Tampilkan postingan dengan label hasil swap. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hasil swap. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Juni 2012

House Rules



House Rules
Jodie Picoult @ 2010
Atria International – October 2010
657 pages
(Swap sama Astrid)

Sekilas, mungkin Jacob Hunt seperti anak berusia 18 tahun lainnya. Tapi, jika orang mencoba untuk berbicara,  bercakap-cakap dengan dirinya, baru akan terlihat, kalau Jacob ‘berbeda’ dari remaja seusianya. Jacob memiliki sindrom Asperger – mirip seperti autisme – bedanya, (ini menurut kesimpulan gue ya), orang yang memiliki Asperger lebih bisa berkomunikasi dengan orang-orang (terutama orang-orang yang dia percaya). Semua harus serba teratur, jika salah satu rutinitas itu terganggu, maka mood-nya langsung drop dan kacau balau. Dan jika ia tidak ingin diganggu, Jacob sering mengutip kalimat-kalimat dari film.

Sebisa mungkin , ibu Jacob, Emma berusaha agar Jacob diterima dan dianggap normal oleh orang lain. Meskipun, sayangnya, orang-orang terdekat Jacob, seperti Theo, adiknya, justru berpikiran bahwa Jacob itu aneh.

Jacob ‘terobsesi’ dengan forensik criminal. Setiap jam 4.30, waktunya nonton Crime Buster, lengkap dengan buku catatan dan ada kesimpulan seberapa cepat ia bisa menyelesaikan kasus itu sebelum polisi. Belum lagi, Jacob memilik radio polisi. Jika ada kasus pembunuhan, secepatnya ia datang ke TKP dan tanpa diminta, memberi masukan apa yang harus dilakukan polisi. Yah, tentu saja kehadiran Jacob terasa ‘ganggu’ banget buat polisi-polisi itu. Di rumah, Jacob sering merekayasa kasus pembunuhannya sendiri.

Sampai suatu hari, Jacob malah jadi tersangka dalam tewasnya tutor pribadi Jacob, Jessica Ogilvy. Meskipun TKP itu sudah dibersihkan sedemikan rupa, semua bukti mengarah pada Jacob. Jacob pun harus berurusan dengan hukum. Masalahnya, dengan kondisi Jacob yang berbeda, terkadang cenderung temperamental, membuat orang-orang, termasuk Emma, jadi bertanya-tanya, apakah benar Jacob tidak bersalah?

Gue sudah beberapa kali membaca buku-bukunya Jodie Picoult, tapi entah kenapa selalu terkesan ‘nanggung’. Gue selalu merasa gak puas dengan ceritanya. Ide ceritanya memang bagus, tapi, aduh.. gue gak tau, ada yang hilang yang bikin gue merasa ‘kesal’ saat membaca buku-bukunya Picoult. Di awal, memang harus banyak bersabar, cenderung bosan dan berpontesi untuk ditinggalkan. Dan, gue malah sempat langsung menuju halaman terakhir, pengen tau seperti apa sih endingnya. Ehhh.. begitu tau, endingnya gimana, gue malah penasaran apa yang akhirnya membuat endingnya seperti itu. Hehehe.. ini seperti  buku yang menyebalkan, tapi koq ya tetap  bikin penasaran. Makanya, gue belum kapok dan tetap pengen baca bukunya Picoult yang lain.

Detail-detail dalam buku ini, khususnya tentang Asperger, bisa jadi dijelaskan panjang lebar (yang terus terang lebih banyak gue lewati). Gue lebih berharap porsi Theo lebih banyak, karena dia jadi tokoh yang ‘terlupakan’, terus si detektif Rich Matson kaya’nya juga oke kalo ditambah dikit.

Bagian yang menyebalkan dan seperti ini yang juga muncul di buku Nineteen Minutes, adalah ‘selipan’ romance yang menurut gue ‘ganggu’. Gak usah ada beginian rasanya malah lebih enak. Kesannya harusnya tokoh utamanya Jacob, eh, ibunya malah pengen ikut ‘eksis’ juga.
Read more »

Selasa, 24 April 2012

Dead Girl Walking



Dead Girl Walking (Masuk ke Tubuh yang Salah)
Linda Joy Singleton
Maria Susanto (Terj.)
Penerbit Atria – Cet. I, Januari 2012
382 hal.
(swap sama @balonbiru)

Amber Borden, termasuk siswi yang tidak dipandang di SMU Halsey. Padahal nih, Amber ini sangat baik hati.  Dia punya klub Hospitality, yang dengan senang hati menyambut setiap murid baru di SMU Halsey. Tapi sayangnya, apa yang ia lakukan itu sering jadi bahan tertawaan.

