Rabu, 31 Maret 2010

Wicked #1 (Witch)

Wicked #1 (Witch)
Nancy Holder & Debbie Vigué @ 2002
Meithya Rose Prasetya (Terj.)
Penerbit Matahati – 2010
376 Hal.

600 tahun yang lalu, sebuah upacara persembahan digelar dengan demi mendapatkan sebuah kekuatan sihir. Pembunuhan missal terjadi untuk mendapatkan sebuah sihir yang sangat kuat bernama Black Fire, dengan sihir ini, sebuah kelompok penyihir akan menguasai dunia. Ada dua kelompok sihir yang terkuat, yaitu Dinasti Deveraux dan Dinasti Cahors. Black Fire dimiliki oleh Dinasti Deveraux. Sang Ratu Catherine bertekad mendapatkan Black Fire. Perjodohan puterinya – Isabeau dan Jean Deveraux pun diatur. Dengan tujuan memperoleh anak laki-laki agar bisa menyatukan dua kekuatan sihir, pernikahan pun terlaksana. Tapi, ternyata Ratu Catherine sangat licik, ia memberi ramuan agar puterinya tidak pernah hamil, padahal dengan melahirkan anak laki-laki, rahasia Black Fire akan diberikan oleh Dinasti Deveraux.

Dendam terus berlanjut sama ke keturunan mereka yang nyaris tidak tahu-menahu akan adanya kekuatan sihir.

600 kemudian… seorang remaja bernama Holly Cathers terpaksa pindah dari San Fransisco ke Seattle. Ia menjadi sebatang kara karena kedua orang tuanya tewas dalam suatu kecelakaan ketika sedang berarung jeram. Holly satu-satunya yang selamat. Di Seattle ia pindah ke rumah Bibi Marie-Claire, adik ayahnya, yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya. Ia tinggal bersama dengan sepupunya si Kembar – Amanda dan Nicole.

Di sini, Holly mengalami berbagai kejadian aneh yang selalu nyaris mencelakannya. Pertemuannya dengan keluarga Deveraux berbuntu mimpi-mimpi aneh, sebuah kejadian entah di mana, seolah Holly pernah mengalaminya.

Michael Deveraux dan anaknya, Eli, melakukan sihir-sihir hitam untuk menghancurkan Holly dan keluarga Cathers yang lain. Keluarga Cathers adalah keturunan Dinasti Cahors yang sudah berganti nama. Salah satu anak Deveraux, Jer, bermaksud melindungi Holly.

Awalnya gue bingung baca buku ini, karena tiba-tiba satu peristiwa bersambung ke satu peristiwa lain sebelum sempat ‘mencerna’ peristiwa yang pertama. Banyak peristiwa yang ‘mengerikan’ dan sadis. Sempat membuat gue berpikir, kalo buku ini hanya ‘balas dendam’ melulu isinya.

Tapi, aksi si Kembar dan Holly, ditambah mantra-mantra pelindung dari si misterius Jer, bikin buku ini jadi lumayan ‘keren’. Dari awal buku ini emang terkesan gelap, suram. Minim ‘senyum’ dan ketawa.

Masih banyak misteri yang belum terungkap, misalnya kenapa ayah Holly tiba-tiba pergi dari rumah, begitu juga dengan ibu Eli dan Jer yang juga pergi meninggalkan mereka berdua saat mereka masih kecil.
Read more »

Minggu, 28 Maret 2010

Recipes for a Perfect Marriage

Recipes for a Perfect Marriage (Resep Perkawinan Sempurna)
Kate Kerrigan @ 2005
Tanti Lesmana (Terj.)
GPU – Maret 2010
408 Hal.

Cinta yang menggebu-gebu di awal pertemuan tidak menjamin kebahagiaan sebuah pernikahan. Kalau melihat yang dialami Tres sa Nolan, dia langsung kecewa karena Dan, suaminya, tidaklah sempurna. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang sebelum menikah tidak jadi masalah, malah membuat Tressa emosi berat saat Dan sudah jadi suaminya. Belum lagi acara kumpul-kumpul dengan keluarga besar Dan yang nyaris setiap minggu. Tressa yang selama ini terbiasa hidup sendiri dan jauh dari keluarga, merasa tidak nyaman di tengah-tengah keluarga besar Dan, terutama ibunya yang tampaknya tidak bisa menerimanya dengan hangat.

Sebelum menikah, Tressa mendapatkan hadiah dari ibunya, berupa buku resep peninggalan neneknya, Bernadine. Lewat buku resep inilah, Tressa berusaha menyelami rahasia sebuah perkawinan, mengingat kembali liburan masa kecilnya ketika ia kembali ke Irlandia.

