya.

Sekilas gue merasa buku ini mirip The Devil Wears Prada dalam versi remaja. Susanna mirip Andrea yang awalnya nyaris tidak dilirik boss-nya yang sama-sama dijuluki ‘Anna Wintour Wannabe’, sering disuruh-suruh hal yang gak jelas gak hanya oleh boss-nya, tapi juga dimanfaatkan rekan sekerjanya, tapi endingnya bisa nunjukin kalo dia juga bisa ‘berguna’. Ternyata masih ada lanjutan kisah si Susanna Barringer ini, tapi rasanya gue gak terlalu tertarik untuk membaca kisah berikutnya. Satu-satunya yang gue suka adalah covernya.
Read more »

Six Suspects

Six Suspects
Vikas Swarup @ 2008
Black Swan - 2009
575 Hal.

Jika orang biasa – katakanlah supir taksi, pengemis, atau karyawan biasa – tewas dalam kecelakaan atau terbunuh, tidak akan menjadi sebuah berita besar, karena dianggap itu adalah hal-hal yang biasa, tidak istimewa. Tapi, ketika seorang pejabat, anak pejabat, selebritis tewas karena hal yang sama, semua media akan secara besar-besaran memberitakan hal tersebut.

Demikian saat Vicky Rai tewas. Vicky Rai, anak seorang menteri yang berpengaruh di India, tewas dalam pesta yang diselenggarakan untuk merayakan bebasnya Vicky Rai dari tuduhan membunuh seorang pramusaji bar bernama Ruby Gil. Vicky Rai sendiri memang bukan orang yang ‘bersih’. Berkali-kali ia lolos dari jerat hukum berkat posisi ayahnya.

Jaganath Rai sendiri, sang menteri, kerap melakukan permainan ‘kotor’. Siapa saja yang berani-berani menghalangi jalannya, akan segera dihabisi – entah polisi, entah sesama politisi yang masih berusaha bersikap idealis.

Dalam kasus ini, ada 6 orang tersangka. Seorang jurnalis investigasi, Arun Advani, berusaha mengungkapkan kasus ini (jadi inget Mikael Blomkvist).

Keenam orang tersangka itu adalah: Mohan Kumar - mantan sekretaris Jaganath Rai; Shabnam Saxena – aktris Bollywood papan atas yang jadi ‘incaran’ Vicky Rai; Munna Mobile – seorang pencuri handphone; Larry Page – warga negara asal Amerika yang datang ke India untuk menemui ‘calon pengantin’ yang hanya ia kenal lewat surat-menyurat dan foto; Eketi – penduduk sebuah suku di pedalaman India; and the last but not least, adalah sang menteri sendiri, ayah dari Vicky Rai – Jaganath Rai.

Layaknya sebuah penyelidikan, ada tersangka, ada motive, ada penyelesaian kasus dan akhirnya ada sebuah ‘kebenaran’, begitulah pembagian bab-bab dalam buku ini. Kita diajak mengenal siapa sih sebenarnya para tersangka itu – gimana keseharian mereka, apa yang membuat mereka akhirnya ‘terhubung’ dengan Vicky Rai dan bagaimana mereka bisa ada di pesta tersebut.

Buku ini nyaris membuat gue gak tidur, males kerja (pengennya ngumpet di kamar mandi, biar bisa baca buku ini… hehehe…). Bener-bener bikin penasaran. Kalo Mikael Blomkvist berperan ‘aktif’ sepanjang buku, di buku ini, Arum Advani hanya muncul di awal dan di akhir, itupun berupa bentuk kolom yang ditulisnya di koran. Pembaca yang diajak ‘aktif’ untuk menelusuri kasus ini, menduga siapakah yang sebenarnya menembak Vicky Rai berdasarkan latar belakang dan motif-motif yang dipaparkan sepanjang buku ini. Bagian ‘The Suspects’ dan ‘The Motives’ memang mendapatkan porsi yang besar dalam buku ini.

Tapi, kerennya buku ini lagi, ketika udah sampai ‘kesimpulan’ siapa pelaku sebenarnya, tiba-tiba muncul sebuah ‘teori’ baru yang mematahkan bahwa tersangka yang ditangkap polisi bukanlah pelaku yang sebenarnya. Dan ketika kita (well.. paling nggak gue) mulai percaya dengan teori baru itu dan mulai mengangguk-anggukan kepala, sambil berkata. “Ooo… jadi dia pelakunya. Hmm.. iya juga sih…” tau-tau, ada lagi fakta baru yang menunjukkan pelaku sebenarnya. Ending-nya, gue harus menebak-nebak sendiri siapa pelaku sesungguhnya.
Read more »

Selasa, 23 Februari 2010

Lasmi (Nusya Kuswantin)

Judul : Lasmi
Penulis : Nusya Kuswantin
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : 232 hlm


Lasmi adalah sebuah novel suram berlatar belakang sejarah kelam Indonesia di tahun 1965. Walau sudah ada beberapa novel yang mengambil setting sejarah di masa-masa itu, novel Lasmi tetaplah menarik untuk disimak dan diapresiasi.

