Minggu, 28 Agustus 2011

Khokkiri (코끼리 )

Jika SeoulMate memiliki kambing sebagai simbol cerita, maka Khokkiri (gajah),novel ke 12 Lia Indra Andriana kali ini mengusung gajah sebagai simbol. Gajah, kenapa gajah?karena ternyata simbol gajah memiliki makna mendalam dari keseluruhan cerita.

Gajah yang merupakan mamalia darat terbesar di dunia itu,ternyata memiliki fakta unik berupa kemampuan daya ingat yang kuat. Hewan ini memiliki tengkorak besar dan kuat sehingga mampu mengingat perintah –perintah yang diajarkan dan jarang melupakannya. Tidak mengherankan kalau banyak yang setuju dengan pendapat kalau gajah adalah hewan dengan ingatan paling baik sedunia. Oleh karena fakta daya ingat ini jugalah yang menjadikan gajah sebagai simbol pengingat dari sebuah bingkai cerita cinta yang berlandaskan kenangan,Khokkiri.

Dimulai dari kehadiran Adriel Jo ( Jo Ji Ho), seorang pemuda Korea yang tinggal dan bekerja di biro periklanan Indonesia. Ia jatuh hati pada Rebecca, gadis pendiam dan penakut yang merupakan salah seorang staf kantornya. Hubungan mereka berdua semakin dekat ketika curhatan-curhatan Becca tentang Adriel di blognya dibaca dan ditanggapi sendiri oleh Adriel dengan nama samarannya TOP . Mereka berdua pun lalu menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selayaknya  manusia normal lainnya.

Disisi lain, ada pula hubungan sepasang kekasih yang telah bertunangan, Richard dan Della yang terbilang harmonis. Richard, seorang pria dewasa tiga puluhan tahun yang berprofesi sebagai seorang dokter sekaligus kakak tiri Adriel. Richard begitu mencintai kekasihnya Della, gadis yang berprofesi sebagai penerjemah sukses dan memiliki kepribadian yang tegas dan percaya diri,bertolak belakang dengan kepribadian Rebecca.

Dua pasang kekasih ini menjalin hubungan asmara tanpa saling bersinggungan satu sama lain. Hingga pada suatu ketika, Della bertingkah aneh dan menghilang secara tiba-tiba dari kehidupan Richard. Mengetahui hal itu,Richard sontak menjadi bingung dan hilang arah. Ia mencoba mencari tahu keberadaan Della . Ditengah pencariannya, ia menemukan fakta mengejutkan bahwa Della pernah mengalami kecelakaan di Korea dan kehilangan saudara kembarnya Rebecca.

Tak mau tinggal diam dengan keadaan ini, Richard segera menyusul ke Korea dan mengetahui fakta yang lebih mengejutkannya disana. Fakta yang mampu menjungkirbalikan kehidupan Richard dan hal-hal yang selama ini ia percayai tentang Della. Disamping itu,di Indonesia, keinginan baik Adriel untuk mempertemukan Becca dengan Richard malah membuahkan konflik dimana Richard menganggap Becca adalah Della sedangkan Adriel menggangap sebaliknya. Pertemuan itu pun akhirnya menjadi titik balik perseteruan antar kedua saudara tiri berbeda kebangsaan itu.

Kemudian,baik Adriel maupun Richard terpaksa  memandang dua gadis,dua cinta,dalam satu tubuh yang sama. Resiko cinta yang tak pernah terlintas dalam benak mereka. Tak ada yang ingin percaya  pada kenyataan bahwa salah satu diantara gadis yang mereka cintai adalah saudara kembar yang telah meninggal dunia. Bagaimanapun juga,tak ada yang ingin mengalah.

Kedatangan Lucie yang tiba-tiba pun juga semakin memperumit keadaan. Gadis itu menyelinap dan membangun kisahnya sendiri sambil menertawakan kisah cinta,ambisi, dan keberadaan Adriel-Becca-Richard-Della sebagai suatu  tontonan yang lucu . Tapi, biarpun begitu,sama seperti yang lainnya, ia pun ingin dikenang.

Lalu bagaimana kisah cinta yang teramat kompleks ini berakhir? Apakah mereka berlima mampu meyakinkan diri bahwa diantara mereka pada akhirnya  ditakdirkan untuk bertemu,tersingkir serta rela menjadi hanya sebatas kenangan semata?

Ini adalah novel istimewa yang sukses membuatku tak melepas halaman demi halaman sampai kisah ini berakhir. Kompleks dan cenderung berat dibandingkan novel Lia yang sebelumnya. Tapi itulah sisi menariknya. Setiap karakter dan kisahnya di sepertiga awal disusun seperti puzzle hingga seolah-olah mengajak pembaca untuk berpikir,mengolah,dan menghubung-hubungkan rentetan peristiwa yang terjadi hingga mencapai kesimpulan yang memuaskan. Begitupun juga dengan Topik D.I.D (Dissociative Identity Disorder)/ kepribadian ganda yang diangkat sangat menarik dan terbilang langka. Jarang aku temui penulis yang mau menggali hal-hal berbau medis dalam novelnya dan apa yang Lia lakukan di novel ke 12 nya yang tetap berbau Korea ini adalah suatu kemajuan besar.

Tambahan keistimewaan novel ini  juga terletak kemampuan Lia memindahkan para alter ego karakternya pada komposisi yang tepat.Tidak ada yang tumpang tindih ketika kemunculan para alter terjadi. Namun sayangnya,  karena terlalu terfokus pada tiga alter yang menguasai tubuh sehingga deskripsi asal muasal alter sampingan Lady vampire yang muncul dipertengahan cerita  tak terlalu mendapat porsi perhatian yang cukup. Siapa sebenarnya Lady Vampire? kenapa dia muncul? tak ada jawaban pasti.

but overall, cerita yang tak biasa dan karakter mempesona membuatku tak segan-segan memberi Two Thumbs up untuk drama psikologi Lia yang mendebarkan ini!!One of my favorites books of 2011. I can't wait to see what Lia has for us next! 

Note: Aku sempat bingung dengan penulisan Khokkiri atau Kokkiri yang tepat dipakai buat menggambarkan kata gajah. Tapi, setelah ditanya ke penulisnya ternyata sebenarnya tulisan hangeulnya 'kh' karena dulu belum ada penyamaan romanisasi jadinya dibuat gampang jadi kokkiri. :)
Sejak tahun 2009 lalu, Korea sudah bikin penyelarasan untuk memudahkan orang asing belajar bahasa korea tapi umumnya penulisan ini tak terlalu banyak digunakan. 
Thks untuk pencerahaannya kak Lia. Maklum awam banget masalah kayak gini. hehehehe 
+ada juga bonus sisipan komik mini Indonesia dan Korea lho :)
=================

Judul : Khokkiri : Kusimpan Seuntai Kenangan Abadi Tentangmu
Penulis : Lia Indra Andriana
Penerbit: Haru
Terbit : @2011
ISBN :978-602-98325-1-8
Tebal : 308 hal

=================
Read more »

Kamis, 25 Agustus 2011

Perfect Chemistry

Perfect Chemistry

Simone Elkeles @ 2008

Angelic Zaizai (Terj.)

Penerbit Terakota - 2011

451 Hal.



Brittany Ellis, tipe cewek yang dari segi fisik akan membuat iri perempuan-perempuan lain. Cantik, berambut pirang, kaya, ketua pemandu sorak. Pacarnya ‘tentu saja’ pemain football. Kaya’nya emang harus begitu ya, pemandu sorak pacarnya harus pemain football. Collin, pacarnya, menyebut mereka ‘Pasangan Emas’. Uh.. narsis banget…



Kehidupan Brittany tampak sempurna dari luar. Pakaian yang keren, mobil keren, dan Brittany harus selalu menunjukkan kesempurnaan itu di depan teman-temannya. Semua itu demi untuk menutupi ‘ketidaksempuranaan’ di dalam kehidupannya yang sebenarnya. Brittany memilik ibu yang perfeksionis, ayah yang selalu sibuk dan kakak perempuan yang mengindap penyakit celebral pansy..



Tapi kesempuraan itu pelan-pelan ‘berakhir’. Berawal dari kelas Kimia, saat Brittany harus berpasangan dengan Alejandro Fuentes atau Alex. Alex dikenal sebagai anak berandal, anggota gang yang berbahaya, tinggal di sisi kota yang berbeda dari tempat Brittany tinggal. Pokoknya, di mata orang ‘baik-baik’, pemuda seperti Alex harus dijauhi.



Bukan mau Alex untuk jadi anggota gang Latino Blood. Tapi, sebuah ‘keharusan’ demi melindungi keluarganya. Tapi, sebisa mungkin Alex menghindar dari keharusan melakukan transaksi narkoba. Namun, di sekolah, Alex dianggap trouble maker.



Brittany harus menghadapi sikap Alex yang ceplas-ceplos. Di hadapan Alex, kesempurnaan Brittany tak ada artinya. Alex terbiasa dengan kerasnya kehidupan antar gang. Bagi Alex, Brittany perempuan manja yang masalah terbesarnya hanya mencari kuteks yang sesuai dengan warna bajunya.



Lama-lama, sikap Alex yang cuek malah membuat Brittany nyaman. Berbeda dengan ketika ia bersama Collin. Dan Alex pun, melihat ada yang berbeda dari seorang Brittany. Hmm.. tapi sebenarnya, ada motif lain di balik niat Alex untuk menjadi lebih dekat dengan Brittany.



Memang sih, ceritanya klise, kisah cinta dua orang dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda. Tapi cara berceritanya yang bikin jadi menarik. Ditambah lagi kehidupan anak SMA (di Amerika) yang kaya’nya ‘gerah’ kalau di usia 18 tahun tapi masih virgin :D



Pertama, gue suka dengan cover-nya. Bandingkan dengan cover versi aslinya yang hmm… dewasa. Kedua ternyata ceritanya cukup ok. Endingnya menurut gue cukup ‘manis’. Terus, porsi antara Alex dan Brittany juga imbang. Jadi bisa membayangkan kehidupan dari dua sisi tokoh yang berbeda.



Ternyata buku ini ada sekuelnya, yang nyeritain kehidupan adik-adik Alex – Carlos dan Luis. Tapi, lebih keren lagi, kalau ada lanjutan gimana kehidupan Alex selanjutnya. Apakah sesuai dengan keinginan Brittany atau masih di jalan yang lama?

Read more »

Rabu, 24 Agustus 2011

Anak-Anak Langit

Anak-Anak Langit

Mohd. Amin MS @ 2011

Alvabet, Cet. 1- Juli 2011

494 Hal.



Simuh, termasuk salah satu anak yang berprestasi di daerahnya. Dan ia sudah berniat untuk masuk ke sekolah favorit incarannya. Tapi orang tuanya tidak setuju, dengan alasan di sekolah itu banyak warga keturunan Cina. Maklum, di masa lampau pernah ada pertikaian antara warga setempat dengan warga keturunan Cina. Meskipun kejadian itu sudah lama, tapi masih menyisakan trauma di hati penduduk aslinya.