Bernadine sendiri sempat mengalami perkawinan yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Di masa remajanya, ia jatuh cinta pada pemuda Irlandia yang tinggal di Amerika bernama Michael Tuffy. Cinta masa remaja yang menggebu-gebu, tapi ketika Michael Tuffy melamar Bernadine, keluarga Bernadine menolaknya, karena keluarga Bernadine yang miskin tidak mampu membayar mas kawin yang akan diberikan pada Michael. Bernadine kecewa, lebih kecewa lagi ketika orang tuanya menerima lamaran seorang guru bernama James Nolan. James bersedia menerima Bernadine meskipun tanpa mas kawin.

Bernadine sama sekali tidak memiliki rasa cinta untuk James. Cintanya sudah diambil oleh Michael. Bertahun-tahun, James dengan penuh kesabaran menghadapi Bernadine. Sementara Bernadine masih saja memberikan dirinya dengan setengah hati.

Dua generasi dengan dua perkawinan yang mereka anggap tidak sempurna. Butuh banyak sekali kompromi untuk mengenyahkan segala kekurangan dari pasangan biar gak jadi ganjelan.

Tressa dengan perkawinannya yang baru seumur jagung berharap bisa memperbaiki perkawinannya. Sementara di umur perkawinan yang entah sudah berapa puluh tahun, Bernadine baru menyadari rasa cintanya tumbuh perlahan-lahan.

Well… gue selalu suka buku yang yummy-yummy… meskipun di sini gak ‘seenak’ Chocolat, atau The Food of Love, atau The Marriage Officer, tapi, buku ini bisa jadi memberi ‘inspirasi’. Meskipun dalam bentuk novel, tapi, sedikit banyak gue ‘belajar’ tentang perkawinan, pernikahan.

Satu tentang cinta di awal, satu tentang cinta di akhir… dua-duanya bisa membuat gue ‘berpikir’.
Read more »

Kamis, 25 Maret 2010

The White Tiger

The White Tiger
Aravind Adiga @ 2008
Rosemary Kesauly (Terj.)
Penerbit Andi - 2010
360 Hal.

Balram Halwai, pemuda India berasal dari kalangan yang kurang mampu. Desanya dikuasai oleh para tuan tanah yang serakah. Sebenarnya ia anak yang cerdas. Balram – yang nama aslinya adalah Munna – menjadi satu-satunya murid yang cerdas di antara murid lain yang tidak mendapatkan ‘hasil’ apa-apa dari sekolah karena gurunya tukang mabuk dan penidur. Ia pun mendapatkan julukan ‘The White Tiger’ atau ‘Harimau Putih’.

Tapi, karena kondisi ekonomi, Balram terpaksa putus sekolah. Bersama kakaknya, ia bekerja di sebuah kedai teh menjadi pelayan. Meskipun begitu, ia selalu mengamati berbagai kebobrokan yang ada di sekitarnya.

Balram pun hijrah ke Delhi. Ia memaksa seorang supir taksi untuk mengajarinya mengendarai mobil. Setelah mahir, Balram datang dari satu rumah ke satu rumah lainnya untuk menawarkan diri menjadi supir Sampailah ia ke sebuah rumah mewah, yang ternyata milik salah satu tuan tanah di Desa Balram. Salah satu anak Si Bangau (ia memberi julukan untuk setiap tuan tanah), bernama Ashok baru saja datang dari Amerika bersama istrinya, Pinky Madam.

Karena Si Bangau dan Si Luwak (anak si Bangau yang lain) kenal dengan Balram, maka ia pun dijadikan supir untuk Ashok. Sebagai pegawai, ia dituntut memberikan pengabdian penuh pada tuannya. ‘Title’nya memang sebagai supir, tapi Balram harus selalu siap untuk jadi tukang masak, pelayan, tukang pijit dan lain-lain. Sampai-sampai, ia merasa lebih mengenal tuannya dibandingkan orang tuanya sendiri.

Balram dengan setia mengantarkan Mr. Ashok dan Si Luwak ke kantor pemerintahan untuk menyuap para menteri, ke mall mengantar Mr. Ashok dan Pinky Madam (sementara ia membayangkan apa yang ada di dalam mall megah itu. Ia juga mendengar setiap pertengkaran Mr. Ashok dan Pinky Madam yang tidak betah di India.

Tapi, meskipun ia sangat setia pada tuannya, ada rasa iri dan ingin membuat perubahan pada dirinya sendiri. Ia ingin maju, tapi kalau tidak ada uang, tidak akan pernah bisa. Politik kotor yang bermain, membuat yang miskin semakin miskin dan membuat yang kaya semakin makmur. Balram tidak bisa menahan diri untuk tidak berkhianat pada tuannya.

