Minggu, 30 Desember 2007

Buku Favorit tahun 2007

Buku-buku di bawah ini disusun berdasarkan ingatan aja, mana yang sepertinya berkesan buat gue selama tahun 2007. Kalo berdasarkan tulisan di blog ini, emang kaya’nya gak terlalu banyak buku yang gue baca, mungkin gak sampe 100, karena memang gue bukan termasuk pembaca buku yang cepat. Ini dia daftarnya:

1. Bartimaeus Trilogy (terutama buku ketiga)
2. Harry Potter ke 7 (meskipun gak terlalu istimewa, tapi, ‘perpisahan’ dengan Harry Potter tetap meninggalkan kesan).
3. 168 Jam dalam Sandera
4. The Boy in the Stripped Pyjamas
5. Out (Bebas)
6. Neverwhere (Negeri Antah-Berantah)
7. The Namesake
8. Chocolat
9. 130 Solusi Kehamilan dan Persalinan (Hehehe… pas banget untuk calon ibu yang baru pertama hamil)
10. The Bookaholic Club (sebuah teen-lit yang beda…)

Ya, itu ajalah, gak usah dibedain mana yang fiksi mana non-fiksi.
Read more »

Chocolat

Chocolat
Joanne Harris
Bentang – Cet. I, Oktober 2007
374 Hal.

Vianne Rocher dan Anouk Rocher – anaknya, adalah seorang pendatang di sebuah kota kecil yang bersuasana muram bernama Lansquenet. Vianne yang misterius, membuat pastur di kota itu curiga pada dirinya. Francis Reynaud, si pastor itu, menganggap Vianne adalah seorang penggoda yang akan merusak kehidupan di Lansquenet.

Kedatangan Vianne dan Anouk bertepatan dengan diadakannya sebuah karnaval di hari Selasa sebelum Rabu Abu. Selama ini, Vianne selalu tinggal di kota-kota yang berbeda. Setiap kepindahan membawa cerita kelabu dari masa lalu Vianne bersama ibunya. Kali ini Vianne berjanji pada Anouk bahwa mereka akan menetap.

Vianne membeli sebuah rumah bekas toko roti. Banyak orang menduga, bahwa Vianne akan kembali membuka sebuah toko roti, tapi ternyata Vianne membuka toko yang mengejutkan banyak orang, yaitu sebuah toko cokelat yang diberi nama La Céleste Praline, toko yang pada awalnya sulit untuk diterima penduduk. Apalagi di lingkungan di mana, gereja adalah tempat yang sakral, sementara Vianne sendiri tidak pernah pergi ke gereja setiap hari Minggu. Hal yang dijadikan Pastor Reynaud sebagai alasan untuk menyerang Vianne dan toko cokelatnya.

Tapi, ternyata, toko cokelat itu mulai menarik perhatian penduduk di sana. Awalnya mereka datang dengan takut-takut, malu kalau perbuatan mengunjungi toko cokelat adalah hal yang dosa, sampai akhirnya mereka harus membuat pengakuan dosa di setiap kedatangan mereka di gereja.

Armade Voizin - seorang nenek tua yang nyentrik, Josephine Muscat - perempuan yang takut pada suaminya, Guillaume - yang selalu datang bersama anjingnya, dan beberapa penduduk lain, menjadi pelanggan tetap Vianne. Belum lagi anak-anak kecil, teman-teman Anouk di sekolah.

Masalah muncul ketika orang-orang Gipsi berdatangan, sebagian besara penduduk kota kecil itu yang tentu saja ‘diarahkan’ oleh Pastor Reynaud menentang kedatangan para Gipsi. Tapi, Vianne malah dengan tangan terbuka mengundang mereka untuk datang ke toko cokelatnya.

Puncak kebencian Pastor Reynaud semakin menjadi ketika Vianne berencana mengadakan Festival Cokelat menyambut Paskah. Menurut Pastor Reynaud, hal itu benar-benar penghinaan terhadapa gereja dan perayaan paskah itu sendiri. Tapi, Vianne pantang mundur.

ALambat laun, kehadiran Vianne yang lembut tapi tegas dan berani menimbulkan keberanian juga di hati para pengunjung setia toko cokelatnya. Vianne dengan cokelatnya yang lezat mampu membangkitkan berbagai hal yang tersembunyi, membangkitkan kejujuran.

Benar-benar buku yang ‘yummy’! Alur cerita memang terkesan lambat, tapi, seperti sedang menikmat cokelat, sedikit demi sedikit, biarkan mencair, lumer di mulut, maka akan terasa lezat dan nikmatnya… Mmmm…..
Read more »

Gerhana Kembar

Gerhana Kembar
Clara Ng
GPU, Desember 2007
368 Hal.

Lendy adalah seorang editor di sebuah penerbitan terbesar di Indonesia. Pengalaman bertahun-tahun sebagai editor membuat matanya sangat awas membedakan mana naskah sebuah cerita yang bagus, mana yang masih kurang sempurna.

Karena itu, ketika ia menemukan sebuah naskah tua di lemari neneknya, ia yakin naskah itu adalah sebuah naskah yang bagus. Tapi, bagian dari diri Lendy mengatakan naskah itu seolah merupakan bagian dari masa lalu neneknya, Diana, yang kini sedang terbaring di rumah sakit.

Naskah itu bercerita tentang kisah cinta antara dua orang perempuan, bernama Fola dan Henrietta. Kisah itu ditulis pada tahun 1982 dengan setting tahun 1960-an, di mana ketika itu hubungan antar sesama jenis masih sangat tabu untuk diungkapkan. Fola diceritakan sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak dan Henrietta adalah seorang pramugari. Mereka berkenalan ketika Henrietta hendak menjemput keponakannya yang merupakan salah satu murid Fola.

Mulailah Fola dan Henrietta merasakan ada getar-getar aneh dalam diri mereka. Perasaan yang malu untuk diungkapkan Fola, namun berbeda dengan Henrietta yang lebih berani. Karena sesuatu hal, mereka berpisah, tak sengaja kembali bertemu tapi keadaan sudah jauh berbeda. Fola sudah menikah dan sedang hamil, sementara Henrietta masih jadi pramugari dan melajang. Hubungan yang sempat terputus terjalin kembali.

Namun banyak halangan yang merintangi mereka untuk bersatu seutuhnya.

Lendy selalu penasaran dengan ending dari cerita itu. Semakin jauh ia membaca naskah itu, semakin ia yakin bahwa kisah itu merupakan bagian dari masa lalu keluarganya. Melalui kisah itu juga, Lendy dan Eliza, ibunya mencoba merajut kembali hubungan antara ibu dan anak yang selalu kaku dan dingin.

Yang gue suka dari Clara Ng, buku-bukunya selalu tampil dengan kisah yang berbeda, dan buku Gerhana Kembar ini, termasuk yang paling ‘serius’ di antara buku-buku lainnya.

Tapi, menurut gue, coba konflik antara Lendy dan Sari Beri, penulis gay yang naskahnya ditolak Lendy, dikembangin. Mungkin bakalan jadi lebih seru, tuh. Soalnya, Lendy sempat menolak naskah Sari Beri, karena pertama emang tulisannya terlalu ‘sastra’, sampe-sampe bakal bikin pembaca bingung, dan kedua, karena penerbit tempat Lendy bekerja, belum pernah menerbitkan naskah tentang hubungan sesama jenis.
Read more »

Jumat, 28 Desember 2007

Blog Entry 10 + 5 Buku Pilihanku


Ini dia 10 + 5 Buku-buku Pilihanku ,

1. Blindness – Jose Samarago
2. Bulan Jingga dalam Kepala – M. Fadjroel Rachman
3. Dong Mu – Jamal
4. Historian – Elizabet Kostova
5. Janda dari Jirah – Cok Sawitri
6. Middlesex – Jefrey Eugenides
7. My Name is Red – Orhan Pamuk
8. Out – Natsuo Kirino
9. Sintren – Dianing
10. The Professor and The Madman – Simon Winchester

Kesepuluh buku-buku tersebut diurut berdasarkan alfabet, jadi tidak mencerminkan urutan peringkat. Pemilihan kesepuluh buku ini tentu saja bukan berdasarkan nilai-nilai sastrawi ataupun lainnya melainkan hanya semata penilaian subyektif saya pribadi. Buku-buku mana yang membuat saya terkesan, menawarkan kebaruan tema, menambah wawasan berpikir saya, dan juga buku-buku yang membuat saya berseru O My God!, atau ini ‘buku ini hebat!’, atau ‘asik sekali membaca buku ini!’, atau ‘ ooo…begitu toh’, dll.

Bagaimana dengan buku-buku non fiksi ? Tahun ini saya jarang membaca buku non fiksi, namun dari sedikit yang saya baca saya memilih 5 buku yang paling berkesan menurut saya, yaitu :

1. Cherish Every Moment – Arvan Pradiansyah
2. Dinasti Yesus – James R Tabor
3. Instrumen orang Sukses – Ardian Syam
4. Menerbitkan Buku itu Gampang – Jonru
5. The Story of Christianity - Michael Collins & Mather A. Price

Kelima buku non fiksi tersebut membuka wawasan dan cara berpikir saya, salah satunya adalah buku kontroversi Dinasti Yesus, namun bukan berarti buku tersebut menggoyahkan iman saya akan keilahian Yesus, melainkan buku tersebut membuka wawasan saya akan Yesus yang disajikan secara sejarah dan deskripsi tentang zaman serta budaya yang menyertainya.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 24 Desember 2007

SELAMAT NATAL


Selamat Natal......
Tuhan Memberkati....
Agar Natal menjadi bermakna, berilah Kristus tempat utama di hatimu


Read more »

Selasa, 18 Desember 2007

7 Trik Sulap Memukau



Judul : 7 Trik Sulap Memukau - Abrakadabra Jadilah Anda Seorang Pesulap
Penulis : Bing Rahardja
Kata Pengantar : Deddy Corbuzier Msc, Yusuf Tirta
Penerbit : PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP)
Cetakan : 2007
Tebal : 35 hlm + bonus kartu permainan
Harga : Rp. 54.000,-

Permainan sulap selalu menarik perhatian orang. Dalam setiap kesempatan, sulap dapat dimainkan dimana saja. Tak perlu panggung yang mewah, atau peralatan yang canggih. Sesederhana apapun bentuk sulap yang disajikan pastilah memukau penontonnya dan mengundang decak kagum dan tepuk tangan dari mereka yang melihatnya.


Semenjak munculnya ilusionis kenamaan David Copperfield yang memadukan sulap dengan intertaiment dan Deddy Corbuzier yang menyebut dirinya sebagai seorang mentalist, sulap kini semakin populer dan semakin banyak orang ingin mempelajarinya untuk menguak apa rahasia dibalik permainan sulap. Karenanya kini kita bisa menemui orang menjajakan peralatan sulap plus latihan singkat untuk memainkannya mulai dari yang relatif mahal yang dijajakan di mall-mall hingga peralatan sulap sederhana yang dijual di emper-emper toko atau masjid.


Saking penasarannya orang akan rahasia sulap, tak tanggung-tanggung kita pernah menyaksikan sendiri sebuah acara TV yang menghadirkan sosok pesulap bertopeng yang menelanjangi rahasia dibalik ilusi-ilusi besar yang pernah dilakukan oleh pesulap-pesulap dunia. Acara TV tersebut sukses ditonton berjuta pemisra dan sedikitnya sudah dua kali diputar ulang di TV swasta kita.


Bagaimana dengan ranah perbukuan yang mengulas bagaimana cara dan memainkan sulap ? Entah di luar negeri, namun yang pasti di Indonesia buku yang memaparkan cara bermain sulap sangatlah jarang ditemukan bahkan mungkin tidak ada. Bersyukur kini sebuah buku yang mengupas trik bermain sulap bagi pemula hadir dengan kemasan buku yang menawan.


Buku 7 Trik Sulap Memukau ini ditulis oleh pesulap senior Bing Rahardja. Namanya mungkin kalah popular disbanding pesulap-pesulap yang muncul di TV seperti Mr Robin, Deddy Corbuzier, Yusuf Tritra, dll. Namun dikalangan pesulap ia adalah master sulap yang sesungguhnya. Menurut Yusuf Tirta dalam kata pengantarnya, Bing adalah seorang yang memiliki kemampuan bersulap yang begitu terasah sampai layak disebut "kamus sulap berjalan", namun karena kerendahan hatinya ia menolak untuk dipublikasikan secara besar-besaran. Tak heran karena kemampuannya inilah Bing Rahardja dijadikan guru, sahabat, dan konsultan bagi Deddy Corbuzier dalam berbagai acaranya.


