Kamis, 29 September 2011

Around the World in 80 Dinners

Around the World in 80 Dinners
Cheryl & Bill Jamison
Kania Dewi (Terj.)
Gagas Media, Cet. II - 2010
384 hal.
(pinjem dari Mbak Riana)

Cheryl & Bill Jamison, penulis buku masakan yang kerap melalang buana ke luar negeri untuk berwisata kuliner. Karya-karya mereka sudah diakui dengan beberapa penghargaan di bidangnya. Nah, kali ini, kembali mereka membuat rencana untuk berwisata kuliner ke 10 negara, dengan menggunakan fasilitas frequent flier miles mereka. Perjalanan ini akan memakan waktu selama 3 bulan.

Setelah dipilah-pilah, dipilih-pilih, akhirnya mereka berdua memutuskan 10 negara itu adalah: Indonesia - tempat yang dipilih adalah Bali, Australia, Kaledonia Baru, Singapura, Thailand, India, Cina, Afrika Selatan, Perancis dan berakhir di Brazil.

Dimulailah petualangan pertama mereka di Bali. Sebuah boneka kertas bernama Flat Stanley setia menemani mereka selama perjalanan. Namun malang, nasib Flat Stanley pertama berakhir di tangan kera nakal di Monkey Forest

Tidak hanya restoran-restoran mahal dan ternama yang mereka cicipi, tapi juga makan di sea food di tenda-tenda di Singapura, makan bebek betutu masakan rumah di Balii dan semua itu memberi pengalaman tersendiri untuk mereka. Mereka berdua gak ragu untuk melihat-lihat pasar tradisional dan mencicipi makanan yang aneh-aneh.

Namun, gak selamanya perjalanan mereka mulus. Selain insiden flat Stanley, Cheryl dan Bill sempat terserang demam, ketinggalan kartu ATM dan nyaris kehilangan uang dan paspor gara-gara Bill yang ceroboh meninggalkan jaket di kamar mandi. Belum lagi kemacetan di beberapa tempat dan makanan yang terkadang kurang memuaskan.

Di akhir setiap cerita perjalanan mereka, Cheryl dan Bill membuat sebuah rangkuman tempat di mana mereka menginap, makan dan yang mereka kunjungi. Plus sebuah resep salah satu makanan yang mereka cicipi. Hmmm… lebih oke, kalo resep ini juga dikasih foto kali ya.

Agak pusing sebenernya baca buku ini, terlalu banyak informasi tentang tempat wisata dan makanan, tapi gak punya bayangan, kaya’ apa wujud makanan itu sendiri. Foto-foto yang ditampilkan juga minim banget, kalo pun ada, kecil dan gak berwarna. Terlalu banyak yang mau mereka sharing, buat orang awam kaya’ gue, jadi akan membingungkan.

Meskipun begitu, buku ini sukses membuat gue pengen makan mie tom yam yang seger… pengen es kacang yang menggunung itu… pengen makan sea food tenda di Benhil… pengen makan kare...

Mau liat foto-foto yang lebih lengkap dan berwarna tentunya, bisa berkunjung ke website mereka di: http://www.cookingwiththejamisons.com/

Read more »

Letters to Sam



[No. 269]
Judul : Letters to Sam
Penulis : Daniel Gottlieb
Penerjemah : Windy Ariestanty
Penerbit : Gagas Media
Cetakan : I, 2011
Tebal : 218 hlm

Surat adalah salah satu cara yang paling efektif dalam menyampaikan pesan kita kepada seseorang yang terpisahkan oleh jarak dan waktu.  Salah satu keuntungan menyampaikan pesan melalui surat adalah pesan kita akan terdokumentasikan dengan baik dan  lebih terstruktur sehingga mudah dipahami 

 Walaupun surat ditulis dengan gaya personal kepada seseorang tertentu , namun tak jarang surat-surat itu dapat  bermanfaat  bagi banyak orang, contohnya adalah surat-surat personal yang dikirim oleh tokoh-tokoh terkenal, sebut saja RA Kartini, HB Jasin, Ajip Rosidi, Pramoedya, dll yang pada akhirnya  dibukukan sehingga dapat dibaca oleh banyak orang dan menjadi inspirasi

Demikian pula surat-surat yang ditulis oleh Daniel Gotlieb kepada cucunya Sam.  Gotlieb adalah seorang psikolog  yang pernah mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga separuh tubuhnya lumpuh.  Di awal-awal kecelakaan ia sempat frustasi akan ketidakberdayaannya  namun akhirnya ia bisa mengatasi semuanya itu. Pengalaman yang ia alami inilah yang mau ia sampaikan melalui surat-suratnya pada Sam, cucunya yang juga mengalami keterbatasan seperti dirinnya. Sam adalah penderita autisme

Sebelum mengetahui bahwa Sam adalah anak yang autis, niatan Gotlieb untuk menulis surat pada cucunya adalah semata hanya karena ingin memberi pesan pada cucunya tentang hidup, cinta, dan apa arti memiliki orang tua dan pentingnya teman. Ia juga ingin Sam tahu siapa dirinya dengan harapan Sam akan membacanya suatu hari kelak.

Namun harapan itu berubah, ketika Sam berumur kurang dari 2 tahun Sam menunjukkan gejala autisme, gangguan otak yang secara radikal mengubah cara orang memahami dan menanggapi dunia serta hal-hal lain diluar dirinya. Awalnya Gottlieb sangat terpukul, apakah kelak di kemudian hari Sam akan mampu memahami surat-surat yang ditulis untuknya?

Namun akhirnya Gottlieb sadar bahwa dengan penyakit yang diderita cucunya dirinya ternyata memiliki banyak hal untuk disampaikan pada Sam kelak, untuk itulah akhirnya ia segera mewujudkan keinginannya untuk menulis surat untuk Sam.

Sadar bahwa Autisme yang diderita Sam membuat dirinya berbeda dengan anak-anak lain Gottlieb menulis agar Sam memahami apa artinya ‘berbeda’ dari orang lain. Perbedan tidak seharusnya menjadi hambatan, melainkan harus dijalaninya dengan penuh perjuangan. Seperti dirinya yang ‘berbeda’ dari orang lain karena  cacat tubuhnya, Gottlieb  berjuang mengatasi perbedaan itu dan melalui suratnya Gottlieb  mengajari Sam bagaimana caranya menerima perbedaan dan berjuang untuk menjalani kehidupannya.

Dalam surat Gottlieb juga menekankan soal cinta sejati, ia ingin agar Sam dicintai sepenuhnya dan mengecap setiap sensasi yang dihadirkan oleh cinta sehingga ketika Sam dewasa nanti cucunya akan mengeri bahwa memberikan cinta adalah sebuah kebahagiaan sejati karena memberi cinta jauh lebih penting daripada menerimanya.

“Semoga kau tetap ingat apa yang dibutuhkan jiwamu. Bukan kemakmuran, harga diri, dan kepemilikan, tetapi tanggung jawab orang dewasa untuk mencintai..”  (hal 157)

Menyoal keterbatasan fisiknya sehingga Gottlieb harus selalu berada dalam kursi roda dan membuat dirinya banyak dibantu oleh orang-orang yang berada di sekitarnya  tak lantas membuat dirinya merasa rapuh karena keterbatasannya ini membuat orang lain merasa bahagia karena dapat membantunya.