Kisah Lasmi diceritakan melalui tuturan Tikno, suami Lasmi yang berprofesi sebagai guru, sedangkan Lasmi sendiri di mata suaminya adalah wanita yang cerdas dan berpikiran progresif. Kegemarannya membaca buku membuat dirinya memiliki wawasan berpikir yang luas, berani melawan arus, berjuang dalam hal kesetaraan perempuan dan pria, dan memiliki cita-cita luhur untuk memajukan pendidikan dan pengatahuan warga kampungnya.

Awalnya Lasmi berjuang sendiri dengan mendirikan TK dan sekolah menjahit, namun ketika akhirnya ia mencari seorang guru jahit, ia bertemu dengan Sumaryani seorang kader Gerwani. Melalui Sumaryani lah akhirnya Lasmi ikut menjadi kader Gerwani karena di mata Lasmi Gerwani adalah organisasi perrempuan yang mempunyai cita-cita luhur seperti dirinya yaitu berjuang demi kesetaraan perempuan.
Namun siapa sangka, sebuah tragedi politik menyebabkan PKI dianggap sebuah partai yang paling bertanggung jawab terhadap Gerakan 30 September 1965. Akibatnya PKI dan organisasi bentukannya termasuk Gerwani menjadi organisasi terlarang dan harus ditumpas hingga ke akar-akarnya termasuk orang-orang yang berada di dalamnya.

Hal ini membuat Lasmi dan keluarganya berusaha menyelamatkan diri, ia hidup berpindah-pindah tempat guna menghindari kejaran masa terhadap dirinya. Hal ini terus berlangsung hingga akhirnya sebuah tragedi membuat Lasmi tersadarkan dan mengambil takdirnya sendiri, Ia membuat sebuah keputusan yang tidak terduga demi kehormatan dirinya dan demi pembelajaran bagi banyak orang atas peristiwa yang paling keji yang pernah dialamai bangsa yang berasazkan keTuhanan dan perikemanusiaan ini
Kisah kehidupan Lasmi inilah yang tertuang dalam novel ini, dimulai dari perkenalan Lasmi dengan Tikno saat Pemilihan Majelis daerah tahun 1957, pernikahannya, kelahiran anak semata wayangnya, hingga fase kehidupannya yang harus berpindah-pindah untuk menghindari kejaran masa dan berujung saat Lasmi akhirnya mengambil keputusan yang sama sekali tak terduga olehj siapapun.

Di bagian-bagian awal kita akan disuguhkan pengenalan karakter Lasmi menurut pandangan suaminya. Di bagian ini kita akan melihat karakter Lasmi yang tampak begitu maju, modern dan progresif. Pandangan kaum komunisme yang begitu menghargai kerja petani tampak dalam bagaimana cara Lasmi mendidik anak-anak didiknya yang berdoa sebelum makan, alih-alih berterima kasih pada Tuhan, ia mengajarkan agar mereka berterima kasih pada petani yang telah bekeja mengolah padi menjadi beras.Pandangan-pandangan progresif Lasmi soal kesetaraan perempuan dalam pernikahan, pendidikan anak, dll juga mewarnai sekujur novel ini.

Di novel ini juga pembaca akan disuguhkan berbagai fakta sejarah seperti konforntasi dengan Malaysia, demonsrtasi anti Indonesia di Kuala Lumpur, pembentukan angkatan kelima, hingga cuplikan Dekrit Dewan Revolusi. Dan yang mengejutkan adalah munculnya cuplikan pidato Bung Karno “Tahun Vivere Pericoloso” yang diselipkan dalam novel ini.

Secara keseluruhan saya menikmati novel ini, pandangan-pandangan kaum progeresif revolusioner yang biasanya yang baca dalam teks-teks non fiksi kini dituangkan dalam ranah fiksi sehingga terkesan lebih hidup dan membumi. Berbagai fakta sejarah baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat di buku-buku teks seperti gosip tentang jari telunjuk Bung Karno ketika sedang berpidato atau betapa kejinya peristiwa pembantaian orang-orang PKI d bisa ditemui di novel ini. Tak hanya itu penulis juga memasukkan sedikit tradisi setempat seperti dalam hal pernikahan, kelahiran anak, dll. Walau tak banyak tapi cukuplah untuk menambah wawasan.

Yang disayangkan dalam novel ini adalah kurang tereksplorasinya karakter dan konflik batin yang dialami Lasmi, karena dituturkan melalui sudut pandang suaminya, otomatis hanya sedikit konlik batin Lasmi yang terungkap. Walau pada akhirnya ada surat panjang Lasmi untuk suaminya tapi hal ini tentunya tidaklah cukup, akan lebih menarik jika Lasmi sendiri diberi kesempatan lebih banyak untuk menuturkan kisahnya sendiri sehingga konflik batin yang dialami Lasmi akan lebih tereksplorasi dengan baik
Penulis juga tampaknya kurang sabar dalam mengembangkan kisah Lasmi ini. Ada banyak hal yang sebetulnya bisa dikembangkan lebih dalam lagi. Kisah pelariannya tampak kurang tereksplorasi dengan baik. Semua seakan terjadi selewat-selewat saja padahal jika hal ini digali lebih dalam lagi pasti akan lebih menarik.

