Jumat, 30 Maret 2012

The Sweetness at the Bottom of the Pie



The Sweetness at the Bottom of the Pie
Bantam Books Mass Market Edition - 2009
373
(pinjem sama Astrid)

Flavia de Luce, gadis berusia 11 tahun. Tertarik dengan hal-hal yang berbau kimia. ‘Kelinci percobaannya’ adalah kakaknya sendiri. Flavia tinggal bersama ayahnya, Kolonel de Luce, dan dua kakak perempuannya Ophelia dan Daphne. Dunia Flavia dengan kedua kakaknya berbeda. Flavia juga sering jadi korban keisengan kakaknya. Tapi, kecerdikan Flavia lebih unggul dibanding mereka berdua. Flavia tidak mengenal sosok ibu mereka, Harriet yang sudah meninggal. Karena itu, kedua kakak Flavia sering mengejeknya.

Suatu hari, mulailah rangkain kejadian aneh di rumah mereka. Keluarga de Luce ini termasuk keluarga ‘terpandang’ di pedesaan Bishop’s Lacey. Bayangan gue nih, mereka tinggal seperti di ‘puri’. Keanehan pertama, ada seekor burung mati yang diletakkan di depan pintu dapur, ditambah lagi di paruh burung itu, ada sepucuk perangko. Dan, kemudian, ditemukan sosok mayat misterius di halaman rumah mereka. Flavia jadi orang terakhir yang melihat pria itu hidup.

Mulai deh insting Flavia ‘bekerja’. Flavia mulai merunut semua petunjuk yang ada, mencoba bermain detekfif-detektifan. Flavia bekerja sendiri, dan boleh dibilang dengan sangat teliti. Pengetahuannya tentang kimia ternyata memberi nilai tambah bagi Flavia dalam penyelidikan ini. Flavia juga pergi ke perpustakaan setempat, ke penginapan dan bahkan ke sekolah tempat ayahnya dulu belajar.

Semua menjadi satu rangkaian – kematian kepala sekolah, perangko yang hilang, mayat yang ditemukan di halaman rumah. Flavia harus bekerja keras untuk mencari bukti dan membebaskan ayahnya dari tuduhan pembunuhan.

Setting Inggris di tahun 1950, gue bisa membayangkan suasana pedesaan yang sepi. Awalnya gue gak terlalu suka dengan Flavia, rada sok tau dan mau ikut campur aja. Ada bagian-bagian yang membuat gue bosan (makanya rada lama gue menyelesaikan buku ini) Tapi, pelan-pelan, gue ikut hanyut dalam penyelidikan bersama Flavia. Rasa ingin tahu Flavia mengalahkan rasa takutnya. Ia gak takut naik ke menara di gedung sekolah demi melakukan ‘rekonstruksi’ kematian Mr. Twinning.

Thanks buat Astrid yang udah minjemin buku ini.
Read more »

3 Buku Roald Dahl


1. The Twits (Keluarga Twit)
Roald Dahl @ 1980
Quentin Blake (Ilustrasi)
Yoke Octarina (Terj.)
GPU – Cet. III, Januari 2010
104 hal.
(Obral Gramedia Plaza Semanggi – 5000 rupiah saja :D)

Berkisah tentang pasangan Mr. & Mrs. Twit dengan sosok yang mengerikan, menjijikan dan menyebalkan. Liat Mr. Twit, seluruh wajahnya berambut dan gak pernah dicuci. Sisa-sisa makanan menempel di rambut wajahnya itu. Sedangkan Mrs. Twit, juga bertubuh gemuk, selalu membawa tongkat yang selain digunakan untuk membantunya berjalan juga untuk menyakit anak-anak atau hewan yang mengganggu.

Tingkah pasangan suami istri satu sama lain juga mengerikan. Mereka sering saling ngerjain, dan saling balas membalas dengan cara yang sadis. Misalnya, spaghetti Mr. Twit dicampur dengan cacing, dan Mr. Twit membalas dengan mengikat Mrs. Twit di balon udara dan membiarkannya terbang. Mereka juga suka menyakiti binatang.

Benar-benar pasangan yang mengerikan.



2. The Enormous Crocodile (Si Buaya Raksasa)
Roald Dahl @ 1978
Quentin Blake (Ilustrasi)
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – Mei 2006
64 hal.
(via inibuku.com)

Ini adalah cerita tentang seekor buaya yang ingin sekali makan anak kecil. Dia pun pamer ke teman-temannya di hutan, bahwa hari itu ia akan berpesta dengan menu anak kecil. Berbagai cara ia lakukan untuk menarik perhatian anak-anak, tapi selalu saja digagalkan oleh para penghuni hutan yang tak menyukai cara-caranya.

Dan pada akhirnya, si buaya ini juga menghilang dengan cara yang ‘mengenaskan’


3. The Giraffe and the Pelly and Me (Si Jerapah dan si Pelly dan Aku)
Roald Dahl @ 1985
Quentin Blake (Ilustrasi)
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – Agustus 2006
80 hal.
(via inibuku.com)

Billy berkenalan dengan 3 ekor hewan dengan kemampuan yang menakjubkan. Si Jerapah, Si burung pelican dan si monyet. Trio ini membuka ‘usaha’ membersihkan jendela. Mereka bertiga punya peran masing-masing – si Jerapah dengan lehernya yang panjang, sanggup mencapai jendela tertinggi, sementara si Burung Pelikan menjadi ember dan si monyet yang bergerak lincah membersihkan semua jendela.

Ini buku yang paling ‘bersahabat’ di antara 3 buku Roald Dahl yang gue baca kali ini. Isinya karakter baik-baik, mereka bahkan menggagalkan sebuah usaha perampokan di rumah seorang Duke. Dan di akhir cerita, si Billy membuka kembali The Grubber, toko permen. Di sini, Mr. Willy Wonka ikut menyumbangkan permen-permennya yang ajaib

Perkenalan gue dengan Roald Dahl, berawal saat gue membaca Matilda, mungkn waktu SD. Saat itu, ya baca.. baca aja. Sedikit ngeri dengan karakter Miss Trunchbull. Tapi, saat membaca Mr. Twit, aduh ternyata, gak kalah sadis. Emang sih, apa yang berusaha diceritakan oleh Roald Dahl ada hal positifnya, seperti misalnya jangan nyakitin binatang – sama seperti yang ada di cerita Magic Finger, tapi kalo untuk diceritain ke anak kecil rasanya terlalu ‘sadis’.

Bahkan saat ada film Matilda di tv, gue ngajak Mika nonton, maunya sih gue pengen kasih tau, kalo gue suka sama bukunya dan ini juga salah satu film yang gue tonton, eh.. tapi, gak lama, Mika pun bilang, “Matiin aja, filmnya gak bagus.” Dan, gue jadi sedikit khawatir, kalo nanti Mika malah takut ke sekolah.