Dari perspektif kursi rodanya Gottlieb  menulis demikian, 

“ Acapkali kita berusaha untuk menghindari hal-hal yang bisa menampakkan kerapuhan kita sehingga kita jadi sering berpura-pura. Namun, hanya dengan berhenti berpura-pura bahwa kau berani atau kuat, maka kau bisa mendorong orang lain untuk menunjukkan kebaikan yang ada dalam diri mereka”(hal 56)

Masih banyak pesan-pesan yang disampaikan Gotlieb pada cucunya ini.  Ada 33 surat yang diklasifikasikan berdasarkan tema sehingga lebih memudahkan pembacanya untuk memahami apa benang merah dari surat-surat yang ditulis Gotlieb dalam setiap bagiannya.  

Seperti halnya sebuah surat personal, buku inipun ditulis secara personal dengan kalimat-kalimat yang mudah dimengerti sebagaimana seorang kakek menulis untuk cucunya yang beranjak dewasa.  Latar belakang Gotlieb sebagai seorang psikolog  tercermin dalam setiap  suratnya sehingga setiap pesan yang ditulisnya ini benar-benar menyentuh dan menggugah  pembacanya.

Walau ditujukan pada cucunya yang menderita autis namun keseluruhan dari surat-suratnya ini bersifat universal sehingga dapat dibaca oleh siapa saja dengan range usia pembaca yang luas , sayangnya Gotlieb tidak mengeksplorasi secara mendalam mengenai keautisan Sam . Andai saja Gottlieb menulis lebih spesifik lagi dan mengeksplorasi pesan-pesannya untuk cucunya yang  autis tentunya buku ini akan semakin menarik terutama  oleh para orang tua yang anaknya menderita autis.

Namun terlepas dari itu apa yang ditulis Gottlieb pada Sam sangatlah bermanfaat dan inspiratif,  bukan bagi Sam saja, melainkan bagi kita semua yang membacanya. Dalam surat-suratnya kita akan menemukan berbagai pesan bagaimana cara menghadapi ketakutan, merajut harapan, memberikan cinta,  mensyukuri anugerah hidup, dan mengambil hikmah dalam setiap rencana Tuhan bagi kita.

Gotlieb telah menulis untuk Sam dan untuk kita, mari kita pahami, maknai, dan belajar dari kehidupan Gotlieb untuk menjalani kehidupan kita. Dan yang pasti dengan membeli buku ini kita juga menjadi berkat bagi banyak orang karena seluruh royalty dari buku ini akan didonasikan untuk Care Autis Now dan kegiatan amal lainnya yang berkaitan dengan anak-anak.

@htanzil
Read more »

Letters to Sam

Judul                : Letters to Sam
Penulis              : Daniel Gottlieb
Penerjemah      : Windy Ariestanty
Editor               : Ninus D. Andarnuswati
Proofreader      : Christian Simamora
Penata Letak    : Nopianto Ricaesar
Desain Sampul: Dwi Anissa Anindhika
Cetakan           : Pertama, 2011
Tebal                : 217 halaman
Penerbit            : Gagas Media
Harga               : Rp 45.000,00



            Apa yang akan tercipta ketika seorang kakek lumpuh yang jago psikologi, seorang cucu yang mengalami gangguan autisme, dan syair Rumi nan indah tentang “penyambutan tamu” saling dipertemukan? Tidak lain tidak bukan, hasilnya adalah kumpulan goresan indah tentang pelajaran kehidupan yang terangkum  Letters to Sam, Pelajaran dari seorang Kakek tentang Cinta, Kehilangan dan Anugerah Hidup. Sebuah buku yang akan mengubah pandangan kita akan sosok-sosok yang selama ini terabaikan karena mereka asyik dengan dunianya sendiri. 

            20 Mei 2000, penulis buku ini mengalami salah satu momen paling luar biasa dalam kehidupannya, yakni hadirnya seorang cucu bernama Sam—yang kelahirannya ke dunia seolah memang telah ditakdirkan untuk membuat sang Kakek dan jutaan orang lain di dunia menjadi lebih memahami apa makna sesungguhnya dari kehidupan. Bahwa kehidupan itu memang sempurna, tapi tidak apa-apa jika ada sejumlah ketidaksempurnaan di dalamnya karena kehidupan itu sendiri selalu sempurna bagi mereka yang mampu menjalaninya dengan penuh rasa syukur.

Menjadi lumpuh akibat kecelakaan mobil, seorang Daniel Gottlieb harus mengalami lagi satu ketidaksempurnaan dalam hidup, cucunya—yakni si Sam—didiagnosis mengalami gangguan psikologis yang oleh orang awam dikenal sebagai autisme.  Namun, alih-alih membuatnya depresi, dua ketidaksempurnaan besar dalam kehidupan ini malah semakin membuat sang Kakek bijak lebih menghargai hidup. Dari kedua ketidaksempurnaan itu, ia mampu memeras intisari dari nilai-nilai kehidupan; yang seharusnya kita sibuk mengisinya dengan hasrat dan harapan, bukannya sibuk mewarnainya dengan keluhan dan ketidakbahagiaan.

“Dengan cedera tulang belakangku dan autisme yang kau miliki, kita terlihat berbeda dan bertindak berbeda. Tapi, kita juga bisa mengajari orang lain, sebagaimana Norma telah mengajariku, bahwa apapun yang terjadi dengan tubuh atau pikiran kita, jiwa kita akan tetap utuh.(halaman 71).

Bahwa bukan kehidupan itu yang harus kita paksa agar sesuai dengan harapan kita, tapi lebih pada bagaimana kita mengubah pandangan kita terhadap kehidupan itu sendiri. Kakek si Sam telah mempelajari hal ini sebagai salah satu cara untuk “mensyukuri” kelumpuhannya, yang semoga saja juga kelak digunakan oleh cucunya untuk “mensyukuri” autisme yang ia alami. Buku Letters to Sam adalah kumpulan dari surat-surat Daniel Gottlieb kepada cucunya, Sam. Ia berharap, melalui buku ini kelas sang cucu terkasih akan mampu memandang dunia sebagaimana kakeknya memandang dunia ini dengan penuh rasa syukur. 

Dengan bahasa akrab khas seorang kakek yang tengah berbicara kepada cucunya, buku ini akan mengajak pembaca untuk sejenak menenggok ulang apa dan bagaimana kita menjalani kehidupan kita selama ini. Apakah selama ini kita memandang “hidup adalah rangkaian masalah sulit yang harus dipecahkan dengan sedikit kesenangan” ataukah ia memandang “hidup adalah harta karun yang harus disyukuri; keduanya akan menghasilkan pemaknaan dan penghayatan yang berbeda tentang kehidupan itu sendiri. Apakah kita menyibukkan hidup dengan selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain, apakah kita sibuk mencemburui kelebihan orang lain ketimbang mensyukuri kelebihan dalam diri? Hidup sebagaimana yang diajarkan oleh kakek si Sam adalah dengan menghargai ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan kecil dan lebih mensyukuri kehidupan yang sebenarnya sudah luar biasa sempurna.

