Rabu, 29 Februari 2012

Mitologi Jawa

Judul                : Mitologi Jawa*
Penulis              : Drs. Budiono Herusatoto
Penyunting        : Kojek Rachmatullah
Setting              : Ian Faisal A
Cover               : Sri Retno Susanti
Cetakan           : 1, 2012
Tebal                : xiv + 152 halaman
Penerbit            : Oncor Semesta Ilmu


  * Dimuat di Harian Jogja edisi Kamis 1 Maret 2012

Orang Jawa sejak dulu terkenal sebagai salah satu suku bangsa di Nusantara yang telah menghasilkan peradaban dan kebudayaan adi luhung. Tradisi ini merupakan perpaduan dari beragam unsur kebudayaan, mulai dari unsur dinamisme-animisme nenek moyang, unsur-unsur agama Hindu dan Buddha serta bentuk-bentuk pengejawantahan syariat Islam dalam bentuknya yang teralkulturasi. Ke semua elemen ini berpadu melalui akulturasi selama ribuan tahun sehingga menghasilkan kebudayaan yang bercorak kaya akan mitos, memiliki beragam wewaler (peringatan untuk kebajikan) dan pandangan/ajaran terselubung, serta diwarnai oleh upaya untuk menyelaraskan diri dengan alam, mulai dari bangun tidur hingga matahari tenggelam.
            Karena kompleksitas dan keformalannya—terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemusatan kekuasaan (dalam hal ini kraton)—kebudayaan Jawa bisa dianggap sebagai salah satu kebudayaan tua yang telah mengalami lapis-lapis perkembangan di setiap kurun masa. Tepat pada tanggal 1 bulan Srawana tahun 1 Saka ( atau sekitar tanggal 7 Maret 78 Masehi), peradaban adi luhung ini beranjak meninggalkan zaman prasejarah menuju dimulainya reformasi kebudayaan. Peristiwa ini ditandai dengan penulisan 20 aksara Jawa: ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga yang konon diciptakan oleh Empu Sengkala, pemimpin rombongan pertama brahmana bangsa Hindu/India. Rombongan inilah yang kemudian bermukim di Tanah Jawa hingga hampir satu abad lamanya, seraya meletakkan dasar-dasar dari sebuah kebudayaan  yang sangat unik di masa depan serta mungkin bisa disebut sebagai “orang Jawa yang pertama”.
            Zaman orang jawa pertama ini disebut juga zaman mitos, karena baik kebenaran maupun catatan historiografisnya masih samar-samar dan sulit untuk ditelusuri. Catatan paling kuno tentang masa-masa awal peradaban Jawa masih berupa pengetahuan lisan, dan baru dituliskan pada zaman Prabu Jayabaya, Raja Kediri (1130-1160 Masehi) dalam Kitab Tantu Panggelaran. Dalam babad awal inilah muncul legenda Aji Saka, raja pertama yang menurut mitos orang Jawa adalah gelar bagi Empu Sengkala, karena tokoh inilah yang mendorong ditetapkannya hari, bukan, dan tahun pertama sebagai tonggak pertama (saka) dari munculnya kebudayaan Jawa. Dari era awal ini pula, sudah mulai muncul ilmu pengetahuan asli Jawa purba, yang kemudian membedakan Jawa dari India, yakni pranata mangsa (ilmu tentang musim) dan pawukon atau Kawruh Ilmu Perbintangan (astrologi) Jawa sebagai pengetahuan turun-temurun yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara kehidupan dengan kehendak Tuhan  (halaman 35).
            Selain menguraikan mengenai sejarah dan asal-usul kebudayaan Jawa, buku Mitologi Jawa juga membahas tentang beragam mitos, wewaler (peringatan), nasihat tersamar, dan prinsip-prinsip hidup orang Jawa yang masih banyak dianut oleh suku bangsa ini. Aneka pantangan yang selama ini mungkin dipandang orang modern sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dan merepotkan, ternyata sebenarnya memiliki pesan atau nasihat yang tersamar. Pantangan agar jangan duduk di depan pintu, jangan keluar pada waktu maghrib, jangan bepergian di hari Sabtu paing, jangan melempar sampah ke jendela, jangan membuang kutu rambut yang sudah berhasil ditangkap, semua itu ternyata mengisyaratkan petuah agar manusia tidak menyia-nyiakan waktu serta harus mampu bertindak secara efektif dan efisien. Anjuran agar tidak membiarkan jendhela menga (jendela dalam keadaan terbuka) di senja atau malam hari, misalnya, bertujuan untuk menghalau angin malam yang tidak baik untuk kesehatan  serta menghindarkan dari orang-orang yang bermaksud jahat.  Ora ilok, mbuwang tumo (pamali kalau membuang kutu rambut) juga sebenarnya bertujuan agar kutu itu tidak menular ke  kepala orang lain.
            Bahkan, dalam mitos yang dari luar tampak begitu di luar nalar dan logika pun ternyata memiliki butir-butir kebenaran. Anak sukerta dan golongan penganyam-anyam  (orang yang melakukan tindakan kurang etis) yang konon harus diruwat dengan mengadakan pertunjukan wayang semalam suntuk dengan lakon Murwa Kala agar tidak dimangsa oleh Batara Kala adalah salah satu mitos yang masih banyak dipertahankan oleh orang Jawa di beberapa daerah. Kisah-mitos ini sebenarnya mengandung nasihat atau pelajaran etika budi pekerti sebagai pembinaan mental dan spiritual. Misalnya saja, salah satu yang termasuk anak sukerta adalah ontang-anting (anak tunggal laki-laki). Anak ini harus diruwat (atau dalam hal ini dirawat dan dibimbing dengan sebaik-baiknya) agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya, baik secara fisik maupun mental. Jika dilihat dari sisi rasional, anak tunggal bisa tumbuh sebagai anak yang manja jika tidak dirawat dengan baik (dan karena itu bisa menghancurkan orang tuanya atau diibaratkan “dimakan Batara Kala”). Bisa juga karena anak tunggal adalah pewaris satu-satunya yang diharapkan akan meneruskan kejayaan orang tua sehingga harus dirawat dengan baik-baik.
            Selain penjelasan mengenai daftar anak atau orang yang harus diruwat, diuraikan pula tentang beragam mitos dan legenda yang selama ini dekat dengan keseharian masyarakat Jawa. Asal-Usul Kali Opak, mitos Ratu Laut Selatan, legenda Lorojongrang, hingga kisah hantu lampor yang konon merupakan penggawal Nyai Roro Kidul yang hendak menuju ke Gunung Merapi, semuanya diuraikan sesuai pandangan umum orang Jawa, sehingga baik mereka yang sudah paham maupun orang di luar Jawa akan menemukan versi yang lebih lengkap dari legenda-legenda urban di tanah Jawa itu. Alasan mengapa terjadi gerhana matahari dan gerhana bulan, yang bagi orang Jawa dikisahkan secara unik sebagai perbuatan kepala seorang buto (raksasa jahat) yang menelan Bulan dan Matahari.
Inilah uniknya orang Jawa. Peristiwa-peristiwa alam yang terlalu rumit untuk dijelaskan dipaparkan melalui cerita sederhana yang sekaligus berisi berbagai petuah dan larangan. Kisah ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi, menghasilkan pemahaman dan kemantapan karakter serta watak yang kemudian mengental dalam pribadi unik dan khas. Buku ini akan mengajak Anda untuk menyelami sebuah akulturasi antar-elemen kebudayaan yang bertanggung jawab dalam berdirinya salah satu kebudayaan paling unik, paling lestari, dan paling kaya akan wacana di Nusantara: Kebudayaan Jawa. 
Read more »

Wishful Wednesday [1]

Ada 'mainan' baru nih di blog, namanya Wishful Wednesday. Ikutan blog hop-nya Astrid. Yah, mengkhayal boleh lah, kali-kali ada yang membaca #kode yang ada di sini. Hehehe...

Ini aturan mainnya:
1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Nah, untuk yang pertama, adalah buku-bukunya Haruki Murakami tapi yang covernya terbitan Vintage.



Pertama gue membaca buku Murakami, Kafka on Shore, gue rada gak ngerti dengan jalan cerita yang 'ajaib' itu. Ditambah isinya yang lumayan vulgar. Tapi, saat gue membaca kumpulan cerita 'Birthday Stories', tiba-tiba gue jadi penasaran dengan karya-karya beliau yang lain. Ditambah lagi, cover terbitan Vintage yang unik. Gak banyak warna, paling hitam, putih, abu-abu, atau kadang plus warna merah.