Tapi, terlepas dari semua itu, gue tetap suka dengan Roald Dahl, di balik karakter-karakter ajaibnya itu, cerita-ceritanya mampu menghibur gue dengan selera humor yang ajaib juga.

Tapi… sekarang, kenapa susah cari buku Roald Dahl yang satuan ya? Yang ada di Gramedia hanya yang box set. Rugi dong beli yang box set karena gue udah punya beberapa. Dan gue pengen juga nih, baca bukunya Roald Dahl yang bukan buku anak-anak.
Read more »

Kamis, 29 Maret 2012

Pecinan, Suara Hati Sang Wanita Tionghoa

Judul                : Pecinan, Suara Hati Sang Wanita Tionghoa
Penulis             : Ratna Indraswari Ibrahim
Editor              : Elis W dan  A. Elwiq Pr
Sampul            : Gobag Sodor
Tebal               : 246 halaman
Cetakan           : 1, Juli 2011
Penerbit           : Laksana (DIVA Press)



            Lely Kurniawati dan Anggraeni, dua wanita tegar yang berbeda jalan nasibnya. Jika yang satu memiliki jalan hidup yang lumayan lurus dan memudahkan, maka yang satunya lagi menjalani kehidupan dengan penuh perjuangan dan rasa sakit. Bagaimanapun, mereka berdua dipersatukan oleh hal yang sama, yakni keduanya sama-sama wanita keturunan Tionghoa yang menjadi korban tradisi dan keadaan. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, demikian ungkapan yang pas untuk menggambarkan perlakuan buruk yang mereka terima, bahkan untuk kasus Lely, tangga yang menimpanya itu seperti terbuat dari besi yang panas dan terus-menerus membakar kulitnya.
           
“Atik bilang, perempuan Cina yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki tidak berharga karena tidak bisa menurunkan marga.” (hlm 237)

Bayangkan saja, bagaimana menjadi anak perempuan Tognghoa yang selalu dinomorduakan setelah anak laki-laki. Betapa perlakuan diskriminatif sudah menjadi hal yang biasa bagi Lely, ketika anak laki-laki dijemput dari sekolah dengan becak, ia harus jalan kaki. Bahkan, setelah menikahpun ia serasa tidak dianggap oleh mertua dan diremehkan oleh suami dan iparnya.  Pun, ketika meletus Gerakan 30 September 1965, kondisi keduanya menjadi semakin terpojok. Sudah dinomorduakan oleh keluarga, mereka juga harus mengalami diskriminasi ras di zaman Orde Baru, padahal baik Lely maupun Anggraeni mencintai negeri ini dengan sepenuh jiwa mereka.

            Papi, kita kan orang Indonesia. Mbah buyut , kakak Papi, dan sepupu Papi orang-orang yang berjuang untuk Indonesia. Apa yang harus ditakutkan? “ (hlm. 46)

            “Tapi biarlah aku Cina, Yang penting, aku pun turunan dari prajurit Pangeran Diponegoro,” (hlm 221)

            Ketika meletus pemberontakan PKI pada tahun 1965, yang membuat pemerintah memiliki semakin banyak alasan untuk menindas etnis Tionghoa, baik keluarga Lely maupun Anggraeni kalut, ada sejumlah kerabat yang eksodus ke luar negeri. Ketika muncul tragedi lain yang lebih memilukan pada tahun 1998, di mana terjadi banyak kasus pemerkosaan pada wanita etnis Tionghoa, kedua wanita itu juga tetap memilih untuk tinggal di Indonesia. Mereka tetap berdagang, bersekolah, dan berjuang untuk melayani suaminya.

            “Kita adalah warga negara Indonesia. Apapun yang terjadi adalah risiko kita sebagai orang Indonesia.” (hlm 102).

            Dua sahabat ini pun bertemu lagi di Malang, pada masa kini. Keduanya sudah sama-sama memiliki keluarga. Anggraeni menikah dengan orang Jawa, sementara Lely menikah dengan pria keturunan Cina; di mana masing-masing rumah tangga memberikan ceritanya sendiri. Lely kemudian meminta sahabatnya agar menuliskan buku biografi tentang dirinya, tentang seorang istri dari sebuah keluarga keturunan Cina yang mengalami manis-asamnya kehidupan. Bahkan, di zaman modern seperti saat ini, kecenderungan mengistimewakan anak laki-laki ini masih begitu mengental dan mengakar kuat di masyarakat. Suami Lely yang begitu dibangga-banggakan keluarganya sebagai putra sulung pertama ternyata tumbuh menjadi pria manja yang selalu lari ke ibunya setiap kali ada masalah. Kecenderungan ini juga yang membuatnya merasa selalu benar dan Lely selalu salah, bahkan ketika sang suami jelas-jelas memiliki WIL (wanita idaman lain). Ini ditambah dengan Lely yang tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Sepertinya, segala jerih payahnya, pengorbanan tenaga dan hartanya, hingga kecintaannya yang tak terbagi kepada sang suami tidak bermakna apa-apa di mata suami dan ibu mertuanya.

            Anggraeni di lain pihak, juga harus menghadapi konflik dengan keluarga besarnya. Ia bersyukur mendapatkan suami yang baik dan pengertian seperti Rahman, namun sebagai wanita Cina yang seperempat Jawa, ia juga mengalami masalahnya sendiri. Tentang ibunya yang semakin cerewet, tentang anaknya yang mulai beranjak dewasa, tentang pilihan hidupnya sebagai pegawai negeri; semua itu cukup menyulitkannya juga—walaupun tidak seberat cobaan yang dihadapi Lely. Bagaimanapun, hidup memang tidak sempurna. Ada sejumlah keadaan ketika kita memang sebaiknya tidak menuntut macam-macam, tapi cukup dengan menjalaninya sebagai sesuatu yang bernilai ibadah. Misalnya saja, dalam menghadapi ibunya yang cerewet dan suka mengatur, memang inilah salah satu bentuk balas jasa kecil yang bisa kita persembahkan kepada orang tua karena tidak semua orang memiliki kesempatan yan sangat mulia ini.

            “Apabila kamu sudah kehilangan kedua orang tuamu. Kamu baru bisa tahu bagaimana senangnya meladeni mereka ketika mereka masih hidup. Serepot apapun urusan kita, luangkan waktu. (193).

            Novel Pecinan adalah novel sederhana yang berupaya mengangkat kehidupan dari kaca mata seorang wanita keturunan Tionghoa di Indonesia pada masa-masa ketika keadaan sepertinya sedang tidak berpihak kepada mereka. Kisah Lely dan Anggraeni memberikan pandangan baru tentang bagaimana sulitnya pilihan yang dihadapi oleh kaum Tionghoa pada masa-masa genting paska tahun 1965, penuh dengan tarikan antara nasionalisme dengan keselamatan diri. Terlebih dengan adanya peristiwa Mei 1998, pada masa-masa itulah nasionalisme mereka sebagai bangsa Indonesia benar-benar diuji.