Disusun dengan model buku surat, setiap bab dalam buku ini adalah sepucuk  surat yang ditulis sendiri oleh Daniel Gottlieb untuk cucunya. Masing-masing bab berisi secuil pengalaman sang penulis, yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek psikologi modern, sehingga menghasilkan untaian kisah-kisah bijak yang bisa juga dipelajari oleh semua orang. Hanya saja, ada beberapa anjuran atau kisah-surat dalam buku ini yang sifatnya terlalu "khusus", seolah solusi yang ditawarkan masih terlalu “Amerika” sehingga kurang sreg jika diterapkan oleh pembaca dengan latar budaya yang berbeda. Beberapa perilaku atau kebiasaan yang dijadikan sebagai contoh pun ada beberapa yang terasa kurang pas untuk diterapkan secara “saklek” di budaya kita. Entahlah, mungkin hanya karena perbedaan latar belakang dan budaya semata.

Namun, terlepas dari itu semua, satu pelajaran terbaik dari buku ini terselip dengan begitu manisnya pada sebuah paragraf di halaman 198.

“Sering sekali, orang yang melangkah keluar dari dirinya  dan mulai membantu orang lain akan mengalami perasaan yang jauh lebih baik dengan cepat. Mereka menjadi bagian dari dunia yang lebih luas. Masalah-masalah mereka tidak lagi memenuhi hidup mereka.”(halaman 198).

Kalau yang ini saya setuju!
Read more »

Rabu, 28 September 2011

Zaman Gemblung

Judul                   : Zaman Gembung
Pengarang         : Sri Wintala Achmad
Editor                  : Addin Negara
Pemeriksa aks  : A.S. Sudjatna
Tata Sampul      : Gobag Sodor
Tata Isi                : Sri Lestari
Cetakan             : Pertama, Mei 2011
Tebal                  :372 halaman
Penerbit             : DIVA Press


Amenangi zaman edan
ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan
yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik.
kaliren wekasanipun,
ndilalah karsa allah,
begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lan waspada (hlm 350)

           Membaca dua baris terakhir dari Serat Kalatidha di atas, pembaca pasti bisa menebak siapa penulisnya. Ya, petikan di atas merupakan gubahan dari salah satu pujangga besar kraton Mataram, Raden Ngabehi Ranggawarsita III yang disebut-sebut sebagai pujangga terakhir dari era Jawa kuno. Salah satu karyanya yang sangat terkenal adalah serat Kalatidha yang menggambarkan tentang zaman geblung atau zaman edan yang akan menimpa negeri ini.


           Pejuang sejati tak harus menghunus bambu runcing, ujung pena pun bisa. Berjuang dengan ujung pena justru lebih abadi. (329)


           Dengan ciri khususnya, yakni menuliskan kisah dengan model perjalanan/pengembaraan mencari ilmu, penulis dengan lihai akan membawa pembaca turut berkelana bersama sosok Ranggawarsita semenjak kecil dan remaja hingga menjadi seorang pujangga besar dari tanah Jawa. Nama kecil dari pujangga ini adalah Bagus Burhan, ia lahir pada Senin 15 Maret 1802 di kampung Yasadipuran Surakarta. Dalam novel sejarah yang sangat beraroma Jawa ini, sosok kecil Bagus Burhan digambarkan sebagai anak muda yang nekal dan gemar main sabung ayam. Namun, setelah ia dititipkan ke pesantren dan berguru kepada sejumlah besar kyai, wataknya yang kasar mulai berubah. Ilmu dan petuah yang meluncur dari bibir-bibir para guru telah memperhalus wataknya, mengasah budi pekertinya, sekaligus menambahkan khazanah keilmuwan yang luar biasa pada pemikirannya.


           Seorang pujangga adalah pejuang kebenaran. Sebagaimana orang-orang kudus yang hidup di masa silam. (halaman 342)

            Dalam pengembaraannya, pembaca juga akan disuguhi dengan beragam tema yang mungkin sedikit mengingatkan pada serial silat Saur Sepuh. Dari Panembahan Buminata, Bagus Burhan belajar ilmu kanuragan, termasuk ilmu meringankan tubuh yang dikenal dengan ajian sepi angin. Konon, ajian ini bisa dipelajari setelah seseorang puasa mutih alias tidak makan nasi selama 39 hari 39 malam, lalu dilanjurkan dengan puasa pati geni. Setiap tengah malam, ia juga harus membaca mantra ajian sepi angin berikut ini:

            Ingsung amatek ajiku si Sepi Angin, raganingsun pindah kapas, laku ingsung lumesat lir Bathara Bayu, Sepi Angin nyawiji ing jiwa-ragaku, karana Allah …, (hlm 172).

            Selain itu, dalam perjalanan besar ini diselipkan pula sedikit pengantar dari kitab Babad Tanah Jawi, yang mengisahkan keberadaan pulau jawa sebelum dihuni oleh manusia, serta sedikit cuplikan tentang perang akbar Baratha Yudha yang terjadi di Padang Kurusetra. Ada pula wejangan suratJangka Jayabaya, seorang peramal besar dari zaman kerajaan Kediri yang sedikit dituturkan dalam novel ini. Ialah yang meramalkan mesin-mesin modern yang kita jumpai saat ini:

            Kereta berjalan tanpa kuda (melambangkan kereta api/mobil)
            Tanah jawa berkalung besi (melambangkan rel kereta api)
            Perahu berjalan di udara (pesawat terbang)   (halaman 201)

            Dari buku ini, kita bisa mengetahui betapa nusantara juga memiliki tokoh penulis produktis seperti beliau. Selama masa hidupnya, Ranggawarsita telah menghasilkan tidak kurang dari 60 judul buku, antara lain dongeng, cerita, lakon wayang, babad silsilah, sastra, bahasa, kesusilaan, adat-istiadat, kebatinan, ilmu kasampurnan, falsafah, primbon, sampai ramalan. Sungguh luar biasa. Buku ini akan menjadi bahan referensi yang sangat menarik bagi para pemerhati bahasa dan kebudayaan Jawa. Namun, pembaca umum juga akan menemukan berbagai hal menarik tentang ramalan Ranggawarsita  yang tidak hanya berlaku pada tanah jawa saja, namun juga untuk seluruh Nusantara.

            Lalu, kapankah zaman edan atau zaman gemblung yang diisyaratkan oleh pujangga besar itu akan terjadi:

            “Bila zaman edan datang, banyak pemimpin akan berhati jahat, bicaranya ngawur, dan tiak bisa dipercaya. Banyak perempuan yang kehilangan rasa malu. Banyak perempuan yang kehilangan rasa malu. Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat. Banyak perampokan, pemerkosaan, dan pencurian. Alam pun akan ikut terpengaruh. Banyak terjadi gerhana matahari dan bulan. Gunung-gunung meletus, menurunkan banyak hujan abu di mana-mana. Gempa bumi, banjir, angin ribut, hujan badai, dan salah musim kerap terjadi.”