Sejauh ini, yang tambahan baru di koleksi Haruki Murakami gue adalah Dance.. Dance.. Dance... Semoga kesampaian untuk nambah dengan buku yang lain.
Read more »

Selasa, 28 Februari 2012

Rumah di Seribu Ombak

Rumah di Seribu Ombak
Erwin Arnada
Gagas Media - Cet. I, 2011
388 hal.
(Gramedia Plasa Semanggi)

“Allah memberkati kita dengan keberanian. Rasa takut adalah hal yang kita ciptakan sendiri. Perasaan apa yang nanti menguasai kita adalah pilihan kita sendiri…”
(hal. 197)


Bicara tentang Bali, pastinya gak pernah lepas dari yang namanya pantai. Gak afdol, kalo ke Bali, gak main-main di pantai, meskipun hanya sebentar.

Gak terkecuali buku ini. Berkisah tentang persahabatan antara Samihi dan Wayan Manik – atau yang akrab dipanggil Yanik. Semua bermula ketika Yanik menyelamatkan Samihi dari keroyokan anak-anak yang ingin mencuri sepedanya. Sejak itulah, di mana ada Samihi, hampir selalu ada Yanik.

Yang membuat persahabatan mereka jadi unik, adalah latar belakang yang berbeda. Samihi beragama Islam dan Yanik beragama Hindu. Mereka berdua tinggal di Desa Kalidukuh, Singaraja. Daerah ini memang terkenal dengan penduduknya yang mayoritas Muslim. Dua kelompok penduduk dengan keyakinan yang berbeda ini hidup berdampingan dengan rukun.

Samihi mempunyai trauma takut dengan air. Gara-gara kakaknya yang meninggal karena tenggelam di laut. Sementara Yanik, adalah anak pantai sejati. Pantai Lovina yang terkenal dengan lumba-lumbanya itu adalah tempat Yanik menghabiskan waktunya. Tempat bergantung untuk mencari nafkah sekaligus berselancar. Yanik lah yang berperan besar dalam membentuk Samihi menjadi anak yang lebih tangguh dan percaya diri.



Sayangnya persahabatan mereka harus ‘terhenti’, sebuah luka lama terkoyak. Yanik ternyata menyimpan cerita sedih. Awalnya cerita ini adalah sebuah rahasia. Yanik berbagi dengan Samihi, yang sudah berjanji untuk tidak menceritakan kembali pada siapa pun. Tapi, demi menyelamatkan sahabatnya itu, justru Samihi harus ‘membongkar’ rahasia itu pada polisi adat. Sejak saat itu, persabahatan mereka mulai renggang.

Cerita dalam buku ini sederhana, tapi makna tidak sesederhana itu. Di tengah kondisi Indonesia yang kadang beda dikit bentrok, ada ormas-ormas yang merasa lebih baik dari pihak lain, dikit-dikit ribut, bentrok. Aduh.. bikin suasana jadi gak tenang. Baca buku ini, rasanya jadi ademmmm… judulnya udah ‘indah’, terkesan romantis (hahaha.. banyak yang kecele dengan judulnya nih), covernya juga teduh… cara penuturannya juga tenang banget. Tapi, endingnya.. huhuhuhu…. Sedih sekali…

Ditulis oleh Erwin Arnada, mantan pemred majalah yang bikin heboh itu. Novel ini sendiri hasil karya selama mendekam di LP Cipinang dan akan segera beredar film-nya.
Read more »

Travelicious Lombok

Judul                 : Travelicious Lombok
Traveler            : Lalu Abdul Fatah
Penyunting        : Ikhdah Henny
Sampul              : Primaditya
Penerbit            : B-First
Cetakan            : 1, Februari 2011


            Pulau Lombok, sebuah pulau yang berada sekitar 4 jam naik Feri dari pulau Bali ini bisa diibaratkan sebagai surga tropis yang banyak diabadikan dalam film-film. Seluruh perangkat dan kualitas dari sebuah pulau tropis bermandikan cahaya matahari bisa ditemukan di pulau nan menawan ini: pasir putih, hutan menghijau, puncak Gunung Rinjani, pantai alami yang membentang luas, penduduk pulau yang ramah, air laut yang biru, serta—tentu saja—bule-bule yang bersliweran. Selain itu, Lombok juga menawarkan atraksi lain, yakni atraksi budaya masyarakat asli Sasak yang berbaur dengan baragam suka bangsa di negeri ini. Satu fakta unik yang menyambut pembaca saat membuka buku kecil nan eksotik ini adalah bahwa kata “Lombok” dalam pulau Lombok bukan berarti “cabe”. Lombok dalam bahasa Sasak berarti “lurus”. Fakta lain adalah di pulau ini pula ditemukan salinan asli dari kitab Negarakertagama peninggalan kerajaan Majapahit yang ditulis pada tahun 1365.

            Buku Travelicious Lombok adalah semacam buku petualangan-perjalanan wisata alabackpacker yang dilakukan sendiri oleh sang penulis. Kata backpacker yang selalu berkaitan dengan “menggembel tapi seru” dan “tarif hemat” benar-benar dibuktikan sendiri oleh si penulis yang konon hanya menghabiskan dana Rp 700.000 dari Surabaya – Lombok selama sekitar 7-8 hari. Keren bukan? Satu hal yang perlu saya tekankan dalam ulasan buku ini adalah bahwa saya tidak akan begitu menyanjung pulau nan indah ini sekiranya saya belum melihatnya sendiri. Ragam petualangan wisata yang diuraikan oleh penulis dalam buku ini mengingatkan kembali saya pada tahun 2008, ketika saya diberi kesempatan untuk mengunjungi pulau nan benar-benar indah ini. Dan, percayalah, pulau Lombok benar-benar luar biasa.

            Satu hal yang langsung menyambut wisatawan begitu menapakkan kaki di pulau ini adalah masjid dan pura yang berdiri berdampingan. Fenomena ini lebih tampak jelas di kota Mataram, yang membuktikan kuatnya toleransi antar umat beragama di sana. Sebagaimana Fatah, saya tidak melewatkan mengunjungi Taman Mayura di Cakranegara, sejenis taman pemandian istana yang memiliki tiga pura utama di gerbang masuk serta sebuah bangunan terapung berbentuk seperti pendapa atau paviliun di tengah-tengah kolam air nan cantik. Kalau tidak keliru, pengunjung diharuskan untuk memakai sejenis selendang yang diikatkan dipinggul untuk bisa memasuki kawasan ini. Kalau tidak salah juga, di kompleks Taman Mayura ini terdapat sebuah mata air yang hanya akan mengalirkan airnya satahun sekali (atau kalau tidak salah begitu). Luar biasa bukan kecanggihan nenek moyang kita dalam membangun sistem pengairan?

Lihat pasir putihnyaaaa

            Dan, ikon paling tak terlupakan dari Lombok, apalagi kalau bukan pantai Sengigi dan ketiga gili (pulau kecil)nya. Melintasi jalanan di pinggir pantai, kita ibarat berada di film-film Barat. Sejauh mata memandang adalah deratan pantai berpasir putih yang luar biasa bersih (dan sepi). Airnya terlihat begitu biru dengan pasir yang begitu halus dan bersih. Perjalanan dilanjutkan ke Gili Trawangan, salah satu dari tiga gili yang ada di lepas pantai Lombok, tepatnya di Pelabuhan Bangsal. Saya lupa bayar berapa tapi minimal harus ada sekian penumpang agar sebuah perahu boat bisa menyeberang ke Gili Trawangan. Saat di atas perahu, kita bisa menyentuh permukaan air yang benar-benar terlihat biru, begitu tenang, dan menyejukkan mata yang memandang. Dari kejauhan, tampak pulau Lombok yang terlihat hijau dengan Gunung Rinjani yang puncaknya selalu diselumuti awan atau mendung. Tidak hanya sampai di situ, ketika kapal merapat ke Gili Trawangan, kita serasa tidak sedang berada di Indonesia, tapi di sebuah pulau di antah berantah. Benar-benar pengalaman yang luar biasa bisa menapakkan kaki di  tempat ini.

            Gili Trawangan adalah sebuah pulau kecil yang dipenuhi dengan resor, hotel, penginapan, bioskop mini, warnet, dan tentu saja diskotik. Tampaknya, pulau ini lebih banyak dihuni oleh bule ketimbang pribumi. Pantai di lingkar pulau ini adalah pasir putih dengan batu-batu koral nan berlimpah, bahkan dari pinggir pantai kita bisa melihat terumbu karang karena airnya yang luar biasa bening dengan ombak yang tenang, di pulau ini, sebagaimana kata si penulis, tidak diperkenankan adanya mobil atau motor. Alat transportasi satu-satunya adalah cidomo (sejenis andong tapi dengan roda mobil bekas) dan sepeda. Mengelilingi pulau kecil ini dengan sepeda adalah kegiatan yang tidak boleh dilewatkan, bener sekali kata Fatah. Dalam waktu kurang selih satu jam, kita bisa menyewa sepeda sebesar rp 10.000 dan mengitari pulau ini. Kebetulan, jalan memutar itu berada persis di sepanjang garis pantai sehingga acara bersepeda ini dihiasi oleh pemandangan pantai pasir putih dan lautan nan biru. Lebih serunya lagi, banyak spot-spot sepi (terutama di sisi utara pulau) yang membuat kita serasa berada di pulau terpencil.

