Tampilkan postingan dengan label drama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label drama. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Agustus 2012

Dollhouse



Dollhouse
Kourtney – Kim – Khloe Kadarshian
Inosensu Rotorua (Terj.)
Penerbit Esensi - 2012
327 hal
(buntelan dari Penerbit Esensi)

Cover yang eye-catching dengan motif macannya, ditambah dengan nama penulisnya, membuat gue bertanya-tanya, beneran gak ya ini tulisan para The Kadarshians? Jangan-jangan ceritanya sama aja seperti lagi nonton reality show tentang kehidupan mereka, yang penuh dengan party, belanja-belanja dan kehidupan yang mewah itu.

Jujur aja, pertama kali gue tau yang namanya Kim, Khloe dan Kourtney Kadarhsian, adalah saat lagi makan siang di kantor. Waktu itu di kantor baru aja dikasih fasilitas televisi di pantry. Temen gue memindahkan chanel ke salah satu acara reality show-nya The Kadarshians ini. Gue pun bertanya sama temen gue, “Sebenernya siapa sih mereka ini?”  Karena gak pernah kedengaran nyanyi atau main film, tau-tau ngetop aja gitu. Hehehe.. atau gue aja yang kuper kali ya?

Jadi, Dollhouse berkisah tentang kehidupan 3 bersaudara – Kass, Kamille dan Kyle Romero(hmmm.. ya.. perhatikan awalan yang sama dengan nama-nama mereka). Awalnya mereka ini termasuk keluarga selebritis, tapi sejak kematian ayah mereka, yah, terpaksa mereka ‘menurunkan’ standard kehidupan mereka ‘sedikit’.       

Kass, yang paling tua, paling pintar dan paling ‘alim’. Prestasi akademiknya cemerlang. Tapi, sayangnya tidak diikuti dengan kehidupan percintaan yang sukses juga. Karena ‘kutu buku’, Kass jarang melirik para cowok-cowok, padahal Kass gak kalah cantik dari Kamille.

Kamille, yang paling cantik, paling glamour – gambaran yang rasanya paling mendekati cewek-cewek Kadarshians. Ia bermimpi jadi foto model terkenal. Perawatan dirinya sangat mahal. Dan akhirnya.. keberuntungan itu memang datang. Ketika sedang duduk-duduk di café, seorang agent menghampirinya dan memberi tawaran untuk menjadi foto model. Karir Kamille langsung melesat, ditambah lagi ia berpacaran dengan seorang pemain football yang terkenal playboy. Tapi, yah namanya udah cinta mati, gak peduli deh seperti apa gossip yang beredar. Paparazzi selalu menguntit Kamille, reality show pun ingin ikut ambil bagian.  

Lalu, si bungsu, Kyle, si pemberontak. Kyle lebih tertutup dibandingkan dengan dua saudaranya. Sikap ini muncul semenjak ayah mereka dinyatakan tewas saat sedang berlayar. Orang tuanya sering dipanggil ke sekolah karena sikap Kyle yang ‘ajaib’. Terkadang juga secara diam-diam, ia mengambil minuman keras dari lemari ayah tirinya.

Sejujurnya gue ‘lega’ saat membaca buku ini, karena isinya gak terlalu mirip dengan kehidupan asli mereka (eh.. emang gue tau aslinya mereka gimana?). Yahhh..  paling gak beda dengan yang bisa diliat di acara televisi mereka itu. 







Tokoh favorit gue adalah Kyle, yang meskipun gak terlalu banyak porsinya dan meskipun anak bandel, tapi dia sayang sama adik tirinya, Bree. Hehehe.. emang gue selalu lebih suka dengan tokoh yang rada-rada rebellious.

Isi buku ini …yah.. drama banget… Tokoh-tokohnya buat gue lumayan punya konflik yang beragam. Tapi emang sih, kadang gak jauh-jauh dari urusan percintaan.