Simuh akhirnya diminta mendaftar ke sebuah pesantren modern binaan pemerintah di Koto Baru. Meski ogah-ogahan, demi menyenangkan orang tua, ia pun mengikuti test tersebut. Dan ternyata, Simuh lulus dan berhasil masuk ke pesantren tersebut.



Mulailah hari-hari Simuh di pesantren itu. Udara dingin menjadi salah satu ujian. Bertemu dengan teman-teman baru yang datang dari berbagai pelosok di daerah Sumatera. Kenakalan-kenakalan khas remaja, disiplin yang ketat, persaingan antar sekolah mewarnai hari-hari mereka selama di pesantren itu.



Banyak orang yang menyebut anak-anak di sekolah ini sebagai anak-anak langit, mereka punya mimpi tapi ternyata setelah lepas dari sana, banyak tak sesuai dengan mimpi mereka.



Selama membaca buku ini, hmmm.. ma’af ya, Pak Mohammad Amin, mau gak mau gue teringat buku sejenis yang udah duluan beredar. Jadi, gue gak merasa ada yang istimewa ketika membaca buku ini. Gue jadi gak semangat baca buku ini, banyak yang akhirnya gue baca dengan sekilas aja. Ma’af ya…. *peace*

Read more »

Presiden Prawiranegara

Presiden Prawiranegara:

Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia


Akmal Nasery Basral

Mizan Pustaka, Cet. I – Maret 2011

370 hal.



Mungkin tak banyak yang tahu, atau menyadari, bahwa Republik Indonesia pernah dipimpin oleh seorang ‘presiden’ bernama Syafruddin Prawiranegara. Yah, jujur sih… gue aja baru nyadar sekarang.. hehehe…



November 1948, mungkin awal mula dari sejarah ini. Ketika Bung Hatta menjemput Syafruddin Prawiranegara yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, untuk segera berangkat ke Bukittinggi. Bukittinggi adalah salah satu wilayah di Indonesia yang tidak termasuk dalam negera federal. Beliau terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil di Yogyakarta. Meskipun menjabat sebagai menteri, tapi kehidupan beliau dan keluarga begitu sederhana. Istri beliau bahkan harus berjualan sukun goreng demi menyambung hidup kala Syafruddin bertugas di Bukittinggi.



Beliau pun akhirnya ‘terjebak’ di Bukittinggi. Bulan Desember 1949, kemerdekaan Indonesia baru berumur 4 tahun. Tapi, rupanya Belanda masih aja ‘penasaran’. Terikat perjanjian yang isinya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak membuat Belanda mundur. Ternyata mereka melakukan serangkaian serangan yang membuat Republik Indonesia kembali berada dalam keadaan genting.



Yogyakarta, kala itu yang menjadi ibukota Indonesia, sudah tidak aman. Rapat darurat diadakan. Jenderal Sudirman, dalam keadaan sakit parah, memilih untuk melakukan perang gerilya. Sampai akhirnya Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa orang lainnya dikenakan tahanan rumah, dan kemudian diasingkan ke Bangka.



Untuk menjaga agar Indonesia ‘tetap ada’ dan jangan sampai pemerintahan lumpuh, pejabat pemerintahan di Bukittinggi akhirnya membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dengan Mr. Syafrudding Prawiranegara sebagai ketuanya. Keadaan yang tidak aman, memaksa anggota PDRI untuk melakukan perjalanan, berpindah-pindah tempat, melewati hutan rimba. Semua demi menjalankan roda pemerintahan Indonesia.



Kisah lain yang memberi ‘warna’ pada buku ini adalah kisah si Kamil Koto, mantan copet yang akhirnya insyaf, dan ikut dalam perjalanan Syafruddin sebagai tukang pijat. Melalui berbagai kesempatan berbincang dengan Syafruddin, Kamil menemukan banyak hal – selain mendapat jodoh - yang membuatnya menjadi manusia yang lebih b aik pada akhirnya. Tak hanya itu, lewat perbincangan ini pula, kehidupan masa kecil Syafruddin terungkap.



Tapi sayang, di masa-masa Orde Baru, justru peran Syafruddin seolah terlupakan. Ia dianggap tokoh yang berseberangan dengan pemerintah kala itu. Gue sih gak ngerti politik (dan kadang gak mau tau), tapi, ada bagusnya juga kalo para pejabat pemerintahan sekarang nih, baca buku ini.



O ya, satu bagian yang ‘mencuri perhatian’, adalah ketika Bung Karno dan Bung Syahrir ditempatkan di dalam satu rumah saat di pengasingan, Bung Syahrir marah-marah karena Bung Karno yang katanya ‘pandir’ dan ‘bodoh’.



Read more »

Selasa, 23 Agustus 2011

Nenek Hebat dari Saga/Saga No Gabai Bachan (佐賀のがばいばあちゃん)

 

Paska jatuhnya bom atom di Hiroshima tahun 1945, dampak mengerikan peristiwa ini langsung terasa pada sebagian besar rakyatnya , tidak terkecuali  Akihiro dan keluarganya. Bukan hanya harus menghadapi himpitan ekonomi yang makin terpuruk tapi juga harus kehilangan sosok ayah yang menjadi tulang punggung keluarga akibat terpapar radiasi bom atom. Karena itulah, merasa tak sanggup untuk membesarkan Akihiro di Hiroshima maka oleh ibunya Akhiro lantas dititipkan pada neneknya di kota Saga yang terpencil.
Di Saga, Akihiro dan neneknya menjalani kehidupan yang terbilang sangat sederhana. Bermodalkan gaji sebagai petugas kebersihan dan uang titipan ibu Akihiro, mereka memenuhi kebutuhan sehari-sehari ditengah kondisi yang serba kekurangan. Pernah suatu ketika, Akihiro terlibat percakapan dengan neneknya mengenai makan malam mereka yang sangat sederhana hingga membuat hati terenyuh karenanya.



" Nek,dua-tiga hari ini,kita makan kok hanya nasi ya, tanpa lauk?"
Setelah aku berkata begitu sambil tertawa terbahak-bahak, nenekku menjawab,
" Besok nasi pun takkan ada kok."
Aku dan nenek hanya bertatapan mata,kemudian kembali terbahak bersama-sama. (prolog)

Walaupun hidup miskin, Nenek Osano bukan orang yang pantang menyerah dan bersedih pada keadaan. Ia punya ratusan ide yang mampu membuat realita hidup menjadi jungkir balik olehnya. Contohnya saja bagaimana Nenek Osano mendapatkan tambahan penghasilan dan lauk makanan dari hal yang tak terduga-duga. Paku yang sebelumnya dipandang sebagai benda kecil yang tak terperhatikan di jalanan menjadi ladang uang ditangan Nenek Osano melalui magnet yang tersampir dipinggangnya ketika berjalan. Begitupun juga arus sungai yang kerap dianggap tak berharga berubah menjadi supermarket rahasia yang bermanfaat bagi persedian makanan sehari hari.


“Sungguh sayang kalau kita sekedar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya, kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.” (hal 42)

Tidak hanya sampai disitu, ide neneknya  juga bekerja ketika Akihiro ingin memiliki aktivitas olahraga khusus yang dalam hal ini belajar Kendo. Karena berbentrokan dengan kondisi keuangan dan peralatan yang harus dibeli, Nenek Osano malah menyarankannya mengikuti olah raga lari. Hemat dan sehat juga,kan? Akihiro pun mengikuti anjuran neneknya hingga akhirnya ia pun menjadi atletik sekolah cabang lari yang juara setiap tahun.


Hal-hal itulah yang dilihat dan dialami oleh Akihiro--atau sekarang lebih dikenal dengan nama Yoshichi Shimada-- selama ia tinggal bersama neneknya bertahun-tahun silam. Dan melalui pengalaman demi pengalaman berharga itu jugalah, Akihiro akhirnya memutuskan mengabadikan kisah sang nenek melalui sebuah buku yang diterbitkan tahun 2001 oleh Tokuma Shouten. Kisah sederhana dan menyentuh di buku ini pun kemudian meledak dipasaran setelah penampilan perdanannya dalam sebuah acara talk show" Tetsuko no Heya" yang dibawakan Tetsuko Kuroyanagi (Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela.).

Setelah sebelumnya membaca karya Totto Chan, ini adalah kali kedua aku membaca novel karangan Jepang yang juga mengangkat tema filosofi hidup yang memikat. Buku Saga no Gabai Bachan ini juga sama tipisnya dengan Totto Chan dan gampang dicerna karena bahasanya lugas (salut untuk penerjemah Indah S Pratidina yang bekerjasama dengan Prof. Mikihiro Moriyama  sehingga menghasilkan kualitas terjemahan yang bagus)  Lalu ada ilustrasi kecil disetiap akhir bab dan sisipan bonus quote Nenek Osano  di halaman akhir yang terkadang bermakna  nyeleneh tapi memang benar adanya.

So, kalau kamu pengen bacaan bermutu,ringan, dan berharga untuk dikoleksi, novel ini bisa menjadi salah satu kandidat terbaik dalam hunian rak bukumu.

=================

Judul : Saga no Gabai Bachan/ Nenek Hebat Dari Saga
Penulis : Yoshichi Shimada
Penerjemah: Indah S Pratidina- Prof Mikihiro Moriyama
Penerbit: Kansha Books
Terbit : @2011
ISBN : 978-602-97196-2-8
Tebal : 264 hal

=================
Read more »

Senin, 22 Agustus 2011

Hold Me Closer, Necromancer

Hold Me Closer, Necromancer

Lish McBride @ 2010

Berliani M. Nugrahani (Terj.)

Penerbit Atria, Cet. I – Maret 2011

445 hal.



Sam, cowok dengan kehidupan yang biasa-biasa aja. Cenderung gak aneh-aneh. Bekerja di resto cepat saji sebagai kasir. Padahal dia pengen banget ditempatkan di bagian pemanggangan burger. Putus kuliah, tinggal di apartemen yang super berantakan. Tapi, dia merasa ‘asyik-asyik’ aja, bersama teman-teman rekan sejawat di Plumpy’s.



Tapi, siapa sangka kalau Sam adalah seorang necromancer, alias pembangkit mayat. Bahkan Sam sendiri gak tau soal itu. Sampai di suatu malam, serangkaian kejadian aneh menimpanya. Puncaknya adalah kiriman paket ‘istimewa’ dan ‘mengerikan’.