Buku tipis yang dikemas dengan menarik dan dicetak diatas kertas art paper secara full colour ini memuat 7 trik sulap menggunakan kartu. Di dalamnya diungkapkan rahasia sulap yang dengan cepat bisa kita kuasai. Tampaknya Bing Rahardja telah merancang langkah-langkah bermain sulap yang mudah diikuti lengkap dengan ilustrasinya. Selain itu buku ini juga menyediakan peralatan bermain berupa kartu-kartu yang merupakan bonus dalam buku ini sehingga semua triknya dapat langsung dicoba di rumah.


Karena buku ini diutujukan bagi masyarakat awam yang ingin menjadi pesulap, maka trik-trik yang dipaparkan sangatlah sederhana dan mudah untuk dipraktekkan. Namun walau semuanya tampak sederhana semua trik yang dipaparkan dalam buku ini haruslah sering dilatih agar kita bisa memainkannya dengan sempurna layaknya pesulap-pesulap senior. Misalnya sulap "Mengikuti Pimpinan " (hal 3) dimana empat kartu putih polos tiba-tiba berubah menjadi empat kartu raja, atau "Kartu Berpindah Tempat" (hal 30) dimana dua lembar kartu Raja Hati dan Raja Wajik saling berpindah tempat. Ingin berlagak seperti seorang mentalis yang dapat membaca pikiran seperti Dedy Corbuzier ?, kita dapat mencoba triknya dengan cara tiga lembar kartu bergambar lingkaran dengan tiga warna berbeda diletakkan diatas meja. Lalu penonton memilih salah satu kartu dan kita dapat dengan tepat menebak/memilih kartu yang dipilihnya.(hal 7)


Selain ketujuh trik sulap, di akhir buku ini Bing Rahardja juga memberikan 10 aturan etika dan etika yang perlu diketahui oleh mereka yang ingin menjadi pesulap, antara lain; seorang pesulap harus mencintai sulap sebagai sebuah seni dan tidak sekedar alat untuk memamerkan diri karena hal ini dapat menghancurkan citra pesulap. Hargailah penonton, jangan remehkan penonton karena sulap memerlukan penonton. Pilihlah permainan yang sesuai dengan karakter kita dan tampilkan secara wajar. Selalu tersenyum kendati kadang trik yang disajikan mengalami kegagalan, berusahalah menemukan jalan keluar jika penyajian sulap tidak seperti yang diharapkan, dll.


Apa yang disajikan oleh Bing Rahardja dalam buku ini memang merupakan trik-trik sulap sederhana. Namun dibalik semua itu buku ini memberikan arti dan manfaat yang baik bagi siapapun yang ingin mengenal dunia sulap untuk pertama kalinya. Tak berlebihan kalau buku ini dikatakan sebagai pintu bagi seseorang untuk memasuki dunia sulap.


Sayang buku yang dikemas secara mewah dengan halaman-halaman full colour yang dicetak diatas kertas art paper ini membuat buku ini menjadi relatif mahal untuk ukuran buku setebal 35 halaman plus bonus kartu permainannya. Saya khawatir peminat buku ini akan terganjal untuk membelinya begitu melihat bandrol buku ini. Padahal buku ini bisa lebih disederhanakan. Karena tak ada ilustrasi foto, seperti layaknya buku-buku desain atau masakan rasanya tak perlulah buku ini dikemas secara full colour di halaman dalamnya, dengan demikian harga buku ini bisa lebih terjangkau oleh masyarakat luas.


Terlepas dari semua itu, tentunya kita berharap Bing Rahardja tak berhenti membagikan ilmunya hanya di buku ini saja. Semoga di kemudian hari ia akan mengulas sulap dalam berbagai jenisnya, termasuk beragam aspek dan permasalahannya yang begitu luas.


Bing telah membagikan trik-trik sulap kartunya yang sederhana. Namun bukan berarti ia membagikan sesuatu yang tak berarti. Sesuatu yang diawali dengan yang sederhana bukan mustahil melahirkan sesuatu yang luar biasa. Siapa tahu melalui buku ini kita terilhami untuk menjadi seorang pesulap dan kelak menjadi seterkenal David Copperfield atau Deddy Corbuzier. Semua itu mungkin dan tidak mustahil. Karenanya cobalah untuk mencoba semua trik-trik sulap yang terdapat dalam buku ini dan ABRAKADABRA ! jadilah anda seorang pesulap.

@h_tanzil
Read more »

Sabtu, 15 Desember 2007

Clockwork or All Wound Up

Clokcwork or All Wound Up (Si Pembuat Jam)
Philip Pullman
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU, November 2007
112 Hal.

Sudah menjadi tradisi bahwa jika setiap murid pembuat jam di Glockenheim yang sudah menyelesaikan masa belajarnya harus membuat patung baru untuk jam raksasa di kota itu. Di Glockenheim terdapat sebuah jam yang di menaranya terdapat ratusan patung, yang untuk melihatnya secara keseluruhan, seseorang harus menatap jam itu selama setahun penuh!

Tugas untuk membuat patung baru kali ini harus diemban oleh Karl, seorang murid yang baru lulus. Ia jadi stress berat karena ini memang tugas yang berat. Penduduk kota Glockenheim sangat menantikan patung ciptaan Karl ini. Tapi, menjelang saatnya tiba, Karl sama sekali belum membuat patung itu.

Lalu, muncullah, Fritz, seorang penulis muda yang selalu menyajikan kisah-kisah menyeramkan tapi tetap dinantikan oleh penduduk Glockenheim. Malam itu, malam sebelum Karl harus memamerkan patungnya, Fritz datang ke sebuah bar. Di tempat itu juga, Karl sedang minum-minum dengan gurunya, Herr Ringelmann. Berbeda dengan Karl yang pesimis, Fritz adalah orang optimis. Malam itu, Fritz tetap berusaha menyajikan sebuah cerita, meskipun ia sendiri belum tahu seperti apa akhir cerita itu. Maka, bergulirlah sebuah kisah yang berjudul 'Jam Mekanis'.


Malam itu ternyata menjadi malam yang sangat mengerikan, karena tokoh di dalam cerita Fritz, tiba-tiba saja muncul, menjadi nyata. Semua orang - termasuk Fritz - langsung lari dari bar itu, karena ketakutan, kecuali Karl yang masih saja bermuram durja. Dr. Kalmenius, itulah nama tokoh dalam cerita Fritz, mendekati Karl dan menawarkan sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah Karl.
Karl, tentu saja ingin menyelamatkan mukanya dengan menampilkan patung jam terbaik, meskipun harus dengan cara yang licik.

Waduh, meskipun ini buku anak-anak, tapi ternyata lumayan menegangkan juga. Buat gue, buku ini terlalu 'stress' buat anak-anak. Banyak kematian dengan cara yang sangat aneh, meskipun happy ending.

(Fiuuuhhhh.. akhirnya muncul juga di sini... padahal selesai bacanya udah lama banget...)
Read more »

Minggu, 09 Desember 2007

Mahasati

Judul : Mahasati
Penulis : Qaris Tajudin
Editor : Aries R. Prima
Penerbit : PT. Andal Krida Nusantara / AKOER
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : 392

Cinta adalah persoalan yang tidak pernah selesai, demikian yang selalu dikatakan Kef (Kurnia Effendi), cerpenis senior yang cerpen-cerpennya umumnya bertutur tentang kisah-kisah cinta yang sanggup megaduk-ngaduk perasaan pembacanya. Apa yang dikatakan Kef memang benar, cinta memang selalu membawa sejumlah persoalan baik itu yang manis maupun yang pahit. Karenanya kisah cinta tak akan pernah habis dikisahkan oleh para pujangga selama manusia masih dikaruniai hati dan perasaan. Kisah Cinta mungkin akan berakhir jika manusia punah dan digantikan oleh sebentuk robot tanpa hati.

Qaris Tajudin, wartawan Tempo yang sehari-hari melihat dan menyaksikan rangkaian fakta untuk dirawinya menjadi sebuah tulisan jurnalisme tampaknya tergerak untuk menulis kisah fiksi bernuansa cinta. Dalam novel perdananya ini Qaris mengisahkan tokoh Andi yang memiliki persoalan dengan cintanya. Namun jangan berharap novel ini bernuansa merah jambu, kisah cinta dalam novel ini terasa kelam, bukan berarti penuh dengan narasi keputusasaan karena kegagalan cinta diselubungi oleh kisah pelarian cinta tokohnya yang berkelana ke daerah konflik panas di Afghansitan.

Novel ini diawali sebuah peristiwa ketika Andi baru saja menghadiri pemakaman Yoyok, sahabat masa kecilnya. Di pemakaman ini Andi bertemu kembali dengan sahabatnya, Sati. Yoyok, Andi, dan Sati telah membangun persahabatan yang sangat akrab sejak masa kecil. Mereka sama-sama tumbuh menjadi dewasa hingga akhirnya kedekatan ini menimbulkan benih cinta antara Andi dan Sati. Namun benih cinta itu tak jadi tumbuh dengan semestinya karena sebuah peristiwa menyebabkan ketiga sahabat ini harus berpisah dan menjalani kehidupannya masing-masing. Yoyok sebagai perajin emas, Andi sebagai wartawan, sedangkan Sati berkarier menjadi seorang model dan desainer.

Peristiwa kematian Yoyok ternyata membuat benih-benih cinta yang penah tertanam dan mati suri antara Andi dan Sati kembali bersemi. Walau Larasari telah memiliki seorang anak dari seorang tanpa ayah yang resmi namun itu semua tak sanggup menghentikan tumbuhnya benih cinta diantara mereka. Namun pohon cinta yang mereka bangun kembali harus layu terkulai. Sati yang sangat mencintai anaknya tiba-tiba saja harus kehilangan hak perwalian untuk mengasuh anaknya. Sati harus terpisah dengan anak yang ia lahirkan dan besarkan selama delapan tahun dengan penuh kasih sayang. Sati sangat terpukul dan memilih mengakhiri hidupnya dengan menenggak valium yang membuatnya tidur selamanya. Yang menyedihkan, hingga akhirnya hayatnya Sati tak sempat dan tak diizinkan untuk bertemu dengan anaknya..

Andi yang terlanjur mencintai Sati apa adanya menjadi hancur. Ia menyesal karena selama ini ia tidak mengambil langkah berani untuk menikahi Sati. Andai saja ia berani mengambil keputusan tersebut pastilah ia telah hidup bersama Sati dan bersama-sama membantu Sati mempertahankan anaknya. Untunglah Andi masih tetap berpikir rasional. Kesedihan dan keputusasaannya ia tinggalkan dengan mengambil cuti panjang dan pergi jauh dari Jakarta. Atas anjuran teman lamanya Andi berangkat menuju Tunisia. Niatnya mulia, selain untuk mengusir rasa sedihnya dengan berkelana ke daerah yang benar-benar berbeda agar kenangannya bersama Sati tak terus menyiksanya, ia juga ingin mendekatkan dirinya pada Tuhan dengan cara mendalami ajaran agama di Tunisia sebuah kota yang eksotik dan penuh nuansa keagaamaan.

Di Tunisia Andi menumpang di sebuah toko buku milik Abdalla. Abdalla memiliki seorang anak yang bernama Ahmed, calon dokter yang seumur dengan Andi dan ikut dalam kelompok garis keras islam yang menentang pemerintah. Akhirnya Andi terseret masuk dalam kelompok itu dan merencanakan berbagai misi untuk menggulingkan pemerintah Tunisia. Sebuah peristiwa menyebabkan kelompok ini tercium keberadaannya oleh pemerintah. Andi dan kawan-kawannya masuk dalam daftar orang yang dicari. Dengan bantuan Miriam Ezra, gadis yahudi yang dikenalnya di toko buku Abdalla, Andi dan Ahmed keluar secara diam-diam dari Tunisia menuju Sisilia, Italia. Disana mereka ditampung dirumah ayah Miriam yang ternyata salah seorang gembong Mafia Sisilia.

Tanpa mereka duga, kehadiran Andi dan Ahmed dijadikan sandera oleh ayah Miriam untuk melancarkan bisnisnya. Untunglah mereka berhasil kabur hingga terdampar di Afghanistan. Awalnya Andi dan Ahmed bekerja di sebuah rumah sakit, namun pertemuannya dengan Fairuz membawanya masuk dalam petualangan mendebarkan dengan menjadi anggota pasukan bersenjata indpenden yang tugasnya melindungi kaum nomaden Afghanistan dari serangan para perampok yang menyamar sebagai anggota Mujahidin.