Seperti berapa buku yang berlatar India yang gue baca, misalnya buku Vikas Swarup, menggambarkan budaya korupsi dan memeras orang yang kurang mampu. Kemiskinan membuat korupsi jadi ‘halal’. Di sini digambarkan bagaimana subsidi untuk sekolah dijadikan barang dagangan oleh guru sekolah Balram. Perkara kejahatan bisa diputarbalikan dengan uang. Polisi bisa diajak ‘bekerja sama’ asal ada uang. Cerita dalam buku ini disampaikan dalam sebuah ‘surat’ yang ditulis Balram untuk Perdana Menteri Cina yang akan berkunjung ke India. Balram akhirnya mampu punya perusahaan sendiri.

Gue nyaris bosan membaca buku ini. Biasa deh.. minim percakapan. Penuh kesinisan. Hampir aja gue ganti ke buku yang lain. Cuma, kalo gue ganti ke buku yang lain, buku ini pasti gak akan pernah gue sentuh lagi. Dan, setelah gue terusin baca, ternyata gue makin penasaran. Biar kadang bikin ngantuk, gue pelan-pelan berusaha menamatkan buku ini. Hmmm… apa buku-buku yang dapet penghargaan selalu ‘membosankan’, ya?
Read more »

Selasa, 23 Maret 2010

Elang - Kirana Kejora

No. 234
Judul : Elang
Penulis : Kirana Kejora
Penerbit : Almira Managemet
Cetakan : I, 2009
Tebal : 300 hlm

Novel Elang adalah sebuah novel roman humanis yang menceritakan tentang kisah cinta segitiga antara Kejora Padma, seorang penulis novel dengan dua pemuda kembar fraternal (non identik) Elang Timur dan Elang Laut.

Tidak seperti hubungan saudara kembar pada umumnya yang hidup rukun dan memiliki kedekatan emosional yang saling mengikat, Elang Laut dan Elang Timur hidup dalam suasana penuh persaingan yang mereka lakoni semenjak kecil. Hal ini menyebabkan hubungan antara mereka tidak harmonis, masing-masing didominasi oleh perasaan untuk saling mengalahkan satu dengan yang lainnya. Hal ini terus terbawa hingga mereka dewasa dan mencintai wanita yang sama, Kejora Padma.

Sayangnya pertarungan untuk memperebutkan cinta Kejora harus kandas, tak ada yang menang karena akhirnya Kejora menikah dengan Abi, lelaki pilihan ibunya. Dari pernikahannya dengan Abi, lahirlah seorang putra yang dinamainya Laskar. Sayang rumah tangga Kejora tidaklah bahagia, dan ketika Abi meminta izin Kejora untuk menikah kembali, Kejora memilih untuk bercerai daripada dimadu.

Walaupun hati Elang Timur dan Elang Laut pernah terluka karena pernikahan Kejora dengan Abi, namun cinta mereka pada Kejora tak pernah lenyap. Perceraian Kejora dengan Abi membuka kesempatan bagi Elang Timur untuk kembali mendekati Kejora, bukan hal yang mudah karena masih ada Elang Laut yang tetap menjadi pesaing utamanya. Kejora pun sempat dilanda kebimbangan mana yang akan dia pilih untuk menjadi ayah bagi Laskar.

Jika hanya membaca sinopsis di atas tampaknya tak ada yang istimewa dalam novel ini, tapi tunggu dulu, walau inti ceritanya tampak sederhana tapi dibalik tema utama yang sederhana ini penulis dengan piawai meramu kisahnya sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah cerita yang menarik dan sarat dengan konflik diantara para tokoh-tokohnya.

Dari segi penokohan, ketiga tokoh utama di novel ini tereksplorasi dengan baik. Timur dideskripsikan sebagai seorang imuwan sejati yang sukses secara materi. Ia tipe pria yang teguh pada prinsip dan pilihan hidupnya. Cintanya pada Kejora sudah final dan ia tak terus mengejar Kejora ketika diketahuinya bahwa Kejora telah bercerai dengan Abi.

Sedangkan Elang Laut digambarkan sebagai seorang seniman sejati yang setia terhadap jalan hidupnya. Sama seperti Timur yang tetap mengharap cinta Kejora, demikian pula dengan Laut, namun selayaknya seorang penyair, ia lebih mengungkapkan cintanya melalui karya-karyanya, berbeda dengan Timur yang mengungkapkan cintanya dengan tindakan dan kata-kata yang lugas.

Berbeda dengan karakter Timur yang terlihat sangat kokoh dan tegas akan pendiriannya untuk mencintai Kejora, karakter Laut terkesan lemah dan penuh keraguan, namun cintanya pada Kejora betul-betul mulia Ia mampu mencintai Jora meski tak harus memilikinya. Inilah cinta dalam level tertinggi yang mampu mengalahkan egonya.

Kedua bersaudara ini memang berbeda, namun merekapun memiliki kesamaan, sama-sama setia pada profesinya dan sama-sama memiliki kepedulian sosial terhadap lingkungannya.

