Tampilkan postingan dengan label Chitra Banerjee Divakaruni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Chitra Banerjee Divakaruni. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Oktober 2011

Queen of Dreams

Queen of Dreams (Ratu Mimpi)
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2004
Gita Yuliani (Terj.)
GPU – Agustus 2011
400 hal.
(Gramedia Pondok Indah Mall)

Penafsir mimpi… itulah ‘profesi’ ibu Rakhi. Profesi yang penuh rahasia. Ia bukan seorang peramal, tapi ia bisa merasakan apa yang dibawa oleh bunga tidur. Rakhi tak pernah mengerti kenapa ibunya tidur terpisah dari ayahnya. Kenapa ibunya tidur di lantai, bukan di tempat tidur seperti dirinya? Rakhi kecil juga ingin bisa menafsirkan mimpi seperti ibunya, tapi, tidak sembarang keturunan bisa mendapatkan ‘anugerah’ itu.

Rakhi, seorang seniman dan orang tua tunggal. Sebagai keturunan India yang bermukin di California, ia berjuang menata kehidupannya setelah perceraiannya dengan Sonny. Ia mengelola Chai House – sebuah café – bersama temannya, Bella. Tapi, persaingan dengan franchise café lain, membuat Chai House nyaris gulung tikar. Pelanggan Chai House ternyata lebih memilih Java Café yang lebih ‘megah’ dibanding kesederhanaan dan keakraban yang ditawarkan Chai House.

Di malam pameran perdana Rakhi di sebuah galeri, justru ia menerima berita duka. Ibunya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan, meninggalkan rahasia. Setelah ibu Rakhi meninggal, pelan-pelan, Rakhi berusaha mengurai rahasia itu.

Hubungan Rakhi dan ayahnya memang tidak bisa dibilang harmonis. Ayah Rakhi gemar mabuk-mabukkan. Ibu Rakhi-lah yang selalu berusahan jadi penyeimbang di antara mereka. Tapi, dalam hati, Rakhi kerap menyalahkan ayahnya atas semua kondisi ini.

Sebuah surat-surat berbahasa Bengali peninggalan ibu Rakhi menjadi sebuah sarana untuk mengenal siapa ibu Rakhi sebenarnya. Ayah Rakhi membantu menerjemahkan surat-surat itu.

Sementara itu, Chai House berganti nama dan ‘format’, menjadi Kurma House, yang menyajikan camilan khas India yang ternyata menarik perhatian banyak orang. Ayah Rakhi lah yang menjadi chef di Kurma House.

Lambat laun, bukan hanya rahasia tentang ibu Rakhi yang terungkap, tapi Rakhi pun semakin mengenal ayahnya. Ia tahu bagiamana orang tuanya bertemu, dari mana ayah Rakhi mendapatkan keahlian memasak. Bukan hanya itu, kegemaran ayah Rakhi yang suka menyanyi lagu-lagu India-lah yang juga menarik minat orang mengunjungi Kurma House.

Tapi, saat peristiwa 11 September, semua orang jadi saling mencurigai. Rakhi dan sesama keturunan India lainnya, tak luput dari ancaman orang-orang Amerika yang mendadak jadi patriotik. Rakhi bertanya-tanya, ia yang selama ini merasa sebagai orang Amerika, tapi di saat itu tak seorang pun yang percaya akan ‘ke-amerika-annya’.

Pertama: gue suka sebel sama Rakhi. Keras kepala, maunya didengerin, maunya bener. Apalagi kalo udah ketemu sama Sonny – mantan suaminya itu. Padahal apa yang dibilang Sonny ada benernya, tapi gara-gara gengsi dan egois, Rakhi lebih memilih berbantahan dan bertengkar.

Kedua: tokoh ayah Rakhi yang dibalik kebiasaan buruknya itu, ternyata juga tertekan. Tapi, tetap mencintai istrinya. Saat gue baca bagian Kurma House yang mulai ramai itu, kaya’nya gue bisa membayangkan sibuknya Kurma House, penuh dengan pemusik-pemusik tradisional yang mampir. Suka cita, kemeriahan Kurma House ikut terasa. Belum lagi, camilan khas India yang masih panas mengepul. Hmmm…

Ketiga: buku ini mengingatkan gue sama Mistress of Spices – eksotis dan misterius. Sama-sama tentang sebuah ‘profesi’ yang misterius. Sama-sama menempuh pendidikan di sebuah tempat tersembunyi, punya tetua dan pantangan. Kalau melanggar, artinya harus keluar dan kehilangan ‘keahliannya’ pelan-pelan.

Tapi, tetap… gue selalu terhanyut sama tulisan Chitra Banerjee Divakaruni. Selalu ada yang ‘misterius’ di balik cerita-ceritanya.
Read more »

Selasa, 26 Juli 2011

One Amazing Thing

One Amazing Thing
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2009
Sujatrini Liza (Terj.)
Qanita – Cet. 1, Juni 2011
422 hal.

Kantor permohonan visa ke India terasa begitu membosankan. Petugas yang acuh tak acuh, cuek dengan para pemohon yang antri. Salah satu di antara pemohon visa itu adalah Uma. Meskipun ia orang India, tapi belum pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di tanah airnya itu. Tujuannya ke India, adalah untuk berkunjung, bertemu dengan orang tuanya yang menghabiskan masa pensiun di kampung halamannya. Sejak pagi, ia sudah tiba di sana. Semua tampak tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing, mengusir kebosanan dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Gempa bumi. Sembilan orang terjebak di dalam kantor itu. Cameron, salah satunya, sebagai mantan prajurit, ia cepat tanggap dengan situasi yang genting. Meskipun sikapnya ini tidak disukai oleh Thariq, pemuda berjenggot keturunan Pakistan, yang memandang sinis orang-orang Amerika, sebagai balasan atas sikap orang Amerika sendiri terhadap kaum Muslim.

Dengan sigap, Cameron memeriksa kerusakan yang terjadi, membantu orang-orang yang cedera, memeriksa cadangan air dan membagi makanan dengan sama rata. Di tengah kegelapan dan bahaya karena sewaktu-waktu langit-langit bisa runtuh.

Untuk mengusir rasa takut, sepi dan ketidakpastian, Uma mengusulkan agar mereka saling berbagi satu kisah yang sangat berarti dalam hidup mereka. Awalnya usul ini ditolak, khawatir akan membuang oksigen dengan sia-sia.

Tapi, Nenek Jiang memberanikan diri untuk menjadi yang pertama menuturkan ceritanya. Dan sambil berharap-harap cemas akan bantuan yang tak kunjung datang, persediaan makanan dan air yang menipis, akhirnya, semua pun bercerita satu kisah yang membuat hidup mereka berubah dan membawa mereka ada dii kantor permohonan visa.

Semua kisah memang ‘menakjubkan’ dan punya arti sendiri-sendiri bagi si penutur, yang pada akhirnya memberi pengaruh pada orang-orang di sekitar yang baru dikenal saat terjadi bencana itu.

Kisah favorit gue, adalah ceritanya Malathi, perempuan petugas di kantor permohonan visa itu. Salon pink yang digambarkan dalam bayangan gue jadi benar-benar genit dan wangi. Penuh dengan gosip para pelanggan dan pekerja salon yang tekun tapi diam-diam ikut menguping.

Chitra Banerjee Divakaruni adalah salah satu penulis favorit gue sejak pertama baca The Mistress of Spices, dan entah kenapa, gue lebih bisa menikmati tulisan-tulisan penulis dari India, ketimbang penulis-penulis Jepang. Rasanya tulisan mereka lebih ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari, lebih nyata.

Read more »