Suatu hari, di saat ia mendapat berita bahagia, tiba-tiba saja terjadi kecelakaan dan Amber pun berada dalam kondisi koma. Di alam ‘in between’, ia bertemu dengan arwah neneknya yang memberinya petunjuk jalan untuk ‘pulang’. Tapi nih, dasar si Amber ini suka susah menentukan arah, akhirnya, ia malah nyasar masuk ke tubuh orang lain. Tubuh ‘orang lain’ ini adalah Leah, gadis populer di SMU Halsey, punya cowok paling keren di sekolah, anak orang kaya.

Tapi, kenapa Leah malah memilih untuk bunuh diri? Padahal kalau dilihat, kehidupan Leah kan harusnya enak ya. Di dalam tubuh Leah ini, Amber menemukan banyak fakta yang membuatnya berpikir hidup bak putri raja tak selamanya enak. Banyak yang harus ia korbankan.

Sementara Amber mencari tahu ada apa dengan Leah sebenarnya, Amber juga harus ‘menyelamatkan dirinya’ untuk kembali ke tubuhnya. Orang tua Amber memutuskan untuk mendonorkan organ-orang tubuh Amber kepada orang lain.

Amber seolah jadi arwah gentayangan dalam tubuh orang lain. Dan ia harus mencari orang-orang yang percaya bahwa ia adalah Amber bukan Leah.

Cerita yang unik menurut gue. Amber ternyata punya misi khusus di dunia ini. Tapi, sosok Leah yang harusnya ‘diselidiki’ rada ketimpa dengan Amber yang sibuk kembali ke dunia. Apa gue yang kurang jeli ya bacanya, sampai akhirnya gue justru penasaran dengan kisah Leah.


Tapi paling mengganggu untuk gue adalah covernya. Isinya padahal gak gelap-gelap amat, tapi kenapa covernya seram begitu. Seolah ini adalah cerita horror. Bandingkan dengan cover aslinya yang juga bernuansa gelap, tapi lebih enak dilihat dengan sosok siluetnya.
Read more »

Selasa, 03 April 2012

Sweetly



Sweetly

Melody Violine (Terj.)
Penerbit Atria – Cet. I, November 2011
401 hal.
(Swap sama nophie)

Kenangan buruk tentang menghilangnya saudari mereka tidak pernah hilang dari benak Gretchen dan Ansel. Di masa kecil, ketika mereka bermain-main di hutan, sebuah makhluk bermata kuning yang diyakini Gretchen sebagai penyihir sudah mengambil saudari kembarnya. Sementara Ansel berusaha bersikap realistis bahwa saudarinya itu hilang di dalam hutan.

Beranjak dewasa, nama saudari yang hilang itu masih belum berani diucapkan dengan terang-terangan. Ibu dan ayah mereka meninggal dalam duka. Dan mereka berdua pun diusir dari rumah mereka oleh ibu tiri mereka.

Mobil mereka mogok dan mereka pun ‘terdampar’ di sebuah  kota kecil, Live Oak. Kota yang nyaris ditinggalkan penghuninya. Sebagian penduduknya adalah warga veteran. Salah seorang berbaik hati untuk mengantar mereka ke rumah Sophia Kelly, pemilik toko cokelat yang cantik tapi dibenci oleh penduduk Live Oak. Di rumah ini, Ansel bekerja untuk mendapatkan upah guna memperbaiki mobilnya. Tapi, satu hari… dua hari.. akhirnya mereka pun menetap. Bahkan Ansel jatuh cinta pada Sophia.

Sophia yang cantik ini menyimpan rahasia. Ia kerap dikaitkan dengan menghilangnya gadis-gadis di kota itu setiap kali Festival Cokelat diselenggarakan. Toko cokelat milik Sophia ini adalah toko cokelat turun-temurun. Sophia mewarisi toko ini dari ayahnya yang meninggal ‘tercabik-cabik’.