Di gurun-gurun Afghanistan, ditengah terikanya matahari pegunungan Hindu Khuz yang menyengat dan kerasnya hidup, akhirnya Andi menemukan sebuah oase bagi hatinya. Rasa cintanya yang sempat terkubur oleh pasir gurun bersemi kembali ketika ia bertemu dengan Nafaz, seorang putri kepala suku nomaden. Namun pengalaman cinta yang mereka nikmati tak berlangsung lama karena sebuah kontak dengan pasukan Amerika menyeret Andi masuk kedalam kamp tahanan di Guantanamo dimana Andi diinterogasi oleh interogator wanita Amerika berdarah Asia, Lucia Wong. Sebelumnya Andi tak mau membuka mulut ketika diinterogasi, namun pendekatan yang dilakukan Lucia Wong membuatnya luluh dan menceritakan semua kisah hidupnya. Dari penuturan Andi dan sebuah buku catatan yang ditulisnya akhirnya kisah hidup Andi terbuka secara terang benderang.

Novel ini disajikan dengan dua plot dengan dua tokoh sebagai penutur secara berganitan. Pertama tokoh Andi sebagai penutur yang menceritakan kisah kehidupannya, kedua Lucia Wong sebagai interegator kamp tahanan Guantomano yang ditugasi untuk membongkar keterlibatan Andi yang tertangkap patroli tentara Amerika Serikat di Afganistan. Plot pertama bergerak di dalam penjara Guantanamo ketika Lucia Wong menginterogasi Andi. Plot kedua dimulai saat pertemuan kembali Andi dan Sati di pemakaman Yoyok, lalu sejenak kembali ke masa kecil mereka dan terus melaju dengan setting Jakarta-Italia-Tunisia – hingga tentara Amerika menyerang pasukan Andi yang sedang mengawal suku nomaden menuju Asadabad Afghansitan.

Dengan adanya dua plot yang berbeda yang disajikan secara berselang-seling ini, membuat pembaca tak merasa jenuh karena pembaca seakan diberi jeda dari kisah hidup Andi yang suram dan menegangkan. Malah kehadiran plot yang menghadirkan tokoh Lucia Wong membantu pembaca untuk lebih memahami apa yang diperjuangkan oleh Andi karena cintanya.

Selain mengupas karakter Andi dan Sati sebagai tokoh sentral dalam novel ini, Qaris juga mengupas tokoh Lucia Wong. Lucia, adalah seorang wanita dingin yang sejak kecil dididik untuk memenuhi ambisi hidupnya tanpa mempedulikan cinta. Baginya cinta adalah penghalang tujuan hidupnya. Namun ketika ia menginterogasi Andi ia akhirnya sadar bahwa kisah cinta Andi lambat laun membangkitkan sesuatu yang selama ini ia tumpas yaitu kemanusiaan dan cinta yang selama ini ia anggap sebagai penghalang tujuan hidupnya.

Disajikan dengan lancar dan ditaburi oleh petikan puisi-puisi cinta karya penyair lokal (Gunawan Mohamad, WS Rendra, Abdul Hadi) maupun penyair dunia seperti Nizar Qabbani (Arab), Gizan Zenrai (Jepang), Jose Marti (Cuba), dll membuat novel ini terkesan romantis ditengah setting Afghansitan yang keras dan gersang. Suatu paradoks yang justru membuat novel ini menjadi semakin menarik.

Pengalaman Qaris Tajudin selaku jurnalis yang pernah meliput langsung perang terbuka di Afganistan pada tahun 2001 membuat setting landskap dan kondisi sosial budaya masyarakat Afghansitan khususnya suku-suku nomaden tersaji dengan begitu hidup. Untunglah Qaris tidak terjebak dalam penggambaran setting yang berlebihan yang kadang membuat bosan pembacanya dan mengaburkan ceritanya. Qaris tetap setia pada kekuatan kisahnya dengan tetap memberi wawasan yang cukup pada pembacanya mengenai setting dimana kisahnya bergulir.

Walau novel ini memiliki settting Afganistan yang berada dalam situasi konflik politik paska berkuasanya Taliban dimana pemerintahannya menimbulkan pro dan kontra, namun Qaris secara cerdas membuat novel ini tak berpihak pada siapapun. Tokoh Andi diceritakan bergabung dengan pasukan independent yang hanya bertugas melindungi suku nomaden dari para penjarah. Qaris juga secara seimbang menyajikan kebaikan dan keburukan pemerintahan Taliban sehingga novel ini tak memihak pada siapapun kecuali pada kekuatan cinta.

Tampaknya kehadiran novel Mahasati ini cukup menarik perhatian para book bloger yang rajin menulis review atas setiap buku yang telah dibacanya. Setidaknya ada 5 blog yang mengulas buku ini (http://perca.blogdrive.com/, http://qyu.blogspot.com/, http://jodypojoh.blogdrive.com/, http://maxbooks.wordpress.com/, http://jalaindra.wordpress.com) yang masing-masing mengulas dari sudut pandangnya masing-masing. Secara umum semua mengulas secara positif novel perdana Qaris Tajudin ini.
Namun para book bloger ini juga menemukan beberapa lubang seperti, Jody Pojoh yang juga seorang sarjana farmasi menemukan ketidaklogisan soal kematian Sati akibat menegak 3 butir valium @500 grm. Pdahal menurutnya tidak ada valium dengan dosis 500 gr.

Sementara itu
Baihaqi mengungkap bahwa di tengah cerita ia merasa seperti seperti sedang membaca sebuah jurnal perjalanan dari pengembaraan orang frustasi. Tapi untunglah ternyata endingnya berhasil dengan baik menutup kisah cinta yang tragis ini.

Endah Sulwesi mempertanyakan Sati yang tiba-tiba saja disebutkan memiliki kelainan jantung. Menurutnya, Qaris seolah-olah ingin mencari gampangnya saja. Padahal, andai tak ada “kelainan jantung”-pun, alasan dan penyebab kematian Sati karena over dosis sudah cukup logis.

Memang itulah ‘lubang-lubang’ yang ada pada novel ini. Saya tak akan menambahkan apapun kecuali lagi-lagi soal kebiasaan penerbit AKOER seringkali tidak memberikan data biografi penulisnya. Walau ada istilah yang mengatakan bahwa pengarang telah ‘mati’ ketika novelnya dibukukan, namun bukankah pembaca berhak mengetahui siapa penulis buku yang sedang dibacanya. Bagi saya biografi singkat penulis adalah salah satu pintu masuk untuk dapat lebih menikmati sebuah karya sastra.

Akhir kata, apa yang ditulis Qaris dalam novel perdananya yang dikerjakannya selama 5 tahun ini tentunya dapat memperkaya khazanah dunia fiksi Indonesia yang kini semakin ragam dalam cara penuturan dan tema. Dalam Mahasati Qaris tampaknya ingin menegaskan bahwa cinta tak pernah mati. Walau dicoba dipendam dengan berbagai cara cinta akan selalu ada dan dapat tumbuh dalam situasi yang esktrim sekalipun. Lucia Wong tak akan menduga kalau nilai-nilai cinta yang selama ini dianggap sebagai penghalang kariernya justru tersadarkan akan arti dan makna kekuatan cinta ketika ia berambisi untuk menaklukkan kebisuan Andi kepada iterogator lainnya. Sedangkan Andi sendiri yang mencoba melarikan diri dari cinta tak pernah menduga jika pelariannya ke daerah sarat konflik justru menumbuhkan kembali cinta yang ingin dikuburnya.

Jika demikian siapa yang dapat menyangkal kekuatan Cinta ?
Jika manusia mengganti hatinya dengan sebongkah batu, barulah cinta akan mati dan tak mungkin tumbuh lagi.

@h_tanzil

Read more »

Minggu, 02 Desember 2007

Sintren

Judul : Sintren
Penulis : Dianing Widya Yudhistira
Editor : A Ariobimo Nusantara
Penerbit : Grasindo
Cetakan : 2007
Tebal : 296 hlm

Sintren, adalah salah satu kesenian tradisional masyarakat sepanjang pesisir pantura, seperti Cirebon, Indramayu dan Pekalongan. Sintren adalah sebuah tarian yang berbau mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dan Raden Sulandono. Sulandono adalah putra Ki Baurekso hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Baurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam roh. Pertemuan tersebut diatur oleh ibu Sulandoro, Dewi Rantamsari dengan memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih, pada saat itu pula Sulandono yang sedang bertapa dipanggil roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan diantara Sulasih dan Sulandono.

Kisah diatas mendasari timbulnya kesenian sintren. Sesuai tradisi Sintren diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawangnya dan diiringi gending si penari akan dimasuki roh bidadari sehingga si penari akan menari dalam keadaan trance. Sesuai pengembangan tari sintren sebagai hiburan budaya maka kesenian ini dilengkapi dengan penari pendamping dan bador (lawak).

Pementasan Sintrén diawali dengan seorang gadis yang menari dengan pakaian seadanya (biasanya berkaus putih) ditemani dua dayang. Lalu nyanyi-nyanyian pun ditembangkan. Seorang dalang kemudian mengikat sintren dengan tali di sekujur tubuhnya sambil membaca mantra khusus. Lalu sintren akan pingsan dan dalam keadaan terikat, ia dimasukkan ke dalam kurungan ayam (yang diselubungi kain diluarnya) diiringi bacaan mantra sang dalang dan tembang-tembang.

Sesaat kemudian kurungan dibuka dan tiba-tiba sintren tersebut sudah memakai pakaian khas penari sintren lengkap dengan memakai kacamata hitam. Dalam keadaan trance Sintren akan terus menari, bahkan ia sanggup menari diatas kurungan ayam yang terbuat dari bambu. Selama menari inilah para penonton diperkenankan menari bersama Sintren dan memberinya uang saweran. Tarian ini berakhir ketika dalang membuat gadis tersebut tak sadarkan diri, dan memasukkannya kembali ke dalam kurungan. Saat dibuka, si gadis sudah kembali berpakaian seperti semula dan dalam kondisi terikat di sekujur tubuhnya persis seperti pada saat awal ia dimasukkan dalam kurungan.

Kesenian Sintren ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri., kini Sintren hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara besar atau pada hajatan-hajatan orang kaya di kampung. Jarang sekali bahkan hampir tak pernah sintren muncul di layar kaca yang semakin kini semakin dirajai program-program terbarunya nya yang membuat kita lupa akan akar budaya kita. Begitupun dalam ranah pustaka, rasanya hampir tak ada yang membahas secara khusus mengenai kesenian Sintren. Untunglah penulis muda Dianing Widya Yudhistira mengangkat Sintren sebagai judul dan tema sentral dalam novel perdananya ini.

Mau tak mau apa yang dilakukan Dianing ini mengingatkan kita pada penulis senior Ahmad Tohari yang pernah mengangkat salah satu kesenian Jawa dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan hingga kini novel tersebut masih terus dicetak ulang. Walau dari segi cerita dan kedalamannya berbeda namun dua-duanya mengetengahkan cerita fiksi yang dibalut dalam aroma budaya lokal yang tumbuh di masyarakat jawa.

Novel Sintren mengisahkan kisah hidup seorang penari Sintren yang bernama Saraswati.
Saraswati adalah gadis desa yang baru berusia 12 tahun, ia gadis yang lugu namun pintar dalam sekolahnya dan memiliki tekad yang kuat untuk melanjutkan sekolahnya hinga SMP. Ibunya seorang buruh nelayan, sedangkan ayahnya seorang tukang becak. Kesulitan hidup membuat ibunya yang nyinyir berusaha mengangkat derajat kehidupan mereka dengan menjodohkan Saraswati dengan Kirman, putra juragan Wargo, majikannya. Awalnya Saraswati menolaknya karena ia masih ingin bersekolah , namun akibat desakan ibunya, Saraswati terpaksa menerima dirinya untuk dijodohkan dengan Kirman.

Namun sesaat menjelang upacara tunangan, tiba-tiba Juragan Wargo membatalkan niatnya secara sepihak. Diam-diam Saraswatipun merasa lega karena dengan demikian ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan sekolahnya.