            Apakah sebagian dari tanda-tanda itu sudah terlihat?

 begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lan waspada 

           
            sebahagia-bahagianya orang yang lalai (kepada Tuhannya)
            lebih bahagia orang yang selalu ingat (kepada Tuhannya) dan waspada.


Read more »

Senin, 26 September 2011

Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada

Judul                : Di Mana Ada Cinta, di Sana Tuhan Ada
Pengarang        : Leo Tolstoy
Penerjemah      : AttaVerin
Penyunting        : Anton Kurnia
Pemeriksa aks  : Dian Pranasari
Cetakan           : 1, Februari 2011
Tebal                : 197 halaman
Penerbit            : Serambi ilmu semesta



            Mendengar kata “Rusia”, dua hal yang langsung muncul dalam pikiran kita adalah “salju” dan “komunis”. Dalam kitab klasik karya maestro sastra dunia ini, hanya kata pertama saja yang muncul. Sungguh sulit membayangkan, terutama bagi mereka yang awam akan sejarah negeri Rusia, bahwa ada sebuah kumpulan cerpen yang isinya begitu religius, begitu meneguhkan keimanan, dan begitu orthodoks yang ditulis  di luar tembok-tembok dinding Kremlin nan dingin itu. Namun, seorang Leo Tolstoy telah membuktikan bahwa iman dan cinta juga bisa lahir dari negeri bersalju yang lama didera ketidakepercayaan kepada Dzat yang Maha Tinggi. Inilah karya yang berhasil menjajarkan nama sang penulis dengan para penulis agung dunia

            Di Mana Ada Cinta, di Siana Tuhan Ada merupakan kumpulan cerita pendek karya Tolstoy yang mengusung tema iman kepada Tuhan. Walaupun dalam kisah-kisahnya ia banyak menggunakan unsur-unsur Katholik Orthodoks, namun sesungguhnya kisah-kisah tersebut begitu universal dan mampu meneguhkan iman orang-orang yang beragama. Kisah pertama, yang juga menjadi judul dari buku ini, mengisahkan tentang seorang tukang sepatu yang hampir saja kehilangan pengharapan kepada Tuhan ketika Tuhan mengambil anaknya. Puji Tuhan, si tukang sepatu masih diberi kesempatan untuk kembali ke jalan yang lurus, di mana ia berjanji untuk bertobat agar bisa bertemu dengan Tuhan. Ia lalu mendapat mimpi. Dalam mimpinya, si tukang sepatu disuruh meneggok keluar jendela esok hari jika ingin bertemu dengan-Nya. Dan, siapa sangka bahwa esoknya ia bertemu dengan orang-orang yang sedang kesusahan, kedinginan, dan tidak punya makanan. Belas kasih lah yang kemudian menuntun tangannya untuk menolong mereka. Lalu, apakah ia bertemu dengan Tuhan? Jawabannya ada dalam sebuah ayat dalam al-kitab: “Aku pernah menjadi seorang yang lapar dan kau memberiku daging; aku pernah kehausan dan kau memberiku minum; aku pernah menjadi seorang asing dan kau mengajakku masuk” .(hlm 31).

            Tolstoy begitu piawai dalam menggunakan alegori sederhana untuk mengangkat tema-tema yang begitu berat dan luar biasa. Cerita lain yang juga begitu menyentak pembaca adalah cerita Tiga Pertapa. Kisah ini begitu sederhana, namun mampu membuat pembaca terkagum-kagum dengan kehebatan sang penulis dalam mengkritik moralitas kita. Konon,  seorang uskup tengah mengunjungi pulau terpencil, di mana di situ tinggal 3 orang pertapa. Ketiga pertapa tua itu begitu mencintai Tuhannya, namun mereka tidak mengetahui bagaimana cara beribadah dan berdoa yang benar sesuai dengan ajaran Katholik. Sang uskup pun membimbing ketiganya tentang tata cara berdoa hingga mereka hafal. Ketika yakin ketiganya sudah hafal, sang uskup pamit dan kembali naik ke kapal. Namun, peristiwa yang kemudian dilihatnya begitu kapal itu berlayar di tengah lautan sangat membungkam kata.  Ketiga pertapa itu berlari di atas air seolah-olah berada di daratan. Ketiganya berlari menyeberangi lautan hanya untuk berkata bahwa mereka lupa dengan doa yang ia ajarkan.

            Sang uskup langsung tersadar, “ Doa kalian akan didengar Tuhan. Bukan aku yang harus mengajari kalian. Berdoalah untuk kami, para pendosa ini.” Dalam kepercayaan orang Rusia, hanya orang-orang suci yang dicintai Tuhanlah yang mampu berjalan di atas air. Inilah dia, kisah singkat namun begitu rupa mampu menusuk kebanggaan kita yang sering kali merasa lebih beriman dan lebih suci daripada orang lain. Dan, Tolstoy mampu menguraikannya melalui sebuah kisah yang luar biasa dahsyat. Kisah ini juga pernah menyulut sebuah kontroversi, terkait dengan cerpen karya Seno Gumira Ajid Dharma yang terpilih sebagai juara pertama cerpen Kompas  tahun 2010, karena kemiripan tema dan kisah.

            Masih ada 3 cerita luar biasa lagi dalam buku ini, yakni Tuhan Tahu tapi Menunggu, Majikan dan Pelayan. Serta Dua Lelaki Tua. Ketiga kisah tersebut akan mampu membawa pembaca ke Rusia di penghujung abad 19 dan awal abad 20, begitu bersalju dan begitu penuh dengan pengharapan kepada Tuhannya. Terlepas dari nilai-nilai orthodoksnya yang begitu kental, kisah-kisah ini mengusung tema yang begitu universal dan luar biasa mencerahkan, yang niscaya akan semakin memperbesar keimanan kita kepada Tuhan. Karena Tuhan memang selalu mencintai hamba-hamba yang mencintai-Nya.  
            
Read more »

Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)

Judul                : Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Penulis              : Yoshici Shimada
Kord. Penerj    : Mikihiro Moriyama
Penerjemah      : Indah S.Pratidina
Penyunting        : Tim Kansha
Tebal                : 245 hlm
Cetakan           : 1, April 2011
Penerbit            : Kansha Books


            Dari segelintir novel Jepang yang berhasil menarik penerbit Indonesia untuk menerbitkannya, Saga no Gabai Bachan ini adalah salah satu yang paling menarik. Tema yang ditawarkan adalah mengenai kemiskinan, sebuah tema yang mungkin sudah umum kita jumpai dalam ranah fiksi dalam negeri. Tapi, novel ini menawarkan kemiskinan dalam bentuk yang berbeda, miskin yang ceria kata nenek Osano. Novel ini sendiri merupakan memoar luar biasa dari penulis yang menghabiskan waktu SD dan SMPnya di kota Saga.
            Kisahnya dibuka dengan keadaan pilu paska dijatuhkannya bom atom di Jepang, di mana bangsa ini kemudian mengalami kebangkrutan dan kelesuan ekonomi yang luar biasa, keluarga Shimada adalah salah satu yang terkena dampaknya. Begitu miskinnya mereka, sehingga ibunya menitipkan Yoshici ke tempat neneknya di kota Saga, dalam gubuknya yang bahkan jauh lebih reyot dari rumahnya. Namun, siapa sangka, di rumah reyot inilah ia dididik oleh seorang nenek hebat yang akan mengajarkan berbagai permata kehidupan yang terserak dalam apa yang selam ini disebut sebagai kemiskinan.