Lihat airnya itu jernih bangettsss

            Hal lain yang mengejutkan adalah kehidupan malam di Gili Trawangan. Bule-bule yang berpesta semalam suntuk, suara jedag jedug disko, hingga obrolan larut malam mewarnai senja hari pulau ini. Menjadikannya benar-benar surga tropis bagi wisatawan macanegara. Bahkan di siang haripun, banyak bule yang bersliweran dengan busana minim, memperlihatkan keindahan fisik mereka (geleng-geleng sambil nelan ludah hahaha). Uniknya, tidur di Gili Trawangan di malam hari, suara ombak itu terdengar dengan sangat jelas. Luar biasa memang pulau ini. Jika Anda ingin menyelam, pergilah ke Gili Air yang menawarkan spot-spot penyelaman yang luar biasa indah dengan air sebening kristal (hehehe tanya saja sama si penulis karena saya kebetulan tidak ke Gili Air). Selain ke Gili Trawangan, masih ada banyak objek wisata lain yang tersebar di pulau ini, seperti misalnya pusat kerajinan gerabah di Banyumulek, Masbagik Timur. Kalau tidak salah ada gerabah khas bernama kendi apa gitu yang ajaib. Kendi itu diisinya secara terbalik tapi airnya tidak tumpah, pokoknya susah deh jelasinnya kecuali lihat dan beli sendiri. Sayangnya, waktu penjelajahan saya ke Lombok hanya dua hari *iri sama si Fatah yang bisa 8 hari*. Masih ada banyak objek wisata ciamik yang belum saya kunjungi, dan Fatah benar-benar beruntung karena bisa mengunjungi dan menguraikan begitu banyak tempat-tempat indah dalam buku mungil ini. 

            Gimana, apakah pemaparan saya di atas sudah cukup meracuni Anda sekalian untuk mengunjungi Lombok? Jika iya, maka buku kecil karya Fatah ini sangat layak untuk dijadikan acuan. Berbeda dengan perjalanan wisata saya yang cuma numpang nebeng dan numpang kantor, Lalu Abdul Fatah menjalani traveling ke penjuru Lombok dengan  perencanaan yang matang dan dokumentasi teliti. Di dalam buku ini ada daftar restoran murah, nomor telepon penting, spot-spot wisata yang kudu dikunjungi, hotel atau wisma yang nyaman dan murah serta berbagai info penting lain yang sayang untuk Anda lewatkan. Fatah menuliskannya dengan gaya bahasanya sendiri, apa adanya dan khas anak muda. Inilah yang menjadikan Travelicious Lombok sebagai racun yang luar biasa menyengat pembaca untuk segera mengunjungi pulau nan indah nian ini. Saya saja kepengen ke sana lagi! Jika Anda berniat untuk travelling menyusuri pulau Lombok, pastikan buku mungil namun lengkap ini ada dalam tas Anda. Selamat berlibur.


        Terima kasih, Fatah karena telah memberi tahu kami tentang sebuah surga tropis yang sungguh sayang untuk dilwetkan. Mari berwisata ke Lombok, karena katanya kita boleh numpang di tempetnya Fatah :)) hehehe

Read more »

Cinta Sang Penjaga Telaga

Judul                : Cinta Sang Penjaga Telaga
Pengarang        : Azzura Dayana
Penyunting        : Yusuf Maulana
Pemeriksa aks   : Deden A. Herdiyansyah
Sampul dan isi   : Tim Semesta
Tebal                : 355 halaman
Cetakan            : pertama, 2009
Penerbit            : Semesta (Kelompok Pro-U Media)



                Hidup terkadang sejatinya begitu sederhana, hanya manusia saja  yang memperumitnya dengan aneka pernak-pernik asesoris kehidupan yang sesungguhnya tidak terlalu bermaslahat ke ranah abadi yang transedental. Makna kehidupan yang sebenarnya sering kali baru bisa ditemukan dalam upaya memperjuangkan kehidupan itu sendiri. Ketika masalah menghimpit, halangan terus menghadang langkah, dan musuh bertebaran tak sabar membuka aib; ketika itulah manusia baru menyadari betapa tidak berharganya kesombongan diri. Sungguhpun ketika jalan kehidupan itu begitu pekatnya, masih ada matahari yang bersembunyi di balik awan, seolah tengah menguji sang pecinta untuk menerima sinarnya yang melimpah ruah di balik mendung kelam. Perjuangan hidup seperti inilah yang dialami oleh seorang gadis desa bernama Ita Anissa.

                Perjalanan nasib telah mengarahkan gadis lugu ini untuk menjadi sosok yang lebih baik dalam menyongsong masa depan. Takdir yang berkelindan memaksanya menelan pil pahit kekecewaan ketika pria yang ia nantikan sebagai sang terpilih ternyata telah terpaut dengan bidadari yang lain. Kurangnya pendidikan serta pengalaman, kemudian menjadikan Ita sosok yang labil, menjauhi orang lain, dan terlalu pasrah. Untung pertolongan Allah datang melalui sosok-sosok penuh kebaikan, dari tangan para tetangga Ita sendiri. Malaikat itu mewujud  dalam diri Pak Lutfi dan keluarganya, yang memutuskan untuk membantu biaya kuliah Ita. Keluarga baik itu ingin Ita mengubah masa depannya dengan terlebih dulu mengubah pola pikirnya. Ita sempat ragu jika dirinya masih bisa berubah menjadi lebih baik, tapi para malaikat itu menguatkan batinnya:

                 Kau bahkan bisa mengubah dunia, kalau kau mau. Tetapi yang pertama yang harus kau lakukan adalah mengubah dirimu sendiri terlebih dahulu. Setelah itu rencanakanlah apa yang harus kau raih. Orang kadang  tidak sadar bahwa ia memiliki sesuatu.” (halaman 50).

                Namun, manisnya pencapaian tidak akan terasa tanpa pahitnya perjuangan. Segera, Ita harus menghadapi tempaan berat untuk menjalani perubahan besarnya. Sebuah tempaan yang tidak hanya memukul keras, tapi juga mencabik nurani bahkan dapat mematahkan ketegaran jiwa. Kedua malaikat penolong itu pergi terlalu cepat, mungkin Tuhan merindukan jiwa-jiwa baik itu. Praktis, Ita harus membiayai sendiri kuliahnya yang baru berjalan satu semester hingga ia lulus kelak. Tidak sampai di situ, kerabat Pak Lutfi yang culas tidak rela dengan uang kuliah yang telah dibayarkan untuk pendaftaran Ita, ia menagihnya sebagai utang walaupun Ita tahu bahwa Pak Lutfi dulu memberikannya sebagai hibah. Tak mau menyusahkan keluarga yang sudah begitu baik itu, Ita bertekad untuk membiayai kuliahnya sendirian.

            Yup, tempaan masa-masa awal kuliah dan buku-buku motivasi yang dibacanya, teman-teman kampus yang sikapnya positif, semuanya itu memberikan Ita sebuah pandangan baru tentang kehidupan. Segala kesusahan dan perjuangan yang ditempuh Ita, cobaan yang mendera dari mulai tetangga hingga kerabat Pak Lutfi yang culas, hingga rasa sakit yang timbul pada kakinya akibat proses perjuangan yang begitu berat; semua itu mengajarkan kepada Ita Annisa tentang arti penting dari sebuah proses. 

“Kita harus menyukai semangat dan kerja keras. Karena nanti, di masa depan, kalau kita sudah terbiasa bekerja keras, maka kita akan menjadi orang yang berhasil, dan semua mahkluk yang ada di Bumi ini akan bangga kepada kalian.” (halaman 219).

                Luar biasa ketegaran seorang Ita Anissa. Di saat mahasiswa-mahasiswi lain sibuk menghabiskan sela-sela waktu kuliah untuk berorganisasi atau bergaul dari satu mal ke mal yang lain, Ita harus bekerja serabutan demi membayar uang kuliah, membayar utang, dan menghidupi dirinya sendiri. Seolah itu belum cukup berat, Ita mengambil seorang anak asuh yang ia rawat dan ia ajak tinggal di kosnya nan sempit. Segala tempaan dan cobaan datang silih berganti, namun Ita tetap teguh memegang prinsipnya untuk mandiri dan tidak merepotkan orang lain. Tanpa dinyana, segala kesulitan itu telah mengikis benih-benih kemalasan dalam dirinya, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri, membuat dirinya memantapkan hati untuk mengenakan hijab suci pemancar cahaya hati.