 Dalam halaman-halamannya, buku ini juga menggambarkan kesetiaan seorang istri yang taat pada suaminya, terlalu taat hingga saat ia terus disiksa secara batin pun kesetiaannya sebagai istri tidak meluntur. Kita akan melihatnya dalam sosok Lely. Ketika seorang wanita sudah membulatkan tekad untuk hanya mencintai suaminya, mereka benar-benar mampu membuktikannya. Melalui Pecinan juga, akan terjawab tanya kita mengapa orang Cina gemar berdagang dan mengapa orang pribumi cenderung suka menjadi pegawai pemerintahan; semua diuraikan melalui sudut pandang dua orang wanita keturunan Tionghoa, yang walaupun sedikit subjektif namun masuk akal dan dijelaskan secara gamblang. Juga, tentang berbagai nasihat tentang rumah tangga, tentang berbisnis yang baik, tentang berbakti kepada orang tua, tentang persahabatan yang tak lekang waktu, tentang cinta yang luar biasa, dan tentang indahnya kota Malang tempo dulu. Semuanya bisa ditemukan dalam novel sederhana namun penuh makna ini. 
Read more »

Rabu, 28 Maret 2012

Character Thursday [3]

Jumpa lagi dengan Character Thursday, rules-nya masih sama: 
1. Follow blog Fanda Classiclit sebagai host, bisa lewat Google Friend Connect (GFC) atau sign up via e-mail (ada di sidebar paling kanan). Dengan follow blog ini, kalian akan selalu tahu setiap kali blog ini mengadakan Character Thursday Blog Hop. 
2. Letakkan button Character Thursday Blog Hop di posting kalian atau di sidebar blog, supaya follower kalian juga bisa menemukan blog hop ini. Kodenya bisa diambil di kotak di button. 
3. Buat posting dengan menyertakan copy-paste “Character Thursday” dan “Syarat Mengikuti” ke dalam postingmu.
 4. Isikan link (URL) posting kalian ke Linky di bawah ini. Cantumkan nama dengan format: Nama blogger @ nama blog, misalnya: Fanda @ Fanda Classiclit. 
5. Jangan lupa kunjungi blog-blog peserta lain, dan temukan tokoh-tokoh pilihan mereka. Dengan begini, wawasan kita akan bertambah juga dengan buku-buku baru yang menarik… 

Kali ini, yang tampil adalah pasangan Mr. & Mrs. Twit dari The Twits-nya Roald Dahl. Berhubung baru aja tadi pagi gue selesai baca buku ini, jadi masih 'terbayang-bayang' dua sosok yang mengerikan plus 'sadis' ini. Gak pa-palah, sekali-sekali yang tampil karakter yang 'menyebalkan'. Reviewnya akan segera tampil di blog ini.

Ini Mr. &  Mrs. Twit hasil ilustrasi dari Quentin Blake: 

Kalo yang satu ini saat The Twits dipentaskan oleh Auckland Theater Company - sama-sama mengerikan dan menjijikan :) 

Read more »

Senin, 26 Maret 2012

The Wizard of Oz


The Wizard of Oz
L. Frank Baum
Alva Indriani (Terj.)
Penerbit Atria – Cet. I, Oktober 2010
206 hal.
(Gramedia Pondok Indah Mall)

Inilah pertama kali gue membaca buku The Wizard of Oz, yah, meskipun sering denger, tapi gue gak tau, seperti apa sih kisah The Wizard of Oz ini. Beruntung, Penerbit Atria menerbitkan terjemahan buku ini dan karena gue lagi punya sebuah ‘misi’, maka gue pun memutuskan untuk membeli buku ini.

Kisah ini lahir karena rasa ‘prihatin’ L. Frank Baum akan kisah fantasi yang beredar, tentang peri dan dunia sihir yang penuh ‘darah’ dan teror. Maka terciptalah sebuah dongeng sederhana, tapi penuh dengan petualangan dan banyak pelajaran yang bisa diambil dari dongeng ini.

Si kecil Dorothy tiba di sebuah kota yang indah berwarna biru, kota para Munchkin. Berbeda jauh dengan Kansas, kota tempat Dorothy tinggal bersama paman dan bibinya. Sebuah kota abu-abu, gersang dan suram. Angin puting-beliung menerbangkan rumah Dorothy. Dorothy yang tak sempat bersembunyi di ruang persembunyian ikut terbang bersama rumah itu, termasuk juga Toto, anjing milik Dorothy.

Karena rumah Dorothy ‘tanpa sengaja’ jatuh di atas tubuh si Penyihir Jahat dari Timur, Dorothy pun dianggap pahlawan. Tapi, keinginan Dorothy hanya satu, yaitu kembali ke Kansas. Atas petunjuk Penyihir Baik dari Utara, Dorothy dianjurkan untuk bertemu Penyihir Hebat Oz.

Dimulailah perjalanan panjang Dorothy bersama Toto, menyusuri batu bata kuning menuju negeri Zambrud, negeri Penyihir Hebat Oz. Dalam perjalanan itu, Dorothy bertemu dengan Boneka Jerami yang menginginkan otak, Tin Woodman, si manusia kaleng yang menginginkan hati dan Singa Penakut yang ingin memiliki keberanian. Bersama teman-teman barunya, dengan keyakinan penuh Dorothy pergi menuju negeri Zambrud.

Tapi, untuk menemui Penyihir Hebat Oz pun tak mudah. Tak seorang pun tahu, seperti apa wujud pasti Oz, wujudnya selalu berubah-ubah. Dan ternyata tak mudah untuk mendapatkan apa yang dinginkan oleh mereka berempat. Mereka harus melakukan sesuatu dulu untuk Oz, baru keinginan mereka akan dikabulkan.

Baca buku ini, rasanya kembali ke masa kecil, masa-masa berkhayal, membaca buku-buku petualangan yang ringan. Gak perlu deh, petualangan yang bikin deg-degan, bikin tegang, tapi seperti Dorothy, di setiap langkahnya, dalam perjalanannya, ia selalu menemui hal-hal baru, seperti menyelamatkan Boneka Jerami, menolong Tin Woodman, ketemu Singa, Monyet Terbang, kaum Munchin dan Winkie yang lucu. Dan, satu pelajaran yang bisa diambil dari buku ini adalah kesetiakawanan, rasa empati dan tolong-menolong. Menjelang akhir cerita, ketiga teman baru Dorothy yang sudah punya kedudukan enak, tetap menemani Dorothy sampai bertemu jalan pulang. Dan saat yang satu lagi kesusahan, yang lain merasa kehilangan dan dengan sigak membantu.