Yang gue suka adalah isinya yang tentang persahabatan di antara kakak-beradik, gak ada satu sama lain yang merasa tersaingi, malah saling support. Yah, meskipun sempat ada masalah besar antara Kass dan Kamille. Tapi, love conquers it all…  Antara saudara tiri juga gak ada yang namanya permusuhan kaya’ cerita Bawang Merah Bawang Putih.. hehehe…

Tapi, gue sempat bertanya-tanya, "Apa enak ya kalo setiap hari selalu dikuntit kamera? Untuk 'menggerutu' aja gak boleh?"

Well… awal yang baiklah untuk The Kadharsian buat terus bikin tulisan.
Read more »

Minggu, 22 Juli 2012

Veil of Roses



Veil of Roses (Kerudung Merah)
Laura Fitzgerald
Rahmani Astuti (Terj.)
Rini Nurul Badariah (Editor)
GPU, Cet. I, Mei 2012
376 hal
(swap sama mbak Shinta)

Hadiah ulang tahun kali ini jadi hadiah yang sangat berkesan untuk Tamila. Orang tua Tamila memberikan tiket sekali jalan ke Amerika Serikat. Tamila tidak ‘diharapkan’ untuk kembali ke Iran. Yah, seperti yang kita ketahui, kehidupa di Iran begitu keras, terutama untuk perempuan. Di mana perempuan nyaris tidak diberikan kebebasan. Perempuan harus senantiasa tertutup, tidak boleh ketauan berduaan dengan pria yang bukan muhrimnya, dan masih banyak lagi larangan lainnya. Apalagi jika sudah memasuki kehidupan pernikahan, perempuan Iran masuk ke rumah suaminya dan hanya akan keluar rumah saat ada di keranda jenazah.

Karena itulah, Baba dan Maman joon merelakan Tami untuk pergi ke Amerika menyusul kakaknya, Maryam. Tapi, visa Tami hanya berlaku 3 bulan. Yah, orang tua Tami berharap, dalam waktu 3 bulan, Tami segera menemukan pria yang bersedia menikahinya (dan tentu saja warga Negara Amerika) sehingga Tami bisa mendapatkan green card dan tak perlu lagi kembali lagi ke Iran.

Begitu pesawat mendarat di Amerika, Tami langsung membuka hijabnya, seperti juga orang-orang lain yang ada di pesawat. Dan begitu bertemu kakaknya di bandara, penampilan Tami langsung ‘dipermak’. Maunya sih menarik perhatian pria yang mau dijodohin dengan Tami, tapi yang ada si cowok malah jadi il-fil dengan dandanan Tami yang jadi rada ‘norak’.

Sementara Maryam gencar menjodohkan Tami dengan pria keturunan Persia lain, kehidupan Tami di Amerika diwarnai dengan persahabatannya dengan teman-teman di tempat kursus bahasa Inggris dan kehadiran seorang pria Amerika bernama Ike.

Gue cukup menikmati cerita di dalam buku ini. Meskipun yah, ending-nya klise dan mudah ditebak, tapi untungnya di dalam buku ini gak ada kisah cinta yang menye-menye. Justru lebih banyak tentang pergolakan batin Tami yang antara harus rela dengan perjodohan dengan pria-pria ajaib demi bisa tinggal di Amerika, seperti Haroun yang ‘parno’an, atau Masoud yang juga gak kalah ajaib.

Gue jadi bertanya-tanya, apakah harga sebuah kebebasan juga harus dibayar dengan ‘identitas’ yang berubah drastis? Tema yang diangkat dalam buku ini juga menurut gue rada ‘sensitif’, di mana seorang perempuan langsung membuka hijabnya sebagai tanda kebebasan. Ooopps.. gue gak mau sok tau sih, karena gue sendiri belum menjalani yang satu ini sih…

Kisah tentang perjodohan ini tak hanya dialami oleh perempuan dari Timur Tengah seperti Tami, tapi di sini juga oleh Nadia, perempuan asal Rusia, seorang ‘pengantin pesanan’. Yah, meskipun di Amerika serba bebas, gak menjamin kebahagiaan, seperti yang dialami Nadia.