                Terbukti, Allah takkan pernah membiarkan hamba-Nya berjuang sendirian. Malaikat itu datang dalam rupa dan wujud silih berganti: Adha, Fadli, Pak Wildan, dan bahkan Alfian—sosok pujaannya dulu. Namun, cobaan menuju keindahan mimpi yang mewujud nyata memang berat. Ita harus mengalami sakit, pelecehan, kerja keras, kepiluan, hingga kegetiran hati. Begitu berat ujian itu hingga kadang pembacapun merasakan kepedihan yang mendera Ita. Perjalanan kehidupan dan teman-teman baru telah menguatkan Ita menjadi sosok gadis berkulit legam (karena terpaan sinar mentari yang setia menemani kerja kerasnya), namun berjiwa perak yang berkilauan. Pada akhirnya, semua mimpi menyatu dan saling bertaut, menghasilkan keindahan yang seolah hanya pantas dijumpai di alam mimpi. Tapi, engkau memang berhak mendapatkannya Ita.

                Secara umum, Cinta Sang Penjaga Telaga mengajarkan pembaca tentang pentingnya kerja keras dan ketekunan. Novel ini juga hendak mendobrak belenggu pada diri-diri yang menolak perubahan, seperti Ita versi lama. Dikisahkan dengan gaya bahasa yang mengalir dan diksi pilihan, novel ini cocok sebagai novel pengembangan diri bagi para remaja agar bisa menjadi lebih baik lagi. Sedikit catatan perlu diberikan pada alur dan struktur ceritanya yang, terus terang, agak kurang fokus. Beberapa bab agak melenceng terlalu jauh, terlalu berbeda, hingga kadang mengingatkan pembaca pada sebuah novel-diari. Pengalaman Ita dituliskan lebih mirip sebagai curahan hati yang kemudian dipoles dalam bentuk novel dan diberikan unsur dramatisasi. 

            Sayangnya, cetakannya yang kurang jelas cukup mengganggu kenikmatan membaca novel bagus ini. entah kenapa, tinta cetaknya kurang hitam sehingga agak membuat pedih di mata. Ganjalan lain adalah kurang adilnya penulis dalam memperlakukan tokoh utamanya, terutama di bagian akhir cerita: porsi kemalangan Ita tampaknya jauh lebih banyak daripada porsi kemudahannya. Dari awal hingga akhir, Ita didera oleh aneka ujian dan cobaan yang bertubi-tubi, yang menjadikan novel perjuangan ini agak terasa kelam. novel perjuangan dan motivasi memang mensyaratkan adanya perjuangan keras dalam kehidupan sang tokoh, namun penyampaiannya sebaiknya dituturkan sedemikian rupa agar pembaca bisa “terhibur” (maksudnya menikmati perjuangan sang tokoh) sekaligus mendapatkan hikmah.

            Maksud saya begini, setelah cobaan yang mendera Ita, hasil yang didapatkan Ita di penghujung kisah terasa kurang imbang dengan porsi perjuangan banting tulang yang ia lakukan. Seolah ada sesuatu yang hilang. Seolah-olah penulis dipaksa untuk segera menyelesaikan novel yang sebenarnya sudah dibangun dengan baik secara perlahan-lahan dari depan. Dengan kata lain, novel ini seharusnya bisa lebih tebal lagi.

Namun, kekurangan di atas berhasil tertutupi oleh kepiawaian sang penulis dalam menguraikan perjuangan Ita yang entah bagaimana terasa sangat realistis. Lebih dari itu, pembaca juga akan terpesona mengikuti untaian kisah perjuangan Ita yang begitu menyentuh hati, menjadikannya pengingat akan potensi diri dan besarnya cinta Ilahi.

                “Allah begitu mencintaiku. Dan aku yakin cinta-Nya jauh lebih besar daripada usahaku untuk mencintai-Nya.” (halaman 276).

Read more »

Iklan Pembunuhan

Judul    : Iklan Pembunuhan (A Murder is Announced)
Penulis  : Agatha Christie
Alih bahasa: Joyce K. Isa
Tebal    : 363 halaman
Cetakan: Kedua, 2002
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Sebuah iklan aneh muncul di koran di desa kecil, memberitakan tentang akan adanya pembunuhan pada Jum’at 29 Oktober jam setengah tujuh petang di Little Paddocks, sebuah kediaman bersahaja di sebuah desa kecil. Tentu saja berita aneh ini menggemparkan penduduk Chipping Cleghorn, sebuah pedesaan kecil di pelosok Inggris yang warganya saling mengenal. Sang nyonya rumah, Letitia Blacklock pun kelabakan dengan adanya iklan yang nggak wajar ini. Siapa coba orangnya yang mau rumahnya menjadi TKP dari sebuah pembunuhan keji yang akan terjadi beberapa hari ke depan?

            Letitia Blacklock juga sama bingungnya dengan warga lainnya, namun ia menganggap iklan tersebut sebatas angin lalu, dan malah mempersiapkan sebuah jamuan makan malam pada jam dan tanggal itu. Ternyata, banyak warga desa yang tertarik dengan iklan tersebut, mereka datang ke kediaman Little Paddocks untuk membuktikan kebenaran iklan aneh tersebut. Masing-masing tamu tampaknya hanya mengarang-ngarang alasan untuk bisa datang, tapi sebenarnya mereka ingin tahu siapa yang terbunuh. Ketika jam menunjukkan pukul 06.30 petang, lampu tiba-tiba padam dan muncul seorang pria yang membawa lentera menyilaukan. Kemudian terdengar bunyi tembakan dan seluruh tamu di Little Paddocks pun panik. Setelah lampu menyala kembali, ternyata yang terbunuh adalah si pria pembawa senjata itu sendiri, Rudi Scherz, seorang resepsionis di spa lokal yang baru beberapa hari yang lalu meminta uang kepada Letitia. Nyonya rumah sendiri mengalami luka di telinganya akibat terserempet peluru.

            Dari sini, kasus kemudian ditangani oleh Inspektur Craddock yang kemudian menyelidiki keluarga yang tinggal atau berkaitan dengan kediaman Little Paddocks. Keluarga yang tampaknya bersahaja itupun ternyata diketahui memiliki banyak masalah dan masa lalu yang beragam. Beragam intrik dan kelit dari masa lalu keluarga ini semakin menambah rumit penyelidikan, terutama dengan datangnya lebih banyak anggota keluarga yang lain dari Eropa Timur. Craddock pun meminta bantuan kepada Miss Jane Marple, seorang wanita tua yang memiliki analisis yang tajam, dia juga sering diminta bantuannya oleh polisi dalam mengungkap banyak kasus.

            Dengan bantuan Mitzi, tukang masak Nyonya Letitia yang merupakan pelarian dari Eropa Timur, Miss Marple kemudian membuat sebuah perencanaan yang luar biasa cerdik untuk menjebak di pembunuh yang sebenarnya, namun hal ini juga sangat berbahaya. Tiga orang telah terbunuh oleh pembunuh yang sama, Rudi yang ternyata adalah orang yang sengaja disewa oleh sang pembunuh untuk datang ke Little Paddock, Dora Bunner (Bunny) teman terdekat Letitia yang memiliki analisis tajam namun mulutnya kadang suka  “ember bocor” dan dapat membahayakan, serta Miss Murgatroyd yang juag dibunuh karena telah menduga terlalu banyak.

            Jebakan Miss Marple berhasil. Polisi dan seluruh berkumpul bersama di Little Craddock ketika sang pembunuh beraksi kembali. Mereka berlari ke dapur dan menjumpai sang pembunuh sedang berusaha menenggelamkan Mitzi dalam bak cuci. Akhirnya, dari sang pembunuh dapat diketahui bagaimana iklan pembunuhan itu dapat terjadi. Urutannya begini, pada Jum’at, 29 Oktober jam setengah tujuh petang, si pembunuh mengundang Rudi ke Little Paddock. Rudi disuruh menyalakan senter/lentera dari sebuah pintu tersembunyi sementara si pembunuh akan sengaja memutuskan aliran listrik dengan menyiramkan air dari vas bunga ke kabel lampu yang konsleting. Dia kemudian  menyelinap di pintu rahasia dan menembak Rudi dari belakang. Kemudian, si pembunuh sengaja melukai telinganya dengan gunting hingga berdarah, dan kembali bergabung dengan para tamu di ruang tengah. Nah, spoiler kan itu wahahahahaha ….
           