Gue ketawa waktu tau wujud asli Penyihir Hebat Oz itu. Klimaks yang kocak.. hehehe…

O ya, ada satu koreksi di halaman 125, yang tertulis: “… Dorothy berlari ke halaman untuk memberitahu bahwa Tukang Sihir Jahat dari Timur telah tewas … “ Padahal seharusnya Tukang Sihir dari Barat kan? Iya kan? Karena kalo Tukang Sihir Jahat dari Timur udah ketauan dari awal tewasnya.

*seharusnya ini buat posting bareng BBI, tapi telat.. kelupaan tanggalnya*
Read more »

Takdir Elir

Judul : Takdir Elir 
Penulis : Hans J. Gumulia 
Penata letak : Mulyono 
Pem. Aksara : Reyner Nabeel 
Proofread : Bonmedo Tambunan, Dina Begum, Adit H. Pratama 
Pencpt. hikayat : Ami Raditya 
PR : Truly Rudiono 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama


Mengkristal bersama Vandaria 
               Ungkapan inilah yang mungkin dirasakan oleh para pembaca yang pertama kali membaca, dan kemudian jatuh cinta dengan dunia Vandaria. Dibentuk sekitar tahun 1999-2000, Seorang Ami Raditya sukses membangun sebuah universe yang begitu kompleks bernama Vandaria. Sebuah dunia dengan lini masa sepanjang ribuan tahun dengan aneka kisah, mitos, dan legendanya sendiri. Sebuah dunia unik dengan legenda kaum frameless, para raja dan ksatria pemberani, hingga penyihir dan makhluk-makhluk eksostis yang memenuhi ekspektasi para pecinta genre fantasi. Begitu luasnya alam Vandaria, sehingga penulisnya pun merasa kewalahan untuk mengisi tiap jengkal dari tanah dan waktu di Vandaria, sehingga Raditya kemudian mengajak para novelis, komikus, animator, pembuat game, musisi, atau siapapun yang terpesona dengan dunia Vandaria untuk bersama-sama mewujudkan dan membesarkan sebuah alam fantasi hasil kolaborasi anak negeri yang tidak kalah dengan Middle Earth-nya Tolkien. Sebuah konsep open world atau shared world dimana setiap orang dipersilakan mengisi alam Vandaria dengan kreativitasnya. 

                Dari sejumlah novel bersetting dunia Vandaria, telah ada tiga buku yang diterbitkan, masing-masing Ratu Seribu Tahun oleh Ardani Persada, Harta Vaeran oleh Pratama Wirya, dan Takdir Elir oleh Hans J. Gumulia. Saya berkesempatan untuk mulai mencintai dunia Vandaria lewat Takdir Elir (terima kasih atas kepercayaan yang diberikan). Kisah dibuka dengan perkenalan 5 tokoh utama yang disebut-sebut akan menentukan takdir Elir, sebuah benua terpencil di dunia Vandaria yang terancam terkoyak oleh perang. Adalah Rozmega (seorang gadis-ksatria dari kaum frameless), Liarra V. Flavianus (gadis flameless flavian), Sigmar Arvhelon (petualang pemberani dari gurun), Althor Serenade (Raja dari Kerajaan Serenade), dan Xaliber Reginhild (Raja Kerajaan Vandergaard); lima orang terpilih untuk menyelamatkan Elir. Dua raja yang disebut terakhir adalah raja dari masing-masing kerajaan yang hendak saling berperang di Elir. 

               Dimulai dari sebuah petunjuk dari para Vanadis (Dewa-Dewi bangsa Vandaria), Pendeta Agung memerintahkan Rozmega untuk berangkat ke Elir untuk menyampaikan pesan perdamaian kepada dua raja yang hendak saling berperang, Xaliber dan Althor. Di saat yang sama, di Hutan Tenteram Raz’Vinel di benua Elir, Liarra telah terpilih sebagai pemegang busur legendaris Valuminaire milik kaum flameless flavian , yang secara gaib busur ajaib itu langsung melontarkan Liarra ke Padang Pasir Tak Bernama di utara Elir. Takdir seolah telah menjalin kisah pertemuannya dengan Sigmar, sang pemuda dari gurun pasir, yang ternyata juga ditakdirkan untuk memiliki senjata pusaka kedua. Bersama-sama, mereka berdua kemudian menuju tengah gurun untuk menemukan belati pusaka. Perpaduan petualangan yang biasa kita lihat dalam game dan film akan kita temukan dalam upaya pencarian mereka berdua. 

                 Sementara, Rozmega juga telah sampai di Elir. Di sana, ia kurang mendapatkan sambutan yang meriah karena ia dijebak oleh bandit. Namun, dengan keyakinan bahwa masih akan ada setitik cahaya terang dalam kegelapan, ia mampu melewati cobaan yang datang menghadang—tentu dengan bantuan tak terduga dari para Vanadis yang mengirimkan api naga untuk menyelamatkannya. Singkat kata, Rozmega berhasil mendatangi Althor dan Xaliber secara berurutan, seraya menyampaikan surat dari Sang Pendeta Agung yang meminta agar masing-masing pihak menahan diri. Saat itu, Liarra dan Sigmar yang berpetualang sampai kerajaan sihir di utara Elir tiba-tiba ditransportasikan secara sihir, masing-masing ke kemah kubu Serenade dan kubu Vandergaard. Kelima orang yang disbeut-sebut sebagai penentu takdir telah dipersatukan. Dan ketika kelimanya saling menyentuhkan masing-masing senjata pusakanya, kelimanya mendapati sebuah fakta yang mengejutkan. Bersama-sama, kelimanya harus bersiap menghadapi seorang tukang sihir berbahaya yang mengancam akan menghancurkan kedamaian di Elir. 

               Terlalu tipis, begitu impresi saya ketika menyelesaikan Takdir Elir karena kisahnya yang memikat namun terpaksa harus berhenti sejenak untuk menunggu sekuelnya. Buku ini memang hendak diterbitkan dalam bentuk trilogi. Kelebihan dari buku ini adalah kisahnya yang ditulis dengan runtut dan rapi, tidak berbelit-belit sehingga mudah untuk mengikuti alurnya. Ditambah dengan setting alam Vandaria yang telah eksis, mejadikan Takdir Elir mampu mengisi celah kosong di linimasa Vandaria, sekaligus sukses mengajak pembaca untuk mulai mencintai Vandaria. Saya yakin, setting alam Vandaria yang telah disusun mapan oleh Raditya memiliki banyak peran dalam proses utuhnya novel ini, sehingga penulis bisa berfokus pada alur cerita dan karakterisasi, menjadikan novel ini sebagai novel fikfan yang matang. 