Tentang cover – nah jarang-jarang nih, gue suka sama cover dengan gambar foto orang. Tapi di sini, kerudung merahnya membuat perempuan di cover itu jadi misterius. Gak terkesan norak seperti di buku-buku dari penerbit lain #oops #nomention
Sekuel Veil of Roses berjudul Dreaming in English
Read more »

Senin, 04 Juni 2012

House Rules



House Rules
Jodie Picoult @ 2010
Atria International – October 2010
657 pages
(Swap sama Astrid)

Sekilas, mungkin Jacob Hunt seperti anak berusia 18 tahun lainnya. Tapi, jika orang mencoba untuk berbicara,  bercakap-cakap dengan dirinya, baru akan terlihat, kalau Jacob ‘berbeda’ dari remaja seusianya. Jacob memiliki sindrom Asperger – mirip seperti autisme – bedanya, (ini menurut kesimpulan gue ya), orang yang memiliki Asperger lebih bisa berkomunikasi dengan orang-orang (terutama orang-orang yang dia percaya). Semua harus serba teratur, jika salah satu rutinitas itu terganggu, maka mood-nya langsung drop dan kacau balau. Dan jika ia tidak ingin diganggu, Jacob sering mengutip kalimat-kalimat dari film.

Sebisa mungkin , ibu Jacob, Emma berusaha agar Jacob diterima dan dianggap normal oleh orang lain. Meskipun, sayangnya, orang-orang terdekat Jacob, seperti Theo, adiknya, justru berpikiran bahwa Jacob itu aneh.

Jacob ‘terobsesi’ dengan forensik criminal. Setiap jam 4.30, waktunya nonton Crime Buster, lengkap dengan buku catatan dan ada kesimpulan seberapa cepat ia bisa menyelesaikan kasus itu sebelum polisi. Belum lagi, Jacob memilik radio polisi. Jika ada kasus pembunuhan, secepatnya ia datang ke TKP dan tanpa diminta, memberi masukan apa yang harus dilakukan polisi. Yah, tentu saja kehadiran Jacob terasa ‘ganggu’ banget buat polisi-polisi itu. Di rumah, Jacob sering merekayasa kasus pembunuhannya sendiri.

Sampai suatu hari, Jacob malah jadi tersangka dalam tewasnya tutor pribadi Jacob, Jessica Ogilvy. Meskipun TKP itu sudah dibersihkan sedemikan rupa, semua bukti mengarah pada Jacob. Jacob pun harus berurusan dengan hukum. Masalahnya, dengan kondisi Jacob yang berbeda, terkadang cenderung temperamental, membuat orang-orang, termasuk Emma, jadi bertanya-tanya, apakah benar Jacob tidak bersalah?

Gue sudah beberapa kali membaca buku-bukunya Jodie Picoult, tapi entah kenapa selalu terkesan ‘nanggung’. Gue selalu merasa gak puas dengan ceritanya. Ide ceritanya memang bagus, tapi, aduh.. gue gak tau, ada yang hilang yang bikin gue merasa ‘kesal’ saat membaca buku-bukunya Picoult. Di awal, memang harus banyak bersabar, cenderung bosan dan berpontesi untuk ditinggalkan. Dan, gue malah sempat langsung menuju halaman terakhir, pengen tau seperti apa sih endingnya. Ehhh.. begitu tau, endingnya gimana, gue malah penasaran apa yang akhirnya membuat endingnya seperti itu. Hehehe.. ini seperti  buku yang menyebalkan, tapi koq ya tetap  bikin penasaran. Makanya, gue belum kapok dan tetap pengen baca bukunya Picoult yang lain.

Detail-detail dalam buku ini, khususnya tentang Asperger, bisa jadi dijelaskan panjang lebar (yang terus terang lebih banyak gue lewati). Gue lebih berharap porsi Theo lebih banyak, karena dia jadi tokoh yang ‘terlupakan’, terus si detektif Rich Matson kaya’nya juga oke kalo ditambah dikit.