Kejora sendiri digambarkan sebagai seorang penulis yang mulai menanjak kariernya, walau gagal dalam pernikahannya ia tak tenggelam dalam kepedihan ia bukanlah tokoh yang lemah, Kejora adalah sosok wanita yang tegar, berani mengambil sikap, bahkan ia berani menanyakan secara langsung kepada Laut bagaimana sesungguhnya perasaan cinta Laut pada dirinya.

Sejak dari awal pembaca akan disuguhkan oleh berbagai konflik antar tokoh-tokohnya. Persaingan abadi antar dua saudara kembar menjadi hal yang menarik dan rumit karena menyangkut soal cinta. Kejora sendiri dilanda kegalauan untuk memilih siapa diantara mereka yang merupakan pelabuhan terkahir hatinya, ia mencintai keduanya, haruskah ia mengorbankan salah satu pria yang dicintainya?

Dan yang juga menarik adalah sekujur novel ini tersaji dengan kalimat-kalimat puitis yang membuai pembacanya. Walau demikian penulis tampak tak terjebak untuk menggunakan metafora-metafora yang berlebihan yang kadang bisa membingungkan pembacanya. Dalam novel ini rangkaian kalimat-kalimat bersayap dan metafora-metafora yang digunakan masih bisa dimengerti dan dinikmati oleh pembaca awam sekalipun karenanya novel ini saya rasa memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi karena tersaji dengan indah, mengalir, mudah dipahami dan enak dibaca.

Plot ceritanyapun tertata dengan baik perlahan tapi pasti emosi pembaca akan meningkat seiring dengan meruncingnya konflik yang terjadi antar tokoh-tokohnya dan mencapai klimaksnya di akhir cerita. Hanya saja ada satu bagian yang bagi saya sedikit mengganggu yaitu saat menceritakan bagian kehidupan Elang Laut ketika berada di Lombok..

Bagian ini memang menarik karena penulis berhasil menangkap landskap alam dan realita sosial yang ada di Lombok. Namun dengan munculnya konflik-konflik baru seperti soal demo masyakarat Lombok yang tanahnya yang diserobot oleh pihak-pihak tertentu, saya koq merasa bagian ini seakan-akan terlepas dari inti novel ini sehingga terkesan seperti berdiri sendiri.

Setting cerita yang berlokasi di tiga tempat, Papua, Jakarta, dan Lombok menjadi nilai tambah sendiri bagi novel ini. Walau tak banyak setidaknya akan tertangkap realita sosial di tiga tempat tersebut. Melihat cover novel ini yang menggambarkan panorama pegunungan, tadinya saya menyangka settingnya akan banyak berkisah di Papua atau tem tempat-tempat eksotis lainnya, namun ternyata tidak, setting di Jakarta lebih mendominasi, andai kisahnya lebih banyak di Papua atau Lombok tentunya akan lebih menarik lagi.

Terlepas dari hal-hal di atas secara keseluruhan novel yang diangkat dari kisah nyata ini bagi saya tetaplah menarik, karenanya tak heran jika novel ini banyak diapresiasi dengan baik oleh para sastrawan-sastrawan tanah air ketika novel ini baru diluncurkan. Selain itu kabarnya novel ini juga akan segera diadaptasi ke layar lebar.

Akhir kata novel ini tak hanya menghibur pembacanya, ada banyak hal yang dapat kita maknai ketika membaca novel ini antara lain bagaimana kita harus berani mengambil pilihan dalam hidup kita serta memiliki komitmen untuk tetap setia menjalani kehidupan sesuai dengan pilihan yang telah kita ambil.

@htanzil
Read more »

Kamis, 18 Maret 2010

Waktu Aku Sama Mika

Waktu Aku Sama Mika
Indi @ 2009
Homerian Pustaka – Cet. II, Agustus 2009
145 Hal.

Gue menemukan buku ini secara tidak sengaja di Gramedia PIM. Setelah melihat-lihat buku-buku baru, gue iseng menelusuri rak-rak yang lain. Tau-tau gue ngeliat buku ini. Tentu saja, judulnya lah yang menarik perhatian gue. Cover-nya juga lucu. Gue liat isinya sekilas, tampak menarik.

Buku ini berisi kumpulan tulisan dari seorang gadis bernama Indi. Indi ini mengidap penyakit scoliosis, atau adanya gangguan pada tulang belakang Indi, sehingga gak bisa bertumbuh dengan normal. Ia harus selalu pakai penyangga untuk menopang tulangnya, dan sering jadi bahan ejekan teman-temannya. Indi sering kali merasa minder, karena ia tidak bisa seperti anak-anak lainnya.