Sejak malam itu, terkuaklah fakta-fakta menakjubkan di balik kehidupan Sam. Ternyata, dia bukan cowok biasa-biasa aja. Kehadirannya yang ‘tiba-tiba’ ini mengusik salah satu necromancer bernama Douglas, yang gak suka akan keberadaan Sam yang akan dirasa mengganggunya. Kenapa baru sekarang Sam ini muncul? Padahal sebagai Ketua Dewan, harusnya dia tau setiap ada necromancer baru lahir. Belum lagi hilang ‘kekagetan’ akan jati dirinya, Sam malah berada dalam satu sel dengan gadis serigala atau werewolf.



Ngeliat dari endingnya, kaya’nya novel ini ‘seharus’nya ada lanjutannya. Masa’ kiprah Sam juga segitu aja, Ditambah lagi, mayat Douglas yang tidak ditemukan.



Satu lagi yang agak kurang lengkap, adalah istilah-istilah Aconite, tanaiste, taoiseach, athame atau harbinger yang gak ada penjelasannya. Yang unik adalah judul tiap bab yang diambil dari judul-judul lagu (yah.. gak semua juga sih gue tau lagu apa, hanya beberapa).



Untung penggemar fantasi, buku ini cukup oke. Horor tapi gak serem, malah cenderung kocak kalau diliat dari cara bertutur Sam dan percakapan dengan teman-temannya, bahkan dengan ‘musuh’nya.

Read more »

Minggu, 21 Agustus 2011

Gadis Jeruk - Jostein Gaarder



No. 267

Judul : Gadis Jeruk

Penulis : Jostein Gaarder

Penerjemah : Yuliani Lupito

Penerbit : Mizan Pustaka

Cetakan : Juli 2011 (Gold Edition)

Tebal : 256 hlm



Bagaimana perasaan kita jika tiba-tiba saja kita menerima surat dari ayah kita yang telah meninggal dunia belasan tahun yang lalu? Tentunya hati kita akan diliputi keharuan dan penasaran apa yang sebenarnya ingin disampaikan ayah kita dalam suratnya itu.

Itulah yang dialami Georg Roed, seorang remaja berusia 15 tahun yang tinggal bersama ibu, ayah, dan adik tirinya di Oslo - Norwegia. Surat yang ditulis ayahnya sebelas tahun yang lampau itu ditemukan secara tidak sengaja oleh nenek Georg di kereta kereta bayi yang dulu dipakai Georg

Surat panjang yang diketik rapih dengan komputer oleh ayahnya itu didasari oleh pemikiran bahwa ia takkan sempat membicarakan masalah kehidupan dengan Georg yang saat itu baru berusia 4 tahun. Sebagai seorang dokter, Ayahnya (Jan Olav) tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi karena penyakit yang dideritanya. Dan surat itu sengaja diselipkan olehnya di kereta bayi milik Georg dengan harapan suatu saat akan ditemukan dan dibaca oleh Georg ketika ia sudah beranjak dewasa.

Melalui surat 'wasiat' ayahnya yang berkisah tentang masa mudanya ini maka terjadilah interaksi antara masa lalu sang ayah dan sang anak di masa kini. Dalam suratnya itu Jan Olav berkisah bahwa di masa mudanya ia berjumpa dan jatuh cinta pada seorang gadis misterius yang membawa banyak buah jeruk.

Perjumpaan Jan Olav dengan si gadis jeruk adalah ketika ia melihat seorang gadis yang membawa sekantung penuh jeruk dalam trem yang ia naiki. Saat melihat jeruk yang dipegangnya itu hendak jatuh, Jan Olav berusaha menolongnya, namun kecerobohannya justru membuat seluruh jeruk yang dibawa si gadis itu berjatuhan, hal ini membuat si Gadis Jeruk marah, lalu turun dari trem dan meninggalkannya.

Setelah kejadian itu, Gadis Jeruk tak bisa lepas dari ingatannya, Jan Olav menjadi terobsesi untuk bertemu kembali dengan si gadis jeruk, satu hal yang sulit karena dia tak mengenal siapa nama si gadis jeruk dan dimana ia tinggal. Sebuah kebetuhan akhirnya mempertemukan Jan Olav dengan Gadis Jeruk di sebuah kafe, seperti perjumpaan pertamanya si gadis jerukpun saat itu sedang membawa sekantung jeruk. Pertemuan inipun cukup singkat, belum sempat Jan Olav menanyakan identitasnya gadis jeruk pun kembali pergi meninggalkannya.

Kejadian ini membuat Jan Olav semakin penasaran dan kembali mencari jejak si Gadis Jeruk. Ia bertanya-tanya dalam hatinya mengapa si gadis jeruk selalu membawa sekantong jeruk. Pola pikir seorang dokter yang melekat padanya membuat ia melakukan analisis-analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut, tak hanya itu ia juga mengunjungi tempat-tempat yang mungkin disinggahi oleh si Gadis Jeruk dengan harapan akan kembali bertemu dengannya. Pencariannya ini dilakukan tanpa kenal lelah, menembus batas negaranya hingga akhirnya menghantarnya ke perkebunan jeruk di Sevilla Spanyol.

Dalam novel Gadis Jeruk yang terbit pertama kali pada tahun 2003 di Norwegia dengan judul Appelsinpiken ini seperti biasa Jostein Gaarder menghadirkan materi filsafat dalam ceritanya. Gaarder masih setia dalam model penceritaannya yang menghadirkan kisah dalam kisah melalui media surat.

Seperti juga yang menjadi ciri khas dalam setiap karya-karyanya, Gaarder juga selalu menelusupkan tambahan pengetahuan baru diluar materi filsafatannya, kali ini adalah tentang Teleskop Hubble, teleskop ruang angkasa pertama yang juga disebut "mata semesta". Sebuah teleskop yang untuk pertama kalinya berhasil mengambil ribuan foto galaksi dan nebula yang berjarak beberapa juta tahun cahaya dari Bima Sakti dengan sangat jelas. Teleskop ini diluncurkan ke orbitnya dari pesawat ruang angkasa Discovery pada tahun 1990.

Lalu apa hubungan teleskop Hubble dengan kisah Gadis Jeruk? Dengan piawai Gaarder membuat pembacanya penasaran untuk terus menelusuri pencarian Jan Olav lengkap dengan romantismenya dalam mengungkap misteri siapa Gadis Jeruk itu sesungguhnya. Melalui teleskop Hubble dan Gadis Jeruk novel ini pada akhirnya membawa pembacanya pada sebuah perenungan tentang alam semesta hingga pada pertanyaan filosofis tentang makna hidup, takdir, kesempatan, dan pilihan hidup.

Melalui suratnya yang berisi kisah cinta dan petualangannya mencari gadis jeruk Jan Olav mencoba membangun kesadaran anaknya bahwa kehidupan yang dialami manusia itu bagaikan sebuah dongeng yang memiliki akhir. Karena bukankah tak ada satupun dongeng yang tak memiliki akhir?

“Dongeng hebat apakah yang sedang kita jalani dalam hidup ini? Dan yang masing-masing dari kita hanya boleh mengalaminya untuk waktu yang singkat? Mungkin teleskop ruang angkasa akan membantu kita untuk mengerti lebih banyak tentang hakikat dongeng ini suatu hari. Barangkali di luar sana, di balik galaksi-galaksi, terdapat jawaban apa sebenarnya manusia itu.” (hal 177)

Seperti sebuah dongeng memiliki aturannya sendiri dimana semua peran dan kisahnya telah dituliskan untuk menuju sebuah akhir kisah yang diinginkan penulisnya, maka dalam kehidupanpun setiap peristiwa yang kita alami bukanlah sebuah kebetulan belaka melainkan memiliki maksud dan sebab akibat tersendiri.

Terkait dengan hidup yang singkat yang harus dialami manusia, dan apa yang dialami Jan Olav yang sadar bahwa hidupnya tak akan lama lagi berakhir karena sakit yang dideritanya, maka di lembar-lembar terakhir suratnya ia memberikan sebuah pertanyaan filosofis pada anaknya,

“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.” (hal 206)

“Kamu tidak tahu kapan kamu akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu akan hidup,…Yang kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir di tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya.” (hal 233)

Rasanya sulit sekali bagi Georg Roed yang baru berusia 15 tahun untuk menjawab pertanyaan filosofis tersebut, namun toh akhirnya ia bisa menentukan pilihannya.

Banyak kalangan yang menilai Gadis Jeruk adalah karya Gaarder yang lebih ringan dibanding karya-karya lainnya (Dunia Sophie, Solitare Mysteri. dll). kisah dalam novel ini memang tampak lebih sederhana dan bersajaha, namun novel ini tetapmenyisakan sebuah perenungan yang dalam tentang makna hidup, takdir, dan alam semesta.

Memang tak ada konflik yang mencuat yang dihadirkan Gaarder dalam novelnya ini, dan itu bisa sedikit membuat pembacanya merasa jenuh. Namun pembaca yang sabar tentunya tak akan begitu saja meninggalkan novel ini, karena semakin mendekati akhir kisah akan ada banyak makna kehidupan yang kita peroleh dalam sudut pandang yang berbeda.

Ketika kisah Gadis Jeruk selesai kita baca, kini giliran kita yang harus menjawab pertanyaan Jan Olav pada anaknya. " Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih?" (hal 206)

Jika kita pada akhirnya memilih untuk untuk hidup singkat di bumi ini, maka pertanyan selanjutnya adalah :

"Jika hidup itu bagaikan sebuah dongeng singkat yang harus berakhir dan kita harus pergi meninggalkan segalanya, maka dalam kehidupan yang singkat ini apa yang harus kita kerjakan?"



Sejarah Penerbitan & Adaptasi film





Appelsinpiken (Gadis Jeruk) merupakan karya Gaarder ke-13 yang terbit pada tahun 2003. Di tahun yang sama, novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Orange Girl menyusul diterbitkannya novel ini ke berbagai bahasa lainnya. Kabar terakhir novel ini telah diterjemahkan ke dalam 43 bahasa!











Dua tahun kemudian Yuliani Lupito, menerjemahkan novel ini dari bahasa Inggrisnya dan diterbitkan oleh penerbit Mizan pada tahun 2005 dengan judul Gadis Jeruk, Sebuah Dongeng Tentang Kehidupan. Di tahun 2011 ini Gadis Jeruk dicetak ulang dalam edisi Gold Edition dengan cover yang lebih menarik dibanding sebelumnya.













Pada tahun 2009, novel ini diadaptasi ke dalam layar lebar oleh sineas produktif Norwegia Eva Dharl dengan judul Applesinpiken dan film ini mendapat apresiasi yang cukup baik dari publik Norwegia.