Belum lagi ia bisa bernafas lega, tiba-tiba Larasati yang sedang mencari penari Sintren melihat bahwa Saraswati tampaknya cocok untuk menjadi seorang penari Sintren. Hal itu diutarakannya pada Ibu Saraswati. Tanpa mendiskusikannya dulu dengan suami dan anaknya. Ibunya menyetujuinya dan langsung menerima uang panjar sebagai tanda kesepakatan untuk menyerahkan Saraswati menjadi seorang Sintren.
Lagi-lagi Saraswati dan ayahnya tak bsia menolak keinginan ibunya, apalagi Saraswati diiming-imingi sejumlah harapan memperoleh uang banyak yang bisa dipakaianya untuk melanjutkan sekolahnya ke SMP.

Maka setelah melalui prosesi penyeleksian yang dilakukan oleh Mbah Mo selaku dalang sintren, Saraswati dinyatakan lulus sebagai seorang penari Sitnren karena dari beberapa orang yang diuji hanya Saraswati yang lolos dari ujian dan tidak pingsan atau kesurupan ketika dimasukkan dalam sangkar ayam yang telah dimanterai oleh Mbah Mo.

Setelah Saraswati menjadi seorang Sintren, Saraswati berubah dari gadis yang lugu menjadi gadis yang memiliki kharisma seorang penari. Ia kini tak terlihat lagi sebagai seorang anak-anak. Saraswati yang tadinya seorang anak yang lugu dan kurang pecaya diri, kini tampil menjadi gadis yang percaya diri dan berani melawan kesewenang-wenangan yang diperbuat kawan-kawannya. Saraswati juga tampak lebih dewasa, selain itu dari aura tubuhnya memancarkan keelokan dan kemolekan seorang penari Sintren yang menbuat banyak lelaki terpana dan ingin mempersuntingnya.

Saraswati kini menjadi seorang penari Sintren yang terkenal, otomatis ia memperoleh uang yang banyak. Cita-citanya untuk melanjutkan sekolah ke SMP tercapai. Para lelaki berduyun-duyun hendak melamarnya. Namun kesuksesan materi ini harus dibayar dengan sejumlah peristiwa ganjil dan tidak mengenakkan. Pesona Saraswati membuat para lelaki di kampungnya baik yang sudah beristri maupun bujangan berniat melamarnya, tentu saja hal ini menjadi gunjingan tak sedap di kampungnya.

Saraswati akhirnya menerima pinangan seorang laki-laki, sayangnya belum sempat lelaki itu menyentuhnya, suaminya tiba-tiba meninggal dunia. Saraswati akhirnya menjadi janda, namun karena masih banyak yang mau menimangnya iapun segera menikah kembali, namun seperti suaminya yang pertama suami Saraswati yang keduapun meninggal sebelum menyentuhnya. Hal ini terus berulang. Saraswati menikah hingga empat kali namun semua suaminya harus mati mengenaskan sebelum menyentuh dirinya. Saraswati tetaplah seorang gadis.

Ia memang menjadi penari yang sukses dan memikat para penontonnya. Namun ada harga yang harus dibayar. Ia dianggap membawa sial bagi kampungnya karena setiap lelaki yang menikahinya pasti meninggal dunia. Ada apa gerangan dalam diri Saraswati apakah roh gaib yang memilihnya menjadi seorang Sintren tak rela jika Saraswati menikah dan berhenti menjadi seorang penari Sintren ?

Kisah Saraswati mengalir dengan lancar dan menarik dalam novel setebal 296 halaman ini. Dianing menuliskan novelnya dengan kalimat-kalimat yang sederhana. Tak ada penggunaan metafora yang berbunga-bunga yang kadang membingungkan pembacanya. Dianing menuliskannya dengan, lancar dan enak dibaca. Alurnya linier, tak berkelok-kelok dan langsung pada menuju inti cerita. Walau plot, kisah dan penggunaan kalimat-kalimatnya tampak sederhana, justru disinilah salah satu keistimewaan novel ini.

Bentuk penyajian novel yang sederhana dan lugas ini menjadi pas sekali dengan kesederhaaan kehidupan masyarakat peisisiran yang menjadi setting utama novel ini. Kultur dan kebiasaan masyarakat setempat mewarnai seluruh novel ini. Dengan demikian Dianing membawa pembacanya masuk kedalam realitas keseharian yang terjadi di tengah masyarakat Jawa Tengah lengkap dengan tradisi keseniannya yang paling menarik perhatian.

Dianing juga menjawab apa yang menjadi pertanyaan setiap orang yang pernah melihat tarian sintren, “Apa yang dirasakan seorang sintren ketika ia sedang menari?”. Novel ini mengungkap apa yang dialami, dilihat, dan dirasakan Saraswati ketika ia sedang menari Sintren. Dikisahkan dalam novel ini bahwa jiwa Saraswati terpisah dari raganya. Raganya dipinjam oleh ‘mahluk halus’ yang membantunya menari. Hal ini seolah menegaskan bahwa kesenian Sintren dilakukan tanpa trik-trik khusus yang menipu penontonnya. Sintren seperti halnya kesenian ronggeng, tayub, reog, dan debus tidak semata dikendalikan oleh kekuatan manusia biasa. Ada unsur mistis yang ikut mewarnai kesenian Sintren, dan ini bukan hal yang aneh karena masyrakat Indonesia toh memiliki sejarah animisme yang berkembang jauh sebelum masuknya agama-agama besar di Indonesia.

Satu hal yang tampaknya kurang dalam novel ini adalah Dianing tak menjelaskan dengan rinci bagaimana kesenian Sintren terbentuk, padahal hal ini sangat memungkinkan diungkap melalui dialog sederhana antara Saraswari dengan Larasati atau Mbah Mo yang membimbingnya menjadi seorang penari Sintren. Jika saja hal ini diungkap, pembaca pasti akan memperoleh wawasan baru mengenai latar belakang keseian sintren.

Novel ini juga tak menjelaskan kenapa Saraswati yang sama sekali tak memiliki darah seniman tiba-tiba bisa menjadi penari Sintren yang sukses. Novel ini hanya mengungkap bahwa Sintren yang ada dalam tubuh Saraswati adalah sintren Den Ayune Lanjar, sintren saksti yang memiliki kecantikan luar biasa. Tentunya akan lebih menarik jika diberikan penjelasan apa keistimewaan Saraswati sehingga Den Ayu Lanjar memilih tubuh Saraswati untuk dirasukinya.

Namun bagaimanapun novel yang sebelumnya pernah dimuat bersambung di harian Republika pada tahun 2005 ini patut diapresiasi dengan baik. Ditengah ragamnya tema-tema fiksi lokal yang mengupas habis kehidupan masyarakat urban modern, sejarah sejarah, politik, fantasi, dll , kehadiran novel Sintren yang membawa muatan lokal plus mengangkat ke permukaan tradisi kesenian Sintren yang hampir terkubur ini memberikan pilihan baru yang menyegarkan sekaligus menambah wawasan bagi pembaca buku-buku fiksi tanah air.

Tak heran jika novel ini terpilih dalam long list (10 besar) kategori Prosa Khatulistiwa Literary Award 2007 , ajang lomba bagi dunia literer yang menggelontorkan uang sebesar 100 juta rupiah plus studi ke luar negeri kepada pemenang pertamanya. Mampukan Sintren, novel perdana yang ditulis oleh penulis muda kelahiran Batang- Jawa Tengah ini bersaing dengan sembilan penulis lainnya di bidang prosa seperti Andrea Hirata, Akmal Nasery Basral, Cok Sawitri, Gus TF Sakai, Noorca M Yudisthira, dll ? Saya pribadi mengharapkan Sintren akan masuk dalam short List (5 besar) KLA 2007 untuk kategori Prosa. Dengan demikian novel ini semakin dibaca orang dan salah satu kesenian lokal yang hampir dilupakan orang akan terangkat kembali.

@h_tanzil
Read more »

Senin, 26 November 2007

Galigi


Judul : Galigi (Kumpulan Cerpen)
Penulis : Gunawan Maryanto
Editor : Damhuri Muhammad
Penerbit : Koekoesan
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal 158 hlm
Harga : Rp. 30.000,-

Berikut adalah makalah yang dibuat oleh Yanusa Nugroho yang disampaikan saat peluncuran buku ini beberapa bulan yang lalu.

Kumpulan cerpen ini juga masuk dalam long list Khatulistiwa Award 2007

@ h_tanzil

Galigi: Sebuah ‘beranda’ di mana kesunyian mengalir begitu saja

oleh : Yanusa Nugroho

Ketika membaca cerpen-cerpen Gunawan Maryanto, saya tak bisa lepas dari gambaran bahwa sosok si penulis adalah seorang teaterawan. Entah mengapa, gambaran Cindhil—begitu dia akrab disapa kawan-kawan, yang sutradara, yang dramawan, muncul mewarnai tulisannya. Saya, tiba-tiba meyaksikan “Repertoar Hujan”.

Ketika membaca halaman demi halaman kumpulan cerpen Galigi ini, kalau boleh saya bandingkan, ibarat melihat sesuatu—atau potongan sesuatu, yang sangat eye catching—meminjam istilah periklanan, dan terjadi dalam saat yang sangat singkat. Karena singkat, maka saya mencoba untuk mengamatinya lagi, namun sayang, bayangan itu sudah hilang, sehingga yang muncul adalah kesan yang tersimpan dalam ingatan. Bagi saya, yang seperti ini, jauh lebih indah.

Ada gambaran dua pendekar sakti yang bertarung dengan mengandalkan kesaktiannya. Ada kisah cinta yang aneh, tragis. Ada juga yang membuat kita senyum-senyum saja, misalnya pada “Selendang Nawang”, dan masih banyak lagi kesan-kesan yang bermunculan ketika membaca buku ini.

Yang jelas, apa yang ditulis GM di dalam kumpulan ini, saya nikmati sebagai sebuah dongeng. Dalam sebuah dongeng, kita mligi (semata-mata) disuguhi cerita, tanpa ada embel-embel kritik sosial, politik atau apapun. Bahwa nantinya kita menafsirkannya dengan mengait-ngaitkan pada unsur lain, itu boleh-boleh saja. Dan yang jelas pula, gaya penuturannya yang puitis, membuat saya makin asyik menikmati Galigi.
Simak saja, misalnya: “Lagu itu membimbing tangannya, kakinya, lehernya, pinggulnya dan seluruh persendiannya bergerak. Seluruh bentuk yang dimungkinkan tubuh dijelajah dengan penuh gairah. Kadang seturut irama yang disediakan bunyi dawai-dawai, kadang lepas sekehendak hatinya. Kadang di antara keduanya. Kadang garang, kadang tenang. Tubuh Khima mengkilap oleh keringat yang terbaca sebagai cahaya.” (hlm. 144, “Khima”).
***

Dalam membaca buku ini, saya tiba-tiba diingatkan pada sebuah perjalanan panjang. Ketika dalam keseharian saya dibebani persoalan sosial, budaya, politik dan ekonomi, tiba-tiba cerpen-cerpen ini seolah menawarkan sebuah beranda sejuk. Sebuah beranda yang mampu membuat saya tak berpikir apa-apa, duduk diam, sesekali menghela nafas dan membiarkan sunyi mengalir begitu saja. Sebuah jeda yang sangat saya butuhkan dalam menjalani rutinitas hidup.

Lewat dongeng-dongengnya ini, GM seakan tidak menawarkan apa-apa, kecuali hal terpenting bagi diri saya: istirahat sejenak. Kalau diibaratkan kerja sebuah baterai, maka saya memerlukan ‘isi ulang energi’ dan dengan tenang, tak berpikir apa-apa inilah saya mendapatkan kesempatan itu.

Untuk sesaat saya tidak memikirkan kiri-kanan saya, untuk sesaat saya tidak memikirkan diri sendiri, dan untuk sesaat pula saya tidak memikirkan apa-apa. Dan percayalah itu penting bagi saya.

Di Galigi inilah saya mendapatkan ‘beranda’ untuk menikmati kesunyian itu.

*****
Read more »

Minggu, 18 November 2007

New Moon

New Moon
Stephenie Meyer
Little, Brown - September 2006
563 Hal.

Setelah Bella hampir saja jadi mangsa vampire, keluarga Cullen, terutama tentunya Edward, makin protektif terhadap Bella. Tapi, ketika mereka harus berhadapan dengan Bella yang sedang terluka, mereka pun harus berusaha keras untuk menahan diri mereka ketika mereka melihat 'darah' di depan mereka.

Secara gak sengaja, waktu Bella sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 18 di rumah keluarga Cullen, jari Bella tergores kertas dan terluka. Langsung semua vampire itu tertegun dan menatap Bella dengan 'lapar'. Hanya Carlisle yang dokter, yang tetap brsikap tenang. Pesta pun jadi kacau dan berantakan.