Munculnya pidato Bung Karno yang menghabiskan berlembar-lembar halaman dalam novel ini bisa jadi bumerang, di satu pihak mungkin ada orang yang suka, namun di lain pihak bagian ini bisa jadi membosankan karena seolah terlepas dari inti cerita.

Yang menarik Novel ini juga memiliki ending yang tak terduga. Keputusan Lasmi untuk menjalani takdirnya benar-benar menyentuh nurani, dan bagaimana kelak nasib Tikno, suaminya atas keputusan yang diambil Lasmi benar-benar tidak akan terduga oleh pembacanya.

Namun sayangnya penerbit telah mengungkapkan ending kehidupan Lasmi di sinposis yang terdapat di cover belakangnya. Mungkin penerbit berpendapat bahwa endingnya justru merupakan sisi menarik yang perlu diungkapkan untuk menarik minat pembaca, tapi alangkah baiknya jika penerbit menggantinya dengan kalimat bersayap sehingga akhir kehidupan lasmi tetap misteri dan baru bisa diketahui ketika kita membaca sendiri novelnya.

Terlepas dari hal di atas novel ini bagi bagi saya sangat menarik penulis berhasil memotret situasi sosial di tahun –tahun itu dengan baik. Kisah kehidupan Lasmi berhasil menguggah kesadaran pembacanya untuk memaknai peristiwa pembantaian di tahun 65 dalam perspektif kemanusiaan. Atau seperit diungkap penulisnya di lembar terakhir novel ini, Lasmi diharapkan bisa menjadi semacam upaya kampanye anti kekerasan, semoga demi alasan apa pun kekerasan massal yang melecehkan akal sehat dan mengorbankan kenaifan warga tidak lagi terjadi di negeri ini.

@h_tanzil
Read more »

Kamis, 18 Februari 2010

The Marriage Bureau for Rich People

The Marriage Bureau for Rich People
(Biro Jodoh Khusus Kaum Elite)

Farahad Zama @ 2008
Rinurbad (Terj.)
M-Pop (Matahati), Cet. I - Januari 2010
455 Hal.

Setelah memasuki masa pensiun, untuk mengisi hari-harinya, Mr. Ali membuka sebuah biro jodoh. Dengan bayaran 500 rupee untuk setiap keanggotaan, ia akan membantu para pencari jodoh untuk menemukan pasangan bagi mereka dengan membuka iklan di koran. Ternyata, usaha itu menarik banyak peminat – tidak hanya dari kalangan masyarakat India yang beragama Hindu, tapi juga yang beragama Islam dan Kristen. Mr. Ali sendiri adalah warga India yang beragama Islam.

Karena kesibukan yang bertambah, Mr. Ali memutuskan untuk mencari seorang asisten. Ia membuka lowongan kerja di koran. Tapi, ternyata susah juga mendapatkan asisten yang cocok. Tak disangka-sangka, calon potensial justru adalah seorang gadis berkasta Brahmana yang tinggal tak jauh dari rumah Mr. Ali sendiri. Gadis itu bernama Aruna, anak pensiunan seorang guru dengan perekononomian keluarga yang tidak terlalu baik. Ia akhirnya melepas pekerjaannya sebagai pegawai di sebuah toserba karena lebih menyukai pekerjaannya di biro jodoh Mr. Ali.

Beragam orang datang ke biro jodoh Mr. Ali, dengan beragam karakter, beragam permintaan dan beragam permasalahan. Tak jarang Mr. Ali melakukan pendekatatan personal dengan memberikan nasihat demi kesuksesan klien-nya dalam menemukan jodohnya.

Tapi sayang, kadang orang-orang itu kerap lupa akan jasa Mr. Ali dan biro jodohnya. Hanya segelintir yang mengucapkan terima kasih dan mengundang Mr. Ali ke pesta pernikahan mereka ketika sudah berhasil mendapatkan jodohnya.

Kegembiraan orang-orang yang berhasil dalam perjodohan ternyata justru tak berpihak pada Aruna. Kemiskinan membuat Aruna susah dalam mencari pasangan hidupnya. Padahal, sebagai pihak perempuan, ia harus menyerahkan mas kawin untuk mempelai pria dan menyelanggarakan pesta pernikahan. Tapi, tak banyak pilihan untuk Aruna.