@htanzil

Read more »

Jumat, 19 Agustus 2011

Puteri Sirkus dan Penjual Dongeng

Puteri Sirkus dan Penjual Dongeng

Jostein Gaarder

A. Rahartati Bambang (Terj.)

Penerbit Mizan - Cet. I, Maret 2006



Petter, si Laba-Laba, adalah seorang anak laki-laki yang bisa dibilang penyendiri. Ia adalah anak yang kritis, cerdas dan unik. Petter lebih senang melihat teman-temannya bermain dibanding ikut dalam bermain bersama mereka. Dia akan menciptakan permainannya sendiri dengan imajinasinya, yang menurutnya lebih mengasyikkan. Jika teman-temannya bermain koboi-koboian, maka Petter akan menciptakan suasana jaman koboi masih berjaya lengkap dengan orang-orang Indian dan desingan peluru serta derap kaki kuda.



Sikap kritisnya ditunjukkan lagi ketika ia mendengar radio atau menonton televisi. Petter memberi masukkan program-program yang bisa membuat radio atau televisi menjadi lebih baik dan lebih menarik.



Setelah dewasa, Petter masih tetap menulis cerita yang berkelebat di kepalanya. Imajinasinya semakin berlimpah, sampai ia merasa tidak lagi bisa mengendalikannya. Tapi, Petter lebih memilih berada di ‘belakang layar’, dan dia menjual cerita-ceritanya pada penulis yang mengalamai ‘writer’s block’, hingga akhirnya terbentuklah ‘Writers’Aid’



Tapi, suatu hari, sampailah semuanya di satu titik, ketika jaring yang diciptakan Petter malah menjadi jebakan baginya. Ketika perbuatan Petter mulai tercium di kalangan perbukuan, Petter harus segera mengambil keputusan sebelum terjerat lebih jauh, di antara para penulis yang merasa popularitas mereka terancam. Dan justru di masa-masa ini, Petter menemukan sebuah titik yang menghubungkan masa kini dan masa lalunya. Tak disangka-sangka pula, salah satu dongengnya tentang Putri Sirkus, Panina Manina, membawanya menemukan sebuah teka-teki yang sempat memutuskan hubungannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cintai. Cerita-cerita Petter seolah menggambarkan perjalanan hidupnya.



Seperti novel-novel sebelumnya, lagi-lagi Jostein Gaarder menampilkan sosok misterius yang menjadi teman tokoh utama, kali ini sosok misterius itu adalah Lelaki Semeter.



Jostein Gaarder menampilkan kisah dengan gaya ‘ke-aku-an’. Menggambarkan Petter yang ‘menulis kembali’ kisah hidupnya - kisah masa kecilnya, kisah cintanya, dongeng-dongeng yang menakjubkan sampai bagaimana akhirnya ia terlibat dalam dunia perbukuan. Pembaca akan digiring ke rasa ingin tahu untuk mendapatkan jawaban bagimana nasib Petter di tangan para penulis-penulis yang pernah ia ‘bantu, atau justru bagaimana nasib para penulis di tangan Petter. Jawaban yang tak terduga muncul di akhir cerita.



Jostein Gaarder kembali memadukan antara realitas dan fantasi. Filosofi hidup disajikan dengan sederhana, dengan cara yang tidak perlu membuat kening pembacanya berkerut atau bosan. Novel Jostein Gaarder kali ini rasanya lebih ringan dan lebih ‘membumi’ dibanding Dunia Sophie atau Misteri Soliter.



Yah, terus terang sih, gak semua karya Jostein Gaarder ‘sanggup’ gue nikmati – bahkan Dunia Sophie masih entah berapa kali dibaca lalu ditinggalkan, hanya bertahan beberapa halaman saja. (#promisetomyself: baca Dunia Sophie sampai tuntas!).

Read more »

Rabu, 17 Agustus 2011

Indonesia Merdeka Karena Amerika ?

Dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan ke 66, saya posting ulang resensi buku ini. Selamat membaca :) Merdeka!



Judul : Indonesia Merdeka Karena Amerika ?

(Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949)

Penulis : Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg

Penerjemah : Zia Anshor

Editor : Anton Kurnia

Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta

Cetakan : I, Agustus 2008

Tebal : 487 hlm



Judul buku ini sangat provokatif, beberapa kawan yang melihat buku ini ketika saya sedang membacanya umumnya akan berkomentar, “Ah, masa sih ?”, “Apa iya?”. Ketika saya menemukan buku inipun secara spontan saya berkomentar sama dan menjadi penasaran untuk membacanya. Apalagi ketika melihat nama penulisnya yang tak asing bagi saya, Frances Gouda, guru besar sejarah di jurusan Ilmu Politik Universitas Amsterdam - Belanda yang banyak menulis buku tentang sejarah Indonesia. Salah satu buku menariknya “Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942” telah diterjemahkan oleh Serambi pada beberapa tahun yang lalu.



Bagi kalangan awam, perjuangan memperoleh pengakuan kemerdekaan Indonesia merupakan murni buah perjuangan para pahlawan baik melalui perjuangan fisik maupun melalui jalur diplomatik. Namun disebagian kalangan lain terdapat sebuah mitos tak terhapus bahwa setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pemerintah Amerika segera menyatakan dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri. Hal ini malah dinyatakan oleh Presiden Bill Clinton dalam ucapan selamatnya pada saat peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka (1995) . Mitos ini terus dipercaya di Belanda, dimana banyak orang Belanda masih berpikir bahwa bantuan Amerika Serikat terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1945-1946 sangatlah besar dan Indonesia takkan mampu merdeka tanpa peran Amerika.



Bagaimana faktanya? Untuk itulah buku hasil buah pemikiran dan analisis Frances Gouda & Thijs Brocades Zaalberg yang dalam bahasa Inggrisnya berjudul American Vision of the Netherlands East Indies/Indonesia: US Foreign Policy and Indonesian Nationalism, 1920-1949 ini mencoba mengkritisi pendapat umum yang telah menjadi mitos tersebut.

Secara terstruktur Gouda membagi bukunya ini kedalam 9 bab yang dimulai dari tinjauan umum dan berlanjut dengan pembahasan sejarah yang makin khusus. Kedua bab pertama dipusatkan pada tahun-tahun 1945-1949. Bab pertama menyajikan pandangan umum atas kebijakan luar negeri AS sehubungan dengan Republik Indonesia dan sekutunya Belanda setelah berakhirnya Perang Dunia II, sementara bab kedua, menelaah cara-cara dan usaha kaum nasionalis Indonesia dan politikus Belanda merebut simpati Amerika untuk tujuan masing-masing.



Sadar akan kuatnya posisi Amerika Serikat dalam hubungan internasional paska Perang Dunia II. Para tokoh-tokoh politik Indonesia mencoba segala usaha untuk menarik simpati Amerika agar mendukung kemerdekaan Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan adalah mengutus beberapa perwakilan Republik Indonesia ke AS. Salah seorang diantaranya adalah Sudarpo Sostrosatomo, pemuda berumur dua puluhan berpendidikan tinggi yang pada 1949 ditugaskan untuk menjadi atase Pers di New York. Dengan cerdas Sudarpo membandingkan revolusi kemerdekaan Indonesia dengan revolusi Amerika melalui makalahnya yang berjudul “It’s 1776 in Indonesia” dan menyebarkannya kepada para wartawan, pejabat publik Amerika, dan perwakilan internasional di PBB. Perbandingan yang terlalu dipaksakan, namun makalah tersebut cukup menarik perhatian pejabat publik Amerika yang memang selalu mengagung-agungkan deklarasi kemerdekaan Amerika pada tahun 1776.



Sedangkan di dalam negeri, para pemuda nasionalis melakukan aksi coret-coret di spanduk dan tembok-tembok kota dalam bahasa Inggris, mereka tak asal corat-coret, melainkan mengutip kalimat-kalimat pidato tokoh kemerdekaan Amerika seperti Jefferson, Linchlon, dll. Mereka berharap coret-coretan tersebut bisa menarik simpati pasukan AS di Indonesia.



Tak hanya itu, pemerintah Indonesia juga menerbitkan seri perangko bergambar arsitek utama Republik Indonesia yang disandingkan dengan para tokoh kemerdekaan Amerika, antara lain perangko bergambar George Washington berada dibelakang gambar Soekarno, Hatta bersanding dengan Abraham Lincoln, dan Sjahrir yang bersanding dengan Thomas Jefferson.



Walau segala usaha dilakukan untuk merebut simpati Amerika terhadap kemerdekaan Indonesia namun hingga akhir 1948 Amerika belum juga menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap kemerdekaan Indonesia.

Bab ketiga buku ini memusatkan perhatian pada masa 1938-1945, dimana pada masa tersebut, penilaian AS atas pemerintahan kolonial Belanda mencapai keseimbangan. Selain itu kenyataan agresi Jepang di Asia membuat para pembuat kebijakan AS mengakui nilai strategis dan ekonomis Indonesia.



Bab keempat dan kelima memeriksa atmosfer sosial, budaya, politik, serta tindakan pemerintahan di Indonesia dan Amerika Serikat paska Perang Dunia II. Saat itu perang dingin mulai mempengaruhi perspektif para pembuat kebijakan di Washington dan Den Hag, sementara para pejabat Republik Indonesia mencoba mencari jalan tengah antara perseteruan blok barat dan Soviet yang mulai tumbuh.



Di Bab keenam, buku ini menganalisis peran pasukan SEAC (South East Asia Comand, Komando Asia Tenggara) di bawah pimpinan Louis Mountbatten di Jawa dan Sumatera pada 1945-1946, juga kertelibatan Partai Buruh Australia dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini berbarengan dengan dimulainya perundingan-perundingan diplomatis yang berlarut-larut antara Indonesia dan Belanda yang berbuahkan perjanjian Linggarjati yang rapuh pada Maret 1947. Beberapa bulan kemudian Belanda melanggar kesepakatan Lingarjati dan melakukan agersi militer. Kejadian ini memicu munculnya resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga menandai permulaan keterlibatan resmi AS dalam Komite Jasa Baik (Good Offices Commite, GOC) untuk menyelesaikan konflik Belanda – Indonesia. Hal ini kemudian dianjutkan dalam bab ketujuh yang memusatkan bahasan pada upaya-upaya Komisi Jasa Baik (GOC) yang dimotori AS yang berujung pada perjanjian Renvillle yang menguntungkan pihak Belanda.



Dari bahasan di ketujuh bab pada buku ini akan terlihat secara jelas bahwa AS sendiri masih gamang dan belum menentukan sikap yang jelas terhadap dukungannya kepada kemerdekaan Indonesia, hal ini berbeda dengan pendapat umum masyarakat AS melalui partai buruhnya yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Keraguan pihak AS semakin bertambah dengan kekhawatiran Indonesia yang akan menjadi negara komunis karena beberapa tokoh-tokoh revolusioner Indonesia seperti Amir Syarifudin, Muso, dll merupakan tokoh berhaluan kiri.