Puncaknya, Edward memutuskan untuk meninggalkan Bella, dengan alasan, karena keluarga Cullen tidak bisa lagi lebih lama tinggal di Forks karena mereka akan terlihat tidak semakin tua dan mereka akan pindah ke LA.

Sejak Edward pergi, hidup Bella jadi seperti robot, statis, 'hidup segan, mati tak mau'. Sampai-sampai, ayahnya, Charlie pun gerah melihatnya. Teman-teman sekolah Bella juga menjauhinya karena sikapnya yang aneh.

Akhirnya, Bella memutuskan untuk berubah. Ia menemui Jacob Black, teman lama yang pernah ia temui di La Push. Tapi, ternyata, Jacob menyimpan rahasia yang gak kalah misterius.

Gara-gara jati diri Jacob yang baru, Bella harus memilih apakah tetap berteman dengan para vampire atau berteman dengan Jacob. Karena berteman dengan keduanya, mungkin malah menimbulkan masalah baru yang bakal membuat mereka saling bertentangan.

Masalah lainnya, adalah Victoria, teman James - vampire yang hampir saja membunuh Bella, ternyata masih berkeliaran untuk balas dendam atas kematian James. Belum lagi, Bella yang kembali harus berhadapan dengan keluarga vampire lain yang gak nyaris gak bisa menahan diri untuk tidak menghisap darah Bella.

Sebenernya, rada cape' juga baca buku ini. Untungnya, di buku kedua ini, masalah gak hanya berputar-putar sama Bella dan Edward. Justru, Edward muncul hanya di awal dan menjelang akhir buku. Kaya'nya si Jacob lebih cool and macho deh, daripada Edward yang katanya berwajah 'beautiful' itu.

Istirahat dulu alias baca buku yang lain sebelum lanjut ke buku ketiganya and terakhir, Eclipse.
Read more »

Jumat, 16 November 2007

Lelakon

Judul : Lelakon
Penulis : Lan Fang
Editor : Hetih Rusli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, Sept 2007
Tebal : 269 hal
Harga :

Lelakon adalah karya ke delapan dari penulis produktif asal Surabaya – Lan Fang. Dari kedelapan karya-karyanya tersebut, saya sudah membaca 5 karyanya : Kembang Gunung Purei, 2005), Laki-Laki yang salah (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006), Kota Tanpa Kelamin (2007), dan Lelakon (2007). Dari kelima karya yang sudah saya baca tersebut, menurut saya, Lelakon-lah yang paling sulit saya cerna. Kisahnya sendiri masih bisa saya nikmati hingga lembar terakhir, namun yang sulit adalah menangkap makna dari apa yang ingin disampaikan Lan Fang dalam novel terbarunya ini. Sebuah ulasan yang dimuat di buku ini yang ditulis Audifax yang berjudul “Tentang Lelakon” tak juga membuat saya bisa memahaminya, malahan bahasan secara psikologis yang diurai oleh Audifax membuat saya semakin bingung.

Untunglah resensi buku ini yang dimuat di Jawa Pos yang ditulis oleh psikolog asal Surabaya, Maria Dian membuat saya terbantu dalam memahami makna dari novel ini. Resensi yang ditulis dari sudut pandang resensor sebagai seorang psikolog ini mengungkapkan bahwa lelakon adalah novel yang menceritakan pencarian jati diri para tokoh-tokohnya. Sebuah kisah yang menceritakan secara gamblang perasaan (emosional) ''jati diri'' ketika diri yang sesungguhnya harus berhadapan dengan realitas yang pahit-kejam-bengis-tiada ampun. Sebuah kisah yang apa adanya membuka-mengeksplorasi-mendudah isi hati yang terdalam, yang paling benar, yang paling jujur: hati nurani.

Novel ini diawali dengan kisah tokoh Mon, seorang wanita mantan penjaga meja kasino kini hidup terjerat oleh hutang. Mon kelak berkenalan dengan Buang. Awalnya Buang diajaknya bermain taruhan dengan kartu-kartu hingga mereka hidup bersama. Lambat laun Mon bosan bermain kartu dengan Buang namun Buang memaksanya untuk terus bermain. Mon menjadi muak dengan Buang hingga akhirnya mereka bertengkar dengan hebat. Mon harus kehilangan tiga buah ujung2 jarinya yang mrotol karena digigit oleh Buang. Buang sendiri harus kehilangan lidahnya yang ditarik putus oleh Mon, selain itu dua buah bola matanya juga menggelinding ke lantai karena dicongkel oleh Mon.

Gambaran pertengkaran antara Mon dan Buang benar-benar mengerikan, dan tampaknya sengaja dibuat dengan sedikit berlebihan oleh Lan Fang. Dari sini saya baru sadar kalau novel ini bukan novel yang realis melainkan semi surealis. Hal ini semakin yakin setelah masuk kedalam bab Bola Kristal yang mengisahkan seorang wanita kaya bernama Bulan yang bosan dengan hidupnya dan bertukar tempat dengan Fantasi, wanita yang terperangkap dalam bola kristal milik Bulan.

Lalu ada lagi tokoh Marbuat, lelaki yang memiliki istri yang bernama Ratu Demit yang seusai dengan namanya adalah istri yang mengerikan, berwajah genderuwo dengan rambut kusut masai, tak pernah mengurus suaminya dan selalu menguasai Marbuat sehingga Marbuat menjadi lelaki yang takluk dibawah ketiak istrinya.

Lalu ada tokoh Tongki, lelaki kaya yang memperkaya dirinya dengan menipu orang-orang disekitarnya.
Kelak tokoh-tokoh itu akan bertemu dan merangkai sebuah kisah dengan lakonnya masing-masing. Fantasi akan bertemu dengan Marbuat, dan Tongki akan bertemu dengan Mon.
Konflik demi konflik akan bergulir silih berganti, kemarahan tokoh-tokohnya terhadap pasangan-pasangannya dan kehidupannya terungkap dengan emosional dan meledak-ledak. Nyaris tak ada kebahagiaan dalam novel ini kecuali kepedihan hidup akibat kemiskinan, konflik antar pasangan, dll. Ada yang berambisi menjadi kaya, , ada yang bosan hidup dalam sebuah kehidupan yang tertata rapi, lalu ada pula yang puas puas menjadi parasit (pencuri/penipu) hidupnya.

Seperti yang sering terdapat dalam karya-karya Lan Fang, tokoh lelaki dalam karya-karyanya adalah lelaki brengsek dan pecundang. Tokoh Angin Puyuh adalah tipe lelaki yang maunya dilayani dan kerjanya hanya mononton TV, Tongki, laki-laki penipu yang bersembunyi di ketiak istrinya, Marbuat laki-laki yang tak berdaya melawan kebuasan dan ketidakpedulian istirnya, Ratu Demit. Pengetahuan Lan Fang terhadap kisah-kisah wayang seperti yang selalu ia selipkan di tiap karya-karyanya kini mendapat porsi yang cukup banyak. Kali ini Lan Fang memadukannya dengan imajinasi liarnya dan kemarahannya pada laki-laki. Dalam novel ini tokoh-tokoh perkasa dalam dunia wayang seperti Yudistira,, Bisma, Arjuna dipermalukan kehidupan seksnya dengan mengungkap bawa Yudistira ternyata impoten. Bima menderita ejakulasi dini, Arjuna menderita penyakit raja singa, sedangkan Nakula dan Sadewa adalah pasangan cinta sesama/gay. Entah apa yang ada dalam benak Lan Fang. Lan Fang seakan memendam kemarahan yang meledak-ledak terhadap lelaki (benarkah demikan Lan Fang ?)

Selain mengungkap konflik antar tokoh-tokohnya, ada satu bagian kisah yang menurut saya paling menarik dan memberi pelajaran berharga bagi pembacanya, yaitu kisah ketika tokoh Mon berguru kepada Tongki, seorang penipu yang menjadi parasit bagi orang lain dan memperkaya dirinya dengan cara meminta-minta tanpa malu-malu. Setelah berguru pada Tongki, Mon berniat mempraktekkan ilmu agar menjadi kaya yang telah diperolehnya Namun alih-alih sukses menerapkan ilmu Tongki, Mon menemui sejumlah pelajaran berharga bahwa cara-cara yang dilakukan Tonki ternyata tidaklah sesuai dengan hati nuraninya.

Tongki mengajarkan bahwa salah satu cara menjadi karya adalah dengan bersikap diam dan membiarkan orang lain yang membayar makan dan minumnya. Mon mencobanya ;
Setiap kali bila berkumpul dengan banyak orang, ia diam saja, tidak minum, tidak makan, juga tidak mengeluarkan uang. Maka orang lain akan membelikannya minuman dan menawari makan. Ketika semua selesai makan, dilihatnya orang-orang berebut mengeluarkan uang untuk membayar makanan dan minuman. Mereka saling mendahului untuk membayar satu sama lain. Cuma ia yang berdiam diri. Setelah usai, ia melihat orang-orang itu bersalaman dengan enyum lebar. Mereka membuat jalinan persahabatan dengan ikhlas….

Maka di lain waktu ia juga bergantian membayar makanan dan minuman. Ternyata kegembiraan juga mengalir di hatinya ketika ia bisa ikut bercerta tertawa sambil menikmati kudapan bersama-sama. Kehangatan itu ada ketika bisa saling berbagi. (hal 179, 180)

Atau ketika Mon hendak menerapkan ajaran dari Tongki yang menyatakan bahwa jika hendak kaya maka ia harus belajar meminta, ternyata lidah dan mulutnya menyatakan bahwa “Kenapa harus meminta bila bisa memberi? Bukankah lebih terhormat memberi daripada meminta? Dan ketika ia memberi, matanya melihat bahwa orang-orang tersenyum kepadanya. Orang-orang yang menerima pemberian dengan mata sumringah dan mata berbinar. Selain itu ternyata dengan memberi ia tidak menjadi kekurangan malah manjadi kelimpahan. (hal 180-181)

Demikian salah satu hal menarik yang terdapat dalam novel ini. Terlepas dari kegagalan saya menangkap makna dari novel ini secara kekeseluruhan, saya rasa Lan Fang tampak semakin matang dalam merangkai kalimat menjadi sebuah kisah yang menarik. Kalimat-kalimatnya mengalir dengan lancar, enak dibaca dan kerap dihiasi kalimat-kalimat yang puitis dengan metafora yang mengagetkan. Selain itu Lan Fang tak jarang juga menggunakan kalimat-kalimat yang meledak-ledak terlebih ketika mengungkapkan kemarahan dari tokoh-tokohnya hingga membuat emosi pembacanya naik turun bak menaiki sebuah roller coaster.

Hanya saja saya koq jadi mulai jenuh dengan tema kepedihan hidup karena kemiskinan dan kemarahan Lan Fang pada lelaki yang selalu terungkap dalam karya-karyanya belakangan ini. Seorang kawan yang juga kerap membaca karya-karya Lan Fang mengeluhkan pada saya bahwa ia ‘capek’ membaca karya-karya Lan Fang yang sarat dengan kemarahan. Saya khawatir Lan Fang akan terlena berkarya dalam tema-tema serupa. Bukan berarti tidak menarik, namun saya berharap di karya-karya berikutnya ada keragaman tema yang diangkat dengan tetap mempertahankan gaya dan kekhasan kalimat-kalimat Lan Fang yang selalu menarik dalam berkisah.


@h_tanzil
Read more »

Senin, 05 November 2007

The Firework-Maker’s Daughter

The Firework-Maker’s Daughter (Putri si Pembuat Kembang Api)
Philip Pullman
Poppy Damayanti Chusfani (Terj).
GPU, Oktober 2007
144 Hal.

Lila tinggal di negeri sebelah timur hutan belantara dan selatan pegunungan bersama ayahnya, Lalchand. Ibu Lila meninggal ketika Lila masih kecil. Karena Lila susah diatur, maka Lalchand selalu mengajak Lila ke tempatnya bekerja. Lalchand bekerja sebagai pembuat kembang api. Suara desis dan letupan bubuk mesiu, percikan api sudah tidak asing lagi bagi Lila.

Beranjak dewasa, Lalchand mengajari Lila cara-cara membuat kembang api. Maka, sudah bisa dimaklumi apabila Lila pun mempunyai cita-cita mengikuti jejak ayahnya. Tapi, Lalchand lebih suka untuk segera mencarikan suami bagi Lila daripada menyetujui cita-cita Lila itu.