Seorang klien bernama Ramanujam datang bersama keluarganya untuk mencari jodoh. Kriterianya adalah gadis cantik, tinggi, putih dan tentu saja dari golongan yang sama. Ramanujam datang dari keluarga kaya, berprofesi sebagai dokter. Tapi, siapa sangka, justru ia jatuh cinta pada asisten Mr. Ali yang sederhana itu. Untuk menikah dengan Aruna, banyak tantangan dari luar, misalnya, Aruna yang akan dianggap bukan anak baik-baik karena menemukan jodohnya sendiri (bukan dari perjodohan yang diatur keluarga), lalu keluarga Ramanujam yang mungkin nantinya akan ‘menyiksa’ Aruna secara lahir dan batin karena dianggap tidak sederajat meskipun sama-sama berasal dari kasta Brahmana. Kisah cinta yang singkat ini ibarat kisah cinta Cinderella rasa India.

Mr. Ali berusaha membuka mata Ramanujam bahwa tak semuanya harus berdasarkan uang. Dan, bagian Mrs. Ali yang mendekati Aruna agar mau mengesampingkan masalah ekonominya.

Mr. Ali sendiri juga kurang beruntung dalam perjodohan anak laki-laki semata wayangnya. Rahmen, anaknya sibuk berdemonstrasi membela kaum petani yang tanahnya diambil pemerintah untuk membangun sebuah pabrik

Rumitnya soal perjodohan di India. Karena jangankan nyari pacar sendiri, kalau sepasang perempuan dan laki-laki ketahuan berduaan, bisa menimbulan gosip-gosip. Ribetnya juga urusan kasta. Ternyata, kasta yang selama ini gue tahu hanya Brahman, Ksatria, Wesya dan Sudra, masih dibagi-bagi lagi. Seperti Brahmana yang masih terbagi jadi Brahmana Niyogi atau Brahmana Waidika.

Belum lagi masalah perekonomian, kalau dari kasta yang sama tapi tingkat perekonomian beda, belum menjamin keberhasilan sebuah perjodohan. Pokoknya, cinta itu datang belakangan, yang penting keluarga, kasta, dan keuangan.

Selama ini, gue sering mendengar kalau umat Islam dan Hindu di India sering berselisih. Tapi, di dalam buku ini, kedua umat beragama itu hidup berdampingan secara damai. Malah saling membantu.

Lokasi buku ini ada di kota Vizag, India – sebuah kota pantai. Makanya seringkali Mr. Ali kepanasan, dan dibawakan minuman segar atau buah-buah segar sama Mrs. Ali. Kalau Mr. Ali udah minum, gue jadi ikutan segar.
Read more »

Selasa, 16 Februari 2010

The Unknown Erros of Our Lives

The Unknown Erros of Our Lives
(Kesalahan-Kesalahan yang Tidak Diketahui Dalam Hidup Kita)

Chitra Banarjee Divakaruni @ 2005
Gita Yuliani K. (Terj.)
GPU - February 2010
264 Hal.

Terdiri dari 9 cerita pendek

Tentang perempuan-perempuan India yang pindah ke Amerika, menceritakan tentang apa yang mereka rasakan, pertentangan dalam diri mereka, hubungan dengan anak, menantu, mertua, cucu, tentang perasaan kesepian (untuk para perempuan tua), karena jauh dari teman, keluarga mereka di India. Dan untuk perempuan muda, merasa asing ketika kembali ke India. Sampai akhirnya, kadang mereka gak yakin dengan keputusan mereka pindah dari tanah kelahiran mereka.

Latar belakang cerita mirip sama novel The Unaccustomed Earth – Jhumpa Lahiri, hanya menurut gue, bukunya Chitra Banerjee Divakaruni ini lebih serius, ceritanya lebih beragam. Lebih ke interaksi antara sesama orang India, bukan interaksi India-Amerika.

Favorit gue: Nyonya Dutta Menulis Surat. Masih ada beberapa lagi sih yang gue suka.

Secara keseluruhan, cerita bagus-bagus, tapi ya… memang ada berapa yang membuat gue bingung dan bikin gue jadi bosen.

Kenapa gue nulisnya begini? Karena sering kali merasa bingung kalo nulis pendapat gue tentang kumpulan cerpen. Jadi ya… begini aja deh…
Read more »

Kamis, 11 Februari 2010

Magic or Madness (Rahasia Sihir)

Magic or Madness (Rahasia Sihir)
Justine Larbalestier @ 2005
Meilia Kusumadewi (Terj.)
GPU, Januari 2010
320 hal.

Sejak kecil, ibu Reason Cansino – Serafina, selalu menekankan bahwa sihir itu tidak ada, bahwa sihir itu jahat, dan nenek Reason yang bernama Esmeralda memiliki sihir yang artinya mereka harus menghindar dari Esmeralda. Reason dan Serafina selalu berpindah-pindah. Jika mereka merasa tidak aman di suatu lokasi, mereka akan mencari tempat baru. Serafina mengajari Reason adanya tanda-tanda sihir, seperti bunga-bunga kering, bulu-bulu dan berbagai tanda lainnya. Bahkan Serafina kerap menceritakan berbagai hal mengerikan yang dilakukan Esmeralda untuk memperkuat sihirnya.