                 Hanya saja, karakter-karakter di dalamnya agak sedikit mudah ditebak, walaupun penulis sangat piawai dalam membangun karakter-karakter yang unik. Rozmega sangat orisinal, Liarra cukup anggun sebagai frameless cantik, sementara Sigmar adalah semacam karakter yang sifatnya “harus ada” dalam setiap kisah-kisah petualangan. Ketiga karakter inilah yang mampu menghidupkan Takdir Elir . Namun, karakter Althor dan Xaliber sedikit terlalu “lurus” bagi saya, terlalu banyak kemiripan di antara keduanya; yakni sama-sama raja yang baik, tampan, pemberani, dan dicintai rakyatnya. Entahlah, mungkin karena porsi penceritaan kedua tokoh yang tidak sebanyak tiga tokoh pertama. Alur cerita di sepertiga bagian ke belakang juga saya rasa agak terlalu cepat karena saya masih ingin larut dalam alam Vandaria sebelum menuju klimaks di bagian penghujung akhir novel. Tetapi, elemen dan dasar cerita dalam Takdir Elir telah dibangun dengan mantap dan baik sekali, sehingga membuka peluang yang sangat bagus untuk sekuel-sekuel berikutnya. Semoga, alam Vandaria mampu membuai lebih banyak petualang dan orang-orang kreatif untuk turut membangun bersama di dalamnya. 
Read more »

Minggu, 25 Maret 2012

Alfred Hitchcock dan Trio Detektif , Misteri Danau Siluman

Judul               : Alfred Hitchcock dan Trio Detektif , Misteri Danau Siluman  
Penulis            : Alfred Hitchcock,  William Arden
Penerjemah     : Agus Setiadi
Tebal              : 214 halaman
Cetakan          : Mei, 1986
Penerbit          : PT. Gramedia



           
             Adalah luar biasa ketika sebuah cerita dapat membawa kembali pembacanya kepada kenangan masa kecilnya. Lebih luar biasa lagi adalah karena cerita/buku itu begitu membekas dalam benak dan menjadi bagian tak terpisahkan yang turut membentuk masa kecil kita. Bersama Lima Sekawan  Enyd Blynton dan juga majalah Bobo, buku ini adalah salah satu dari buku-buku paling luar biasa yang pernah mewarnai—dan mungkin membentuk—masa kecil saya. Buku anak semacam ini jika kita memandangnya dari kaca mata orang dewasa mungkin banyak “lubang-lubang” dalam alur, plot , dan logika; namun tidak demikian dengan benak anak-anak. Ada banyak sekali petualangan seru yang untuk sejenak mampu mengalahkan kakunya logika. Ada tempat-tempat tersembunyi yang asyik untuk dijelajahi, serta harta karun yang menanti untuk ditemukan. Semua itu jauh lebih berharga daripada sekadar sebuah cerita yang “sempurna” tapi kehilangan semangat anak-anak di dalamnya.

            Alfred Hitchcock dan Trio Detektif  adalah seri petualangan yang idenya dicetuskan oleh sang maestro film misteri, Alfred Hitchcock. Beliau yang menemukan ide, plot dan alur cerita untuk kemudian dituliskan dalam format novel oleh William Arden. Kebetulan, saya menemukan buku ini di pusat buku Shopping Center Taman Pintar Yogyakarta, edisi terbitan tahun 1986 namun masih tampak bersih dan tidak terlalu berdebu. Karena pada bulan Maret 2012 ini, Blogger Buku Indonesia merencanakan posting bareng buku bertema anak, maka saya pun tertarik untuk mengangkat kembali buku petualangan khas anak-anak yang sangat seru ini, yang tampaknya sudah jarang diterbitkan lagi. Dalam seri Misteri Danau Siluman ini, Alfred Hitchcock dan Trio Detektif  kembali bekerja sama untuk mengungkap sebuah kasus yang berkaitan dengan harta karun di Phantom Lake—Danau Siluman. Eh, sebentar, saya perkenalkan dulu siapa Trio Detektif itu:

TRIO DETEKTIF
“Kami Menyelidiki Apa Saja”
???
Penyelidik satu – Jupiter Jones
Penyelidik dua – Pete Crenshaw
Catatan dan Riset – Bob Andrews


            Berawal dari penemuan sebuah peti kuno dari abad ke-19 yang secara tak sengaja dibeli oleh Bibinya Jupiter, misteri kemudian mulai bermunculan. Mulai dari adanya pria berjanggut dan galak, sosok-sosok misterius yang mengobrak-abrik markas Trio Detektif, hantu-hantu bajak laut yang bergentayangan di Pulau Sipress, hingga beraneka rumor serta misteri sejarah yang berkaitan dengan benar/tidaknya keberadaan harta karun tersebut.Trio Detektif pun bahu menbahu dengan Profesor Sejarah San Francisco dan Keluarga Mrs Gunn untuk membongkar salah satu misteri yang paling ramai dibicarakan di kota itu. Mereka harus berkejaran dengan waktu untuk menguak sebuah buku catatan rahasia dari pelaut Angus Gunn yang konon menyembunyikan harta kemilau untuk istrinya. Sebuah misteri yang sebenarnya tetap menjadi desas-desus sekiranya Trio Detektif tidak menyelidikinya. 

            Namun, sebuah petualangan belum terasa menegangkan jika tidak ada musuh atau misteri besar yang melingkupinya. Pencarian harta karun ini dipersulit dengan keberadaan orang asing bernama Java Jim yang senantiasa menguntit Trio detektif. Mereka juga harus berhadapan dengan orang-orang aneh dan penjahat kambuhan yang hobi menjarah benda-benda bersejarah untuk kemudian dijual di pasar gelap. Namun, lebih dari itu semua, Trio Detektif harus waspada dengan misteri paling mengerikan dalam petualangan mereka, karena kemungkinan, harta yang disembunyikan itu juga dijaga oleh hantu siluman!

            Buku petualangan dengan tokoh segerombolan anak-anak yang berupaya mengungkap misteri memang menjadi magnet yang tak tertahankan. Kecenderungan anak yang selalu ingin tahu, penasaran dengan yang namanya misteri, serta rasa haus mereka akan petualangan berhasil diramu sedemikian rupa oleh sang sutradara sehingga menghasilkan seri novel Alfred Hitchcock dan Trio Detektif  yang sangat disayangi anak-anak pada era 1980-1990-an. Sebagaimana karya-karya Lima Sekawan, seri ini berhasil memancing rasa ingin tahu anak untuk membacanya. Judulnya mungkin menyeramkan dan berbau horor, namun seri-seri ini biasanya tidak mengandung elemen horor dalam arti tidak ada hantu atau makhluk jadi-jadian “beneran” di dalamnya. Biasanya, sang penjahatlah yang pura-pura menjadi hantu atau monster. Penyelesaian kasus bisa dirunut secara logis dan sesuai nalar. Misteri tampaknya sekadar digunakan sebagai bumbu untuk membuat cerita semakin menarik. Akhirnya, apakah harta itu benar-benar ada ataukah sekadar rumor? Siapakah sosok berjanggut hitam yang senantiasa menguntit Trio Detektif? Temukan  beragam petualangan seru yang pasti akan sangat dicintai anak-anak, yang sekaligus mengingatkan kembali pembaca pada serunya berpetualang di masa kanak-kanak.