Salah satu syarat untuk menjadi pembuat kembang api adalah melakukan perjalanan berbahaya ke perut Gunung Merapi untuk menghadapi Angkara Api. Inilah yang membuat Lalchand khawatir. Tapi, Lila tak peduli. Lila nekad pergi ke Gunung Merapi untuk menunjukkan pada ayahnya bahwa ia mampu.

Lalchand kalang-kabut, karena tidak dengan begitu saja Lila bisa pergi ke Gunung Merapi dan menghadapi Angkara Api. Ada syarat lain yang harus ia penuhi untuk menghindari panasnya Angkara Api, yaitu dengan membawa seguci air ajaib dari Dewi Danau Zambrud.

Karena merasa bersalah membocorkan rahasia yang diceritakan Lalchand, Chulak, teman Lila yang menjadi pelayan pribadi Gajah Putih milik Raja, bersedia menempuh perjalanan mencari Lila. Sekaligus ia ingin membawa kabur si Gajah Putih yang sedang kasmaran dan bosan dengan kemewahan yang ia dapat selama ini.

Tapi, perjalanan itu ternyata juga tidak mudah. Buntutnya, malah Lalchand nyaris dijatuhi hukuman mati karena dianggap membantu melepaskan Gajah Putih. Dan, agar Lalchand terhindar dari hukuman itu, Lalchand dan Lila harus ikut serta dalam Festival Kembang Api, dan bertarung dengan para pembuat kembang api lainnya. Apabila Lalchand dan Lila mendapatkan tepuk tangan paling keras, paling lama, makan mereka akan terhindar dari hukuman.

Buku ini bener-bener buat anak-anak. Tulisannya gede-gede dan bukunya tipis. Isinya juga ringan banget, gampang dicerna dan happy ending.
Read more »

Jumat, 02 November 2007

Who Am I as A Parent


Judul : Who Am I as a Parent - Curhat Orang Tua
Penulis : Tisna Chandra
Penerbit : Serambi
Cetakan : I, Sept 2007
Tebal : 164 hlm

Menjadi orang tua adalah impian bagi setiap pasangan yang telah menikah. Ada yang mudah memperoleh anak, namun tak jarang ada pasangan yang perlu berusaha keras untuk memperoleh anak. Tak jarang pasangan ini rela mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya asal bisa melahirkan anak yang didambakannya. Namun ketika si buah hati telah hadir di tengah-tengah kita seberapa siapkah kita menjadi orang tua ?

Umumnya semua orang tua pada awalnya selalu merasa tahu, mampu bagaimana menumbuhkan, mengarahkan, dan mendidik anak mereka sendiri. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin bertumbuhnya anak-anak kita, banyak persoalan yang timbul hingga akhirnya tak jarang kita merasa gagal dalam membesarkan anak-anak, atau kita merasa anak-anak kita tidak tumbuh sebagaimana yang kita inginkan. Ketika itulah kita baru benar-benar merasakan bahwa membesarkan anak tak semudah yang kita bayangkan.

Menjadi orang tua setelah menikah memang terjadi dengan sendirinya. Walau tak pernah sekolah sebagai orang tua, ketika anak-anak kita lahir tiba-tiba kita mendapat seftifikat sebagai orang tua. Kita langsung mendapat job desciption:”mendidik dan membesarkan anak”. Cukupkah ilmu kita untuk menghandel berbagai persoalan yang kita hadapi dengan anak-anak kita yang terus bertumbuh ? Apakah kita mampu mengatasi masalah dengan anak kita yang kadang muncul diluar prediksi kita?

Buku Who am I as a Parent karya Tisna Chandra, psikolog klinis yang banyak berkecimpung dalam dunia anak, remaja, dan keluarga ini mencoba mengajak kita untuk sedikit mundur untuk merenung, melihat kembali ke belakang siapa sebenarnya diri kita yang saat ini sudah berpredikat sebagai orang tua. Sudah siapkah kita menjadi orang tua, apa bekal yang kita butuhkan selain bekal materi?

Buku ini berisi 5 buah bab yang disusun secara sistematis, yang dimulai dari bab yang membangun kesadaran pembacanya bahwa Tidak ada Sekolah Menjadi Orang Tua. Setiap orang tua pastilah memiliki keinginan untuk membesarkan dan mendidik anak secara sempurna, tapi kenyataannya menjadi orang tua tidaklah sesederhana apa yang kita bayangkan sebelumnya. Kenapa? Karena kita tidak mempunyai pengalaman sebagai orang tua. Pengalaman kita sebelumya adalah menajdi seorang “anak”. Karenanya perlu learning by doing untuk belajar menjadi orang tua.

Di bab kedua yang diberi judul Who Am I, kita diajak melihat bahwa setiap orang berbeda dalam cara berpikir dan mengekspresikan diri. Demikian juga kita sebagai orang tua, masing-masing kita memiliki kekuarangan dan kelebihan dalam membesarkan anak-anak. Mengenali keunikan, kekuarangan dan kelebihan diri adalah langkah awal sebelum mendidik dan membesarkan anak. Demikian juga dengan anak-anak. Anak adalah sesuatu yang unik yang mungkin tidak sama sifatnya dengan kita. Karenanya dengan mengetahui keunikan kita sebagai oarang tua dan keuinikan anak kita, kita bisa tahu cara menghadapi anak-anak kita.

Setelah mengenali diri sendiri dan anak-anak kita, maka orang tua harus mampu melakukan Probing (menggali) dan Matching(mencocokkan/menyesuaikan) dimana kita harus berusaha mengenali dan menggali anak kita lebih dalam lagi. Berusaha mengetahui kelebihan dan kekurangannya , potensi-potensinya, emosinya, dll dan berusaha mematchingkan, menyesuaikan, mencari tindakan dan pendidikan yang tepat bagi mereka.

Setelah melakukan probing dan matching, kita akan diajak masuk dalam bab selanjutnya yang diberi judul FASE (Fisik, Akademik, Sosial, Emosi), keempat formula tersebut harus kita persiapkan agar menjadi orang tua yang terbaik bagi anak-anak kita. Bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang baik jika fisik kita tidak sehat, atau secara akademik kita tak tahu apa-apa sehingga tidak bisa membantu anak-anak kita untuk mengerjakan PR-nya. Orang tua juga harus memiliki relasi sosial yang baik dengan lingkungannya agar bisa menjadi contoh pada anak bagaimana bersosialisasi. Selain itu orang tua juga dituntut untuk mampu mengontrol emosi ketika berhadapan dengan anak-anak, terlebih jika kita sedang menghadapi amsalah dengan anak-anak kita.

Di Bab terakhir pembaca akan disadarkan bahwa setiap orang tua memiliki harapan terhadap anaknya, anak memiliki harapan terhadap dirinya. Apabila harapan orang tua terhadap anaknya, harapan anak terhadap dirinya dan kapasitasnya bersinergi maka harapan itu akan menjadi kekuatan yang dapat mendorong anak untuk mengaktualisasikan kapasitasnya seoptimal mungkin.

Sesuai dengan sub judul buku ini yang dituliskan sebagai “Curhat Orang Tua”. Buku ini memuat puluhan surat curhat para orang tua, termasuk juga curhat anak-anak tentang orang tuanya. Dari curhat-curhat itulah Tisna Chandra mendasari semua pembahasan dalam buku ini. Karenanya semua kasus dan pembahasan dalam buku ini tidaklah mengada-ngada, semuanya sangat dekat dengan keseharian kita. Sangat mungkin apa yang dialami oleh para orang tua melalui curhat-curhatnya di buku ini juga meruapakan masalah yang kita hadapi.

Jalan keluar dan bahasan yang disampaikan oleh Tisna Chandra juga sangat realistis dan praktis. Tisna tak berkutat di landasan-landasan teoritis ilmu psikologis melainkan langsung membahasnya secara praktis, mudah dimengerti dan memberi kita insight akan peran kita sebagai orang tua. Pengalaman Tisna Chandra sebagai psikiater, trainer workshop parenting dan pengasuh rubrik psikologi di tabloid Nakita juga tampaknya membuat contoh-contoh kasus dalam buku ini sangat beragam dan hampir dipastikan mewakili juga kasus-kasus yang sedang dihadapi pembaca buku ini.

Selain contoh kasus, dan pembahasan, buku ini juga menyediakan bahan-bahan untuk refleksi, latihan dan tips yang bisa diisi oleh pembaca guna mempermudah kita untuk membentuk sienrgi yang kuat dan positif dengan anak kita.

Akhirnya buku yang sangat baik untuk dibaca oleh mereka yang telah menjadi orang tua atau mereka yang akan menjadi orang tua ini, pada akhirnya akan mengajak kita merenung. Siapkah kita menjadi orang tua ?, dan apa yang harus kita lakukan untuk menuntun dan membesakan anak-anak kita agar kelak anak-anak kita dapat tumbuh secara sempurna seusai dengan apa yang kita doakan dan impikan selama ini.

@h_tanzil
Read more »

Selasa, 30 Oktober 2007

Twilight

Twilight
Stephenie Meyer
Little Brown, September 2006
498 Hal.

Isabella Swan harus pindah dari Phoniex ke kota kecil bernama Forks untuk tinggal bersama ayahnya, Charlie Swan, karena ibunya Renee memutuskan untuk mengikuti Phil kekasih barunya dalam meniti karir di dunia persepakbolaan. Bella harus kembali ke kota tempat ibunya dulu meninggalkan ayahnya.

Di kota kecil ini, semua seolah sudah saling mengenal. Anak-anak saling berteman, orang tua saling berteman, bahkan mungkin kakek-nenek-buyut mereka juga saling mengenal. Bella sempat merasa kesepian.

Di sekolah yang baru segera saja Bella jadi pusat perhatian. Karena, jarang ada ada baru di tempat mereka, dan begitu anak baru datang, segera jadi bahan pembicaraan. Pribadi Bella kaya’nya cenderung tertutup. Meskipun ia gak menolak diajak berteman dan mudah bergaul tapi tetap saja ada bagian-bagian dari diri Bella yang menjaga jarak. Sampai akhirnya, ketika Mike, salah seorang temannya mengajak ke acara pesta dansa, Bella menolak dengan alasan ada acara lain yang mengharuskannya pergi keluar kota.

Di Forks High School, ada sekelompok remaja yang berpenampilan aneh dan selalu menyendiri bersama kelompok mereka, yaitu anak-anak keluarga Cullen – Emmet, Rosalie, Edward, Alice dan Jasper. Mereka sangat aneh, wajah mereka selalu tampak dingin, meskipun mereka termasuk berwajah tampan dan cantik. Di kantin, meskipun makanan terhidang di depan mereka, tapi, tampaknya mereka tidak pernah menyentuh makanan itu. Mobil yang mereka pakai ke sekolah juga mobil yang tergolong mewah, berbeda dengan anak-anak Forks lainnya. Menurut cerita yang didengar Bella dari teman-temannya, mereka semua adalah anak-anak angkat Dr. Carlisle dan Esme Cullen.

Di dalam pelajaran biologi, kebetulan Bella duduk bersebelahan dengan Edward Cullen. Perkenalan pertama tidak meninggalkan kesan yang baik di mata Bella. Malah Bella mengira ada sesuatu yang salah dengan bau badannya sampai-sampai Edward duduk sejauh mungkin dari Bella.

Tapi, suatu hari, Edward menyelamatkan Bella dari sebuah kecelakaan. Bella sempat bertanya-tanya pada dirinya sendiri, karena ada sesuatu yang janggal ketika kecelakaan itu terjadi. Mulailah Bella mencari tahu tentang diri Edward Cullen. Dan, Bella mendengar sebuah legenda dari Jacob, anak Billy teman ayah Bella. Katanya, keluarga Cullen berbeda dari manusia biasa. Mereka adalah pemburu dengan kata lain adalah sekelompok vampire. Beruntung mereka tidak memburu manusia, tapi mencari darah segar hewan.

Buntutnya, Edward dan Bella semakin dekat, bahkan sampai akhirnya membuat Bella berada dalam bahaya. Karena, keberadaan Bella di sekitar keluarga Cullen tercium oleh kelompok vampire lain yang lebih berbahaya daripada keluarga Cullen.

Sampai kapan Edward bakal bertahan untuk menjaga Bella dari vampire lain, maupun dari dirinya sendiri? Bisa dibaca dibuku-buku selanjutnya, yaitu New Moon dan Eclipse.

Sebenernya, mungkin ini adalah cerita romance biasa, tapi yang bikin gue tertarik, adalah tokohnya yang manusia biasa plus para vampire. Yang bikin seru ada di bagian-bagian akhir, yaitu bagian ‘perburuan’ James, si vampire jahat yang mengincar Bella.