            Iklan Pembunuhan adalah novel Agatha Christie pertama yang saya baca, dan setelah itu saya langsung suka dengan buku-buku beliau. Analisis Miss Marple yang tajam, menjadikannya sebagai tokoh sentral di beberapa novel misteri karya penulis yang satu ini. Saya terutama sangat suka dengan penggambaran wilayah pedesaan Inggris yang dituliskan dengan luar biasa deskriptif oleh sang penulis. Orang-orangnya, lingkungan kehidupannya, intrik-intrik yang berlaku; pelan tapi pasti dunia penyelidikan Miss Marple tanpa sengaja telah menyeret saya untuk menikmati setting novel yang sangat Inggris dan sangat Eropa. Di tambah dengan aneka intrik dan misteri pembunuhan yang diceritakan dengan alur maju, membuat pembacaan karya-karya Agatha Christie begitu khas dan tak terlupakan.

4 bintang karena inilah novel detektif pertama yang saya baca, bahkan sebelum Sherlock Holmes.  Sekarang, ada yang bisa dititipin beli And Then There were None nggak?



Read more »

Murder on the Orient Express


Murder on the Orient Express
(Pembunuhan di Orient Express)
Agatha Christie @ 1920
GPU – Cet, VIII, Juli 2007

Hercule Poirot, si detektif bertubuh mungil, berkepala bulat telur dengan kumis melintang dan sangat apik, menolak orang yang meminta pertolongannya, hanya gara-gara dia gak suka sama wajah si orang itu. Dan, malamnya, orang itu ditemukan tewas.

Hercule Poirot sedang dalam perjalanan kembali ke London menggunakan kereta api Orient Express. Seperti biasa, Poirot mengamati semua penumpang yang ada di kereta itu. Ia menilai karakter masing-masing orang dari pengamatan sekilasnya itu.

Orang yang meminta pertolongannya bernama Ratchett, seorang pengusaha asal Amerika. Kematian Rachett cukup menimbulkan kegemparan di kereta itu. Apalagi saat itu, kereta Orient Express terjebak dalam badai salju dan tak bisa jalan.

Untung di dalam kereta itu ada Poirot dan seorang dokter bernama Dokter Constantine yang membantu menyelidiki dan menganalisa kejadia mengerikan di kereta itu. Dari hasil analisa, kemungkinan pelakunya kidal, tapi koq ada juga yang diperkirakan pakai tangan kanan. Direktur kereta api, berpendapat, bisa jadi pelakunya perempuan yang sangat marah, yang katanya kalo lagi emosi, jadi sangat bertenaga.

Satu per satu penumpang dipanggil untuk diwawancara – di antaranya pelayan dan sekretaris Rachett, seorang perempuan bernama Mrs. Hubbard yang selalu menyebut-nyebut ‘Putri saya’ dalam setiap percakapannya, pasangan ningrat asal Hongaria – Count dan Countess Andrenyi, bangsawan asal Rusia – Putri Dragomiroff yang katanya berwajah seperti kodok beserta pelayannya, Hildegarde Schmidt, seorang guru asal Inggris, Mary Debenham, yang dicurigai karena percakapannya dengan Kolonel Arbuthnot dan orang Italia bernama Antonio Foscarelli.

Dengan rapi, Poirot menyusun hasil wawancara, mencocokkan alibi mereka dengan perkiraan waktu kejadian, mengamati sikap mereka yang luput dari pemeriksa yang lain. Sekecil apa pun itu, Poirot bisa menemukan fakta yang tersembunyi, yang cukup mengejutkan.

Setelah sekian lama, akhirnya baca Agatha Christie lagi. Perkenalan pertama dengan tante Agatha ini dari buku papa yang judulnya ‘Tirai’. Terus, sempet koleksi deh, ehhh.. dipinjem.. gak balik. Akhirnya, malah ada beberapa yang dikasih ke sodara-sodara. Favorit gue adalah 10 Anak Negro. Bikin merinding. Satu hari, gue sekeluarga lagi liburan di Puncak, nginep di villa gitu deh. Nah, pas malemnya ada film akhir pekan, setting-nya di pedesaan di Indonesia, ceritanya mirip dengan cerita 10 Anak Negro ini. Gue langsung merinding, karena setting di film itu sama dengan tempat gue waktu itu. Sepi, terus tokoh penjaga villa yang misterius, yang kalo di awal pasti jadi tertuduh utama. Hiiii….

Gue lebih suka cerita yang tokohnya Hercule Poirot dibanding Miss Marple. Mungkin karena sosoknya yang lucu itu, caranya menyelidiki dan menganalisa kasus dengan ‘sel-sel kelabu’nya itu.

Tapi, gue rada gak ‘puas’ nih dengan ending cerita di buku Murder on the Orient Express. Seperti biasa sih, pembunuhnya orang yang tampak baik, gak disangka-sangka, tapi di buku ini, kenapa nyaris semua penumpang ada hubungannya dengan si korban. Ini yang bikin gue jadi rada gak puas. Semua ternyata punya kedok, dan yang pasti emang punya potensi untuk jadi pembunuh.

Read more »

Senin, 27 Februari 2012

Playing "God"


PLAYING "GOD"


[No. 287 ]
Judul : Playing "God"
Penulis : Rully Roesli
Penerbit : Qanita
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : 198 hlm

My Rating 4,5 of  5

Apa jadinya kalau kita diharuskan membuat sebuah keputusan yang berakibat langsung pada hidup dan mati seseorang?  Tentunya  ini bukan hal yang mudah, bisa saja keputusan yang kita ambil itu salah sehingga hal ini akan terus menghantui kehidupan kita. Hal ini pula yang dialami oleh dr. Rully Roesli, seorang dokter ahli ginjal yang bekerja di Rumah Sakit Khusus ginjal (RSKG) H.A.A. Habibie – Bandung, setiap minggu ia bersama staffnya harus memilih pasien mana yang berhak mendapat jatah pengobatan gratis.

“Setiap Jumat, aku dan para staff rapat untuk menetukan pasien mana yang akan mendapat pembebasan biaya cuci darah. Seperti gladiator di Roma, kami menentukan hidup dan mati pasien. Yang paling banyak mendapat suaralah yang akan mendapat bantuan. Bila tidak? Dia mungkin akan meninggal karena kehabisan biaya pengobatan” 

Bagi dr. Rully Roesli apa yang dilakukannya bersama para staffnya itu disebut dengan Playing "God” sebuah tindakan yang membuat dirinya bertindak seolah “Tuhan”. Hal ini pula yang menjadi pergulatan batin dan kegelisahannya selama ia menjadi dokter, semuanya itu ia tuangkan dalam buku yang ia beri judul “Playing God”. Sebuah pilihan judul yang cerdas yang pastinya membuat penasaran pembacanya.

Buku Playing "God" yang ditulis sendiri oleh dokter Roesli dengan gaya personal ini berisi 21 kisah pengalaman dirinya ketika ia berpraktek sebagai dokter. Ke 21 kisah kontempelatif ini dibagi dalam lima topik utama. Topik pertama adalah Playing “God” saat seseorang membuat keputusan penting yang bisa mempengaruhi kehidupan orang lain. Kedua Playing “God”, ketika seseorang membuat keputusan penting yang bisa mempengaruhi kehidupan dirinya sendiri. Ketiga, Playing “God”, saat Tuhan telah mengambil kembali hak prerogatif seseorang untuk mengambil keputusan penting yang bisa mempengaruhi kehidupan orang lain atau dirinya sendiri. Keempat, Playing “God”, saat kita diajak mengenal sosok seorang dokter, dan terakhir, Playing “God” saat kita menghadapi akhir kehidupan.

Buku ini menyuguhkan banyak kisah yang menarik, karena ditulis oleh seorang dokter maka istilah-istilah medis kedokteran menjadi tak terhindarkan, namun jangan khawatir semua istilah itu akan dijelaskan dalam kalimat-kalimat sederhana yang mudah dimengerti oleh siapapun sehingga memperkaya wawasan kita dalam hal medis.

Salah satunya adalah tentang Euthanasia yang berarti membiarkan seorang pasien meninggal dengan sengaja dimana tindakan ini diambil pada pasien yang tidak memiliki harapan hidup. Di buku ini dikemukakan secara rinci definisi beserta kasus-kasus yang terjadi termasuk euthenesia di Indonesia.