            Berbahagialah mereka yang pernah mengalami petualangan di masa kanak-kanak bersama buku-buku bermutu seperti ini.
            
Read more »

Rabu, 21 Maret 2012

Character Thursday [2]


Seperti biasa, peraturannya adalah:

1. Follow blog Fanda Classiclit sebagai host, bisa lewat Google Friend Connect (GFC) atau sign up via e-mail (ada di sidebar paling kanan). Dengan follow blog ini, kalian akan selalu tahu setiap kali blog ini mengadakan Character Thursday Blog Hop.
2. Letakkan button Character Thursday Blog Hop di posting kalian atau di sidebar blog, supaya follower kalian juga bisa menemukan blog hop ini. Kodenya bisa diambil di kotak di button.
3. Buat posting dengan menyertakan copy-paste “Character Thursday” dan “Syarat Mengikuti” ke dalam postingmu.
4. Isikan link (URL) posting kalian ke Linky di bawah ini. Cantumkan nama dengan format: Nama blogger @ nama blog, misalnya: Fanda @ Fanda Classiclit.
5. Jangan lupa kunjungi blog-blog peserta lain, dan temukan tokoh-tokoh pilihan mereka. Dengan begini, wawasan kita akan bertambah juga dengan buku-buku baru yang menarik…

Character Thursday kali ini adalah The Famous Five alias Lima Sekawan. Baru aja baca buku Lima Sekawan yang pertama - Di Pulau Harta. Jadi kangen sama mereka. Pengen bernostalgia, inget-inget bacaan jaman SD, terus pengen liat filmnya lagi.







Julian yang paling tua, yang paling cool dan sabar. Dick, yang suka gak sabaran. Anne, yang penakut dan paling kecil. Plus, George, anak perempuan tomboi, dan pengen banget jadi anak laki-laki. Gak ketinggalan, Timmy, anjingnya George yang setia menemani mereka bertualang.

Seneng banget rasanya kalo ngebayangin 'bertualang' sama mereka. Berkemah di Pulau Kirrin, piknik dengan bekal yang yummy-yummy.

Ah... kangen... *sruput limun jahe*
Read more »

Selasa, 20 Maret 2012

Wishful Wednesday [3]


Sebelum gue share Wishful Wednesday yang ke-3, rules-nya adalah:

1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
3 .Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Wishful Wednesday kali ini adalah: Novel Destinations: Literary Landmarks from Jane Austen's Bath to Ernest Hemingway's Key West (Shannon McKenna Schmidt & Joni Rendon).


Gak sengaja liat buku ini waktu iseng-iseng mampir ke Times di Plaza Semanggi. Tentu saja yang pertama kali menarik perhatian gue adalah covernya - Si Koper yang berisi tumpukan buku itu (eh, koq mirip cover The Journey-nya Gagas Media ya?)

Buku ini bisa dibilang sebuah 'napak tilas' ke tempat-tempat yang disebut dalam novel, seperti Bath yang ada di buku-buku Jane Austen atau menjelajah kota London seperti Charles Dickens ,. Sebuah buku 'travel' dalam bentuk yang berbeda.

Asyik kan bisa 'jalan-jalan' ke tempat-tempat yang di buku favorit :)

Ini sinopsis dari goodreads:

It’s often said that a good book takes us somewhere we’ve never been before, and here’s the proof: a book-lover’s Baedeker to more than 500 literary locales across the United States and Europe. Novel Destinations invites readers to follow in the footsteps of much-loved authors, discover the scenes that sparked their imaginations, glimpse the lives they led, and share a bit of the experiences they transformed so eloquently into print. If you’re looking to indulge in literary adventure, you’ll find all the inspiration and information you need here, along with behind-the-scenes stories such as these:

After Ernest Hemingway survived two near-fatal plane crashes during an African safari, he perused his obituaries and sipped champagne on a canal-side terrace in Venice.

Washington Irving's wisteria-draped cottage in the Hudson Valley was once occupied by members of the Van Tassel family, immortalized in The Legend of Sleepy Hollow.

A mysterious incident at a stone tower near Dublin made such a vivid impression on James Joyce that he drew on it for the opening scene of Ulysses.

Sir Arthur Conan Doyle consulted on the mystery of Agatha Christie's 1926 disappearance before she resurfaced under an assumed name in northern England.

Nathaniel Hawthorne’s The House of the Seven Gables was inspired by a seaside manse in Salem, Massachusetts, infamous witch trials in which his ancestor played a role.
Read more »

Senin, 19 Maret 2012

Teaser Tuesdays [1]


Teaser Tuesdays is a weekly bookish meme, hosted by MizB of Should Be Reading. Anyone can play along! Just do the following:

- Grab your current read
- Open to a random page
- Share two (2) “teaser” sentences from somewhere on that page
- BE CAREFUL NOT TO INCLUDE SPOILERS! (make sure that what you share doesn’t give too much away! You don’t want to ruin the book for others!)
- Share the title & author, too, so that other TT participants can add the book to their TBR Lists if they like your teasers!

Teaser Tuesday pertama dari Harun dan Samudra Dongeng (Salman Rushdie)


Ia tahu pasti hal yang diketahuinya: bahwa dunia nyata penuh dengan keajaiban dan dunia keajaiban tak mudah menjadi nyata.
(hal. 50)
Read more »

Minggu, 18 Maret 2012

Emeritus - Memoar Seorang Pendeta


Emeritus - Memoar Seorang Pendeta

[No. 288]
Judul : Emeritus - Memoar Seorang Pendeta
Penulis : Ita Siregar
Penerbit : Inspirasi
Cetakan : I, 2011
Tebal : 316 hlm

my rating 4 of 5 

“Saya adalah Hamba Tuhan. Status itu melekat dalam diri saya ketika menjadi penatua atau pendeta. Menjadi pendeta adalah pekerjaan mulia yang dikerjakan oleh orang-orang yang baik dan memiliki integritas yang tinggi. Pendeta tidak boleh salah. Keluarga Pendeta harus menjadi contoh. Begitulah idealnya” (hal 34)

Seperti kutipan diatas, begitu sering kita menganggap seorang pendeta adalah seorang pemimpin umat yang harus hidup suci seperti malaikat dan menjadi panutan. Sedikit saja ia melakukan kesalahan kita tidak bisa mentolerirnya padahal pendeta adalah manusia biasa yang memiliki pergumulan yang sama dengan kita. Walau ia tahu lebih banyak tentang Firman Tuhan ia tetap bisa berbuat salah dan jatuh dalam doa.