Bagian yang menyebalkan dan seperti ini yang juga muncul di buku Nineteen Minutes, adalah ‘selipan’ romance yang menurut gue ‘ganggu’. Gak usah ada beginian rasanya malah lebih enak. Kesannya harusnya tokoh utamanya Jacob, eh, ibunya malah pengen ikut ‘eksis’ juga.
Read more »

Senin, 12 Desember 2011

Nineteen Minutes

Nineteen Minutes
Jodie Picoult @2007
Hodder - 2007
568 Hal.
(Periplus Plaza Senayan – 2008)

Pagi itu semua berjalan seperti biasa, Alex Cormier bersiap-siap untuk bekerja. Ia adalah seorang hakim. Anak perempuannya, Josie Cormier, juga sedang sarapan, siap-siap dijemput kekasihnya, Matt, dan berangkat ke sekolah. Semua orang menjalani rutinitasnya sehari-hari.

Sterling High, tempat Josie sekolah, saat istirahat, sebagian besar berkumpul di kantin. Bercanda, cela-celaan, ada yang sambil belajar. Kelompok anak-anak popular – kelompok Josie dan Matt – mulai mengganggu anak-anak lain, sebut saja, anak-anak yang kerap disebut ‘nerd’.

In nineteen minutes, you can mow the front lawn, color your hair, watch a third of a kockey game. In nineteen minutes, you can bake scones or get a tooth filled by a dentist, you can fold laundry for a family of five.

In nineteen minutes, you can order a pizza and get it delivered. You can read a story to a child or have your oil changed. You can walk a mile. You can sew a hem.
In nineteen minutes, you can stop the world, or you can just jump off it.

In nineteen minutes, you can get revenge


(page 5)

Tiba-tiba, semua jadi berubah kacau. Sebuah penembakan terjadi di sekolah itu. ‘Hanya’ dalam waktu 19 menit. Korban berjatuhan. 10 orang tewas – 9 murid dan 1 guru, lainnya luka-luka. Pelakunya adalah Peter Houghton, pelajar di Sterling High sendiri.

Kota Sterling adalah sebuah kota kecil di negara bagian New Hampshire, di mana semua penduduk mengenal satu sama lain dan kondisi kota itu bisa dibilang aman dan tenang. Kejadian ini mengusik hati semua orang, Para orang tua korban marah. Seluruh kota berduka.

Semua orang terkejut, terutama orang tua Peter. Di mata orang tuanya, Peter adalah anak baik-baik. Memang cenderung pendiam dan penyendiri, kesukaannya terhadap computer membuatnya lebih suka mengurung diri di kamar. Sebagai ibu, Lacy berusaha tidak mengganggu privacy anaknya. Peter juga bukan anak yang sering berperilaku agresif, bukan seorang psikopat.

Tapi sejak kecil, sejak hari pertama ia masuk taman kanak-kanak, Peter sudah menjadi korban bully. Meskipun ia punya kakak yang lebih popular, tapi justru tidak membantu. Bahkan Joey ikut-ikutan mengolok-olok Peter. Hal ini terus berlanjut sampai Peter duduk di sekolah menengah. Dan parahnya, setiap ibu Peter melaporkan kejadian ini ke sekolah, pihak sekolah seolah lepas tangan, dan mengharapkan Peter yang justru harus berubah. Perlakuan yang diterima di sekolah, tak ada dukungan dari orang tua, ternyata memupuk dendam di hati Peter.

Something still exists as long as there's someone around to remember it
(page 485)

Sabarlah dalam membaca buku ini, alur ceritanya maju-mundur. Selain kita ikut dalam keseharian setelah peristiwa itu terjadi – termasuk proses pengadilan, kita juga diajak untuk kembali ke ‘masa lalu’. Menyelami karakter-karakter di buku ini dan menemukan kejutan-kejutan kecil. Bagaimana dulu sebenarnya Josie dan Peter berteman, peristiwa yang menyebabkan mereka menjauh, dan hingga akhirnya Josie masuk dalam lingkungan anak-anak popular, sementara Peter ya tetap sebagai Peter yang kerap dipemalukan.