Gretchen berusaha menyelidiki apa terjadi di balik menghilangnya 8 gadis berusia 18 tahun itu, kenapa Sophia begitu ketakutan setiap mendapatkan kiriman sebuah cangkang, kenapa ia bersikeras mengadakan Festival Cokelat meskipun ia tahu ada penolakan dari warga Live Oak.

Kalau buku pertama, Sisters Red ‘mengadaptasi’ cerita anak-anak Gadis Kecil Bertudung Merah, kali ini Jackson Pearce mengambil latar belakang cerita Hansel and Gretel. Rumah permen yang menarik hati digantikan dengan toko cokelat.

Buat gue, cerita Sweetly lebih ‘menegangkan’. Misterinya lebih bikin penasaran, dari awal dibuat penasaran dengan nama kembaran Gretchen,  belum lagi misteri cangkang dan siapa sebenarnya Sophia? Dan ada hubungan apa antara Sophia dengan Fenris – si serigala jadi-jadian itu, belum lagi misteri adik Sophia, yang bernama Naida. Kalau di Sisters Red, Fenris berulang kali muncul, di buku ini, Fenris jadi makhluk misterius yang baru ketahuan belakangan. Dan kalau di Sisters Red banyak adegan perkelahian, di Sweetly ceritanya lebih kalem… ketegangan muncul bukan dari perburuan Fenris, tapi justru dari rahasia-rahasia yang banyak itu.

Sweetly memang sekuel dari Sisters Red, tapi kalau pun belum baca Sisters Red, gak perlu bingung atau ketinggalan cerita. Ini bukan cerita bersambung, hanya ada benang merah aja yaitu si Fenris.
Read more »

Senin, 06 Februari 2012

The Naked Traveler #3

Link
The Naked Traveler #3
Trinity
B – First (2011)
324 hal.
(hasil swap sama @ayund)

Setelah beredar cukup lama, baru sekarang gue akhirnya bisa membaca buku The Naked Traveler #3. Biarpun udah ada bukunya, gue masih cukup rajin buat menengok blog-nya TNT ini. Masih tetap, membuat *ngeces*. Tapi kalo kata Trinity , “Worrying get you nowhere.” Jadi jangan hanya ngeces atau iri, ayo.. segera bikin planning untuk berlibur.

Tapi… yah.. apa boleh buat.. sementara belum ada kesempatan untuk berlibur, gak ada salahnya baca-baca ceritanya Trinity dulu. Masih tetap menghibur dan lucu – malah gak terlalu garing kaya’ dulu. Buat gue, humornya malah lebih segar. Trinity gak malu untuk mentertawakan diri sendiri.

Di buku ketiga ini, tampaknya pembagian bab atau cerita lebih teratur dan sistematis. Membuat pembaca jadi lebih gampang mengikutinya. Gak campur aduk atau berulang-ulang seperti yang gue temui di buku pertama. Mungkin karena Trinity udah lebih canggih dalam menulis.

Gara-gara semakin nge-top dengan TNT-nya atau makin terkenal sebagai travel writer, Trinity kerap mendapat kesempatan istimewa. Sebut aja, berhasil masuk Metro TV plus jalan-jalan ke Sumba gratis.

Cerita yang paling kocak (plus menjijikan) adalah cerita tentang betapa joroknya orang-orang di Cina Daratan, plus cerita tentang Poo Pants Man. Satu lagi yang lucu adalah cerita tentang kendala bahasa di Cina.

Gak hanya bertabur cerita jalan-jalan ke luar negeri, Trinity juga mengajak kita untuk jalan-jalan di Indonesia, dan pengen membuat kita sadar, kalo di Indonesia juga banyak tuh tempat-tempat yang bagus. Jangan demi gengsi atau ‘naik status’ di Facebook atau Twitter, kita terus-terusan milih tempat berlibur ke luar negeri. Dan yang pasti, jangan males browsing atau cari info.

Yuk.. jalan-jalan….

Read more »

Senin, 30 Januari 2012

Ondel-Ondel Nekat Keliling Dunia


Ondel-Ondel Nekat Keliling Dunia
Luigi Pralangga @ 2011
Penerbit Qanita, Cet. I – November 2011
332 Hal.
(swap sama Alvina)

Bekerja di PBB rasanya suatu hal yang keren. Kantornya di Amerika gitu lho… Selama ini kan, kalo ngeliat di film-film, kaya’ya keren banget.. gak semua orang bisa ngator di situ, bahkan pasti susah banget buat masuk ke gedung PBB.