Novel Emeritus karya Ita Siregar ini yang merupakan novel biografis berdasarkan kisah nyata dari kehidupan seorang Pendeta besar di Indonesia yang identitasnya disamarkan. Novel  ini menceritakan bagaimana seorang pendeta yang awalnya membaktikan seluruh kehidupannya untuk Tuhan dan gerejanya akhirnya jatuh dalam dosa yang sangat tabu untuk dilakukan oleh seorang Pendeta.

Emeritus sendiri adalah sebuah status dalam kepemimpinan gereja yang artinya mirip dengan “pensiun” di dunia kerja.  Dalam struktur gereja  istilah emeritus diberikan pada pendeta yang tidak lagi menjabat dalam struktural kepemimpinan gereja karena faktor usia yang sudah lanjut.  Seorang pendeta yang sudah emeritus memiliki  gelar tambahan ‘Em’setelah gelar kependetaannya sehingga  gelarnya menjadi “Pdt. (em)”.

Namun bukan seperti itu pendeta yang dikisahkan dalam novel ini. Si Pendeta dalam novel ini menerima status emeritus bukan karena faktor usia melainkan karena ia mengundurkan diri dari gereja justru pada saat ia berada dalam puncak kariernya karena  ia merasa gagal mempertahankan keutuhan keluarganya,  jatuh dalam dosa perzinahan sehingga merasa tak lagi memiliki kelayakan dan kesanggupan untuk melayani dan memimpin gereja yang dirintisnya bersama teman-temannya.

Seluruh kehidupan si pendeta dalam buku ini terkisahkan dengan jujur, gamblang, dan apa adanya. Dengan rinci penulis menuturkan pengalaman yang dialami si pendeta ketika masih kecil, berpacaran, lahir baru, melayani di sebuah persekutuan kecil di gang Kemiri Jakarta hingga akhirnya bersama kedua temannya mimpin persekutuan kecil itu dengan penuh dedikasi sehingga berkembang menjadi gereja besar dengan ribuan umat dan dirinya menjadi salah satu penatua/pendeta yang disegani.

Dalam novel ini kita akan mendapat gambaran seorang pendeta bukan sebagai manusia super setengah malaikat melainkan seorang manusia yang memiliki pergumulan dan sisi gelap dalam kehidupannya. Dalam memimpin gereja ia seorang organisator yang ulung, 'gila kerja', jujur dan idealis hingga seluruh kehidupannya ia baktikan pada Tuhan dan gerejanya.

Walau ia berhasil mengembangkan gerejanya dengan luar biasa pesat, namun di sisi lain kehidupan rumah tangganya terabaikan. Sibuk di gereja membuat  waktu untuk keluarganya berkurang, istrinya merasa terabaikan  dan krisis kepercayaan mulai tumbuh bersamanya, belum lagi ditambah dengan kondisi keuangan yang tidak mendukung sehingga  menimbulkan konflik yang tak berkesudahan hingga akhirnya  rumah tangganya hancur karena istri termasuk kolega-kolega dalam gerejanya menuduhnya telah berzinah dengan seorang wanita.

Keadaan ini memaskanya untuk mengundurkan diri dari gereja yang dirintisnya, hal ini membuat kehidupannya semakin terpuruk sehingga membuat si pendeta menjauh dari Tuhan dan hidup dalam dunia malam berpindah-pindah dari pelukan satu wanita ke wanita lainnya.

Novel ini menarik untuk disimak karena dengan jujur novel ini mengisahkan sisi terang dan sisi gelap seorang pendeta secara apa adanya. Di novel ini kita akan diajak melihat pergumulan batin seorang pendeta besar yang sukses namun hidup dalam kesederhanaan, menolong banyak orang dalam kesulitan, namun gagal dalam membangun keluarganya sendiri.

“Saya sempat diwawancara suatu majalah dengan tiras terbaik negeri ini yang menganggap saya sosok pahlawan dalam penanggulangan kasus narkoba. Ya saya mungkin menyelamatkan orang-orang di luar sana. Tetapi saya gagal merawat diri sendiri dan keutuhan keluarga” (hal 43)

Tak hanya pergumulan dan kisah jatuh bangunnya si pendeta yang terungkap di novel ini, novel ini juga mengungkap fenomena bertumbuhnya gerakan kerohanian di Indonesia di tahun 1970-1980an yang diawali bertumbuhnya gerakan persekutan-persekutuan di kalangan anak muda

 “Gerakan ini sangat kuat dan di Jakarta ratusan persekutuan dibuka. Persekutuan merebak seperti virus. Orang begitu gemar berkumpul. Berkembangnya persekutuan diikuti dengan munculnya pemimpin-pemimpin muda. Yeremia Rim, Niko Nyotoraharjo, Daniel Alexander, adalah nama-nama yang akrab waktu itu. Mereka menyampaikan pesan segar kepada umat . Kata-kata yang disampaikan menyentak, menyentuh, dan membangun jiwa umat yang selama ini melakukan ritual ibadah rutin dan cenderung membosankan”(hal 92)

Tak hanya itu saja,  novel ini juga dengan blak-blakan menyindir kehidupan pemimpin organisasi2 keagamaan yang haus akan uang.

“Kalangan agamawan punya kesempatan untuk korup juga. Mungkin lebih aman daripada lembaga-lembaga lain dan publik akan lebih enggan untuk menyelidiki kebenarannya. Puncak pimpinan merupakan jabatan strategis untuk meraih apa yang diinginkan. Kekuasaan tidak punya agama. Ia bisa dipakai siapa saja, yang beragama dan tidak. Semua mempunyai kesempatan yang sama” (hal 204)

Demikianlah novel ini memberikan banyak hal pada pembacanya untuk dimaknai.  Sayangnya ada dua hal yang bagi saya pribadi agak mengganjal yaitu ketika kisah bergulir saat si Pendeta terjerumus dalam dunia malam, penulis tampaknya  terlalu asik menyuguhkan petualangan si pendeta dalam dosanya sehingga di bagian ini konflik batin si pendeta tak tereksplorasi seperti di bab-bab sebelumnya. Di bagian ini si pendeta seolah telah melupakan Tuhan sama sekali, padahal akan lebih menarik jika di bagian ini dikisahkan terjadi pergumulan yang hebat dalam batinnya ketika melakukan sedang melakukan dosa .

Satu hal lagi adalah adalah tidak adanya kata pengantar dari penulis atau penerbit yang menjelaskan apakah novel ini merupakan fiksi murni atau berdasarkan kisah nyata dari seorang pendeta besar? Dengan demikian pembaca yang tidak mengetahui proses kreatif dari lahirnya novel ini akan bertanya-tanya apakah ini fiksi murni atau adaptasi dari sebuah kisah nyata?

Terlepas dari itu novel ini pastinya akan membangun kesadaran kita bahwa kehidupan seorang pendeta  itu tidak mudah, ia dituntut untuk mengelola gereja dan menggembalakan umatnya, namun ia juga harus bisa membangun keutuhan keluarganya.  Itu bukan hal yang mudah.