Namun selain Euthenesia ternyata ada pula yang disebut Euthanasicon, pengertiannya hampir sama namun yang membedakan adalah penyebab utamanya bukanlah beratnya penyakit melainkan situasi keluarga dan ekonomi.  Jika demikian sebenarnya jenis euthenesia jenis inilah yang mungkin paling banyak terjadi di Indonesia

“Sebenarnya, banyak sekali praktik euthanasicon di Indonesia. Berapa ribu pasien yang dibawa pulang paksa dari rumah sakit, karena kekurangan biaya? Berapa ribu pasien, yang seharusnya dioperasi jantung tidak melakukannya karena kekurangan dana? Berapa ribu pasien penderita kanker yang tidak mendapat pengobatan gara-gara tidak ada biaya…  Banyak sekali pasien yang mengalami etuhanasicon! “(hal 59)

Melihat keadaan ini dokter Rully mencoba mengaitkannya dengan potensi Zakat yang seharusnya bisa dimaksimalkan pengumpulannya agar dapat membantu pasien-pasien penyakit kritis agar tidak terjadi lagi praktek euthanasicon.

“Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia. Asian Development Bank (ADB) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) membuat kajian bahwa potensi pengumpulan zakat di Indonesia dapat mencapai 217 triliun. Kenyataan dana zakat yang terkumpul pada 2007 adalah Rp. 850 milyar!

Indonesia telah memiliki  UU No. 17 Tahun 2000 tentang pengelolaan zakat. Namun faktanya belum mampu mengubah kesadaran masyarakat mampu untuk berzakat.  Berbeda dengan Malaysia . Meski sama sekali belum memiliki UU yang mangatur masalah zakat, mereka telah mampu menfaatkan zakat sebagai sumber kesejahteraan masyarakat”(hal 630)

Dari beberapa tulisan yang ada dalam buku ini terlihat memang penulis memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi. Tingginya kedudukan yang ia peroleh dan keahliannya dalam bidang medis tak membuat ia sombong,  penulis bahkan pernah  membantu pasiennya yang kurang beruntung untuk mendapat pengobatan gratis walaupun untuk  itu ia harus melakukan kebohongan-kebohongan kecil yang mungkin saja bisa mengancam reputasinya sebagai seorang dokter jika sampai ketahuan.  

Dari seluruh kisah yang ditulisnya, penulis juga banyak menyelipkan nilai-nilai religi dalam tiap kisahnya. Pengetahuan medis tak membuat ia lupa akan kemahakuasaan Tuhan sebagai sang penyembuh. Dalam kisah berjudul “Apakah Keajaiban itu Ada” terlihat bahwa penulis mempercayai ada kekuatan adikodrati yang berperan dalam proses kesembuhan si pasien yang pernah ia alami saat menangani pasien kanker hati yang sembuh karena doa dari ibunya. 

Masih di bagian  ini pula penulis menambahkan bukti ilmiah atas kekuatan doa berupa hasil survey yang dilakukan oleh British Medical Journal tahun 2001 yang meneliti 3.393 pasien dengan infeksi aliran darah yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama diberi obat ditambah intervensi doa dan kelompok kedua diberi obat tanpa intervensi doa. Hasilnya kelompok pertama mengalami lama demam yang lebih singkat dan tingkat kematian yang lebih rendah dibanding kelomok pertama.

Selain itu ada juga kisah tentang orang-orang yang berhasil bertahan berkat uluran tangan Tuhan. Mereka adalah orang-orang sakit yang bertekad untuk bertahan walau tanpa bantuan siapapun. Atau ada pula disinggung kisah orang-orang terkenal yang walau dalam tubuh sakitnya dia tetap berprestasi dan mengabdi pada bangsanya. Hal ini tentunya mengajarkan sekaligus membekali kita untuk tidak menyerah dan memiliki semangat untuk sembuh yang tinggi saat kita didera penyakit kronis

Selain soal medis, perenungan, dan nilai-nial religi buku ini juga menghadirkan sosok dokter sebagai manusia biasa, di bagian ini akan terlihat bagaimana sebenarnya seorang dokter mengalami keterbatasan. Dokter juga merasakan kekuatiran dan kebingungan yang sama seperti kita ketika kita atau orang yang kita sayangi menderita sakit yang parah. Hal ini  terungkap dalam salah satu kisahnya ketika penulis berusaha menyembuhkan adik kandungnya sendiri, seniman mbeling Harry Roesli, dimana ia tampak begitu kecewa karena sebagai dokter  ia tak mampu menyembuhkan adiknya sendiri. Bab ini terlihat sangat personal dan menjadi kisah yang paling panjang dari seluruh kisah yang ada.

Dengan semua kisah-kisahnya yang inspiratif pada intinya, saya setuju dengan endorsment dari DR. Aam Amiruddin, M.SI yang mengatakan buku ini adalah buku yang 

 "Sangat inspiratif yang dibingkai dalam logika ilmiah yang mudah dicerna dan dipupuk dengan nilai-nilai spiritual, dan dihiasi kearifan penulis yang tajam"

Tak ada kritik untuk buku ini, bagi saya pribadi kisah-kisah dalam buku ini menyadarkan akan banyak hal yang mungkin selama ini tidak terpikirkan oleh kita bahwa banyak orang, lembaga, bahkan mungkin diri kita sendiri ternyata kerap melakukan atau menjadi korban Playing “God”

Pengalaman penulis dalam melakukan Playing “God” bukan tak mungkin sering juga kita lakukan dalam skala dan jenis yang berbeda-beda.  Seperti yang dialami oleh penulis, bisa saja suatu saat kita harus melakukan Playing “God”, karenanya kalaupun kita harus melakukannya marilah kita ber-Playing "God" dengan dasar kasih-NYA sehingga apapun yang kita putuskan itu dapat membawa pengaruh yang positif baik untuk orang lain maupun untuk diri kita sendiri. 

Mungkinkah? Tak ada yang tak mungkin selama kita meminta pertolongan dari TUHAN sang pemberi dan pengendali kehidupan yang sesungguhnya.

Tentang Penulis

Rully Marsis Amirullah Roesli, atau di dunia medis dikenal dengan nama Prof. DR. dr. Rully MA Roesli, Sp-PD-KGH , 64thn  adalah dokter ahli ginjal yang suka menulis. Beliau adalah cucu dari Marah Roesli (alm), sastrawan penulis buku Siti Nurbaya. dokter Rully juga kakak kandung Harry Roesli (alm), musisi mbeling terkenal.

Dokter Rully menempuh pendidikan kedokterannya di Universitas Padjajaran Bandung. Setelah lulus ia melanjutkan spesialisasi pendidikan ilmu penyakit dalam di FK Unpad. Setelah itu mendapat pelatihan untuk menjadi konsultan (ahli) ginjal & Hipertensi di Gronigen Belanda, (1986-1987) dan Universitas Klinik Essen, Jerman (1988). Pendidikan S-3 ditempuhnya di Universitas Antwerpen, Belgia (1992-1996) Dokter Rully juga  menyandang gelar Guru Besar (profesor) dalam bidang kedokteran sejak 2006. Sampai saat ini dokter Rully masih tercatat sebagai staf pengajar di FK Unpad dari RS Hasan Sadikin - Bandung.
 
Selain menulis buku Playing "God", dokter Rully juga menulis buku ini :


Gangguan Ginjal Akut (untuk kalangan kedokteran). Kabarnya, edisi ke-2 buku ini telah terbit Sekarang baru terbit,  dicetak oleh PT Trubus dan diedarkan oleh Agung Seta (distributor buku buku kedokteran








  

(28/02/2012)


@htanzil

Read more »

Selasa, 21 Februari 2012

Featured on CHIC


wahhh.. surprise ... surprise... waktu di-mention sama CHIC di twitter

Hah??!! Benar-benar sebuah 'kebanggaan' buat gue berhasil masuk ke dalam rubrik Blog Review di majalah CHIC


Bagi gue ini adalah sebuah 'tanggung jawab'. Artinya, gue harus lebih rajin isi blog gue ini, harus lebih banyak belajar untuk mereview buku dengan lebih baik lagi.

Dan seperti kata @balonbiru, gak boleh gak PD lagi :)

Saat majalah CHIC itu udah di tangan, gue gak berhenti bolak-balik ngeliat bagian Blog Review :D Hehehe...

Terima kasih buat CHIC.
Read more »

Senin, 20 Februari 2012

Three Weddings and Jane Austen

Three Weddings and Jane Austen
Prima Santika
GPU – Januari 2012
464 hal.
(via bookoopedia.com)

Adalah Om Tan yang membuat gue memutuskan untuk membeli dan membaca buku ini. Gara-gara posting-an covernya di twitter, lalu gue baca sinopsisnya dan ternyata.. mmm.. menarik…

Ibu Sri – ibu dari 3 orang anak perempuan – penggemar berat Jane Austen. Masa remajanya memang dihabiskan di Inggris sana, jadi gak heran jadi beliau familiar dengan Jane Austen. Bahkan nama-nama anak perempuannya diambil dari tokoh-tokoh di novel Jane Austen – Emma dari Emma Woodhouse di novel ‘Emma’, Meri dari Marianne Dashwood di novel ‘Sense and Sensibility’, dan yang terkecil, Lisa dari Elizabeht Bennet di novel ‘Pride and Prejudice’.