Miris membaca berbagai perlakukan yang diterima Peter, mulai dari kotak makanannya yang selalu dilempar – padahal ibunya setiap hari selalu menyiapkan makanan yang akhirnya mubazir, kacamata yang dipecahkan, celana yang ‘dipelorotin’ di tengah kantin, disebut ‘homo’ dan lain-lain.

Urusan bullying ini rasanya sedang ‘marak’. Beberapa waktu yang lalu, sebuah SMU terkenal di Jakarta, ramai diberitakan karena banyak orang tua murid yang mengeluarkan anak mereka dari sekolah tersebut karena anak mereka di-bully. Menurut adek gue yang alumni SMU itu, praktek bully sih udah ada dari jaman dulu – atau dulu lebih dikenal dengan istilah ‘gencet’. Dan justru, bukan anak-anak yang ‘nerd’ yang kena, tapi anak-anak baru yang lebih cantik, keren yang jadi sasaran kakak-kakak kelasnya. Hehehe.. takut tersaingi, apalagi kalo anak baru itu diincer sama cowok yang juga jadi inceran para senior.

Di radio Female juga pernah dibahas tentang perilaku bullying. Apa sih yang sebenernya membuat seorang anak suka mem-bully? Dan kenapa si anak yang di-bully gak berani atau gak bisa melawan? Salah siapa – sekolah kah yang gak bisa melindungi murid-muridnya? Atau orang tua – entah orang tua si pelaku atau korban? Seperti di buku ini, Lacy dan Lewis, sebagai orang tua Peter, sudah berusaha sebaik mungkin untuk mendidik Peter, menjadi orang tua yang bijak. Sementara saat Peter ditanya, “kenapa?” Justru ia menjawab, “Mereka yang memulai.”

Tentang bukunya sendiri… ah, lagi-lagi buku lama. 3 tahun tak tersentuh. ‘Hubungan’ gue dengan Jodie Picoult rada naik-turun. Hehehe… pertama baca Plain Truth, terus suka. Langsung lah berburu buku Jodie Picoult yang lain. Eh… ternyata pas baca lagi, gak semua ‘berkesan’ dan gue pun sempat bosen sama yang namanya cerita drama. Sampai saat ini yang berkesan hanya Plain Truth, My Sister Keeper dan Nineteen Minutes. Ciri khas Jodie Picoult, meramu masalah hukum dengan psikologis, yang bisa bikin orang gak bisa men-judge tokoh yang keliatannya salah. O ya, satu aja sih yang ‘ganggu’ buat gue, kenapa sih, Alex dan Patrick harus terlibat hubungan asmara?

Dan setelah Nineteen Minutes ini, pengen baca bukunya yang lain. Mari dimasukkan saja ke dalam ‘Proyek 2012’.
Read more »

Rabu, 21 September 2011

The Song Reader

The Song Reader (Sang Pembaca Lagu)
Lisa Tucker @2011
Pepi Smith (Terj.)
GPU - September 2011
424 hal.

Mary Beth memilik sebuah kemampuan yang unik. Kalau pembaca tarot, meramal lewat kartu atau garis tangan… ini sudah biasa. Tapi, ‘membaca lagu’, ini suatu hal yang tidak biasa. Lewat ‘playlist’ atau lagu-lagu yang ‘terngiang’ oleh klien-kliennya, Mary Beth bisa tahu atau setidaknya memberi saran atas apa yang harus dilakukan oleh para kliennya. Mary Beth membantu mereka mencari jalan keluar atas permasalahan yang mereka hadapi. Intinya, Mary Beth orang yang dianggap berjasa dalam kehidupan mereka dan sosok yang berbakat.