Tapi yang kadang-kadang ‘membosankan’ adalah bagian ‘telenovela’-nya Bella dan Edward, yang selalu bilang, “I won’t leave you.” Tapi, tiba-tiba berbalik, “You have to leave me.” Ihhh… cape deh… Tapi, tetap… buku ini membuat gue penasaran sampai akhir…

Buku ini bakal dibuat film-nya. Yang jadi Edward… hmmm… cukup cocok…
Read more »

Jumat, 26 Oktober 2007

Dong Mu

Judul : Dong Mu
Penulis : Jamal
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : September 2007
Tebal : 240 hlm ; 20 cm
Harga : Rp. 28.000,-

5 Juli 2006, Korea Utara meluncurkan tujuh rudal percobaan. Rudal itu jatuh di perairan antara laut Jepang dan Semenanjung Korea. Seluruh dunia gempar karena khawatir rudal tersebut berhulu ledak nuklir. Insiden internasional ini membuat badan International Atomic Energy Agency (IAEA), salah satu organ PBB untuk urusan energi nuklir yang bermarkas di Wina segera mengambil langkah strategis sesuai tanggung jawabnya sebagai badan yang mengawasi pemanfaatan energi nuklir.

Eero Heiskanen , kepala Departemen of Safeguards IAEA menugasi Herman, staff IAEA asal Indonesia yang bekerja di departemen tersebut, untuk berangkat ke Korea guna menyelidiki ada tidaknya hulu ledak nuklir yang terpasang di rudal percobaan tersebut.

Di Seoul Herman bergabung dengan Kang Jin Sob, counterpart-nya di Korea Atomic Research. Ia juga bertemu dengan kawan lamanya, Prof Rukayadi – mikrobiolog Indonesia yang bekerja dan mengajar di sebuah Universitas di Seoul. Belum lagi Herman dan Kang Jin Sob melakukan tugas resminya tiba-tiba Herman memperoleh informasi kalau Robert Campbell, agen CIA yang sedang menyamar menjadi agen IAEA diculik oleh Kim Song Gi, agen intelejen Korut yang korup. Kim menuntut nyawa Robert Campbell ditukar dengan 50 kg uranium, jumlah yang cukup untuk dipasangkan di dua rudal berhulu ledak nuklir.

Tanpa diduga Kim menginginkan Herman sebagai mediatornya. Karena menyangkut warga negara Amerika maka markas tentara Amerika di Seoul menugaskan Mayor Snyder menyusun misi penusupan ke Korut untuk pembebasan Robert Campbell. Untuk itu Mayor Synder membentuk tiga tim (A,B,C), Herman, Prof Rukayadi, Kang Jin Sob, dan Park Yong Chul, seorang tentara korsel, masuk dalam Tim C yang bertugas untuk mengiriman uranium ke sarang penculik.

Belum lagi operasi yang dipimpin Mayor Synder menjalankan tugasnya, tiba-tiba pihak Pentagon membatalkan rencana operasi tersebut. Pentagon memiliki rencana lain, mereka menginginkan operasi militer besar-besaran dari wilayah Korea Selatan untuk membebaskan Campbell. Tentu saja ini beresiko memancing perang terbuka dan memicu pihak Korut untuk menggunakan rudal nuklirnya. Pihak Korsel sendiri tampaknya keberatan dengan operasi militer ini.

Sebuah ide gila tiba-tiba muncul di benak Prof Rukayadi. Ia mengusulkan untuk menyusup secara diam-diam ke Korut dan membebaskan Robert Campbell mendahului operasi militer Amerika. Jika mereka berhasil membebaskan Campbell, tentu saja tidak diperlukan lagi operasi militer besar-besaran. Jika tidak berhasil, nyawa mereka taruhannya dan kemungkinan terjadinya perang dan Korut menggunakan rudal nuklirnya semakin terbuka.

Ide gila ini akhirnya dilaksanakan, Herman, Prof Rukayadi, Kang Jin Sob, Park Yong Chu menyusup ke wilayah Korut dengan membawa 25 kg uranium (setengah dari yang dituntut si penculik). Petualangan yang benar-benar berbahaya. Diantara keempat orang ini hanya Park Yong Chu yang berlatar belakang militer dan mahir menggunakan senjata, sementara yang lainnya hanya bermodalkan tekad dan keberanian semata.

Kisah diatas adalah inti cerita dari Dong Mu , novel ke 5 dari novelis produktif – Jamal - , karya-karya sebelumnya yang telah diterbitkan adalah Lousiana-Lousiana (Grasindo,2003), Rakkaustarina (Grasindo,2004), Fetussaga (Grasindo, 2005), Epigram (Gramedia, 2006), dan yang akan segera terbit, novel ke 6-nya yang berjudul : Darul (Bentang Pustaka).

Jamal yang kerap mengambil setting luar negeri di tiap novel-novelnya kini mengajak pembacanya berkelana ke negeri ginseng Korea. Berbeda dengan novel-novel terdahulunya yang kerap berlatar belakang kisah cinta, dan geger budaya tokoh-tokohnya selama hidup di luar negeri, kini Jamal menghadirkan kisah petualangan spionase yang dibalut dengan krisis nuklir di semenajung Korea.

Seperti halnya tokoh Herman, dkk dalam novelnya ini yang nekad melakukan misi berbahaya, Jamal yang dalam kesehariannya mengajar sebagai dosen desain interior di sebuah univeritas swasta di bandung termasuk penulis yang nekad mengarang sebuah cerita tentang krisis nuklir. Sebuah tema yang jauh dari kesehariannya dan jarang atau bahkan tidak pernah disentuh oleh pengarang kita yang lain.

Selain ceritanya yang seru, novel ini banyak menyajikan dialog-dialog yang menambah wawasan pembacanya dalam hal nuklir. Salah satu keistimewaan jamal dalam novel-novelnya adalah menyajikan materi-materi yang tampaknya berat menjadi ringan karena dikemas dalam bentuk dialog antar tokoh-tokohnya. Demikian pula dalam Dong Mu, semua yang ingin disampaikan jamal pada pembacanya dikemas dalam dialog yang ringan dan mudah dipahami.

Dong Mu sendiri adalah frasa dalam bahasa Korea yang bisa berarti Kamerad, atau juga bisa diartiken sebagai teman. Judul yang tepat karena memang novel ini menceritakan pertemanan Herman dengan Prof Rukayadi dan sepak terjangnya dalam membebaskan seorang agen CIA yang diculik atas perintah Dong Mu (Kamerad) Kim Song Gi.

Salah satu yang menarik dalam novel ini adalah materi tentang kebijakan nuklir, baik kebijakan di negara-negara maju pemilik senjata nuklir, juga kebijakan nuklir di engara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam novel ini terungkap bahwa Indonesia sebenarnya memiliki tambang uranium di Kalimantan Barat, namun kita hanya bisa menggalinya untuk kemudian diekspor ke negara maju. Sayangnya ”…petinggi negeri kita dan masyarakat belum melihat nuklir sebagai energi alternatif, karena kita masih punya yang lain seperti gas alam atau panas bumi yang melimpah…..Padahal bila dipakai energi listrik, tidak akan terjadi byar pet seperti yang selama ini terjadi. Energi nuklir itu sangat efisien. “ (hal 32) .

Pembnangunan reaktor nuklir di negara berkembang jika dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan memang sangat bermanfaat, namun energi nuklir juga memiliki resiko yang besar jika dikelola dengan serampangan. Untuk itu melalui tokoh Herman dalam makalahnya yang disampaikannya di Konferensi Energi Nulir di Wina Austria terungkap bahwa pembangunan nuklir di negara berkembang memiliki resiko karena umumnya disiplin dan etos kerja yang relatif lemah . Kelemahan ini bagi reaktor nuklir sangat berbahaya karena diperlukan rutinitas dengan disiplin tinggi untuk pengawasan dan pemeriksaan instalasi. (hal 52).

Disinggung pula bahwa negara-negara berkembang yang tidak memiliki energi minyak sangat layak menerima bantuan dan kesempatan dalam mengurangi ketergantungan kepada minyak, dengan demikian utang mereka akan berkurang, dan itu artinya kemakmuran bangsa dan neraga miskin dapat diraih. (hal 53).

Selain tentang kebijakan nuklir dan manfaat pembangunan nuklir di negara-negara berkembang, novel ini mengungkap pula soal diplomasi nuklir, pertikaian politik tingkat dunia sehubungan dengan ambisi pengembangan nuklir, pasar uranium gelap, peta rudal-rudal yang dimiliki Korut, lanskap daerah perbatasan korea utara dan selatan, kritik terhadap kebijakan politik Amerika, dll. Dan yang tak kalah menarik adalah kisah petualangan Herman dan kawan-kawannya menyusup ke Korea Utara. Dalam hal ini jamal menyajikannya dengan seru, lengkap dengan kejutan-kejutan di akhir cerita seperti novel2 spionase umumnya.

Kehadiran tokoh Prof. Rukayadi sebagai sahabat Herman yang bekerja sebagai mikrobiolog juga turut menyemarakkan novel ini, selain sedikit disinggung soal penelitian kandungan berbagai tanaman indonesia yang digunakan sebagai jamu , Prof Rukayadi dengan keahliannya sebagai mikrobiolog juga turut berperan penting dalam operasi penyelamatan Robert Campbell.

Hanya saja awal keterlibatan Porf Rukayadi dalam operasi ini terlihat sedikit dipaksakan. Saat Herman dijemput oleh pihak militer Amerika untuk dibawa ke Yongsan, Herman mendesak agar Prof Rukayadi ikut menemaninya. Hal ini langsung disetujui oleh orang yang menjemput Herman tanpa berkonsultasi dengan atasannya. Sungguh tindakan yang ceroboh bagi sebuah operasi intelejen. Padahal untuk operasi rahasia yang melibatkan CIA, Amerika, dan militer Korea Selatan, rasanya tak mungkin dapat dengan begitu saja melibatkan orang seperti Prof Rukayadi yang jelas-jelas bidang pekerjaannya berbeda dengan urusan operasi ini. Namun untunglah kejanggalan ini kelak tertutupi oleh peran penting Prof Rukayadi dalam menjalankan operasi ini.

Satu lagi yang mungkin terasa kurang digali dalam novel ini adalah dampak lingkungan akibat kebocoran reaktor nuklir dan senjata nuklir. Tampaknya novel ini lebih condong ke arah politik dibanding ke dampak lingkungannya. Jika saja Jamal memberikan diskripsi yang agak detail untuk kerusakan lingkungan akibat kebocoran reaktor nuklir dan dampak lingkungan jika sebuah negara melakukan uji coba rudal berhulu ledak nuklir, tentunya novel ini akan semakin lengkap, sehingga pembaca tidak hanya mengetahui soal kebijakan dan pertikaian nuklir tapi mengetahui juga akibat bagi lingkungan yang rusak dari pemanfaatan energi nuklir yang salah.
Di novel kelimanya ini juga, tampaknya Jamal meninggalkan ciri khasnya di keempat novel terdahulunya. Biasanya Jamal selalu menyelipkan unsur-unsur desain bangunan atau produk dalam tiap novelnya. Di novel DongMu, ciri khas Jamal ini tak muncul, padahal ada yang sedikit bisa diangkat seperti desain lokal/tradisinonal di korea seperti istana, atau mungkin bangunan-bangunan modern yang terdapat di korea dll.

Terlepas dari kekurangan diatas, novel ini secara umum sangat bermanfaat dalam memperluas cakrawala berpikir pembacanya dalam hal kebijakan nuklir . Selain itu melalui tokoh utama dalam novel ini, yaitu Herman sebagai lulusan Fisika Kuantum di Universitas Tokyo yang bekerja sebagai staff IAEA, dan Prof Rukayadi sebagai mikrobiolog yang bekerja dan mengajar di Korea Selatan tentunya akan membangun kesadaran pembacanya bahwa cendekiawan Indonesia ternyata bisa juga berkiprah dan diakui keilmuwannannya di negara-negara maju.

Tokoh Herman dan Prof Rukayadi bukanlah tokoh fikif, mereka benar-benar tokoh riil yang ‘dipinjam’ jamal untuk menghidupkan novelnya ini. Herman adalah karakter dari Suhermanto Duliman yang kini bekerja di Nuclear Safeguards Inspector International Atomic Energy Agency (IAEA) di Wina Austria. Sedangkan Prof Rukayadi, adalah karakter dari Yaya Rukayadi, seorang microbilogist and carponist, dan penerima Seoul Honorary Citizenship, yang kini tinggal dan mengajar di Seoul Korea Selatan.