Suatu hari, Reason terpaksa ikut dengan Esmeralda untuk tinggal bersamanya karena Serafina jadi gila dan harus masuk rumah sakit jiwa. Reason mengikuti semua yang pernah diajarkan ibunya: jangan pernah menatap Esmeralda, jangan makan atau minum apa pun yang ada di rumah Esmeralda, jangan bersentuhan dengan Esmeralda, jangan menjawab apa pun.

Tapi, Reason agak terkejut ketika mendapati rumah Esmeralda tidaklah semengerikan yang digambarkan Serafina. Ketika Esmeralda tidak ada di rumah, Reason segera menyelidiki rumah itu. Ia menemukan beberapa tanda-tanda seperti yang sudah diberitahu ibunya. Bahkan Reason menemukan ruang bawah tanah dan sebuah kunci. Reason juga berkenalan dengan anak laki-laki bernama Tom, yang tampaknya melihat bahwa Esmeralda adalah sosok yang baik. Tom ini anaknya agak unik, suka menjahit dan merancang busana. Setiap orang yang ia temui, akan selalu dinilai dari pakaiannya, kain apa yang ia pakai. Bahkan, Tom berjanji untuk membuatkan Reason celana kargo. Tom juga bercerita tentang misteri perempuan-perempuan di keluarga Cansino.

Reason berencana akan melarikan diri. Ia memeriksa semua pintu dan jendela. Sampai di suati pagi, ia membuka pintu belakang yang selama ini terkunci, dan mendapati dirinya ada di tempat yang sama sekali berbeda. Di Australia, tempat Reason tinggal, sedang musim panas, tapi di tempat yang ‘seharusnya’ taman belakang rumah Esmeralda malah bersalju! Akhirnya, Reason sadar, bahwa sihir itu benar-benar ada.

Tempat itu ternyata adalah Amerika, di mana ia bertemu dengan Jay-Tee, seorang gadis yang ditugaskan oleh laki-laki misterius untuk menjemput Reason. Laki-laki itu bernama Jason Blake, ia mengincar kekuatan sihir Reason. Sebuah kekuatan sihir yang ternyata tidak disadari oleh Reason. Sementara itu, menyadari Reason menghilang, Tom dan Esmeralda pun mencari Reason ke Amerika – lewat pintu belakang tentunya.

Gue sempat agak tersendat-sendat membaca buku ini. Bukan karena gak bagus, tapi ya… karena faktor-faktor ‘X’… seperti ngantuk, karena ada bagian-bagian yang agak membosankan. Tapi, di buku setebal 320 halaman ini, banyak misterinya, misalnya tentang misteri perempuan di keluarga Cansino yang meninggal muda, ayah Reason yang entah di mana, kenapa Jay-Tee takut sama ayahnya, bahkan keluarga Tom pun ada misteri tersendiri yang tidak terjawab sampai buku ini selesai. Mungkin, di buku-buku selanjutnya, misteri ini bakal terjawab.

Gue sih lumayan suka sama buku ini, soalnya, dari berapa cerita sihir-menyihir yang gue baca, masih ada ‘bau-bau’ Harry Potter. Tapi, untuk ukuran cerita sihir remaja, cerita ini agak gelap dan serius. Sihir di sini bukan jadi ‘penyelamat’ tapi malah ‘mematikan’, karena kalau gak pinter-pinter dipakai, malah akan mengurangi umur si penyihir! Yang menarik juga karakter Reason yang polos dan bakat istimewanya dalam hal matematika, plus juga karakter Tom yang unik (bahkan lucu – menurut gue.. ya jujur aja.. karakter Tom jadi penyegar karena lebih ceria dibanding yang lain).

Read more »

Minggu, 07 Februari 2010

Heart Block

Heart Block
Okke ‘sepatumerah’ @ 2010
GagasMedia – Cet. I, 2010
316 Hal.

Meskipun memenangkan penghargaan sebagai Penulis Pendatang Baru yang Berbakat dalam ajang Festival Penulis Indonesia lewat novelnya ‘Omnibus’, tidak berarti dalam setiap karyanya akan menghasilkan hasil yang terbaik. Senja harus kecewa ketika dalam workshop penulisan yang merupakan salah satu hadiah yang dia dapat karena masuk nominasi di FPI, naskahnya tidak terpilih untuk diterbitkan. Senja merasa malu, karena sebagai penulis yang mendapatkan penghargaan itu, justru karyanya tidak sebaik yang dia harapkan.

‘Omnibus’ begitu heboh dibicarakan orang. Senja jadi dikenal dan ‘diharapkan’ orang menghasilkan karya yang sama bermutunya dengan ‘Omnibus’. Tapi, untuk menghasilkan tulisan selanjutnya sangat susah bagi Senja.