Tapi, ada seorang pemuda bernama Mika yang memberinya semangat, yang memperlakukannya layaknya seperti orang ‘normal’ lainnya. Untuk Mika-lah, buku ini dipersembahkan. Seluruh tulisan dalam buku ini berpusar pada Mika yang merupakan pahlawan bagi Indi. Tulisan-tulisan indah bagi Mika di surga. (hiks…)

Mika memberi Indi kepercayaan diri, membuat Indi merasa dicintai, disayangi, dan Mika memberikan itu tanpa pamrih, tanpa pernah bertanya dan meminta lebih. Tapi, hubungan mereka banyak mendapatkan tantangan, karena Mika ternyata mengidap penyakit AIDS.

Tulisan-tulisan dalam buku ini menurut gue begitu jujur dan sederhana. Ungkapan-ungkapan rasa sayang yang tak berlebihan dari seorang gadis untuk pacarnya yang sudah tiada. Gue jadi kagum sama sosok mereka berdua, dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka, mereka saling memberi semangat.

Gue suka buku ini. Gue pengen My Mika juga punya semangat yang sama dengan Mika (dan juga Indi) di sini (tapi… minus penyakitnya tentunya…)
Read more »

Rabu, 17 Maret 2010

The Lovely Bones (Tulang-Tulang yang Cantik)

The Lovely Bones (Tulang-Tulang yang Cantik)
Alice Sebold @ 2002
GPU – April 2008
440 Hal.

6 Desember 1973, Susie Salmon berjalan pulang menuju rumah dari sekolahnya. Tapi, ia tidak pernah sampai di rumah lagi untuk selamanya. Mr. Harvey, salah satu tetangganya yang kerap dianggap aneh, sudah memperkosa lalu membunuhnya dengan cara yang sadis.

Jasad utuh Susie tidak pernah ditemukan dan Mr. Harvey masih berkeliaran dengan bebas. Sementara keluarga Salmon tenggelam dalam dukanya. Meskipun Jack Salmon, ayah Susie, mencurigai Mr. Harvey, tapi tak ada bukti yang bisa menjerat Mr. Harvey. Mr. Harvey selalu menampilkan sosok lugu, tak bersalah, dan bersimpati pada keluarga Salmon. Sehingga polisi malah menganggap kecurigaan Jack sebagai angina lalu.

Arwah Susie ‘berkeliaran’ mengamati kehidupan keluarganya sesudah ia pergi. Bagaiamana ayah dan ibunya berusaha keras menghindar dari kenyataan bahwa Susie sudah meninggal. Mereka masih mengharapkan adanya jasad yang bisa meyakinkan mereka. Kehidupan keluarga Salmon jadi tidak sama lagi. Ayahnya berjuang untuk kuat, sementara Abigail Salmon, ibu Susie, mencari pelarian dengan cara lain.

Bertahun-tahun, tidak ada petunjuk apa yang sebenarnya terjadi pada Susie. Rumah tangga Jack dan Abigail diambang kehancuran, sementara adik-adik Susie, Lindsey dan Buckley juga membutuhkan perhatian.

Susie mengamati banyak hal yang terjadi apda Lindsey, hal-hal sebagai seorang perempuan yang tidak sempat ia alami.

Buku ini bisa jadi sebuah bahan renungan (aduhh.. kenapa gue sok serius begini), tapi.. bener deh, sebuah renungan tentang ‘kematian’ dikemas dalam bentuk yang tidak menggurui. Bukan model buku-bukunya Mitch Albom, gue malah lebih ‘menyamakan’ ini sama buku Ghostgirl (Tonya Hurley), sama-sama bercerita tentang arwah seorang gadis yang masih ingin kembali ke Bumi. Meskipun buku ini lebih serius dibanding Ghostgirl.

Tadinya gue pikir, buku ini akan mengarah pada sosok Mr. Harvey. Membayangkan sosok Mr. Harvey, gue kebayang sama salah satu tokoh di Desperate Housewive – Paul Young, suami dari Marie Alice Young . Mr. Harvey ternyata punya kecendurngan aneh, punya rahasia yang kelam dan masa lalu yang membuatnya jadi seperti ini. Sosok yang tenang, lugu, penyendiri. Selalu dianggap aneh oleh masyarakat sekitar, tapi tidak mencurigakan.

Tokoh-tokoh lain yang menarik perhatian gue di sini selain Susie, ada Ray Singh – pemuda yang jatuh cinta sama Susie, Ruth – teman Susie yang ternyata bisa ‘merasakan’ bahwa Susie masih ‘ada’.