Mary Beth tinggal berdua dengan adiknya Leeann. Ibu mereka sudah meninggal dan ayah mereka pergi begitu saja, tanpa diketahui penyebabnya apa. Usia mereka berdua terpaut cukup jauh. Mary Beth mengambil alih tanggung jawab untuk mengurus Leeann, bekerja sebagai pramusaji. Dengan adanya profesi tambahan, memberi tambahan juga bagi kehidupan perekonomian mereka. Di mata adiknya, Mary Beth sosoknya tertutup, tak ada yang bisa menebak apa yang ia rasakan. Tapi, bagi Leeann, dia juga kakak yang sangat ia sayangi.

Rasa penasaran akan penyebab perginya sang ayah menjadi pertanyaan sendiri di benak Leeann. Mary Beth tidak pernah mau menjelaskan apa penyebabnya. Leeann pun mencari tahu sendiri jawaban itu, dan terkejut betapa banyak hal yang disembunyikan Mary Beth.

Sementara itu, seorang klien bernama Holly Kramer, membuat pusing Mary Beth. Dari lagu-lagu yang diberikan, tidak satupun yang bisa membantu Mary Beth mengungkapkan masalahnya. Klien yang satu ini berbeda dengan klien Mary Beth yang lain. Rapuh, tertekan dan tidak punya keberanian. Tapi saat Holly berani untuk bicara, malah menghancurkan tidak hanya ‘reputasi’ Mary Beth sebagai pembaca lagu, tapi juga kehidupan pribadi Mary Beth.

Mary Beth dianggap pembohong dan pengacau. Gosip-gosip beredar di kota kecil tempat mereka tinggal. Mary Beth pun mengurung diri di kamarnya, sementara Leeann berjuang untuk membangkitkan kembali semangat hidup kakaknya.

Ternyata novel ini gak sesuai ‘ekspektasi’ gue. Gue pikir bakal berbau-bau thriller gitu. Yang awalnya gue bayangin, Mary Beth ‘membaca’ lagu, terus ternyata lagu itu ‘menghantui’ dia. Novel ini lebih banyak ke drama-nya. Meskipun gue akui, ide pembaca lagu ini keren, karena sampai saat ini yang gue tau ya berkisar di tarot, peramal kartu atau garis tangan, atau pake bola kristal.... Gue berharap ada misteri yang ‘mencekam’… Dan, soal pembacaan lagunya pun gak terlalu banyak diceritain.

Rasanya lebih ke persoalan Leeann yang gak terima kalo Mary Beth menyembunyikan banyak hal – terutama tentang ayahnya.
Read more »

Rabu, 13 April 2011

The Pilot's Wife

The Pilot's Wife
Anita Shreve @ 1998
Abacus 2003
293 pages

Sebagai seorang istri pilot, Kathryn tahu bahaya dan berbagai kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada suaminya, Jack Lyons. Tapi, ketika tengah malam datang seorang utusan dari perusahaan tempat Jack bekerja dan membawa kabar buruk itu, Kathryn tetap saja tidak siap. Bagi Kathryn, di hari terakhir ia bertemu dengan Jack, semua tampak biasa, tidak ada firasat apa pun, tidak ada yang aneh dari Jack.

Pesawat yang dikemudikan oleh Jack meledak dan jatuh di perairan Irlandia. Dari rekaman suara terakhir yang terdengar dari ‘kotak hitam’, tampak ada beberapa nada kaget dan mengarah pada Jack. Timbul dugaan bahwa Jack melakukan upaya bunuh diri, Jack terlibat dalam sebuah konspirasi.

Kathryn tak sedikit pun percaya akan dugaan itu, ditambah lagi ia harus melindungi Mattie, anak semata wayang mereka dari isapan jempol yang akan membuat kondisi psikologisnya semakin turun. Utusan dari perusahaan penerbang, Robert, setia menemani Kathryn, menghadapi berbagai pertanyaan dari pihak penyelidik.

Meskipun sedih, Kathryn mulai memilah-milah barang-barang milik Jack. Tanpa sengaja, Kathryn menemukan catatan-catatan kecil berisi inisial-inisial yang menimbulkan banyak pertanyaan. Kathryn mulai mengingat-ingat kembali hari-hari terakhir Jack ada di rumah, sikap aneh yang dulu terlewat. Lambat laun, Kathryn mulai mempertanyakan siapa suaminya yang sebenarnya, apa rahasia yang disembunyikan oleh Jack.