Tasya, kakak tirinya, menawarkan diri jadi manager Senja. Tasya yang mencarikan job untuk Senja dan memperkenalkan Senja pada beberapa majalah, radio, dan penerbit. Jadwal Senja sangat ketat. Untuk publikasi buku terbarunya yang ternyata menghasilkan banyak kritik pedas dan nyaris membuat Senja down. Buku kedua Senja dibuat untuk sarana promosi sebuah merk sepatu, lalu buku ketiganya merupakan adaptasi dari skenario sebuah film. Semuanya sangat berbeda dari ‘Omnibus’.

Ketika Tasya mendapat tawaran 40 days project dari sebuah penerbit besar, Tasya langsung meng-iyakan tanpa bertanya pada Senja. Buat Tasya, apapun diterima demi publikasi. Senja yang merasa jenuh melarikan diri ke Bali. Mencari suasana baru, yang mungkin bisa membuka pikirannya dan membuat ide-idenya mengalir kembali.

Dalam perjalanannya ke Bali, Senja berkenalan dengan Genta, seorang pelukis yang sama seperti Senja, juga dikejar-kejar ‘deadline’. Singkat kata, Senja jatuh cinta, meskipun Genta tidak pernah mengutarakan hal yang sama, tapi, bahasa tubuhnya ‘berkata’ lain.

Entah karena adanya Genta, atau karena suasana yang mendukung, perlahan Senja mampu menyusun sebuah cerita untuk project 40 harinya itu. Tapi, ketika saatnya pulang ke Jakarta, Senja justru tidak bisa berpisah dengan ‘layak’.

Kesibukan yang menanti di Jakarta, membuat Senja tidak bisa selalu berhasil menghubungi Genta. Tapi, Senja tidak pernah berhenti mencari.

Ternyata… menulis itu gak bisa dipaksain. Ternyata… menulis itu gak boleh karena tuntutan orang lain, tapi harus pake hati.. Mencari ide juga gak bisa dipaksain, harus pelan-pelan… Okke si ‘sepatumerah’ mencoba menggambarkan suasana hati seorang penulis kalo lagi mengalami yang namanya ‘writer’s block’. Tapi kenapa, ‘penawar’ si ‘writer’s block’ itu harusnya seorang cowok. Kenapa gak si Senja keliling Bali sendiri… ketemu ‘pencerahan’ sendiri. Hehehe.. kalo udah gitu, novelnya jadi serius ya? Tapi.. I wish I could write…
Read more »

Kronik Betawi

Kronik Betawi
Ratih Kumala @ 2008
GPU, Cet. II – Juli 2009
255 Hal.

Seru banget baca buku ini, mirip-mirip nonton Si Doel Anak Sekolahan. Tapi, menurut gue, malah lebih bagus baca buku ini daripada nonton sinentronnya yang suka muter-muter.

Cerita tentang sebuah keluarga Betawi asli. Juned dan Ipah, punya tiga anak: Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Nanti, cerita ketiga anak ini lebih mendominasi dalam buku ini. Juned dan Ipah hanya diceritakan sebagai latar belakang, asal-usul dari ketiga anak Betawi ini.

Jaelani, anak yang tertua, punya usaha sapi perah, warisan dari Babe-nya yang dulu jadi tukang antar susu orang Belanda. Karena si Babe berhasil menyelamatkan orang Belanda itu, makanya pas si Tuan Kompeni balik ke kampung halamannya, sapi-sapi perahnya ditinggalkan untuk Juned, yang akhirnya diturunkan ke Jaelani.

Jaelani punya tiga anak – Juned, Japri dan Enoh. Jaelani kepengen mewariskan peternakan sapinya untuk Juned dan Japri, tapi, ternyata, dua anak laki-laki itu lebih milih jadi tukang ojek. Untung ada Fauzan, anak laki-laki dari pernikahan keduanya, yang jadi tumpuan harapannya. Si Fauzan nih, mirip-mirip si Doel deh… bakal jadi ‘Tukang Insinyur’.

Sementara Jarkasi, meskipun gak ada darah seni yang mengalir dari orang tuanya, ternyata dia lebih tertarik ngurusin lenong dan gambang kromong, berusaha melestarikan budaya yang nyaris punah itu. Untung anak semata wayangnya, Edah, suka ikut nari-nari, meskipun dilarang sama Enden, ibunya.

Lain lagi dengan Juleha, anak perempuan satu-satunya dari Juned dan Ipah. Istri seorang kyai kondang, tapi gak menyangka hidupnya akan dimadu, karena setelah menunggu sekian lama, Juleha tak kunjung hamil. Maka, Ji’ih, sang suami, dengan dalih menolong janda pun menikah lagi.

Ceritanya sederhana, tentang keluarga Betawi, bergulir dengan lancar, dari hari ke hari. Mengangkat masalah: orang Betawi asli yang justru tersingkir dari ‘rumah’nya sendiri, kebudayaan Betawi yang makin lama makin tenggelam, lalu sifat-sifat orang Betawi yang ‘katanya’ malas (dicontohin sama Japri dan Juned), yang ‘katanya’ suka kawin (contohnya suaminya Juleha, si Ji’ih). Tapi, bisa ‘dipatahkan’ oleh Jaelani yang setia sama mendiang istri pertamanya dan susah banget untuk cari istri lagi meskipun udah dijodoh-jodohin, lalu, Salempang, suami Juleha, yang ternyata rajin, alim dan baik banget.