Buku ini nyaris terlupakan, kalo ada temen gue di kantor gak ngomongin buku ini. Gue juga lupa di mana gue taro buku ini. Bahkan gue sampe mikir, "Gue punya kan buku ini?"
Read more »

Minggu, 07 Maret 2010

SOE HOK-GIE…sekali lagi

Judul : SOE HOK-GIE…sekali lagi – Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Editor : Rudi Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan
Penerbit : KPG bekerjasama dengan ILUNI UI & Kompas
Cetakan : Desember 2009
Tebal : 512 hlm

Empat puluh tahun silam, tepatnya tanggal 16 Desember 1969, bangsa Indonesia kehilangan seorang aktivis mahasiswa yang idealis, brillian dan berani mengambil sikap baik dalam pemikiran maupun dalam pergerakan. So Hok-gie, atau akarab dipanggil Gie ditemukan tewas di atas puncak Gunung Semeru, Jawa Timur tepat sehari sebelum ia merayakan hari ulang tahunnya ke 27 yang ia rencanakan akan dirayakan di puncak Mahameru bersama kawan-kawannya.

Walau telah 40 tahun berselang namun nama dan kiprahnya masih terus dikenang hingga kini. Beberapa tahun setelah kematiannya, namanya sempat terlupakan hingga akhirnya LP3ES yang saat itu masih merupakan LSM kecil menerbitkan catatan harian Gie yang diberinya judul “Catatan Seorang Demonstran” pada tahun 1983.

Terbitnya buku tersebut kembali mengingatkan orang pada tokoh Gie. Tak sekedar itu, buku tersebut bahkan menginspirasi dan mengangkat moril gerakan mahasiswa di tahun 80-an yang sedang terpuruk. Itulah Gie, ia tak hanya memberi inspirasi ketika ia masih hidup, dua puluh tahun setelah kematiannyapun Gie masih mampu memberi inpirasi baru pada gerakan mahasiswa saat itu.
Setelah itu seiring berjalannya waktu, namanya Gie kembali terlupakan hingga akhirnya di tahun 90an tulisan-tulisan Gie yang pernah dipublikasikan di harian-harian nasional dibukukan oleh penerbit Bentang Budaya dengan judul “Zaman Peralihan” (1995), lalu menyusul skripsi S1 nya yang berjudul “Orang-orang di persimpangan kiri Jalan” (1997).

Di tahun 2001 muncul terjemahan biografi politik SHG yang berjudul " SOE HOK-GIE : Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani" karya sejarahwan Australia, John Maxwell. Setelah beberapa buku ttg Soe Hok Gie diterbitkan, di tahun 2005 sutradara kondang Riri Reza pun membuat film berjudul Gie yang diambil dari catatan hariannya.

Kiini dalam rangka memperingati 40 tahun kematiannya bulan Desember yang lalu, kawan2 dekat so Hok-Gie berinisiatif menerbitkan buku tentang Gie yang isinya merupakan kumpulan tulisan dari teman, sahabat, hingga tokoh2--tokoh terkenal di negeri ini. Itulah sebabnya buku ini diberi judul “Soe Hok-Gie Sekali Lagi”, seolah ingin menegaskan bahwa inilah buku kesekian mengenai Soe Hok-Gie yang pernah diterbitkan.

Dibanding dengan buku-buku lainnya tentang Gie, buku ini tak kalah menariknya malah memiliki keunikan sendiri, kalau selama ini kita mengenal Gie dari catatan harian, tulisan-tulisannya, dan pandangan John Maxwell, maka di buku ini kita bisa melihat sosok Gie dari pandangan sahabat-sahabat terdekatnya dan dari orang-orang yang mengaku terpengaruh oleh spirit dan semangat perjuangan Gie baik semasa hidupnya maupun setelah membaca tulisan-tulisan Gie.
Buku gemuk ini dibagi menjadi lima bagian besar, bagian pertama berisi satu tulisan panjang Rudy Badil, salah satu rombongan Gie ke puncak Semeru yang secara rinci menceritakan perjalanannya bersama Gie mulai dari Stasiun Gambir, Jakarta hingga proses evakuasi jenazah Gie dan Idham dari puncak Mahameru ke Gubuk Klakah, sebuah desa di kaki gunung Semeru.

Bagian ini merupakan bagian yang paling menarik karena selama ini belum pernah terungkap secara bergitu mendetail bagaimana saat-saat terakhir hidup Gie, bagaimana kondisi jenasah Gie dan Idham setelah berhari-hari terlantar di puncak Mahameru, dan bagaimana kondisi fisik dan mental teman-teman seperjalanannya dalam mencari bantuan dan mengevakuasi jenasah Gie dan Idham.

Di bagian kedua, dikisahkan bagaimana reaksi masyarakat dan pers dalam dan luar negeri yang begitu responsif begitu mendengar kematian Hok Gie hingga Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang saat itu telah menjadi menteri menyempatkan diri untuk melayat jenasah Gie dan memberikan kata sambutannya di FS-UI. Selain itu bagian ini juga menyajikan berbagai hal menarik seperti bagaimana puluhan tahun setelah kematian Gie namanya disangkut pautkan dengan peta harta karun peninggalan Jepang yang konon saat itu sedang diterjemahkan oleh Gie dan secara tidak sengaja ditemukan oleh oleh tim SAR saat sedang mengavakuasi jenazah Gie.