Lagi-lagi ini buku lama yang gue punya, yang dulu gue cuekin. Baca beberapa lembar, terus males. Emang harus nunggu ‘kehabisan’ buku dulu, baru ngelirik buku-buku lama. Overall, ceritanya menarik. Gue punya saudara pilot, selama baca buku ini, gue jadi bertanya-tanya, apa yang dipikirkan istrinya kalau suaminya lagi tugas. Deg-degan, was-was atau apa…

Gue bertahan sampai akhir cerita, karena rasa ingin tahu tentang rahasia Jack (kenapa mirip sama Looking for Ward yang baru aja gue baca juga ya? - apa semua rahasia pria itu sama?). Tapi novel ini lebih kompleks. Kathryn termasuk istri yang tenang, bisa menjaga emosi biar pun lagi hancur lebur.
Read more »

Minggu, 10 April 2011

Kaitlyn

Kaitlyn
Kevin Lewis @ 2006
Penguin – 2006
499 pages

Kekacauan dalam hidup Kaitlyn dimulai di malam adiknya, Christopher, nyari meninggal akibat kekerasan yang dilakukan ayah tirinya. Ayah tirinya, Steve, yang pemabuk tak tahan mendengar suara tangis Chrissy. Usia Chrissy baru 18 bulan. Akibat peristiwa itu, Chrissy diambil alih oleh Negara, dibawa ke tempat perlindungan anak dan kemudian diadopsi oleh keluarga Tobin. Sementara itu, Kaitlyn terus menyalahkan dirinya, yang tidak sempat menyelamatkan adiknya, hingga akhirnya ia terpaksa berpisah dengan adik yang sangat ia sayangi.

Ibunya, Angela, tak sanggup menahan kesedihan, akhirnya terjerumus dalam ketergantungan obat-obat terlarang. Di lingkungan tempat tinggal mereka, Roxford yang termasuk daerah ‘hitam’, obat-obatan, kejahatan bukanlah hal yang aneh. Barang-barang seperti itu mudah didapat. Awalnya, Angela mendapatkan barang itu secara gratis, tapi makin lama, dengan ketergantungan yang makin tinggi, Angela akhirnya menjadi pelajur demi mendapat uang dan membeli narkoba.

Kaityln juga tidak bersih sepenuhnya. Bersama teman-temannya, ia kerap merokok, minum, tapi ia selalu menjagai dirinya tetap ‘waras’ dan berpikir jernih. Karena ibunya tak mampu membayar barang kepada pengedar, Kaitlyn yang harus membayarnnya. Ia terpaksa bekerja sebagai ‘kurir’ pengantar obat-obatan kepada pelanggan. Tapi, di satu titik, Kaitlyn akhirnya bertekad membuat ibunya bersih. Tapi, tragedi lagi-lagi menghampiri Kaitlyn. Di usia yang sangat muda, ia harus kehilangan ibunya dan masuk penjara

Pada akhirnya, Kaityln tidak pernah bisa keluar dari bisnis ini. Tapi satu yang tak berubah, ia masih tetap mencari adiknya. Christopher tumbuh jadi anak yang cerdas, meskipun sempat bersikap terlalu agresif.

Menurut gue, Kaitlyn adalah gadis yang cerdas. Ia pintar mengatur rencana untuk bisnisnya sampai mengeruk keuntungan besar. Polisi juga nyaris tidak bisa menelusuri jejak-jejak Kaitylyn. Tapi, masa lalu dan kehidupan yang keras juga menjadikannya gadis yang dingin, nyaris tanpa emosi, kecuali yang berhubungan dengan ibu dan adiknya. Novel ini cukup menyentuh, berpontensi ‘menguras air mata’. Tapi ada beberapa yang ‘dipaksain’ (menurut gue lhoooo), misalnya tentang pertemuan Kaitlyn dengan Ibu Baptisnya di penjara. Terus, gue piker tadinya Steve, bapak tirinya, bakal muncul lagi dan ganggu hidup Kaitlyn lagi. Tapi, tanpa si Steve muncul lagi, cerita ini udah ribet banget.
Read more »