Ironis banget emang jadi orang Betawi kadang-kadang. Yang ‘punya kampung’, yang katanya punya Jakarta, tapi terkaget-kaget dengan perkembangan Jakarta yang pesat banget (seperti Jaelani, Juleha yang terkagum-kagum waktu liat banyak gedung tinggi, atau rumah lama mereka yang udah jadi ruko).

Membaca buku ini, gue gak perlu membayangkan atau mencoba mencari visualisasi yang ribet. Sepertinya, mereka ada di sekitar gue (berhubung gue juga pernah tinggal di daerah Tebet, ketika masih banyak tetangga gue yang orang Betawi asli). Bahasa percakapan dalam bahasa Betawi bikin gue juga senyam-senyum. Hmmm… gue jadi inget pernah baca buku yang isinya, baik narasi atau percakapannya dalam bahasa Betawi totok dan… gue bingung… hehehe… (gambang kromong, kalo gak salah judulnya…)
Read more »

Kamis, 04 Februari 2010

Ghostgirl

Ghostgirl
Tonya Hurley @ 2008
Berlian M. Nugrahani (Terj.)
Penerbit Atria, Cet. IV - Januari 2010
402 Hal.


Memasuki tahun ajaran baru, Charlotte Usher datang dengan semangat tinggi dan rasa percaya diri yang baru. Ia sudah mempersiapkan berbagai rencana untuk menjadi seseorang yang lebih diperhatikan, terutama untuk memikat Damen, cowok pujaannya di Hawthorne High. Sebagai seorang cewek yang amat sangat biasa, mimpi jadi cewek populer memang terasa jauh. Charlotte malah lebih seperti seorang ‘pecundang’. Charlotte seperti ‘hantu’, dicuekin, diacuhkan, bahkan dianggap tidak ada. Apalagi oleh seorang cewek paling populer di sekolah bernama Petula, plus dua anggota gank-nya yang bernama The Wendys. Charlotte pengen banget jadi salah satu di antara mereka, dan demi mencapai tujuan akhirnya – yaitu agar bisa dekat dengan Damen yang ternyata adalah pacar Petula. Charlotte nekad daftar jadi anggota pemandu sorak, meskipun harus dihujani dengan cibiran dan ejekan.

Keberuntungan berpihak pada Charlotte, ketika di kelas fisika, setiap murid diharuskan berpasang-pasangan. Damen yang datang terlambat, terpaksa harus berpasangan dengan Charlotte yang tentu saja dengan suka cita menerimanya. Tapi, ternyata, kesenangan Charlotte hanya sesaat. Charlotte yang gemar makan permen kenyal, meninggal dunia gara-gara permen kesukaannya itu. Gara-gara terlalu heboh, Charlotte jadi tersedak.

Merasa masih punya urusan yang belum terselesaikan di Alam Kehidupan, Charlotte pun tidak bisa menerima bahwa dia sekarang berada di Alam Kematian – bersama-sama dengan Anak-anak Alam Kematian lainnya. Charlotte adalah ‘penumpang’ terakhir, dan setelah itu ‘rombongan’ Anak-anak Alam Kematian siap untuk ‘pindah’ ke Alam Keabadian. Gak hanya di Alam Kehidupan, di Alam Kematian pun, Charlotte masih harus bersekolah, belajar Pendidikan Kematian, bahkan ada Deadtiquette dan harus rajin mengisi DIEary.

Tapi, Charlotte masih punya ‘agenda’, Charlotte masih ingin jadi bagian dari gank populer dan dekat dengan Damen. Untuk itu, Charlotte memanfaatkan tubuh Scarlet, adik Petula yang kebetulan bisa melihat wujud Charlotte yang sekarang. Charlotte dan Scarlet bertukar tempat. Dengan menggunakan tubuh Scarlet, Charlotte bisa bebas berdekatan dengan Damen. Di luar kemauan Charlotte, rencana itu tidaklah mulus. Adakalanya Scarlet tidak rela Charlotte dengan seenaknya bertindak di luar kepribadian Scarlet yang sebenarnya.

Di Alam Kehidupan, rencana kerap berantakan. Di Alam Kematian, Charlotte juga harus berurusan dengan Prue, hantu yang galak dan selalu jutek dengan kehadiran Charlotte. Tempat para hantu bergentayangan adalah sebuah rumah bernama Hawthorne Manor. Para hantu yang kebanyakan meninggal saat remaja itu, harus berjuang keras agar rumah itu tidak dijual dan dihancurkan. Prue dan hantu lainnya marah karena sikap Charlotte yang cuek dan masih terus berurusan dengan para manusia.