Pada akhirnya bab kedelapan dan kesembilan Gouda menganalisis pergolakan di Indonesia pada 1948 yang berpuncak pada pemberontakan PKI di Madium 1948. Pada tahun 1947, kabinet Amir Syarifudin mengikutsertakan partai-partai beraliran kiri, dan membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet yang telah mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure. Tentu kiprah Amir Sjarifudin membuat Amerika khawatir Indonesia akan menjadi negara yang ke kiri-kirian. Untunglah di akhir Januari 1948 setelah Amir Syarifudin berhenti dari jabatan Perdana Menteri, kabinet Hatta yang menggantikannya tidak mengikutsertakan wakil-wakil partai kiri dalam pemeritahan koalisi barunya.



Seiring waktu, lambat laun terbukti bahwa pemerintahan Hatta ‘positif anti komunis’, hal ini diperkuat dengan keberhasilan Hatta menumpas habis pemberontakan PKI pada September 1948. Melalui peristiwa ini Amerika akhirnya menaruh kepercayaan pada pemerintah Indonesia. Dan mulailah kebijakan Departemen Luar Negeri Amerika condong kepada Indonesia dibanding Belanda.



Keberpihakan Amerika pada Indonesia semakin nyata ketika tiba-tiba Belanda melakukan agresi militernya yang kedua sehingga dengan mantap pemerintahan AS yang dipimpin oleh presiden Truman mengubah sikapnya dari pro-Belanda menjadi pro-Indonesia.

Secara umum buku ini menarik untuk disimak karena pembaca diberikan berbagai fakta gamblang mengenai perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan politik internasional dimasa revolusi kemerdekaan Indonesia. Tampaknya kedua penulis buku ini mempersiapkan buku ini dengan riset yang mendalam. Mereka menyelisik sumber-sumber primer berupa arsip-arsip diplomatik Amerika, Indoneisa, Belanda, Australia, hingga arsip-arsip PBB. Hal ini tercermin dalam gamblangnya bahasan yang diungkap dan ratusan daftar sumber arsip dan pustaka yang berderet-deret hingga membutuhkan 11 halaman penuh untuk disajikan dalam buku ini.



Karenanya Gouda dan Zaalberg dengan yakin menyimpulkan analisisnya bahwa tekanan AS terhadap Belanda tak menyebabkan kemerdekaan Indonesia karena di tahun 1945-1947 sikap pemerintah AS masih pro-Belanda. Pendiri Republik Indonesia – terutama Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Soekarno – berhasil mengamankan kemerdekaan Indonesia melalui kecakapan politik mereka yang luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan pelik. Namun harus diakui peran dan intervensi Amerika Serikat dalam persoalan Indonesia pada 1948-1949 memiliki pengaruh besar, tidak hanya mempercepat proses dekolonisasi Belanda, tapi juga mencegah Indonesia dan Belanda terlibat peperangan yang berkepanjangan yang tentunya akan menelan banyak korban.



Tema yang diangkat dalam buku ini memang bukan bahasan yang ringan, namun karena ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah yang menarik, saya pribadi tak dibuat bosan dan menemui kesulitan dalam memahami buku ini. Tak banyak buku literatur sejarah yang saya baca hingga tamat, dan buku ini adalah salah satunya.



Bersyukur kini buku ini telah diterjemahkan dengan baik oleh penerbit Serambi sehingga buku yang wajib dimiliki oleh para pemerhati sejarah Indonesia ini akan memberi pembaca Inodnesia wawasan baru atas peran Amerika Serikat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada masa 1945-1949.



Salut juga untuk pencantuman judul versi Indonesianya yang sangat provokatif dengan menambahkan kalimat tanya - yang tidak tercantum di buku aslinya - “Indonesia Merdeka Karena Amerika?” yang tentunya memancing minat pembaca Indonesia untuk menemukan jawabannya di buku ini. Penerbit Serambi juga dengan cerdas mengganti cover asli buku ini yang menampilkan foto perangko Sjahrir dengan foto perangko Soekarno yang bersanding dengan George Washington. Hal yang tepat karena kini masyarakat Indonesia lebih mengenal Soekarno dibanding Sjahrir.



Namun sayangnya buku terjemahannya ini diciderai oleh beberapa kesalahan cetak. Selain kesalahan huruf, terdapat juga kesalahan penulisan angka tahun. Kesalahan yang fatal bagi sebuah buku bertema sejarah. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian bagi proofreader penerbit Serambi agar lebih teliti lagi dan tidak terulang pada buku-buku lain.



@h_tanzil
Read more »

Untung Surapati

Judul               : Untung Surapati
Pengarang       : Yudhi Herwibowo
Editor              : Sukini
Desain Sampul: Rendra TH
Desain Isi        : Rendra TH
Layouter          : Tri Mulyani Ch.
Cetakan           : Pertama, Februari 2011
Tebal               : 660 hlm
Penerbit           : Metamind



Kita mengenal namanya, namun belum tentu kita mengenal dengan mendetail kehidupan dan sepak terjangnya. Ia memang sudah dimasukkan sebagai salah satu pahlawan nasional, yang gigih menentang penindasan dan kekuasaan kolonial di bawah VOC pada sekitar abad 17. Ia adalah tokoh sejarah keturunan Bali yang kemudian berhasil menjaring pengikut setia untuk kemudian menjadi kawan sekarib. Ialah tokoh panutan yang begitu legendaris di tanah Banten, Kasultanan Cirebon, Kraton Kartasura, hingga Pasuruan dan Madiun. Dialah Untung Surapati.

            Seorang Yudhi Herwibowo sekali lagi berhasil menampilkan sosok sejarah yang jarang diulas ini dalam bentuk novel utuh dan tebal. Di awal dikisahkan bahwa ada kemungkinan Untung Surapati adalah keturunan dari seorang raja di Bali, Saat kecil, pangeran itu terpisah dari orang tuanya sebelum akhirnya ia dijual sebagai seorang budak. Nama “Untung” sendiri adalah nama pemberian. Si Untung kecil pada awalnya tiada bernama dan hanya dipanggil “si Kurus”. Ia kemudian dijual kepada perwira VOC bernama Mijnheer Moor yang kemudian menamainya sebagai Untung—karena telah membawa keberuntungan bagi keluarga Belanda itu. Darisinilah nama “Untung” berasal, nah lalu nama “Surapati”? Sabar ….
           
            Singkat cerita, Untung kecil beranjak menjadi sosok dewasa yang tangguh. Sejak remaja, ia juga belajar ilmu kanuragan kepada Ki Tembang Jara Driya, seorang guru lahiriah sekaligus batiniah bagi Untung. Kepada Ki Tembang Jara Driya inilah mungkin segala keberuntungan dan ketenaran Untung berasal. Entah sebagai bumbu romantika atau pemanis agar kisahnya tidak terlalu berbau buku sejarah, Untung dikisahkan menikahi putri Mijnheer Moor, Suzanne—yang tentu saja segera ditentang sang Ayah. Untung pun diusir setelah sebelumnya dihina, dilukai, dan dipisahkan dari istri tercinta. Ia kemudian berkelana dan sampai di tlatah Tanah Mati, sebuah persinggahan rahasia di tengah hutan. Tanpa dinyana, dari tempat inilah ia mulai menggalang pengikut. Para begal dan perampok ia ubah menjadi pasukan yang ditakuti Kompeni VOC. Bersama-sama, Untung memulai perang gerilya melawan kekuasaan VOC yang mencengkeram Tanah Jawa di abad 17.

            Tanah Jawa pada saat itu terbagi-bagi menjadi berbagai kerajaan, kesultanan, dan kadipaten-kadipaten. Masing-masing diperintah oleh para raja, sunan, atau bupati yang tunduk di bawah ancaman VOC. Sebenarnya, banyak kerajaan yang diam-diam mencoba melawan VOC, seperti Kesultanan Banten dan Cirebon, namun kurangnya kesatuan dan buruknya organisasi—masing-masing kerajaan berjuang sendiri-sendiri dan bukannya sebagai satu kesatuan—maka VOC dengan kelicikannya pun berhasil memadamkan pergolakan itu. Di sinilah Untung mengambil peran pentingnya. Mulai dari tanah Banten hingga ke Madiun, ia dan pasukannya senantiasa membikin resah pasukan VOC. Di Cirebon, ia bahkan berhasil meyakinkan Sultan Cirebon untuk berani melawan kesewenangan VOC, demi harga diri sebagai penduduk Djawadwipa. Karena keberhasilan Untung dalam mengungkap pengkhianatan yang dilakukan oleh Raden Surapati—anak angkat dari Sultan Cirebon, Sultan pun menganugerahkan gelar lama milik anak angkatnya, yakni “Surapati” kepada Untung. Jadilah namanya Untung Surapati.


            Dari Cirebon, kisah bergulir ke Banyumas dan Kartasura. Di alun-alun Kartasura inilah meletus peperangan dahsyat yang sekaligus melambungkan Untung Surapati ke puncak ketenarannya. Dengan keris kalamisani, Untung Surapati berhasil menghabisi Kapitein Francois Tack, seorang punggawa VOC yang dikenal sangat brilian dan memiliki kedudukan tinggi. Sungguh, kehilangan seorang Kapten Tack adalah kehilangan luar biasa besar bagi VOC sehingga kemarahan mereka kepada Untung pun memuncak. Ibarat bandul jam yang berbalik, kemenangan besar ini pula yang menandai mulai habisnya keberuntungan seorang Untung. Dengan mengarahkan pasukan benteng dan para marechaussee (polisi militer) kompeni, Untung dan pasukannya terus terdesak hingga ke pos pertahanan terakhir mereka di Benteng Bangil, Pasuruan. Di benteng inilah, Untung Surapati tetap berjuang sekuat tenaga mempertahankan kemerdekaan dan harga diri bangsanya. Diserang oleh gabungan pasukan kompeni, Kartasura, Surabaya, dan Madura; Untung Surapati pun mengakhiri kisah hidupnya yang begitu heroik. Satu pahlawan besar telah gugur, namun namanya akan tetap tercetak emas dalam lembar sejarah perjuangan bangsa yang besar ini.

            Untung Surapati karya Yudhi Herwibowo ditulis sebagai sebuah roman sejarah. Penulisannya bukan hanya sekadar untuk menghibur pembaca dengan pertempuran-pertempuran epik melawan pasukan kompeni; tapi juga untuk lebih mengakrabkan pembaca modern dengan pahlawan yang satu ini. Dan, Yudhi Herwibowo mampu menuliskannya secara apik dan berkesan. Pertempuran ala pendekar silat dan selipan-selipan bahasa Belanda membuat pembaca serasa diajak ke Jawa pada abad 17; Jawa ketika kerajaan-kerajaan masih berdiri namun di bawah cengkeraman kekuasaan VOC. Mas Yudhi sendiri mengatakan bahwa roman sejarah ini menggunakan data sejarah dari berbagai buku, dan aroma Babad Tanah Jawa begitu kental terasa dalam halaman-halaman di dalamnya.