Kamis, 24 Februari 2011

The Memory Keeper's Daughter

The Memory Keeper's Daughter
Kim Edwards @ 2005
Penguin Books
513 pages

Di malam yang bersalju, ketika orang lain sedang menghangatkan diri di rumah, David Henry harus membawa istrinya ke rumah sakit karena waktu persalinan datang lebih cepat. Dokter yang membantu persalinan terjebak badai salju, sehingga David, yang seorang dokter bedah tulang, yang akhirnya menangani persalinan Norah.

Di awal persalinan berjalan dengan lancar, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Paul. Tapi, selang beberapa detik, Norah mengalami kontraksi lagi. Dalam keadaan yang sudah lemah, akhirnya Norah dibius, setelah melahirkan bayi perempuan. Ternyata, Norah selama ini mengandung anak kembar. Maklum, masih tahun 1960an, jadi mungkin belum ada tuh teknologi USG. Berbeda dengan saudara kembarnya, Paul, bayi perempuan yang diberi nama Phoebe ini langsung terlihat ‘berbeda’. Phoebe ternyata memiliki Down Syndrome. Seketika itu juga, David langsung memutuskan untuk memberikan Phoebe ke Caroline Gill, perawat yang membantu persalinan Norah, dan meminta Caroline untuk membawa Phoebe ke sebuah tempat perawatan. Sementara, kemudian, David memberi tahu Norah, bahwa ia melahirkan bayi kembar, tapi sayangnya, bayi itu meninggal ketika dilahirkan.

Yang tidak diketahui David sesudahnya, adalah Caroline memutuskan untuk merawat dan membesarkan Phoebe, segera setelah ia melihat betapa tidak layaknya tempat perawatan itu. Caroline pindah ke kota lain, menjalani hidup bersama Phoebe. Berjuang agar Phoebe diberi kesempatan layaknya anak-anak normal lainnya.

Sementara itu, kehidupan keluarga David Henry sendiri berubah. Masing-masing anggota keluarga seolah hidup dalam dunia lain. David tenggelam dalam rasa bersalahnya, dan Norah hidup dalam kesedihan atas kematian anak perempuannya. Dan Paul akhirnya mendapati ibunya berselingkuh dan ayahnya semakin menjauh dari diri mereka, terkadang sedikit memaksakan masa depan Paul. Dari luar, mereka tampak seperti keluarga bahagia.

Keputusan David untuk menjauhkan Phoebe didasari atas pengalaman pribadinya, saat ia memiliki seorang kakak yang memiliki kelainan jantung dan akhirnya meninggal dalam usia muda. Ibunya tidak pernah lepas dari masa berkabung yang berkepanjangan.

Buku ini gue beli tahun 2007 (!) dan baru akhirnya tuntas gue baca sekarang. Ada bagusnya juga jarang beli buku, ‘memaksa’ gue untuk membongkar lemari buku dan mencari buku yang belum gue baca.

Ok, kembali ke bukunya sendiri. Membaca buku ini, serasa menonton sebuah film drama keluarga. Cerita yang terpapar secara kontinyu, sejak Paul dan Phoebe masih bayi sampai akhirnya mereka dewasa dan tentang kegelisahan yang berbeda yang dirasakan David, Norah dan Caroline melihat anak-anak mereka tumbuh dewasa. Belum lagi tentang pergulatan batin mereka melawan rasa bersalah dalam diri mereka sendiri. Banyak rahasia yang disimpan, yang ingin diungkapkan, tapi takut bakal menyakiti yang lain. Harus sedikit bersabar membaca buku ini kalau memang gak terlalu suka yang berbau-bau drama.
Ow, ternyata buku ini udah ada film-nya juga.
Read more »