            Ada dua jalan buat orang miskin.
Miskin  muram dan miskin ceria.
Kita ini miskin yang ceria.

Sosok nenek Osano mungkin merupakan tokoh sentral yang disorot dalam novel ini. Pandangannya yang polos dan jujur tentang kemiskinan berhasil mengobrak-abrik pemahaman pembaca tentang apa itu kemiskinan, bahwa kemiskinan tidak selalu identik dengan ketidakbahagiaan. Ketika kita selalu bahagia, maka miskin atau kaya adalah tipis bedanya. Dikisahkan, nenek Osano selalu menyeret sebuah magnet yang ditalikan pada pinggangnya setiap kali ia pergi ke pasar atau ke tempat bekerja. Nah, ingin tahu apa yang menjadi alasan nenek melakukan hal ini:

“Sungguh sayang kalau kita sekadar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya” (hlm 41)


Begitu kata nenek sambil memperlihatkan paku atau sampah logam lainnya. Oleh nenek, paku dan sampah logam ini akan dikumpulkan untuk kemudian dijual kembali. Sungguh, baru kali ini saya mendengar ada teknik berjalan pulang sambil mengumpulkan uang seperti ini. Ada satu lagi kebiasaan nenek yang membuat pembaca terhibur, nenek selalu mengapungkan sebatang galah dengan posisi menyilang sedemikian rupa sehingga kayu-kayu atau ranting yang hanyut bisa tersangkut dan terkumpul. Kayu dan ranting inilah yang oleh nenek Osano kemudian digunakan sebagai kayu bakar.

“Selain sungai jadi bersih, kita mendapatkan bahan bakar secara cuma-cuma. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. (43)

Selain kayu, di galah itu juga sering tersangkut sayur seperti lobak atau mentimun yang tidak laku dijual. di hulu, memang ada sebuah pasar dan sering kali pedagang sengaja membuang sayur yang jelek atau kurang laku di sungai. Sayuran ini kemudian hanyut dan tersangkut di galah nenek, ibaratnya bahan makanan segar mendatangi. Inilah yang membuat nenek Osano menjuluki sungai itu sebagai supermarket, Malah dengan pelayanan ekstra katanya, “belanjaan kita langsung di antar”.
Luar biasa, dalam kesederhanaannya, nenek hebat dari Saga ini telah mengajarkan kepada kita mengenai arti dari bersyukur dan bersikap ikhlas. Tidak ada orang yang ingin menjadi miskin, namun ketika keadaan memaksa demikian, maka manusia harus menerimanya dengan lapang dada sambil terus berupaya. Nenek Osano juga membuktikan kebenaran bahwa Tuhan Penguasa Alam senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang selalu bersyukur. Kiriman gratis dari sungai ibarat kiriman rahmat yang tak terkira. Memang, ketika kita senantiasa memandang segala sesuatunya secara positif, maka hidup akan terasa ringan dan menyenangkan.
Sebagai buku yang ditulis pada masa-masa kebangkitan ekonomi Jepang, buku ini memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana mental dan prinsip rakyat Jepang yang terkenal tekun itu. Meskipun telah dijatuhi bom atom hingga porak-poranda, rakyat Jepang tetap optimis dengan kehidupan mereka. Dari Nenek Osano, kita belajar banyak tentang cara menjalani kehidupan dengan ikhlas dan penuh rasa syukur. Empat bintang untuk buku tipis namun luar biasa mencerahkan ini. Berikut ini beberapa nasihat sekaligus prinsip dari sang nenek hebat dari saga:

Pelit itu payah, hemat itu jenius!

Kebaikan sejati dan tulus adalah kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan.

Berhentilah mengeluh “panas” atau “dingin”. Musim panas berutang budi pada musim dingin, demikian pula sebaliknya.


*Pantas jika buku ini telah terjual sebanyak 100.000 eksemplar di Jepang hanya  dalam waktu kurang dari satu tahun
Read more »

The Tombs of Atuan (Earthsea Cycle)

Judul                : The Tombs of Atuan (Earthsea Cycle)
Penulis              : Ursula K.Le Guin
Penerjemah      : Harisa P.
Penyunting        : Poppy D.C.
Cetakan           : 1, Desember 2010
Tebal                : 268 halaman
Penerbit            : Media Klasik Fantasy



            Embel-embel “Novel fantasy Terbaik Sepanjang Masa” dan backcover yang ditulis dengan sangat memikat sudah lebih dari cukup bagi saya yang maniak novel fantasi ini untuk segera melahap buku ini, yang sayangnya, tidak atau kurang menikmati membaca novel ini. Earthsea yang pertama kali ditulis pada tahun 1968 ini sendiri merupakan penggabungan antara The Lord of the Rings, Harry Potter, dan Eragon. Namun, karena HP dan Eragon baru terbit pada penghujung abad ke 20, maka karya klasik Ursula  K.Le Guin ini lebih cocok dikatakan sebagai “terinspirasi” oleh The Lord of the Rings-nya JRR. Tolkien.

            Keterangan peta di bagian depan, deskripsi yang panjang dan bertele-tele—yang kadang cukup membuat pembaca yang suka dengan alur cepat seperti saya menjadi geregetan—serta nasari model kilas balik yang padat, mengingatkan pembaca pada karya-karya Tolkien yang legendaris. Bedanya, kalau Tolkien mampu memadukan antara cerita epik dengan romantisme paragraf panjang, maka Earthsea bagian kedua ini benar-benar menguji kesabaran dari pembacanya.

            Kisahnya sendiri cukup simpel, yakni mengenai seorang wanita perawan penjaga makam Atuan yang keramat, bernama Arha. Seumur hidup, dia ditakdirkan untuk tinggal dan menjaga makam terpencil itu dari tangan para penyihir dan pencuri. Kisah Arha dan keseharian para pendeta wanita inilah yang menguasai paruh pertama dari novel ini. Narasi yang panjang, kisah-kisah mitos yang begitu lampau, bahasa dan struktur penceritaan yang bertele-tele sungguh memaksa pembaca bersabar. Namun, satu hal perlu diingat, novel ini ditulis pada tahun 1968, dan pada masa itu, bisa menulis novel fantasy sekelas Earthsea sudah menjadi sebuah prestasi yang luar biasa.

            Cerita mulai bergulir ketika Arha menangkap basah seorang penyihir muda yang hendak mencuri harta di kompleks makam Atuan. Tanpa disnagka, pertemuan keduanya mampu mengubah mindset yang selama ini dipercayai Arha, bahwa dia telah dikekang, bahwa dia tidak ingin selamanya menghabiskan hidup di makam terpencil. Dan, sang penyihir muda bernama Ged itulah yang akhirnya membebaskannya, secara mental maupun secara harfiah, dari kompleks makam kuno tersebut.