            Kelengkapan data sejarah, itulah salah satu keistimewaan dari buku ini. Sebuah kekuatan yang sayangnya juga menjadi sedikit bahan catatan bagi penulis. Dalam mengawali bab-babnya, penulis sering sekali menuliskan ringkasan peristiwa sejarah yang mungkin mendasari penulisan bab tersebut. Teknik penulisan seperti ini sangat unik, namun juga riskan membuat pembaca cepat bosan. Menghabiskan separuh awal dari buku ini cukup menghabiskan banyak waktu, karena alur cerita yang begitu lambat dan data-data sejarah yang berlimpah; nyaris seperti buku teks sejarah. Untunglah kisah kasih Untung dan Suzzanne yang diselipkan oleh mas Yudhi bisa mengingatkan saya bahwa ini adalah sebuah novel sejarah, bukan buku teks sejarah yang membuat siswa-siswi mengantuk di kelas sejarah (salah satu bukti lagi bahwa kita sering mengabaikan sejarah ck ck ck #plakk).

            Terlepas dari itu semua, separuh bagian terakhir adalah bab-bab yang sangat mengasyikkan. Bab-bab ini berisi banyak sekali pertempuran epik antara pasukan Untung dengan kompeni Belanda, mulai di depan Kraton Kartasura, di Benteng Balongan, hingga ke Madiun dan Pasuruan. Dari bacaan ini, pembaca seolah diajak untuk melek terhadap sosok pahlawan yang satu ini. Dia dianggap begal oleh VOC dan kerajaan-kerajaan Jawa yang tunduk di bawah VOC pada masa itu, namun dengan menyimak roman ini, kita disadarkan bahwa Untung Surapati adalah seorang pejuang yang berupaya mempertahankan prinsip dan kemerdekaannya. Jauh sebelum proklamasi dikumandangkan tahun 1945, sebelum persatuan dan kesatuan digaungkan oleh para pemuda pada tahun 1928, Untung Surapati dan pasukannya sudah memulai perang kemerdekaan itu, walaupun dalam skala yang lebih kecil dan kurang terorganisir. Melalui kisahnya yang sangat epik ini, generasi muda bisa belajar tentang betapa berharganya kemerdekaan itu, betapa pentingnya menjunjung harga diri bangsa, dan betapa luar biasa perjuangan para pahlawan sehingga mereka berhak menyandang gelar terhormat itu.

            “Jika Untung Surapati dan Benteng Bangil dikalahkan … : siapa lagi sosok yang akan dengan berani menentang Kompeni di Tanah Jawa?” (halaman 640)

            Siapkah kita menjadi para penerus Untung Surapati? Untuk terus membela bangsa dan negara tercinta ini? Sekali Merdeka, tetap merdeka.

Read more »

Kuantar ke Gerbang

Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno

Ramadhan K.H

Penerbit Bentang – Cet. I, Maret 2011

431 hal.



Waktu pertama belajar sejarah, yang gue ketahui Ibu Negara, istri Bung Karno adalah Ibu Fatmawati. Baru belakangan, dari buku-buku yang gue baca, dari majalah, koran dan lain-lain, gue tahu kalau istri beliau tidak hanya Ibu Fatmawati. Dan baru kemudian lagi, gue tahu, sebelum menikah dengan Ibu Fatmawati, Bung Karno pernah dua kali menikah, dengan Ibu Utari dan Ibu Inggit. Mungkin nama Ibu Utari tidak banyak terdengar, karena pernikahan itu juga hanya seumur jagung. Berbeda dengan Ibu Inggit, meskipun jarang dibahas, tapi beliau adalah sosok yang berpengaruh dalam kehidupan Bung Karno, terutama di awal-awal perjuangan kemerdekaan. Melalu buku ini, yang judulnya menurut gue ‘sangat romantis’, gue pun mengetahui kisah cinta antara Ibu Inggit dan Bung Karno.



Pertemuan itu diawali ketika Kusno (nama kecil Bung Karno) tinggal di rumah Ibu Inggit dan suaminya, Kang Sanusi. Tujuan Bung Karno datang ke Bandung adalah untuk menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung. Ibu Inggit pun menerima kedatangan Bung Karno – beserta istrinya, Ibu Utari di rumah itu. Meskip



Sosok Ibu Inggit yang sederhana, penuh kasih dan lemah lembut, ternyata membuat hati Bung Karno ‘bergetar’. Tak peduli usia Ibu Inggit yang jauh lebih tua dan masih berstatus istri orang, Bung Karno ‘nekat’ melontarkan kata cinta. Ibu Inggit pun ternyata tak mampu ‘menolak’ pesona seorang Soekarno. Meskipun masih muda, tapi penuh tekad dan tegas.



Urusan rumah tangga masing-masing pun diselesaikan dengan baik-baik, dan mereka pun menikah. Dalam sosok Ibu Inggit, Bung Karno menemukan sosok seorang ibu mengemongnya dan istri yang melayani dengan setia dan juga seorang teman mau mendengar ide-ide dan pandangan-pandangannya.



Sepak terjang Bung Karno di dunia politik membawa mereka pada keadaan yang tak menentu. Belanda terus mencurigai segala pergerakan Bung Karno, sampai akhirnya beliau dan beberapa temannya dijebloskan ke penjara. Tak mudah bagi Ibu Inggit untuk menengok Bung Karno. Tapi, berkat kesabaran dan doa yang tak putus, mereka bisa bertemu kembali.



Ibu Inggit tetap setia mendampingi bung Karno meskipun harus ikut ke tempat pengasingan, pertama di Pulau Ende, Flores dan kemudian ke Bengkulu. Tak sekali pun Ibu Inggit mengeluh, yang ada justru semangat yang terus diberikan kepada Bung Karno untuk terus berjuang dan sabar. Meskipun di saat berpidato, Bung Karno bolehlah disebut ‘singa podium’, tapi di samping Ibu Inggit, beliau layaknya anak lelaki kecil yang ingin dimanja.



Namun, ternyata di Bengkulu inilah, pernikahan mereka mengalami cobaan. Bung Karno tertarik dengan seorang gadis yang pernah tinggal bersama dengan mereka di rumah – bernama Fatmawati. Bung Karno yang masih muda, ingin mempunyai keturunan sendiri, sementara Ibu Inggit tidak mampu memenuhi keinginan Bung Karno. Bung Karno tetap bersikeras menikahi Fatmawati, dan Ibu Inggit tidak mau dimadu, maka pernikahan mereka pun harus berakhir dengan perceraian.



Meski hatinya sakit dan cemburu, tapi Ibu Inggit tetap mendoakan Bung Karno agar terus selamat dan tetap berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.



… bahwa sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantar seseorang sampai di gerbang yang amat berharga.



Hal. 415


Pertama yang menarik perhatian gue, tentu saja judulnya, tapi gue masih ragu-ragu, karena jarang gue berhasil menyelesaikan membaca buku seperti ini. Thanks to Om Tan, yang berbaik hati, merelakan buku ini ‘jalan-jalan’ sebentar ke Jakarta. Dari buku ini, gue gak hanya belajar sejarah, tapi juga ‘mengenal’ sosok seorang Inggit Ganarsih – sosok perempuan yang tak berharap apa-apa, kecuali melayani suami dengan kasih sayang yang tulus.



Buku ini ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit Ganarsih, dibantu anak angkat Ibu Inggit dan Bung Karno – Ratna Djuami dan Kartika.

Read more »

7 Keajaiban Rezeki

Judul                : 7 Keajaiban Rezeki, Rezeki Bertambah, Nasib Berubah dalam 99 Hari dengan Otak Kanan
Penulis              : Ippho Santosa
Artistik             : Achmad Subandri
Desain Sampul  : Toke Tetsu
Penerbit            : PT.Elex Media Komputindo
Cetakan           : 2, April 2010



7 Keajaiban Rezeki mengajarkan bahwa setiap kita memberi, pasti akan diberi—terlepas dari perbedaan wujud, bentuk dan waktu diberinya, baik ikhlas maupun tidak walaupun ikhlas tentu saja seribu kali lebih baik daripada tidak ikhlas.


            Dalam rentang kehidupan seorang, mungkin hanya ada segelintir buku yang begitu dahsyat hingga mampu mengubah kehidupan seseorang, yang membuat seseorang berteriak “Aha!” sambil tanpa sengaja menepuk jidat saat membacanya. Berbagi kehormatan dengan jejeran kitab-kitab suci agama-agama besar dunia, buku-buku tersebut begitu menginspirasi sehingga membuat pembacanya ingin agar orang lain juga turut membaca buku itu. Dan, 7 Keajaiban Rezeki karya Ippho Santosa adalah salah satu dari buku seperti itu. Mari kita buka, saksikan, amalkan, dan raih keajaibannya.

            Setelah mengobrak-abrik mindset pengusaha-karyawan-bos dalam 10 Jurus Terlarang, seorang Ippho kembali memaksa pembaca untuk menggunakan jurus-jurus ala otak kanan untuk menembus penghalang rezeki, membuka tabir jodoh, dan menemukan kunci kekayaan yang sesungguhnya. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa excuse, tanpa alasan macam-macam dan segala tetek bengeknya, 7 Keajaiban Rezeki mengajak pembaca untuk sedikit bergeser ke KANAN, baik kanan yang bermakna kebaikan (golongan kanan) maupun kanan secara otak kanan (intuisi, kreativitas, gambling, dan menjadi seorang bos).  Intinya adalah, kata Ipppho, jika Anda ingin menjadi seorang bos, maka bergeraklah ke kanan di dunia yang begitu didominasi oleh otak kiri ini (perhitungan, teori, kepastian, karyawan/pengikut). Analoginya demikian: lebih banyak karyawan daripada bos, lebih banyak yang kiri daripada yang kanan, maka bergeraklah ke kanan agar bisa menjadi bos.

Lalu, apa saja ciri-ciri orang kanan? Orang kanan dalam buku ini adalah mereka yang memulai aksi dulu, baru memikirkan reaksi sambil jalan—tentunya aksi-aksi kebaikan. Mereka yang kanan suka bersedekah tanpa menghitung-hitung berapa persen sedekah yang harus dikeluarkan. Mereka yang kanan adalah mereka yang yakin bahwa Sang Maha Kaya akan mengayakan mereka yang membuat kaya orang lain, dengan bersedekah tentunya.  Dengan gencar, Ippho menyemangati kita untuk menambah sedekah kita, dari yang jumlah yang biasanya menjadi jumlah di luar dari biasanya.