Selain itu di bagian ini terungkap pula hal-hal yang menyangkut gunung Semeru seperti temuan Arca Kembar yang selama ini dianggap hilang, lalu ada juga tulisan tentang serba serbi Semeru yang tentunya bermanfaat bagi para pendaki gunung.

Bagian ketiga buku ini yang berisi tulisan-tulisan dari teman-teman Gie di FS-UI tak kalah menariknya. Di bagian ini kita akan melihat sosok manusiawi Gie secara apa adanya. Sisi lain Gie dalam kesehariannya sebagai seorang mahasiswa terungkap di tulisan Kartini Sjahrir dan Luki Sutirsno Bekti yang secara jujur menceritakan pengalamannya berteman dekat dengan Gie.

Menurut pernagakuan Kartini, seperti anak muda pada umumnya dalam pergaulannya tak jarang Gie mengeluarkan celetukannya yang suka ‘menyerempet-nyerempet bawah puser’. Dalam tulisannya ini Kartini juga secara terbuka menceritakan perasaan hatinya dan kedekatannya dengan Gie sebelum akhirnya menikah dengan Syahrir. Bahkan di setiap surat terbukanya,, Kartini selalu memulainya dengan “Hok Gie-ku yang manis..”

Luki Sutirsno-Bekti sebagai salah satu teman wanita Gie yang juga pernah dekat dengannya mengungkapkan Gie sebagai sosok yang moralis dan humanis, selain itu Gie juga merupakan teman curhat yang baik bagi teman-teman pria maupun wanitanya. Ia juga dikenal suka membantu teman-temannya dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah. Luki juga mengulas hubungan kakak beradik Hok-gie dan Arief Budiman yang unik.

Selain itu di bab ketiga ini ada juga tulisan teman-teman lainnya yang melihat Gie dari berbagai sudut pandang , semuanya menggambarkan bagaimana hangatnya, lekatnya, dan akrabnya pertemanan mereka dengan Hok Gie secara jujur dan apa adanya.

Di Bagian ke empat, buku ini menyuguhkan berbagai tulisan dari para penulis yang tidak mengenal Hok-Gie secara fisik namun mereka mengenalnya lewat pemikiran-pemikiran Gie melalui tulisan-tulisannya seperti Riri Reza, Nicholas Saputra, Hilmad Farid, N. Riantiarno, Stanley Adi Prasetyo, Mona Lohanda, Ben Anderson, dll.

Di bagian ini juga Arif Santoso, aktivis mahasiswa 80-an mengetengahkan catatan mengenai gerakan aktivis 1980-an yang tersulut oleh terbitnya Catatan Harian Seorang Demonstran di tahun 1978. Arif juga menceritakan secara kronologis gerakan 1980-an sehingga pembaca akan mengetahui bagaimana para aktivis 1980-an berjuang melawan rezim orde baru yang saat itu begitu intens meredam setiap gerakan mahasiswa.

Stanley Adi Prasetro dalam tulisan panjangnya di buku ini mencoba membaca pikiran HAM Soe Hok-gie. Dari tulisannya ini Stanley mengatakan bahwa Gie merupakan pejuang sejati HAM yang berpikir melebihi zamannya. Di tulisan ini akan terungkap walaupun Gie begitu membenci komunisme, namun ketika pemerintah membabat habis orang-orang PKI secara membabi buta, Gie mengutuk keras peristiwa ini.

Lalu ada juga tulisan Lona Mohanda, sejarahwan, yang mencoba menguliti skripsi Hok-gie yang pada akhirnya mengaminkan apa yang dikatakan oleh almarhum Prof Harsya W. Bachtiar yang berpendapat bahwa soe Hok-gie itu seorang kolumnis yang baik, tapi tidak sebagai sejarahwan.
Di bagian kelima yang merupakan bagian terakhir dari buku ini diketengahkan tujuh belas tulisan Gie yang tersebar di berbagai media baik tulisan mengenai pendakian gunung, hingga persoalan-persoalan politik yang terjadi pada masa itu.

Menarik memang membaca keselurahan tulisan-tulisan yang terdapat dalam buku ini. Buku yang ditulis oleh 30 orang ini memberikan gambaran yang iutuh akan sosok Gie yang sebelumnya hanya kita kenal lewat catatan hariannya atau tulisan-tulisannya saja. Karena buku ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai orang maka masing-masing memiliki keunikan sendiri, semuanya menarik, hanya saja di bagian ke empat dimana semuanya ditulis oleh orang-orang yang hanya mengenal Gie melalui tulisan-tulisannya maka terdapat beberapa kesamaan pandangan sehingga agak membosankan.