Ketiganya bisa dibilang dalam usia yang cukup matang untuk menikah. Tapi sayangnya, tampaknya urusan percintaan ini jadi masalah yang rumit untuk ketiga gadis itu. Ibu Sri sebenarnya cukup khawatir. Maklumlah, namanya juga ibu-ibu. Permasalahan yang dihadapi ketiga anak perempuannya berbeda satu sama lain, tapi Ibu Sri selalu punya jawaban yang masuk akal dan semua itu didapatnya dari novel-novel Jane Austen.

Emma, Meri dan Lisa, sebenarnya rada ‘anti’ dengan novel klasik. Karena bahasanya yang susah dan kadang tokoh-tokohnya menurut mereka terlalu ‘dangkal’. Tapi, Ibu Sri dengan sabar selalu menjelaskan dengan perlahan, hingga akhirnya mereka bisa menerima penjelasan Ibu Sri. Jadi, meskipun belum membaca buku-buku Jane Austen itu, mereka bertiga lumayan hafal dengan isi ceritanya.

Yang membuat novel ini unik, selain cover-nya itu, ya karena cara ‘pendekatannya’. Kalo masalah cinta sih, udah sering kan dibaca di mana-mana, tapi latar belakangnya yang bikin menarik. Kalo gue jadi anaknya bu Sri, pasti gue bilang, “Please deh, Ma.. no more Jane Austen, deh… “ Hehehe… tapi, anak-anak Ibu Sri ini emang baik-baik… semuanya sama sabarnya dengan Ibunya.

Di buku ini, gak ada tokoh antagonis. Ini buku yang sangat ‘sopan’. Bahkan para cowok-cowoknya juga baik-baik. Ibu Sri dan anak-anaknya bergantian bercerita. Hingga kita tahu, apa permasalahan mereka masing-masing. Tapi nih… Mas Prima ini beberapa kali ketuker antara Mas Dian dan Mas Deni :D

Dulu gue sering banget beli novel ‘metropop’, sekarang udah jarang, kecuali dari beberapa penulis. Karena jujur, gue sering merasa rada ‘terganggu’ dengan terlalu banyaknya kalimat berbahasa Inggris yang bersliweran. Meskipun lebay nih, gue sering berpikir, “Gue baca novel Indonesia atau Inggris sih?” Nah, membaca novel ini, bagi gue terasa lebih ‘membumi’. Mungkin karena latar belakang keluarga Jawa yang ‘kental’, para tokohnya juga sopan-sopan, masih memegang teguh adat ketimuran. Meskipun ada kalimat-kalimat berbahasa Inggris, tapi sebagian besar itu dari kutipan-kutipan buku Jane Austen. Kalo pun mereka berdialog dengan bahasa Inggris, itu tak terlalu banyak dan gak berlebihan.

Dan selesai membaca buku ini, yang ada di pikiran gue, “Segera cari novel-novel Jane Austen.”
Read more »

Twivortiare


Twivortiare
Ika Natassa @ 2011
Self published via nulisbuku.com
288 hal.
(via nulisbuku.com)

Penasaran dengan ending Divortiare? Sebaiknya buruan baca buku ini. Gimana sih ‘nasib’ Beno dan Alexandra selanjutnya.

Lewat tweet-nya, Alexandra Rhea menceritakan kehidupan setelah menikah kembali dengan Beno. Mulai dari mesra-mesranya mereka berdua kembali, cerita-cerita saat mereka masih pacaran, terus kenapa sampai akhirnya mereka bisa memutuskan untuk menikah kembali, plus pertengakaran mereka yang juga bolak-balik terjadi. Gak ketinggalan gossip-gosip barena Wina, sahabatnya Alexandra.

Awalnya, gue asyik-asyik aja baca buku ini. Karena ya alas an di atas, pengen tau aja gimana Beno dan Alexandra selanjutnya. Tapi, rada ke belakang, gue jadi agak-agak ‘terganggu’, atau bosan kali ya, baca tweet-nya Alexandra yang manis-manis sama Beno, mesra berdua di Amrik sana… eh, tiba-tiba ada tweet yang rada ‘kasar’ atau ‘memaki-maki’ Beno. Yah… mulai berantem lagi, mulai ribut lagi. Alex ngambek dan ‘kabur’ ke rumah mereka di Kebagusan… Beno nyusul.. baikan lagi…. Gak lama.. berantem lagi… Aduh… cape’ deh bacanya…

Yang menarik adalah bagian di mana mereka berdua saling menguatkan saat Alexandra belum juga hamil. Gak ada yang saling menyalahkan, tapi saling memberi semangat, meskipun dua-duanya sama-sama down.

Tapi… bagian akhirlah yang berhasil ‘menyentuh’ gue. Tweet tentang surat dari Beno bikin gue terharu.. hu..hu.. hu… Biar deh, si Alex harus tau tuh, jangan marah-marah terus, jangan asal nuduh terus… biar dia sadar, how much Beno loves her… :D

Banyak yang jatuh cinta sama Beno.. si dokter yang cool tapi protektif banget sama Alex. Cemburu berat kalo Alex dideketin sama cowok lain, tapi tetap lempeng saat Alex marah-marah karena Beno diem aja dipegang-pegang sama dokter cantik kolegaknya di rumah sakit.

Tapi, Beno tetap cinta sama Alex, meskipun hanya bisa masak scramble egg tiap pagi plus nasi goreng nugget. Atau Alex yang bisa ketawa dan senyam-senyum dengan ke-geek-annya Beno.

Terus gue mikir nih… koq lama-lama seperti ‘too much information’. Twitter emang bisa dibilang sarana curhat, update status… tapi kalo baca timeline-nya Alexandra – menurut gue – terlalu ‘pribadi’ untuk diumbar ke publik. Emang sih, dipasang ‘gembok’, jadi gak semua orang bisa liat timeline-nya, kalo gak diapprove sama beliau ini. Sampai-sampai gue berpikir, apa iya dalam kehidupan ‘nyata’, ada orang yang bercerita segitu pribadi-nya di twitter. Hehehe.. gue terlalu ‘berkaca’ sama diri gue sendiri, yang membatasi apa yang gue bagi di ruang publik. Yang gue follow dan follower gue pun bisa dibilang yang punya minat sama dengan gue. Sementara keluarga hanya kakak dan adik gue, temen-temen kantor gak ada yang gue follow (gak ada yang tau juga sih gue punya account twitter :D)

Tapi, sarana twitter untuk menghasilkan sebuah karya boleh diacungi jempol. Udah ada beberapa buku yang gue baca yang asal atau idenya dari twitter, seperti Kicau Kacau-nya Indra Herlambang atau Tweets for Life – Desi Anwar.

Seperti biasa, Ika Natassa tampil dengan gayanya yang ceplas-ceplos. Dan, iya.. akhirnya gue follow tuh account @alexandrarheaw dan semakin gue baca timeline-nya, gue jadi merasa Alexandra… Beno.. even si mbok itu nyata.. hahahaha.. (tapi koq.. di list following justru gak ada tuh account Wina – sahabatnya sendiri?)

O ya.. sedikit ‘kritik’, di buku ini lumayan banyak bertebaran ‘typo’. Udah gitu, ada tweet yang sama yang beberapa kali diulang. Entah karena kelupaan, atau emang di-tweet beberapa kali. Soalnya hanya beda satu halaman. (gue lupa halaman berapa… catetan ketinggalan di rumah)
Read more »

Minggu, 19 Februari 2012

The Lost Hero

Judul    : The Lost Hero
Pengarang      : Rick Riordan
Penerjemah    : Reni Indardini
Penyunting      : Silvero Shan
Cetakan           : 1, Januari 2012
Tebal               : 586 halaman
Penerbit           :Mizan Fantasy




           Apa jadinya ketika dewa-dewi Yunani dan Romawi ternyata masih berjalan di antara kita di era modern ini? Bayangkan bagaimana serunya jika pahlawan-pahlawan kuno yang selama ini hanya ada dalam mitologi dan film ternyata benar-benar menapak di dunia yang sama dengan kita, para manusia fana? Sungguh pasti akan seru sekaligus menegangkan sekiranya kita mengetahui bahwa monster, Cyclops, para penyihir, dan satyr itu ada di luar sana, tersembunyi di balik kabut. Keajaiban mitologi, mungkin para ahli sejarah dan antropolog akan menyebutnya demikian. Sejak lama, manusia dari masa-masa awal peradaban memang sekali bertanya-tanya dan terkagum-kagum dengan fenomena alam di sekitar kita. Matahari yang bersinar, pelangi yang tujuh warna, hingga petir yang membelah angkasa. Semua itu menakutkan sekaligus menakjubkan, juga sangat diluar batas-batas kekuatan manusia sebagai penghuni Bumi. Karena minimnya pengetahuan, manusia diawal zaman kemudian menyebut kekuatan-kekuatan Alam itu sebagai unsur agung yang dalam perjalan waktu lalu dipuja sebagai para dewa.