Dalam kitab suci, disebutkan bahwa kita harus menyedekahkan sebagian dari harta kita. Nah di sinilah kesalahan konsep itu muncul. Bahwa sebagian itu bukan berarti sedikit, sebagian adalah satu bagian dari harta yang kita punya, minimal sih 20-40% gitu. Susah sih kalau mindset kita sudah terbiasa sedekah Rp1000 – Rp 2000 ke masjid, tapi perlahan jumlahnya harus ditingkatkan. 7 Keajaiban Rezeki  mengajak kita untuk tidak ragu dalam bersedekah. Caranya adalah dengan ikhlas by doing, dianalogikan dengan belajar shalat. Mungkin dulunya or awalnya terpaksa, tapi lama-kelamaan jd merasa tidak terpaksa dan enteng saja melakukannya, kalau bisa sih malah menjadi sebuah kebutuhan yang kalau tidak dilakukan malah membuat jiwa galau. Galau karena tidak bersedekah secara rutin dan banyak, wah itu baru galaunya anak muda keren zaman sekarang.


Menggunakan analagi-analogi yang sederhana, simpel dan memudahkan, 7 Keajaiban Rezeki mengajak kita untuk lebih melek fakta (bukan melek tarif kek iklan lho!) terhadap apa yang sebenarnya terjadi dan bisa terjadi dengan setiap perbuatan baik yang kita lakukan. Salah satunya adalah tentang Hukum Timbal Balik atau Law of Reciprocity. Untuk mendapatkan uang receh, maka bersedekahlah dengan uang receh. Nah, untuk mendapatkan uang banyak, maka kita harus bersedekah dalam jumlah yang banyak pula. Walau, balasan tidak selalu dalam bentuk materi. Kesehatan, keluarga, pekerjaan, kelancaran usaha; semuanya adalah balasan yang jauh lebih tak ternilai yang sayangnya sering kita abai. Sekali lagi, 7 Keajaiban Rezeki berhasil menyentil kita, jlebbb.

Bagi Anda yang gemar menabung namun takut berinvestasi, kutipan berikut ini mungkin bisa membuat Anda tidak bisa tidur semalaman: Mata uang (currency) dalam bahasa Inggris berasal dari kata current yang berarti “arus”, maka ini mengandung analogi bahwa uang/kekayaan itu harus dialirkan atau diputar agar dapat mengayakan/ menghasilkan. Ibarat air dan benda-benda langit yang semuanya terus berputar dan beredar sehingga berguna atau menghasilkan. (halaman 80). 7 Keajaiban Rezeki terbukti menjadi salah satu penyebab imsomnia bagi orang-orang yang ingin sukses, bagi mereka yang mau memikirkan dan memperhatikan.



Hidup memang seperti air yang mengalir, mengikuti ke mana sungai menuju. Tapi hidup yang lebih baik adalah ketika kita bisa memilih sungai yang sesuai dengan potensi kita, untuk kemudian kita aliri sebagai panggilan jiwa dan label dari keunggulan kita, dan kalaupun sungai yang seperti itu belum ada, maka mengapa kita tidak membikinnya? 7 Keajaiban Rezeki menyemangati kita untuk membuat sungai itu.

Buku ini merangkum semua yang telah diajarkan oleh Kiyosaki, Trump dan pakar-pakar keuangan kelas besar dunia lainnya, hanya saja dari sudut pandang yang lebih memudahkan dan lebih me-muda-kan hehehe. Bentuknya tipis dan simpel, namun materi yang dikandung benar-benar fresh  dan seolah mampu menyalakan “lampu kreativitas” di atas kepala. Bila dipaksa menyimpulkan, mungkin kutipan berikut mampu mewakili isi dari buku fenomenal ini:
Menabung itu baik. Investasi lebih baik. Sedekah adalah yang terbaik. (halaman 83) 


Teman-teman, minta like dan komentarnya ya di http://www.rightbrainaward.com/index.php?option=com_resensi Terima kasih
Read more »

Mati itu Spektakuler

Judul                : Mati itu Spektakuler
Penulis              : Khawaja Muhammad
Penerjemah      : Abdullah Ali dan Satrio Wahono
Penyunting        : A.L. Assyaukanie
Pewajah isi       : Siti Qomariyah
Desain Sampul: AM. Wantono
Tebal                : 443
Cetakan           : 1, 2011
Penerbit            : Zaman


           
            Satu pertanyaan abadi berkaitan dengan kematian, yang seabadi kematian itu sendiri, adalah siapkah kita menghadapinya?

            Terus terang, saya awalnya agak ngeri ketika menerima buntelan maut ini dari bapak Peri Buku. Judulnya MATI ditulis dengan model capslock alias kapital semua seolah-olah menyadarkan kita akan betapa keniscayaan akan datangnya malaikat maut itu dalam kehidupan ini, entah kelak, entah nanti; hanya catatan takdir yang menjadi saksi. Kita yang dalam keseharian mungkin terlalu disibukkan dengan mencari uang dan mengejar cinta, sesekali memang harus diingatkan dengan sepatah kata yang selaiknya wajib kita ingat dan perhatikan MATI. Okelah, karena momen dan bulannya memang pas untuk membuka kembali buku-buku model religius yang sudah agak lama saya tinggalkan (yang terkalahkan oleh roman dan petualangan fantasi), saya memberanikan dan memantapkan hati untuk membaca buku ini. Dan, sebagaimana judulnya, buku ini memang spektakuler.

            Bahwa Allah memang telah menggariskan bahwa setiap yang hidup pasti merasakan kematian, kita sudah mafhum adanya. Bahwa malaikat maut setiap detik, menit, dan jam mungkin melintas di depan kita; dan selama ini masih “hanya melewati” kita dan bukannya turut membawa serta jiwa kita; saya yakin setiap kita juga menyadarinya. Namun, sungguh, manusia memang tempatnya lupa dan amnesia kalau sudah berbicara soal kematian dan kehidupan akhirat. Dunia telah begitu melenakan sehingga dahsyatnya peristiwa pencabutan ruh dari raga ini seolah sekadar peristiwa yang serba nanti (nanti kalau sudah tua, nanti kalau sudah insyaf, nanti kalau sudah kaya raya dan sukses), padahal tidak ada yang mampu mengetahui kapan ajal seseorang itu tiba kecuali Allah Swt, dan ketika waktunya tiba maka tidak akan lagi bisa ditangguhkan.

            “Dan, Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munaafiquun: 11)


            Dan Dialah yang mengutus sang maut kepada para penindas dan orang-orang kuat, memelintir leher-leher mereka; mematahkan tulang punggung para raja; memadamkan harapan dan aspirasi; mengakhiri kesenangan duniawi; gerbang menuju keabadian.
           
            Di pasaran, mungkin kita sudah menjumpai ragam buku yang membahas tentang kematian dan dunia akhirat, mulai dari yang berbentuk komik buram seharga seribuan, buku-buku cetakan dari terjemahan kitab-kitab kuning yang dijual di bus-bus, hingga yang bersampul hardcover di toko-toko buku eksklusif. Sekilas, menjumpai dan melirik judul buku ini akan membuat pembaca berkata: “Ah, buku beginian lagi” padahal buku ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Topik dan tema di dalamnya memang sudah biasa kita dengar di pengajian, majalah Islami, atau buku-buku agama; namun cara menyampaikannya lah yang luar biasa menghanyutkan. Perhatikan betapa lengkap dan runtutnya buku ini membahas tentang surga dan neraka hingga luas dan bahan-bahannya; neraka dan kengeriannya; Alam Barzah dan segala kegelapannya; serta segudang kisah dan hikayat teladan yang luar biasa me-refresh dan merenung sejenak dari hiruk-pikuk dunia.


Membaca tentang Alam Barzah serasa membaca sesuatu yang ditulis dengan indah. Terus terang walau topiknya seram, namun keindahan dan kepiawaian penulis dalam meramu dan merangkai kata membuat pembaca akan meneruskan kegiatan membacanya—dan memang kita harus membacanya agar terus diingatkan.

            “Tiga azab kubur bagi mereka yang melalaikan shalat lima waktu adalah sebagai berikut: Pertama, liang kubur akan berkontraksi sehingga tulang-tulang dadanya patah dan saling menembus satu sama lain. Kedua, dinyalakan api neraka di kuburnya. Ketiga, seekor ular diutus menguasainya. Penampilan ular itu begitu menyeramkan, yang sangat berbisa dan mengigiti si jenazah sepanjang hari sampai hari kiamat.”(hlm 230)

            Dalam Mati itu Spektakuler, Anda akan menjumpai kisah-kisah penuh hikmah tentang kematian dan dunia akhirat yang dulu pernah ditulis dalam riwayat sahabat dan orang-orang shalih; misalnya saja  Kisah Seorang Anak Laki-Laki, Kisah Seorang Israel, Kisah Budak Perempuan yang semuanya dilantunkan bak seorang pendongeng menceritakan kisah-kisah hikmah. Buku ini juga cukup lengkap membahas semua yang berkenaan dengan jenazah dan penguburan, mulai dari tahap-tahap sakaratul maut, cara memandikan jenazah, ukuran kain kafan, hingga tata cara membawa ke kuburan dan etika berziarah kubur.

            Memasuki pembahasan tentang Hari Pembalasan, lihatlah betapa lengkap buku ini mempaparkan hukuman-hukuman bagi para pendosa. Hal-hal seperti “hukuman bagi pelanggar janji, bagi kaum munafik, bagi pemabuk, bagi penerima suap, hukuman bagi orang yang tidak berpuasa, dan lain-lain” mungkin sudah pernah kita baca. Buku ini memaparkannya kembali untuk kita, dalam versi yang lebih eksklusif dengan tujuan—sekali lagi—untuk menyentil dan mengingatkan kita kembali akan kefanaan kita.