            Pembawaan Ged yang selalu membawa tongkat serta wajahnya yang terluka inilah yang kemudian diyakini turut menginspirasi JK Rowling dalam menciptakan tokoh Harry Potter yang termasyhur itu. Dan, walaupun penggemar fantasy masa kini kurang menyukai alurnya yang sangat lambat, namun buku ini memang sudah merupakan prestasi karena pernah menjadi bestseller. Untuk ukuran aksi dan pertempuran juga bisa dibilang kurang greget karena pembaca tidak akan menjumpai duel sihir ala Harry Potter. Namun demikian, nilai dari buku ini sendiri adalah pada unsur historis dan memorabilia. Bahwa si Ged lah yang kelak menginspirasi munculnya tokoh Harry Potter. Lebih dari itu, buku ini juga memuat aneka kalimat berbau filosofis yang akan memandu pembaca untuk memasuki alam pikiran para filsuf di dunia Earthsea. Sekali lagi, buku ini wajib dimiliki di rak buku para pecinta buku karena alam fantasinya yang luar biasa menginspirasi novel-novel fantasy di masa-masa berikutnya.  
Read more »

Celebrity Wedding

Celebrity Wedding
aliaZalea @2011
GPU - September 2011
328 hal.

Sebagai Junior Partner di salah satu kantor akuntan publik, waktu Inara nyaris tersita seluruhnya untuk pekerjaan. Bisa dibilang hampir tak ada waktu untuk bersosialisai (yeah.. I know… been there before, meskipun hanya magang dua bulan… hehehe…) Di suatu Jum’at sore, Inara sedang merapikan pekerjaan-pekerjaannya, bersiap untuk mengahadapi weekend yang tenang. Ia sudah janji untuk datang ke acara pesta ulang tahun keponakannya. Tapi… mendadak, Inara dipanggil ke sebuah meeting, bertemu dengan klien penting, yang tidak saja merubah semua rencananya di weekend ini – tapi andai Inara tahu – juga akan merubah masa depannya.

Revelino Darby, si klien penting itu. Secara khusus, atas rekomendasi yang sangat memuaskan, meminta Inara untuk memeriksa kondisi keuangan pribadi Revel dan perusahaan rekaman miliknya. Siapa tak kenal Revel? Ia adalah penyanyi papan atas Indonesia, digilai perempuan karena suaranya yang enak serta didukung oleh wajah dan fisik yang menunjang. Inara nyaris saja menolak proyek satu ini, karena banyaknya klien yang harus ia tangani. Tapi, ia pasrah karena senior partner di KAP itu menyetujui bahwa Inara lah yang akan menangani Revel.

Dan, hari-hari Inara berikutnya pun, selain berkutat dengan klien lain, juga dihabiskan di kediaman Revel yang merangkap studio rekaman. Yah, harus diakui oleh Inara, kalau Revel memang memiliki pesona yang ‘melumpuhkan’ kaum hawa.

Hari-hari yang tenang, tiba-tiba berubah dengan adanya gossip tak sedap. Luna, yang diketahui publik sebagai kekasih Revel, hamil. Tapi, Luna tak bersedia mengungkapkan jati diri ayah dari calon bayi itu. Tentu saja, tuduhan mengarah ke Revel. Dan Revel memilih bungkam, tidak memberi tanggapan apa pun tentang gossip itu. Tapi, ada harga yang harus dibayar Revel. Launching single terbarunya ditunda, tour ke beberapa kota di Indonesia terancam batal karena adanya penolakan dari pemda setempat. Revel harus mencari cara untuk mengembalikan image positif di mata masyarakat.

Dan satu-satunya cara itu adalah menikah…. Calon istri yang sempurna ‘saat itu’ adalah … Inara! Tanpa proses yang berbelit-belit, Inara menyetujui usul Revel. Inara yang selama ini terlalu banyak diatur oleh mama dan kakak-kakak perempuannya, merasa inilah waktu yang tepat untuk menunjukkan kalau ia juga punya sikap, dan ia yakin di mata mamanya, Revel adalah calon menantu yang sempurna.

Sandiwara dimainkan, kontrak ‘pernikahan’ selama setahun pun dibuat. Pelan-pelan Inara tampil mendampingi Revel di berbagai acara.

Nikah kontrak itu pun berjalan dengan mulus. Sesekali mereka bertengkar karena merasa privasinya terganggu. Terutama Inara, yang bersikap se-profesional mungkin, meski sesekali ia tak bisa membohongi perasaannya.

Harusnya yang mereka jalani adalah sebuah drama, pura-pura… tapi kenapa makin lama makin nyata…. Dan harusnya gak melibatkan perasaan… tapi, nyatanya, Revel pun setengah mati menahan diri setiap berhadapan dengan Inara – perempuan yang jauh berbeda dengan mantan-mantan pacarnya.

Tokoh-tokoh dalam buku ini gak banyak, jadi gak ribet. Fokus utama memang di Revel dan Inara. Bahkan, si Luna, yang berpotensi jadi tokoh antagonis, hanya ‘melintas’, dan gak terlalu ‘mengganggu’.

Kalau bicara ending… well, ketebak lah seperti apa. Dan bukan pertama kali gue membaca cerita tentang pernikahan pura-pura dengan ending yang sama. Tapi, buku ini malah membuat gue pengen membaca karya aliaZalea yang lain.
Read more »

Suddenly Supernatural, Kat Si Medium Penakut


Judul               : Suddenly Supernatural, Kat Si Medium Penakut

Penulis             : Elizabeth Cody Kimmel
Penerjemah      : Barokah Ruziati
Penyunting      : Pujia Pernami
Pewajah Isi      : Aniza
Cetakan           : 1, Juli 2011
Tebal               : 161 halaman
Penerbit           : Atria


           
           Pelajaran hari ini adalah tentang hantu dan arwah. Tahukah kalian bahwa ada hantu terbentuk dari bermacam-macam bentuk, mulai dari bola arwah (orb), kilasan pengalaman orang yang sudah meninggal namun masih tertinggal di suatu tempat di bumi, hingga roh seseorang yang begitu terpaut dengan bumi ini hingga roh itu tidak menyeberang ke alam sana. Setidaknya, penggambaran hantu menurut Cody Kimmel di atas memberikan pengertian hantu secara umum, yang sedikit membuat takut tapi juga membuat kita memahami sedikit tentang fenomena gaib yang satu ini. Ketika kita sudah mengetahui sedikit mengenai sesuatu, maka kita menjadi tidak terlalu takut lagi dengan hal itu. Sebagaimana nasihat mamanya Kat, bahwa “Hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.”