Sementara Charlotte berjuang demi menuntaskan urusannya di Alam Kehidupan (hehehe.. biar gak jadi arwah penasaran kali ya), teman-temannya di Alam Kematian berjuang untuk menyelamatkan Hawthorne Manor.

Menurut gue, buku ini termasuk buku yang kocak dan tragis. Gue sih lucu aja membayangkan Charlotte yang mati-matian biar diterima di gank populer. Meskipun dicuekin tapi maju terus pantang mundur. Bercerita tentang kematian, tapi gak spooky. Ternyata meskipun udah meninggal, gak mudah untuk menerima takdir dan kenyataan itu. Mungkin gitu kali ya, gambaran yang namanya ‘arwah penasaran’ ? (kalo itu emang ada). Ketika nyaris mencapai tujuan… ehhhh… semua berubah drastis… poor Charlotte…
Read more »

Selasa, 02 Februari 2010

The Girl who Played with Fire

The Girl who Played with Fire
Stieg Larson @ 2006
Nurul Agustina (Terj.)
Qanita, Cet. 1 - Desember 2009
904 Hal.

Melihat ketebalan buku ini yang ‘luar biasa’, gue nyaris mengurungkan niat gue untuk membaca sekuel dari Blomkvist & Salander Trilogy. Tapi, gue jadi penasaran, karena – lagi-lagi terpengaruh komentar orang – katanya, buku ini lebih seru dari yang pertama. Ya.. ya.. ya… kalo dilihat dari tebalnya sih, semoga memang benar begitu.

Buku ini bercerita tentang misteri latar belakang kehidupan seorang Lisbeth Salander, gadis yang bisa dibilang aneh, gak pedulian sama orang, jago computer, punya ingatan fotografis dan berkepribadian yang rumit banget. Berkat kemampuannya itu, Lisbeth berhasil ‘mengantongi’ uang yang sangat banyak untuk ukuran gadis seperti dirinya. Ia menghilang tiba-tiba dari Swedia. Pergi ke luar negeri. Menjauh dari Swedia nyaris selama dua tahun. Lisbeth juga memilih untuk menjauh dari Mikael Blomkvist.

Dua tahun berlalu sejak mereka bekerja sama, Mikael Blomkvist terus mencari Lisbeth yang seolah lenyap ditelan bumi. Lisbeth tidak pernah menjawab email, telepon, bahkan di apartemennya pun tidak ada. Hubungan mereka berdua akan benar-benar terputus jika saja kasus yang melibatkan Lisbeth tidak ada.

Mikael Blomkvist sedang bekerja sama dengan wartawan bernama Dag Svensson untuk menerbitkan sebuah buku dan artikel tentang kasus perdagangan wanita di Swedia. Dag dibantu istrinya, Mia, seorang kriminolog. Mereka berdua meminta Millenium untuk menerbitkan naskah mereka.

Sementara, Lisbeth masih terobsesi untuk membuat walinya, Bjurman, tersiksa. Tapi, ternyata, Bjurman sendiri memilik rencana tersendiri untuk membuat Lisbeth bertekuk lutut dan menyerah.

Sebagai hacker, tentu saja Lisbeth punya akses ke dalam kompter Blomkvist, sehingga dia tahu apa yang sedang dikerjakan Blomkvist. Dari sana, Lisbeth menemukan sebuah nama yang menghubungkannya dengan masa lalunya.

Tiba-tiba saja, Dag, Mia dan Bjurman ditemukan tewas tertembak di apartemen mereka masing-masing. Sebuah pistol ditemukan di tempat kejadian, dengan sidik jari Lisbeth yang tertera di sana. Jadilah Lisbeth sebagai tersangka utama dan menjadi buron, karena keberadaannya sangat sulit ditemukan.

Blomkvist yakin, Lisbeth tidak bersalah. Tapi, entah bagaimana membuktikannya, karena Lisbeth begitu tertutup dan penuh teka-teki.

Cerita yang rumit banget. Masih seputar pelecehan terhadap perempuan, kali ini lebih focus ke perdagangan perempuan. Sebuah nama, tapi jarang ada yang tahu wujud orang ini, berhubungan dengan masa lalu Lisbeth yang ditutup rapat-rapat, bahkan jadi ‘Top Secret’. Wow… siapa sih sebenernya Lisbeth Salander ini?

Semakin lama, semakin ke belakang, jujur, gue semakin cape’ baca buku ini. Lambat banget. Terlalu banyak orang dengan detail yang panjang. Sampai-sampai gue sering melewatkan beberapa halaman. Ya, kalo penasaran, sih, ya pasti. Keping-keping informasi, muncul pelan-pelan, gak bikin terlalu sport jantung.

Lisbeth Salander jadi layaknya seorang superhero, superwoman, atau Robin Hood cewek. Dia memang gak bersih, tapi dia punya keyakinan sendiri dengan sudut pandang sendiri, kadang beda sama orang pada umumnya. Dia membereskan dosa-dosa orang yang memang pantas mendapatknya, tapi dengan cara yang bertentangan dengan hukum.

Read more »