                Kemajuan peradaban Yunani dan Romawi, dua tonggak peradaban pertama yang memunculkan peradaban Barat, juga memiliki dewa-dewinya sendiri. Sebagian dari kita pasti mengenalnya karena dewa-dewi itu telah begitu rupa muncul dalam beragam kisah, film, dan mitos. Zeus, Hera, Apollo, Hermes, Demeter, Athena, Ares, Persephone, Aphrodite; mereka adalah dewa-dewi utama yang begitu dipuja dan diagungkan di masa lampau oleh bangsa Yunani dan Romawi. Personifikasi kekuatan mereka diulas dalam beragam mitos dan legenda dari masa-ke-masa, sehingga menjadikan mereka mewujud nyata dalam kehidupan modern saat ini. Keajaiban ini kemudian dimunculkan kembali oleh Rick Riordan melalui karya-karyanya. Jika Anda adalah penggemar Percy Jackson, Anda pasti tentang betapa hebatnya Rick Riordan dalam meramu mitologi Yunani menjadi bacaan populer yang menghasilkan pembaca dalam jumlah jutaan. Dia membawa dewa-dewi yang hanya ada dalam mitos itu ke dunia modern melalui teknik fiksinisasi yang luar biasa. Riordan mewujudkannya dalam novel dengan setting era modern: Gedung Empire State Building adalah Gunung Olympus, Segitiga Bermuda sebagai Laut Mediterania, dan Gunung Tamalpais di San Fransisco sebagai gunung tempat Titan Atlas menyunggi bola Langit agar tidak bertubrukan dengan Bumi.


             Seakan  pertempuran antara kaum blasteran bersama dewa-dewi Olimpia melawan para Titan belum cukup memuaskan dahaga para pembaca di serial Percy Jackson; Rick Riordan kembali menghadirkan sekuelnya yang tidak kalah seru, dengan pertempuran yang lebih intens dan dewa-dewi yang *uhuk maaf* lebih gila. Novel The Lost Hero sebagai seri pertama dari trilogi The Heroes of Olympus merupakan sekuel lanjutan dari petualangan Percy Jackson bersama anak-anak blasteran lainnya. Dikisahkan, Percy Jackson hilang entah kemana, dan Annabeth yang ditugaskan untuk mencarinya malah menemukan tiga demigod (blasteran) yang hampir dikoyak oleh roh-roh badai di titian kaca Colorado : Piper, putri dari Aphrodite; Leo sang putra Dewa Penempaan Hephaestus; dan Jason—putra dewa Jupiter yang hilang ingatan. Dan, ketika ramalan diucapkan, telah ditetapkan jalan bagi ketiganya untuk mengambil alih peranan, menjalankan misi berbahaya, di mana di pundak ketiganya inilah bergantung nasib peradaban manusia yang berusia 5000 tahun.

             Singkat cerita, alur novel ini dimulai dengan Dewi Hera yang dijebak dan ditawan oleh sesosok kekuatan purba yang jauh lebih kuat dari Zeus dan para Titan sekalipun. Jurang Tartarus—lorong kegelapan di mana semua monster-monster jahat yang telah terbuyarkan dikirim—mulai mengeliat dan membangkitkan kembali sosok-sosok gelap yang dulu pernah menghantui orang-orang Yunani Kuno: Midas si sentuhan emas, Medea sang penyihir pesona, dan Anak-Anak Bumi yang akan segera bangkit kembali. Monster-monster lama dan orang-orang jahat yang hanya ada di dunia  mitologi mewujud diri kembali secara harfiah—bahkan setelah ditebas dengan perunggu langit. Para dewa Olimpia juga tidak menolong, Zeus menutup akses dari dan ke Olimpus sehingga seluruh dewa-dewi di sana dilarang melakukan kontak dengan para pahlawan demigod (anak-anak blasteran dewa-manusia fana).


             Musuh kali ini jauh lebih kuat daripada para Titan  Kronos atau Typhoon, namun  misi harus tetap dijalankan karena nasib dunia bergantung pada ketiganya. Dengan menelusuri ketidakpastian dan bimbingan dewata yang saling bercampur-baur, ketiganya menerobos bahaya untuk membuktikan bahwa mereka memang tiga pahlawan dari tujuh blasteran yang akan menyelamatkan dunia. Aneka petualangan pun mereka jalani, ibarat menelusuri ulang kisah-kisah mitologis dari Yunani Kuno; mulai dari menunggang naga logam, hampir dibekukan  di istana dewa angin utara Borealis (lokasinya di Quebec, Kanada), menjadi tawanan para Cyclops, bertemu dewa ramalan cuaca yang sinting, hingga akhirnya melawan raksasa pertama yang dibangkitkan kembali oleh sosok kekuatan purba yang seharusnya tetap tertidur.

             Bertiga, Jason, Leo dan Piper harus berjuang menghadapi beragam monster, Cyclops, hingga dewa-dewi sinting yang berkelakuan aneh sementara dewi Hera terus-menerus berteriak supaya dibebaskan. Masih belum cukup, ketiga pahlawan juga harus bergulat dengan perasaan mereka sendiri: Jason yang lupa identitas dirinya sendiri (dan ia mencintai Piper), Piper yang merasa telah mengkhianati Jason dan Leo demi menyelamatkan ayahnya (ia juga naksir Jason), serta Leo yang merasa selalu dianggap remeh dan tidak punya teman atau keluarga (ia sepertinya naksir pada setiap cewek baru yang ia temui). Namun, cinta, persahabatan, keberanian, kecerdikkan dan kebersamaan terbukti menjadi senjata paling ampuh, yang bahkan jauh lebih ampuh dari lembing Jupiter dan ramuan penyihir Medea. Misi pertama tersebut mengajarkan pada ketiganya, bahwa ramalan memiliki banyak sisi, dan bahwa berpandangan positif dan optimis itu terbukti lebih baik ketimbang menyerah dan berpikiran negatif.


             Karakter-karakter dalam novel inipun, sebagaimana kata beragam endorsementnya, kocak dan sangat Riordan banget. Jason sang pahlawan amnesia dengan koin ajaib yang bisa berubah menjadi tombak emas Juno. Piper sang ahli charmspeak (membujuk dengan pesona) dengan belati cerminnya, serta Leo yang kocak abis dengan sabuk peralatannya. Saya kira, pembaca akan sulit untuk melupakan karakter Leo yang unik ini. Kemampuan mekanisnya yang luar biasa, mungkin telah lebih banyak menyelamatkan ketiganya dalam misi ini. Leo dengan sabuk peralatannya yang bisa memunculkan alat-alat pertukangan yang ia butuhkan, mungkin karakter inilah yang paling tak terlupakan dalam the Lost Hero.


           Dalam The Lost Hero, Riordan memunculkan banyak dewa-dewi minor yang mungkin belum sempat diulas dalam Percy Jackson. Ada Borealis dan putrinya sang dewi salju, Aeolus sang Dewa Angin, Hypnos dewa tidur, hingga sedikit bocoran mengenai mitologi penciptaan semesta ala Yunani Kuno yang diawali dari Chaos kemudian mewujudlah Ouranos dan Gaiea yang menurunkan para Cyclops, Titan, dan Dewa-Dewi Olimpia. Sejumlah peristiwa yang dikisahkan dalam mitologi Yunani berhasil dilukiskan kembali dengan cara yang berbeda. Pelayaran Jason dan Argonaut, berdirinya peradaban Romawi, dan kisah raja Midas semuanya dikemas secara pas dan humoris dalam petualangan 3 demigod ini. Begitu padatnya pelajaran mitologi Yunani dalam buku ini, sehingga pembaca diajak untuk lebih banyak menelusuri dan mempelajari kebudayaan tua ini dengan mitologi mereka yang mengesankan. Plus, tambahan humor khas Rick Riordan yang kreatif luar biasa. 

          Kalau saya boleh menuliskan endorsement versi saya sendiri (*hasyah, siapa saya?), saya mungkin akan menulisnya demikian:

          Dikisahkan dengan begitu kocak dan orisinal seperti karya-karya Riordan yang lainnya, The Lost Hero adalah perpaduan antara kisah petualangan, sejarah mitologi, sekaligus hiburan yang luar bisa menyenangkan di jajaran rak perpustakaan.
 (Dion, Demigod Buku campur Buah)

Lima bintang untuk The Lost Hero.
Read more »