Selain berbagai tulisan tentang Gie, yang tak kalah menariknya adalah dimuatnya puluhan foto2 yang selama ini jarang atau mungkin belum pernah terpublikasikan. Kemasan buku ini juga tak kalah menariknya, walau bukunya besar dan gemuk namun sangat nyaman digenggam saat dibaca. Pilihan font yang besar dan lay out antara teks dan foto yang dinamis membuat buku ini sangat ramah mata dan membuat betah membacanya berlama-lama.

Dan yang pasti munculnya kembali buku tentang Gie ini setidaknya mengangkat kembali sosok pribadi yang berintegritas dan memiliki komitmen yang teguh terhadap perjuangannya, hal yang langka ditemukan di masa kini.

Di tengah bangsa kita yang tengah mengalami krisis kemanusiaan, keadilan, dan kepemimpinan, sosok Soe Hok Gie ini sangat tepat untuk diangkat kembali sehiingga generasi muda masa kini dapat belajar dari pribadi dan pemikiran Gie yang masih sangat relevan hingga kini.

Mungkinkah melalui buku ini Soe Hok-Gie sekali lagi memberi inspirasi bagi para pejuang demokrasi dan penegak keadilan bangsa ini? Ataukah buku ini hanya sekedar menjadi buku pengingat romantika perjuangan di era 60-an bagi kawan-kawan dekatnya? Jawabannya ada di tangan para pembaca buku ini.

@htanzil
Read more »

Rabu, 03 Maret 2010

The Dressmaker

The Dressmaker
Rosalie Ham @ 2000
Duffy & Snellgrove - 2000
296 Hal.

Setelah dua puluh tahun pergi, Myrtle Dunnage – atau Tilly – kembali ke rumahnya untuk merawat ibunya yang agak sedikit tidak waras. Ia kembali ke Dungatar, sebuah kota di Melbourne, Australia. Kota tempat Tilly dan ibunya dikucilkan dan jadi selalu jadi sasaran empuk para penggosip.

Kota Dungatar dihuni oleh orang-orang yang ‘eksentrik’. Ada seorang polisi – Sergeant Farrant yang modis, pasangan Pettyman – yang istrinya bernama Marrigold maniak sama ‘kebersihan’ dan masih banyak lagi.

Kedatangan Tilly kembali ke Dungatar menimbulkan banyak prasangka dan bisik-bisik. Tilly sendiri punya rahasia kelam di kota itu, rahasia yang membuat dia terpaksa pergi dari Dungatar. Tilly kecil sering menjadi korban bullying teman-teman sekolahnya. Ibunya disebut sebagai pelacur, penyihir dan lain-lain yang tak kalah buruknya.

Tilly berusaha tidak ambil pusing, tapi ia tidak mau pergi ke acara-acara kumpul-kumpulnya warga kota Dungatar. Seorang pemuda bernama Teddy McSwiney berusaha mendekati Tilly dan akhirnya bisa membuat Tilly mau pergi dengannya ke acara dansa. Tilly muncul dan membuat para perempuan terperangah dan iri dengan busana yang ia kenakan.

Sebelum kembali ke Dungatar, Tilly ‘berkeliling’ ke Paris atau Milan. Di sana, ia belajar menjahit dan merancang busana. Salah satu barang yang ia bawa ke Dungatar adalah mesin jahit merk Singer. Gara-gara ini, perempuan-perempuan Dungatar mulai mendekati Tilly dan memintanya untuk menjahitkan busana yang mewah bagi mereka semua.

Tapi, ketika Tilly mulai pelan-pelan nyaman, lagi-lagi ia harus berhadapan dengan tuduhan bahwa ia perempuan pembawa sial, pembawa kutukan buruk. Lagi-lagi ia harus berhadapan dengan ‘hantu masa lalu’nya.

Kalau dibaca lebih seksama, mungkin novel ini bagus. Tapi, karena dari awal gue udah punya ‘pikiran buruk’, makanya gue bacanya asal-asalan aja. Pengen cepet-cepet selesai. Atau mungkin karena, seinget gue, baru pertama kali gue baca buku dari penulis Australia. Bahasa Inggrisnya yang ‘beda’, yang bikin gue rada bingung bacanya.

Yang membuat gue penasaran adalah apa rahasia Tilly sampai dia harus pergi dari Dungatar. Tapi, ‘kecewa’nya gue, misteri itu sedikit banget dibahas. Kaya’nya lebih banyak membahas kehidupan sosial orang-orang di Dungatar ini daripada kehidupan pribadinya Tilly yang jadi tokoh utama buku ini. Nyaris semua tokoh punya affair. Rahasianya Tilly baru terbuka di bagian-bagian akhir novel ini. Menurut gue, novel ini suram, makanya bacanya juga jadi gak terlalu semangat.
Read more »