            Nasihat inilah yang mungkin menjadi inti pesan dari novel Suddenly Supernatural 2 ini. Melanjutkan kisah yang pertama, kita akan diajak menyelami kehidupan Kat, sang medium abg. Jika pembaca sempat menyimak dalam buku pertamanya Suddenly Supernatural, Arwah di Sekolah, Anda pasti sudah mengenal Kat, seorang remaja yang tiba-tiba memiliki kemampuan melihat hantu dan arwah  tepat ketika ia berusia 13 tahun. Kat adalah seorang medium—perantara antara dunia orang hidup dengan orang mati. Ibunya sendiri juga seorang medium. Seharusnya hal ini memang menakutkan, tapi di masa-masa remaja; hal-hal yang menakutkan seringkali adalah sebuah tantangan bagi jiwa-jiwa muda. Itulah hebatnya remaja, tanpa kebanyakan berpikir mereka langsung beraksi. Konsekuensinya sering kali buruk, tapi sesekali mengambil risiko di masa muda adalah tantangan. Dan tantangan itu baik. Duh jadi kepengen abg lage #eh hahaha.

            Tantangan yang harus dihadapi Kat saat ini adalah penampakan arwah anak laki-laki yang muncul di rumah tua di samping rumahnya. Tantangan lah yang membuat Kat memberanikan diri masuk ke rumah itu sendirinya, di mana dia menemukan sebuah mainan berbentuk mobil tank. Mengapa mobil tank? Nanti ada jawabannya di bagian belakang. Tidak seperti arwah-arwah lain yang berusaha menarik perhatian Kat, arwah anak kecil itu malah mengabaikan atau tidak bisa melihat Kat. Tidak cukup begitu, Kat juga diteror oleh arwah seorang lelaki tua yang pemarah. Di rumah tua itu, ia juga menemukan sebuah nama, Julius.

Kali ini, Kat harus menghadapi dua kasus sekaligus—dan yang ini agak rumit. Jika di buku pertama, Kat mendapat bantuan dari teman barunya , Jac; maka di buku kedua ini Kat mendapat bantuan dari seorang cowok misterius bernama Orin. Orin ternyata adalah seorang penyembuh, yang berarti dia juga terbiasa dengan hal-hal yang berbau supernatural.

            Dalam buku kedua ini, banyak pelajaran tentang spiritual timur yang kita dapatnya; seperti tentang cakra, orb atau bola arwah, dan fenomena orang yang sedang koma.

            “Cakra itu seperti pusaran energi kecil yang berputar-putar dalam tubuh kita. Kita memiliki tujuh cakra. Masing-masing mewakili hal yang berbeda. Dan ketika satu cakra tersumbat, energimu tidak dapat mengalir dengan baik ke dalam tubuhmu. Sama halnya seperti membuang sebatang pohon (atau sampah) ke sungai—ia akan menghambat alirannya. (hlm. 82)


            Kata Orin, cakra kelima Kat atau cakra tenggorokan sedang tersumbat, dan itulah sebabnya mengapa Kat bermasalah dengan kejujuran, dengan mengungkapkan unek-unek kepada orang lain. Dan, tebakan ini terbukti. Ketika Kat mau berbagi masalahnya kepada Jac, Orin, dan akhirnya kepada mamanya; maka jalan keluar pun mulai muncul. Entah bagaimana cara kerjanya, Alam Semesta seolah memang telah menyiapkan jalannya. Tidak ada yang namanya kebetulan, Alam Semesta sudah merencanakan semuanya. Orin ternyata memiliki kaitan dengan arwah (atau jiwa) dari anak laki-laki itu. Seuntai benang perak yang menghubungkan jiwa dengan raga sedang dipertaruhkan. Di sini, kita diajak melihat sejenak tentang apa itu koma.

            “Sebagian orang percaya bahwa koma hanyalah bentuk lain dari kesadaran. Dalam beberapa hal serupa dengan tidur, tapi dalam beberapa hal lain berbeda. … banyak orang percaya bahwa sukma meninggalkan raga saat kita sedang tidur dan berinteksi dengan orang lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Pada peristiwa ruh keluar dari tubuh, sukma meninggalkan raga dalam kondisi terjaga. (hlm 146)  Mungkin inilah yang disebut koma . Sounds familiar , ya?

            Akhirnya, Kat harus menghadapi ketakutan untuk menerima berkahnya. Dia harus mampu mengatasi ketakutan melihat hantu karena bagaimanapun melihat hantu adalah kelebihannya. Tanpa banyak berpikir, ia mencari di internet dan mendapatkan sebuah alamat rumah sakit, tempat di mana Kat mendapati segala sesuatunya mulai menjadi jelas. Dari sini, peran Orin dan penampakan anak lelaki di rumah tua itu menjadi semakin jelas. Dan entah bagaimana, Kat memiliki tanggung jawab untuk menyatukan seluruh benang merah yang ruwet dan saling melilit itu. Ini adalah tanggung jawabnya sebagai seorang medium. Kali ini, ia harus menolong anak laki-laki yang sedang koma itu.

Kutukan terkadang bisa menjadi sebuah berkah ketika seseorang mampu bersyukur dan berpikiran positif. Seperti itulah yang ditanamkan oleh Orin kepada Kat. Dan, ketika Kat bersama-sama dengan Orin dan Jac saling bekerja sama untuk membantu jiwa anak laki-laki itu, mereka menemukan sebuah kejutan dan hadiah manis dari mobil tank yang itu. Kat menemukan teman baru, sahabat baru, dan keberanian baru.

Read more »

Rabu, 21 September 2011

The Song Reader

The Song Reader (Sang Pembaca Lagu)
Lisa Tucker @2011
Pepi Smith (Terj.)
GPU - September 2011
424 hal.

Mary Beth memilik sebuah kemampuan yang unik. Kalau pembaca tarot, meramal lewat kartu atau garis tangan… ini sudah biasa. Tapi, ‘membaca lagu’, ini suatu hal yang tidak biasa. Lewat ‘playlist’ atau lagu-lagu yang ‘terngiang’ oleh klien-kliennya, Mary Beth bisa tahu atau setidaknya memberi saran atas apa yang harus dilakukan oleh para kliennya. Mary Beth membantu mereka mencari jalan keluar atas permasalahan yang mereka hadapi. Intinya, Mary Beth orang yang dianggap berjasa dalam kehidupan mereka dan sosok yang berbakat.

Mary Beth tinggal berdua dengan adiknya Leeann. Ibu mereka sudah meninggal dan ayah mereka pergi begitu saja, tanpa diketahui penyebabnya apa. Usia mereka berdua terpaut cukup jauh. Mary Beth mengambil alih tanggung jawab untuk mengurus Leeann, bekerja sebagai pramusaji. Dengan adanya profesi tambahan, memberi tambahan juga bagi kehidupan perekonomian mereka. Di mata adiknya, Mary Beth sosoknya tertutup, tak ada yang bisa menebak apa yang ia rasakan. Tapi, bagi Leeann, dia juga kakak yang sangat ia sayangi.

Rasa penasaran akan penyebab perginya sang ayah menjadi pertanyaan sendiri di benak Leeann. Mary Beth tidak pernah mau menjelaskan apa penyebabnya. Leeann pun mencari tahu sendiri jawaban itu, dan terkejut betapa banyak hal yang disembunyikan Mary Beth.