Apa yang diangkat oleh Jamal dalam novelnya kali ini, baik soal nuklir dan kiprah manusia indonesia di negara maju patutlah dihargai. Tak heran jika novel ini mendapat apresiasi yang baik dari Kusmayanto Kardiman, selaku Menteri Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Dalam endorsmentnya Menristek Kusmayanto menulis bahwa : “….buku ini mengasyikan untuk dibaca sampai tamat dan pembaca akan dapat banyak pelajaran dan kebanggan dari kisah kiprah anak-anak Indonesia yang berkarya nyata di luar negeri, khususnya Korea”.

@h_tanzil
Read more »

Minggu, 21 Oktober 2007

Usagi Yojimbo #1 : Shades of Death

Judul : Usagi Yojimbo # 1 : Shades of Death (Bayang-bayang Kematian)
Penulis & ilstrator : Stan Sakai
Penerjemah : Rosi L. Simamora
Teks & Layout : Eduard Iwan Mangopang
Editor : Tanti Lesmana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Sept 2007
Tebal : 197 hlm ; 9.8 mm
Harga : Rp. 35.000,-

Miyamoto Usagi, adalah samurai yang hidup di penghujung abad ke 16. Jalan hidupnya sarat dengan pertempuran. Ia hidup pada zaman dimana para tuan tanah (Lord) harus bertarung guna memperebutkan tanah dan kekuasaan. Usagi mengabdikan dirinya pada Lord Mifune. Dalam sebuah pertempuran yang dahsyat Usagi harus kehilangan majikannya yang tewas terbunuh. Otomatis Usagi menjadi seorang Ronin, samurai tanpa majikan. Usagi memilih menjadi ronin karena dia percaya , seorang samurai hanya boleh memiliki atau mengabdi hanya kepada satu majikan seumur hidupnya.

Siapa sebenarnya Miyamoto Usagi atau yang dikenal dengan nama Usagi Yojimbo ?
Ia adalah seekor kelinci !. (Usagi = kelinci, yojimbo= bodyguard). Bagaimana mungkin seekor kelinci bisa menjadi samurai? Hal ini mungkin saja terjadi dalam dunia komik atau istilah kerennya disebut Novel Grafis.

Stan Sakai, pemenang Eisner Award, adalah komikus kelahiran Jepang yang kini berkarya dan bermukim di Amerika Serikat. Dalam menciptakan karakter Miyamoto Usagi ia mengaku terinspirasi oleh samurai legendaris Miyamoto Musashi. Hanya saja karakter yang ia ciptakan ini bukanlah manusia melainkan seekor kelinci yang berperilaku seperti manusia. Hal ini dikenal dengan istilah ‘Anthropomorphic’, yaitu memberikan sifat manusia kepada satu objek
yang bukan manusia. Contoh yang paling populer adalah tokoh donal bebek, kura-kura ninja, sponge bob,dll yang berperilaku layaknya manusia, berjalan dengan dua kaki, dapat berbicara, berpikir dan melakukan aktifitas yang dilakukan manusia. Demikian pula dengan seri Usagi, semua tokoh-tokohnya merupakan hewan yang berperilaku seperti manusia.

Shades of Death (Bayang-bayang Kematian) merupakan salah satu komik hitam putih seri Usagi yang pertama kali diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Gramedia. Sejatinya Shades of Death merupakan buku kedelapan dari ke duapuluh satu seri Usagi Yojimbo. Namun buku ini diberi titel oleh Gramedia sebagai buku #1. Tampaknya Gramedia menerjemahkan seri Usagi berdasarkan penerbitan dari Darkhorse yang mulai menerbitkan seri Usagi dari buku kedelapan sejak Stan Sakai bergabung dengan Darkhorse mulai September tahun 1997. Sedangkan buku pertama hingga ketujuh diterbitkan oleh Fantagraphics Books.

(Foto: Koleksi lengkap Usagi Yojimbo milik Rieza Fitramuliawan)

Dalam Shades of Death, Stan Sakai mengetengahkan 7 buah cerita petualangan Usagi Yojimbo yang masing-masing kisahnya berdiri sendiri. Kisah pertama yang diberi judul Bayang-Bayang Hijau dibuka dengan adegan ketika Usagi dan temannya Gen, seekor badak petualang bertarung menghadapi serbuan para ninja dari marga Neko. Lolos dari kepungan ninja, Usagi dan Gen bertemu dengan Kakera, tokoh sakti yang memiliki kemampuan sihir. Kakera membawanya ke kediamannya dan darinya diperoleh keterangan bahwa Marga Neko sedang berperang dengan Marga Komori. Untuk mengalahkan Marga Komori, Ninja Neko menangkap Kakera guna mendapatkan kekuatan sihirnya. Selain itu Ninja Neko juga berniat membunuh semua penduduk desa tempat Kakera tinggal agar tidak ada saksi atas perbuatannya. Untuk melawan Ninja Neko, Kakera dengan sihirnya menghadirkan Leonardo cs, yang dikenal dengan sebutan Kura-kura Ninja. (Teenage Mutant Ninja Turtles/TMNT). Kehadiran yang mengejutkan pembacanya karena Leonardo cs berasal dari zaman yang berbeda dengan zaman samurai.

Lalu ada lagi kisah “Shi”, kisah yang tak kalah seru, dimana Usagi mencoba menyelamatkan penduduk desa yang hendak diusir oleh penguasanya yang ingin menguasai sendiri kandungan emas yang terdapat di desa itu. Untuk menakut-nakuti penduduk desa agar tidak betah dan meninggalkan kediamannya, si penguasa menyewa empat orang pembunuh bayaran yang bernama Shi (dalam aksara jepang ‘shi’ bisa berarti empat atau kematian). Kisah semakin seru ketika akhirnya Usagi harus berjuang seorang diri untuk mengalahkan gerombolan Shi.

Selain itu ada pula kisah yang unik dan lucu yang berjudul “Dongeng Kadal-kadal”, kisah yang menceritakan Usagi yang direcoki oleh kadal-kadal ini sangat unik adalah karena seluruh panel gambar dalam kisah ini tak satupun yang menyertakan balon percakapan kecuali kalimat bunyi seperti “krak”, “iip-iip” (suara kadal), “hook”, “grrrr”, “glek”, dll. Perlu diketahui, kadal adalah karakter favorit Stan Sakai, karenanya kita akan menemui sang kadal berseliweran dalam seluruh cerita dalam buku ini.

Di tiga kisah terakhir di buku ini yang berjudul : Kebun Usagi, Musim Gugur, dan Medan Pertempuran, semuanya menceritakan masa lalu Usagi ketika masih belajar untuk menjadi seorang samurai. Ketiga kisah ini menarik dari segi filosofis karena semua kisahnya mengandung nilai moral yang tinggi. Namun walau demikian ketiga kisah ini tetap menghibur dan mudah dimengerti oleh pembacanya.

Banyak kalangan memuji serial Usagi Yojimbo ini. Walau dikemas dalam bentuk komik yang semua tokohnya binatang, dan menceritakan sepak terjang seorang ronin kelinci yang sarat dengan adegan pertempuran, namun komik ini mengungkap pula soal, budaya, mitos, folkor, sejarah, dan kehidupan masyarakat jepang di abad ke 16. Bahkan beberapa kisah seri Usagi diadaptasi dari kejadian sesungguhnya yang dicatat dalam buku-buku sejarah Jepang.

Keputusan Stan Sakai menggunakan karakter binatang untuk seluruh tokoh-tokohnya juga bisa dikatakan langkah jenius, karena dengan demikian aroma kekerasan dalam seri usagi akan sedikit tersamarkan. Warna hitam putih yang dipakai dalam seri Usagi juga turut meredam nuansa kekerasan karena tak ada warna merah darah ketika pedang usagi menyabet lawan-lawannya.

Bersyukur kini pecinta komik tanah air bisa menikmati komik yang telah diterjemahkan ke lebih tujuh bahasa ini kedalam bahasa Indonesia. Gramedia menerbitkan komik ini dengan format yang hampir menyerupai aslinya dan dicetak dengan kualitas cetak yang memuaskan. Guratan Stan Sakai yang bersih, detail, panel-panel gambar yang tertata rapih, ksiah-kisahnya yang menarik, membuat komik ini memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi bagi siapa saja. Tak heran komik ini diberi label ‘semua umur’ oleh gramedia, namun mungkin lebih tepat jika dikategorikan sebagai bacaan remaja-dewasa karena anak-anak rasanya tak mungkin memahami seluruh rangkaian kisah dalam buku ini.

Keputusan Gramedia untuk menerbitkan seri Usagi Yojimbo dari nomor 8 : Shades of Death, sempat dipertanyakan Rieza Fitramuliawan, penggemar dan pemerhati komik yang aktif berdiskusi dalam milis-milis komik. Dalam sebuah milis perbukuan, Rieza menulis bahwa jika pembaca memulainya dari buku ke delapan maka terlalu banyak cerita yang terlewat dan akan sangat mengganggu kenikmatan membaca. Walau di buku ke delapan (shades of death) ini
kejanggalan cerita tidak begitu terasa, tapi pada buku-buku selanjutnya, akan banyak catatan kaki yang ditulis oleh Stan Sakai yang merujuk pada beberapa peristiwa yang terjadi di buku-buku
sebelumnya.

Menanggapi hal ini, Tanti Lesmana (editor GPU) ketika menjawab keraguan Rieza mengungkapkan bahwa penerbitan seri Usagi yang dimulai dari buku kedelapan ini sudah didiskusikan dengan penerbit Darkhorse selaku pemegang right buku ini. Jadi untuk di
Indonesia seri Usagi akan dimulai dari buku 8 sampai 13, setelah itu baru dari nomor 1 -7 akan menyusul diterbitkan. Namun demikian Tanti juga menjamin meski dimulai dari Shades of Death, ia yakin pembaca tidak akan bingung mengikuti ceritanya.

Memang benar, seluruh kisah dalam buku ke delapan ini masih bisa diikuti jalan ceritanya, namun pembaca yang kritis tetap akan merasakan adanya hal yang perlu diketahui olehnya agar dapat lebih menikmati buku ini sengan sempurna. Misalnya kemunculan Gen dalam kisah Bayang-bayang Hijau mungkin menimbulkan pertanyaan siapa Gen dan mengapa Usagi berkawan dengan Gen, siapa ninja Neko, atau saat Leonardo. Cs (kura-kura Ninja) bertemu dengan Usagi terungkap bahwa mereka sudah pernah bertemu, hal ini menimbulkan pertanyaan bagi pembaca kapan mereka perbah bertemu, dll. Semua iti tidak dijelaskan dalam buku ke delapan. Asal-usul Usagi pun tidak terungkap secara jelas kecuali pada sinopsis singkat di cover belakang dan tiga kisah terakhir di buku ini yang menceritakan masa lalu Usagi ketika berguru pada senseinya.

Hal lain yang dalam edisi terjemahan yang disesalkan oleh Rieza adalah tidak dimuatnya kata pengantar di buku ini. Menurutnya sejak seri Usagi 1 s/d 21 sampai saat ini, selalu terdapat kata pengantar dari tokoh terkenal , mulai Jodorowski, William Stout, Will Eisneer, dan beberapa tokoh terkenal lagi lainnya. Ini memperlihatkan bahwa cerita usagi menarik bagi banyak kalangan dari berbagai profesi dan banyak dipuji oleh publik Amerika. Walau sebenarnya ini promosi, tapi sayang kata pengantar jika dihilangkan : kadang dengan membaca kata pengantarnya kita bisa memahami cerita dan filosofi cerita dari perspektif lain. Demikian ungkap Rieza

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan edisi terjemahan buku ini, terbitnya seri Usagi tentunya disambut baik oleh pecinta komik di Indonesia. Semoga Gramedia diberikan nafas panjang untuk terus menerbitkan secara lengkap ke 21 seri Usagi Yojimbo. Menikmati kepiawaian Stan Sakai dalam mengadaptasi legenda samurai tak cukup hanya di buku ini saja. Di seri-seri selanjutnya masih banyak hal-hal menarik dari petualangan si ronin kelinci usagi yang tentunya memberikan banyak manfaat dalam memperluas cakrawala berpikir kita khususnya dalam semangat dan filosofi bushindo, dan sejarah Jepang dimasa lalu.

@h_tanzil
Read more »