Pendeta adalah manusia yang bisa saja berbuat salah. Pendeta juga memiliki pergumulannya tersendiri, mungkin selama ini kita langsung menghakimi atau antipati terhadap seorang pendeta yang jatuh dalam dosa, namun dengan membaca novel ini kita akan disadarkan bahwa pasti ada sebab dari semua itu dan sama seperti kita, pendetapun membutuhkan perhatian, dorongan,semangat, dan doa ketika ia sedang menghadapi masalah pelik atau jatuh dalam dosa.

Kita membutuhkan pendeta untuk membimbing kerohanian kita, untuk memberi nasehat, penghiburan,  dan mendoakan kita ketika kita sedang dalam pergumulan.  Demikian juga dengan pendeta, merekapun membutuhkan dukungan  doa dan perhatian kita ketika mereka mengalami pergumulan seperti yang yang kita alami.

@htanzil
Read more »

Rabu, 14 Maret 2012

Character Thursday [1]

Setelah dua minggu tertunda, akhirnya hari ini ‘berhasil’ ikutan blog hop –nya Fanda. Peraturannya adalah:

1. Follow blog Fanda Classiclit sebagai host, bisa lewat Google Friend Connect (GFC) atau sign up via e-mail (ada di sidebar paling kanan). Dengan follow blog ini, kalian akan selalu tahu setiap kali blog ini mengadakan Character Thursday Blog Hop.
2. Letakkan button Character Thursday Blog Hop di posting kalian atau di sidebar blog, supaya follower kalian juga bisa menemukan blog hop ini. Kodenya bisa diambil di kotak di button.
3. Buat posting dengan menyertakan copy-paste “Character Thursday” dan “Syarat Mengikuti” ke dalam postingmu.
4. Isikan link (URL) posting kalian ke Linky di bawah ini. Cantumkan nama dengan format: Nama blogger @ nama blog, misalnya: Fanda @ Fanda Classiclit.
5. Jangan lupa kunjungi blog-blog peserta lain, dan temukan tokoh-tokoh pilihan mereka. Dengan begini, wawasan kita akan bertambah juga dengan buku-buku baru yang menarik…


Berhubung gue lagi baca A Flavia de Luce Mystery: The Sweetness at the Bottom of the Pie, makanya Character Thursday pilihan gue jatuh pada Flavia de Luce.


Flavia de Luce, gadis berumur 11 tahun. Tergila-gila sama yang namanya kimia. Dia punya ruang percobaan sendiri, dan hmmm… maunya ikut campur dalam misteri pembunuhan yang terjadi di halaman rumahnya sendiri.

Bayangan gue, Flavia ini gadis yang sok tau, sok mau ikut kerjaan orang gede. Suka banget ngerjain kakak-kakaknya. Merasa dirinya lebih pintar dibanding dua kakaknya itu.

Silahkan liat trailer-nya untuk lebih tau sosok Flavia de Luce.

Read more »

Selasa, 13 Maret 2012

Pollyanna


Pollyanna
Eleanor H. Porter @ 1913
Rini Nurul Badriah (Terj.)
Orange Books – Cet. I, Mei 2010
312 hal.
(hadiah #TebakDickens @bacaklasik)

Selama bertahun-tahun hidup sendiri, Miss Polly menerima kabar bahwa keponakannya, Pollyana, akan datang dan tinggal bersamanya. Kabar ini jelas merupakan suatu kejutan. Hubungan dengan mendiang ibu Pollyana tidak begitu baik. Bahkan bisa dibilang komunikasi terputus semenjak adiknya itu lebih memilih menikah dengan seorang pendeta daripada dengan seorang pria kaya. Pollyana kini yatim piatu, sehingga tak ada pilihan lain, selain menyerahkan perwalian Pollyana kepada Miss Polly.

Miss Polly sudah menyiapkan kamar yang panas, pengap dan gelap di loteng. Memang sih, Miss Polly ini dikenal sebagai perempuan yang kaku, serba teratur dan konon, menurut gosip yang beredar, ia pernah patah hati sehingga hingga akhirnya memilih menyendiri.

Pollyana datang dengan penuh suka cita dan keceriaan. Kepolosan sebagai anak kecil membuat banyak orang luluh hatinya. Sebut saja Mrs. Snow yang banyak maunya atau Mr. Pendelton yang jutek. Belum lagi, dengan polosnya Pollyanna membawa pulang seekor kucing dan anjing yang dipungutnya dari tengah jalan. Ooo.. itu belum apa-apa.. dibanding apa yang dibawa pulang berikutnya oleh Pollyanna.

Hanya Bibi Polly yang tampaknya adalah satu-satunya orang yang masih belum menerima keceriaan dan spontanitas yang ada pada diri Pollyanna.

Sebenernya dibalik keceriaan itu, tidak berarti Pollyana tidak pernah bersedih. Hanya saja, sebuah ‘permainan’ yang diciptakan ayahnya yang membuatnya selalu bisa berpikir positif. Dan, saat ia sendiri mengalami musibah, keceriaan apa yang bisa membuatnya kembali tersenyum?

Di awal-awal buku ini, gue teringat dengan sosok Anne di Anne of Green Gables. Anak yatim-piatu yang terpaksa tinggal dengan orang lain. Sama ceria-nya, sama-sama suka mengkhayal, meskipun dengan cara yang berbeda. Meskipun emang sih, gue sempet merasa si Pollyanna ini ‘ganggu’ banget. Semua orang ditegor, meskipun cemberut dan dijutekin, Pollyanna pantang menyerah.

Tapi, liat sisi positif dari ‘keberadaan’nya. Ini seperti cerita ‘Pay It Forward’. Sesuatu yang kecil, bisa menimbulkan efek yang besar.

*Buku ke 4 untuk 'Name in a Book Challenge 2012' - hosted by Blog Buku Fanda
Read more »

Wishful Wednesday [2]

Setelah minggu lalu 'absen' ikutan Wishful Wednesday, minggu ini akhirnya bisa ikutan lagi.


  • Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  • Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  • Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  • Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)

Untuk Wishful Wednesday kali ini adalah George's Cosmic Treasure Hunt (George Berburu Harta Karun).

Cover-nya yang cerah banget. Dan, setelah membaca yang pertama dulu, George's Secret Key to the Universe, gue menunggu-nunggu kapan ya lanjutannya bakal diterjemahin.


Serunya buku ini, ada gambar-gambar tentang luar angkasa, planet-planet dan lain-lain. Serasa baca ensiklopedi dalam bentuk yang lebih 'menyenangkan'. Hehehehe...

Berhubung gue lagi ngumpulin buku anak-anak buat Mika, buku ini tentu saja masuk ke dalam daftar. (moga-moga aja, nanti Mika tertarik buat baca... kalo gak, yah, buat koleksi mama-nya aja lah).
Read more »