Sementara itu, seorang klien bernama Holly Kramer, membuat pusing Mary Beth. Dari lagu-lagu yang diberikan, tidak satupun yang bisa membantu Mary Beth mengungkapkan masalahnya. Klien yang satu ini berbeda dengan klien Mary Beth yang lain. Rapuh, tertekan dan tidak punya keberanian. Tapi saat Holly berani untuk bicara, malah menghancurkan tidak hanya ‘reputasi’ Mary Beth sebagai pembaca lagu, tapi juga kehidupan pribadi Mary Beth.

Mary Beth dianggap pembohong dan pengacau. Gosip-gosip beredar di kota kecil tempat mereka tinggal. Mary Beth pun mengurung diri di kamarnya, sementara Leeann berjuang untuk membangkitkan kembali semangat hidup kakaknya.

Ternyata novel ini gak sesuai ‘ekspektasi’ gue. Gue pikir bakal berbau-bau thriller gitu. Yang awalnya gue bayangin, Mary Beth ‘membaca’ lagu, terus ternyata lagu itu ‘menghantui’ dia. Novel ini lebih banyak ke drama-nya. Meskipun gue akui, ide pembaca lagu ini keren, karena sampai saat ini yang gue tau ya berkisar di tarot, peramal kartu atau garis tangan, atau pake bola kristal.... Gue berharap ada misteri yang ‘mencekam’… Dan, soal pembacaan lagunya pun gak terlalu banyak diceritain.

Rasanya lebih ke persoalan Leeann yang gak terima kalo Mary Beth menyembunyikan banyak hal – terutama tentang ayahnya.
Read more »

Senin, 19 September 2011

Coffee at Little Angels



Kabar kecelakaan tragis yang menimpa Philip, seorang sahabat masa kecil pada suatu pagi menggemparkan tujuh orang sahabat yang ditinggalkannya. Mereka adalah Sarah, Maxine,Melanie, Caleb, Grant, Kaitlyn, dan Josh. Mereka bertujuh yang diantaranya  berada di luar kota dan menjalani kehidupan dewasanya masing-masing, akhirnya dipanggil kembali untuk reuni bersama. Tapi kali ini reuni bersama mereka bukanlah bertujuan melepas rindu karena berjauhan selepas SMA, tapi lebih pada melepas kepergian sahabat mereka selama-lamanya pada sebuah upacara pemakaman di kota kelahiran mereka .

Diantara mereka bertujuh,Sarah, kekasih Philip lah yang paling terpukul dengan adanya berita kematian ini. Ia tak pernah menyangka bahwa Philip, laki-laki terdekat dalam hidupnya itu, telah pergi  dari kehidupannya hingga membuatnya merasa ditinggalkan seorang diri. Ia sangat syok dan hanya mampu mengenang saat-saat kebersamaannya dengan Philip sampai upacara pemakaman dilaksanakan.

Disamping itu,enam sahabat lainnya, masing-masing memiliki tanggapan yang berbeda-beda begitu mengetahui kematian Philip yang tiba-tiba itu. Ada yang menanggapinya dengan terkejut, biasa saja, dan hampir tak peduli jika saja tidak mengingat persahabatan yang mereka bangun semasa kecil. Apapun tanggapan masing-masing, mau tidak mau mereka harus berkumpul bersama,melepas kepergian Philip atas dasar persahabatan, meskipun arus mengalahkan ego dan kepentingan yang menghalangi mereka di kehidupan nyata.

Sejujurnya Coffe at Little Angels ini  tergolong novel yang cukup unik dengan menawarkan konflik batin yang tak biasa. Konflik seputar delapan orang sahabat dan bagaimana kerelaan sahabat yang ditinggalkan ketika dihadapkan kematian sahabatnya sendiri. Di mulai dengan detik-detik peristiwa kecelakan tragis yang menimpa Philip hingga kemudian kisah tujuh sahabat lainnya dalam menyikapi kematian berikut keputusan mereka untuk bisa berkumpul bersama-sama lagi di hari pemakaman Philip, sahabat mereka sendiri.

Sepanjang alur cerita  berlangsung itu pun, ternyata Nadine tidak lupa meramunya melalui sudut pandang yang juga sama tak biasanya. Delapan orang. Bayangkan delapan, bukan satu ataupun dua! delapan pandangan dari delapan karakter sahabat membuat novel ini terasa istimewa sekaligus menyulitkan. Kenapa? karena disamping sisi istimewa dimana kita dapat mengetahui kejadian,alasan, maupun pandangan hidup masing-masing karakter hingga membuat kisahnya menjadi jelas, kita  juga akan disulitkan jika hendak berhenti membaca novel ini untuk sementara waktu.  Setiap chapter novel ini bukan tertulis dengan angka ataupun judul masing-masing chapter, tapi nama-nama tiap karakter berikut sudut pandangnya yang beganti-ganti selama delapan kali hingga akhirnya kita akan kebingungan sendiri kalau hendak mulai lagi membaca karena harus mengingat sudut pandang siapa yang terakhir kita baca.huh!

Tapi terlepas dari itu semua, aku suka konsep ceritanya yang ternyata diambil dari kisah nyata Nadine, sang pengarang sendiri. Ia pernah kehilangan sahabat SMA nya  dan mencoba menggali kisah dari peristiwa itu hingga melahirkan novel ini. Memang, kalau dibaca, novel ini terasa kentara sekali konflik emosional setiap karakternya karena jelas sekali penulis berusaha keras memberi poin lebih dari unsur psikologinya. Meskipun begitu, aku tak menampik kalau hal ini sempat membuatku berhenti membaca di pertengahan novel ini karena aku merasa capek mungkin karena tak terbiasa dengan konflik-konflik mendalam seperti ini.

Kalau ditanya kekurangannya lebih pada plotnya yang terkesan datar-datar saja. Padahal seperti kukatakan sebelumnya, konsepnya bagus tapi pengolahan plotnya kurang sehingga bisa dibilang cenderung membosankan. Tapi, yah,aku tetap berusaha menamatkan novel ini karena rasa penasaran juga di akhir-akhir chapter.Oh well..


“Loving Sarah was like reading a particularly good book. That pressing and overwhelming need to just devour it as fast as possible is matched only by the need to savour it slowly and completely, lest all come to an end too soon. The all-consuming emotions are so many and varied that it is almost impossible to pick out one for a few minutes attention. They mainly stay jumbled and unattended, and for the most part not entirely understood or satisfied. But then, maybe it is in the understanding of our love for someone that the love itself disappears altogether. If so, then I don't want to understand, and I remain content to simply experience her. Somehow, the more I learn about Sarah, the better I understand myself.
And the more I fall in love.”


(Philip) ohhhhhhh..yaaa..ini karakter favoritku lho!! :D:D

Special thanks to : Nadine Rose larter yang mengirimiku soft copy novel perdananya ini bulan Juli lalu (maaf baru sekarang bisa di baca) 


ps: Kalau kamu tertarik baca novel ini kamu bisa memesan e-book via online disini atau menunggu versi cetaknya keluar.hehe Selamat membaca.

=================

Judul : Coffee at Little Angels
Penulis : Nadine Rose Larter
Penerbit: The Katalina Playroom
Terbit : @2011
ISBN :
Tebal : 188 hal

=================
Read more »