            Buku tebal namun masuk dalam deretan kitab klasik tentang dunia akhirat itu tidak hanya layak dibaca dan dimiliki karena kelengkapan isinya, namun juga kejernihan pemaparannya dan keelokan mutiara hikmah di dalamnya. Topik kematian yang selama ini kita pandang sebagai sesuatu yang suram, gelap, dan mengerikan; dengan lincah mampu ditulis ulang dengan sudut pandang yang benar-benar baru. Penulis rupanya hendak mengajak pembaca untuk menyambut kematian, alih-alih takut kepadanya. Menyambut di sini tentu saja bukan mempercepat waktunya, namun lebih dengan menyiapkan bekal dan mempersiapkan diri agar ketika waktu besar itu tiba, kita bisa menghadapinya dengan kerinduan akan surga dan pembebasan dari fitnah dunia. Sungguh spektakuler. Agar pembaca resensi ini tidak galau dan bisa imbang, mari kita menengok sejenak keindahan surga sebagaimana sabda Nabi Saw:

            “Para penghuni surga ini akan selalu mengingat Allah di pagi dan malam hari. Mereka tidak akan pernah jatuh sakit; mereka tidak akan mengeluarkan kotoran atau meludah; bahkan tidak perlu membersihkan kotoran hidungnya. Peralatan mereka terbuat dari emas dan perak, bahan bakar perapiannya adalah kayu gaharu dan bukan batubara. Bau tubuh mereka akan seperti harun misk. Mereka juga berlaku lembut satu sama lain.” (halaman 297)

            “Wajah penghuni surga tidak akan dihiasi oleh rambut di pipi mereka, seperti wajah orang dewasa. Mata mereka berwarna hitam. Keremajaan mereka tidak akan memudar dan pakaian mereka tidak akan pernah usang atau rusak. (hlm. 299)

            “Penghuni surga akan memakai mahkota di kepala mereka. Mutiara terburuk dari mahkota ini akan memancarkan cahaya yang begitu indah, sehingga dapat menerangi seluruh jarak antara barat an timur.” (hlm 315)
           

Sungguh, membaca buku ini lebih memaksa kita untuk meneteskan air mata demi mengingat dosa-dosa kita ketimbang merasa takut akan kematian itu sendiri. Membacanya mengingatkan kita kembali betapa besar nikmat dan kesempatan yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada kita, dan betapa kita sering menyia-nyiakan nikmat itu untuk mendurhakai-Nya. Ampuni kami ya Rabb. Untuk mengakhiri kutipan ini, alangkah eloknya kalau kita merenungkan kembali salah satu kutipan jleb dari sang penulis berikut ini:

            Sahabatku, betapapun lamanya kehidupan dunia ini, ia adalah fana dan mesti berakhir, dan betapapun besar kepemilikan dunia ini, suatu saat ia mesti ditinggalkan.” (halaman 6)

Mari kita renungkan!
Read more »

Kamis, 11 Agustus 2011

100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung

No. 266

Judul : 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung

Penulis : Harastoeti DH

Penerbit : CSS Publishing

Cetakan : 2011

Tebal : 267 hlm



Bandung adalah kota yang memiliki banyak wajah, selain dikenal sebagai kota wisata belanja fashion dan kuliner, Bandung juga dikenal sebagai salah satu kota yang memiliki banyak bangunan-bangunan tua yang memiliki kekhasan arsitekturnya.

Adanya rencana dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menjadikan Bandung sebagai pusat komando militer sekaligus ibukota Hindia Belanda membuat pemerintah Gemeente Bandung pada tahun 1918-1920 melengkapi dan memercantik kota ini dengan berbagai fasilitas penting seperti pusat militer, gedung pemerintahan, penjara, dll yang dibangun oleh para arsitek kenamaan Eropa sehingga Bandung memiliki wajah Eropa dan di masa itu dikenal sebagai Parijs van Java, julukan yang masih terus melekat hingga kini.

Ada ratusan bangunan-bangunan tua di kota Bandung yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sayangnya karena ketidakpedulian para pemilik bangunan dan keinginan untuk menjadikan lahan tempat bangunan-bangunan tua itu berdiri sebagai tempat komersil membuat satu persatu bangunan tua yang memiliki nilai sejarah dan aristektur yang unik itu dirombak sehingga kehilangan wajah aslinya, bahkan beberapa sudah hilang dirubuhkan dan diganti dengan bangunan-bangunan komersil modern.

Untungnya sebelum semakin banyak bangunan tua yang hilang, pemerintah daerah kota Bandung menerbitkan Perda No. 19 tahun 2009 tentang pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Perda tersebut antara lain berisi daftar 100 bangungan cagar budaya di kota Bandung yang harus dilestarikan.

Terdorong oleh kepedulian keberadaan bangunan-bangunan tua di kota Bandung disertai keinginan untuk mensosialisasikan Perda tersebut, Bandung Heritage, sebuah paguyuban pelestarian budaya Bandung yang didirikan oleh sekelompok orang yang bertekad melestarikan gedung-gedung di Bandung , lingkungan, serta budayanya menerbitkan sebuah buku berjudul 100 Bangunan Cagar Budaya di Bandung yang ditulis oleh Harastoeti DS, ketua Bandung Heritage, yang mengambil gelar S-1 dan S-2 di ITB jurusan Arsitektur, dimana pada program S-3 secara khusus menspesialisasikan dirinya dalam bidang Konservasi Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya.

Dalam buku ini terdapat 100 buah foto-foto berwarna terkini dari 100 bangunan cagar budaya sesuai dengan Perda No. 19/2009. Namun sebelumnya pembaca diajak untuk terlebih dahulu menyimak sejarah singkat kota Bandung, pengertian, prinsip konservasi, kriteria konservasi di Indonesia, Inggris, Belanda, dan Amerika, serta pembagian kawasan dan sub kawasan kota Bandung.

Di bagian akhir yang berisi foto-foto yang merupakan halaman yang paling mendominasi buku ini, pembaca diajak menyusuri bangunan-bangunan tua di Bandung berdasarkan pembagian 6 kawasan yang ditetapkan dalam Perda No. 19/2009 (pusat kota, pecinan/perdagangan, pertahanan & keamanan militer, etnik sunda, perumahan villa dan non villa, dan kawasan industri) yang dimulai dari gedung BMC (Bandoengche Melk Centrale) di jalan Aceh hingga Kelenteng Perempuan di jalan Cibadak yang semuanya disertati dengan deskripsi singkat berisi tahun berdiri, siapa yang membangun, peruntukan gedung dari awal hingga kini, keunikan arsitektur, dan kondisi bangunan saat ini.

Ada beberapa hal menarik yang terungkap dalam buku ini seperti gedung Gedung Pensil yang dibangun pada tahun 1918 di kawasan Simpang Lima Bandung yang memiliki keunikan atap bangunan yang bentuknya bundar dan lancip seperti pensil yang telah diraut.





Gedung Pensil











Lalu ada pula bangunan tertua diantara 100 bangunan cagar budaya di Bandung yaitu gedung yang kini digunakan sebagai markas besar Polwiltabes Bandung di Jl. Merdeka yang didirikan pada tahun 1866. Gedung bergaya Empire Style ini bagian luarnya masih asli hanya bagian dalamnya saja yang telah berubah sejalan dengan perubahan fungsinya.

Gedung ini pernah dipergunakan sebagai sekolah yang dikenal dengan sebutan Sekolah Radja yang siswanya terdiri kaum Priyayi Pasundan dan keluarga Bupati. Sekolah ini mempunyai arti penting dari sejarah dunia pendidikan di tanah Sunda karena Ia menjadi ‘ibu’ dari sekolah pribumi yang kelak bermunculan.

Gedung ini juga pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Limburg Stirum, dan Raja Siam (Thailand) Paraminda Chulalongkorn.



Sebutan Bandung sebagai Parijs van Java rupanya bukan slogan belaka, salah satu buktinya adalah sebuah bangunan di jalan Braga yang pernah dipakai sebagai toko mode (fashion) Aubon Marche yang pada tahun 1913-1940an menjual pakaian dengan model paling mutakhir yang didatangkan langsung dari Paris - Prancis. Sayangnya toko legendaris yang sempat menjadi trend setter fashion masyarakat Eropa di Bandung yang kini dimiliki Kimia Farma itu dalam kondisi yang menyedihkan karena tidak terawat dengan baik







Aubon Marche,

bekas toko fashion terkenal











Untuk bangunan hotel, yang termasuk dalam bangunan cagar budaya adalah Hotel Homan, hotel dengan gaya arsitektur Art Deco yang menjadi trade mark hotel yang pernah dikunjungi oleh tamu-tamu penting mulai dari aktor legendaris Charlie Chaplin (1927, 1932) Perdana Menteri Prancis George Clemencau (1921), hingga Bung Karno dan para pemimpin-pemimpin dunia saat Konferensi Asia Afrika 1955.













Hotel Savoy Homan















Tak ketinggalan tentunya ikon Kota Bandung, Gedung Sate yang dibangun pada tahun 1920 oleh J. Geeber seorang arsitek Belanda yang pernah tinggal lama di Thailand. Arsitektur gedung ini merupakan percampuran dari gaya Moor, gaya Oriental (Indonesia dan Thailand). Biaya tahap pertama yang dikeluarkan untuk membangun gedung ini mencapai 6 juta gulden. Angka 6 ini kemudian ditetapkan menjadi elemen ujung puncak bangunan seperti tusuk sate dengan enam butir ‘sate’nya sebagai simbol biaya yang dikeluarkan untuk membangun gedung itu. Karena di mata orang pribumi bentuknya seperti sate maka gedung ini dinamai GEDUNG SATE.











Gedung Sate

















Buku yang disusun selama 2 tahun melalui riset yang mendalam ini tampaknya sangat layak untuk dikoleksi baik oleh warga Bandung, pecinta sejarah lokal, para arsitektur , dsb ini tersaji dengan sangat menarik dan informatif. Buku dengan ukuran memanjang ini tersedia dalam dua versi (Hard Cover dan Soft Cover) dan dicetak di atas kertas art paper mengkilap (glossy) yang memungkinkan penyajian foto-foto berwarna yang prima.

Di buku ini kita akan diajak mengenal wajah Bandung tempo dulu yang dibangun dengan cita rasa arsitek-arsitek Eropa di paruh pertama abad ke dua puluh dengan atap sirap, streamline (garis lengkung) yang merupakan ciri khas gaya Art Deco, penggunaan kolom kembar, dan berbagai ornamen unik di tiap bangunannya . Kesemuanya itu tergambar jelas lewat foto-foto bewarnanya. Sebagai pelengkap buku ini juga menyajikan peta kawasan 100 bangunan Perda

Sayangnya foto-foto yang terdapat dalam buku ini hanyalah foto bangunan di masa kini, alangkah baiknya kalau disertakan juga foto bangunan-bangunan tersebut di masa lampau sehingga pembaca bisa membandingkan kondisi bangunan di masa lampau dengan keadaannya sekarang. Dan yang cukup mengganggu adalah adanya Kesalahan typo yang cukup banyak sehingga mengurangi kenikmatan membacanya.

Selain itu sesuai dengan salah satu tujuan buku ini yaitu untuk mensosialisasi Perda No. 19/2009 ttg Bangunan Cagar Budaya alangkah baiknya isi dari Perda itu sendiri dimuat dalam buku ini sebagai lampiran sehingga pembaca dapat mengetahui isi lengkap dari Perda tersebut.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku ini akan sangat bermanfaat sekali bagi masyarakat Bandung khususnya mengenai keberadaan bangunan-bangunan tua di Bandung yang diperkirakan mencapai 1000 buah ini. Dengan terbitnya buku ini seperti yang diharapkan oleh penulisnya, semoga buku ini dapat membuka mata seluruh lapisan masyarakat, pemerintah maupun orang awam bahwa kota Bandung ini sangat kaya dengan peninggalan budaya berupa bangunan-bangunan yang tergolong langka dan memiliki nilai tinggi.

@htanzil

Ket:

Untuk memperoleh buku ini silahkan menghubungi Sekretariat Bandung Heritage di jl. RE. Martadinata (Riau) No. 209 Bandung. Phone 022-7234661 CP : Pak Koko

Read more »