Nah, tersebutlah Luigi Pralangga – yang menyebut dirinya sebagai Ondel-Ondek Nekat di buku ini. Ia beneran nekat melepas pekerjaan di sebuah perusahaan telekomunikasi bergengsi di tanah air demi berjuang di Amerika. Padahal selama ini tempat tujuan impiannya bukanlah Amerika, tapi Kanada. Yah, dengan pikiran positif, Luigi nekat berangkat.

Di Amerika, kerjaan gak langsung enak. Lagi-lagi modal nekat, dan pe-de yang sangat tinggi, akhirnya membuat Luigi berhasil menembus berbagai test dan resmi berkantor di salah satu kantor perutusan/perwakilan Indonesia di PBB. Tapi, ternyata Luigi bukan jadi pekerja kantoran di belakang meja., ia tergabung dalam sebuah misi sebagai ‘peacekeeper’, salah satunya adalah misi di Irak, yaitu tergabung dalam misi inspeksi Senjata Pemusnah Massal (mengerikan bukan?). Dan selanjutnya, ia bergabung dalam UNMIL – misi perdamaian dan kemanusiaan untuk Liberia.

Sebagaian besar buku ini bercerita tentang kehidupan Luigi di Negeri Bau Kelek (yuksss….), negeri yang orang-orangnya berkulit maghrib alias gelap (ooppss… maaf untuk yang berkulit gelap.. bukan gue lho yang nulis.. gue hanya ‘mengutip’).

Sebagaiman Negara yang sedang konflik, kehidupan di sana jauh dari yang namanya enak. Harga serba mahal, lebih miris lagi melihat anak-anak dan para perempuannya. Anak-anak bersekolah dengan membawa bangku sendiri, memakai seragam yang warnanya sudah pudar dan sekolah yang kondisinya menyedihkan. Itu baru sebagian yang beruntung bisa sekolah. Yang lainnya, terpaksa membantu orang tuanya berjualan di pasar, dengan baju yang robek sana-sini. Para perempuan juga bekerja sambil membawa anak-anak mereka yang masih bayi. (mungkin gak jauh beda dengan kondisi di beberapa tempat di Indonesia kali ya)

Tapi mereka ternyata juga mengenal ajang “Miss-Miss’an lho… adanya Miss Liberia dipergunakan sebagai salah satu sarana untuk menyerukan perdamaian. Tugas si Miss Liberia ini menyampaikan berita di kota untuk para penduduk desa, atau sebaliknya.

Yang membuat pekerjaan ini semakin terasa berat adalah harus berjauhan dengan keluarga. Apalagi saat bulan Ramadhan… duh.. rasanya ‘perihhh’… hehehe

Pengalaman yang unik, yang patut di-share ke banyak orang. Untuk memotivasi terutama para kaum muda. Tapi, buat gue, cerita di setiap bab terasa terlalu singkat. Entah mungkin banyak yang pengen diceritain, daripada bukunya ketebelan, jadi diceritakan sesingkat mungkin plus bonus banyolan yang kadang garing, tapi bikin bingung.. apakah ini beneran ataukah khayalan penulis.

Ini pertama kali gue membaca buku bertinta biru. Gak masalah sih. Font-nya besar, jadi enak bacanya. Tapi yang rada bikin ‘masalah’ adalah foto-fotonya. Beberapa ukuran terlalu kecil, dan gak jelas gambarnya apa. Apalagi objek fotonya ‘berkulit gelap’, jadi menambah ketidakjelasan foto itu.

3 ondel-ondel nekat untuk buku ini.

Silahkan kalo mau kenalan sama si Ondel-Ondel Nekat ini di http://pralangga.org/
Read more »

Kamis, 19 Januari 2012

Dunsa


Dunsa
Vinca Callista @ 2011
Atria – Cet. I, November 2011
453 hal.
(swap sama @balonbiru)

Merphilia Dunsa, sebuah nama yang indah, yang berarti Laut Persahabatan. Ia tinggal di sebuah tempat bernama Tirai Banir bersama bibinya, Bruzilia. Ia tak pernah kenal dengan siapa pun. Hidupnya hanya diisi dengan bekerja, berlatih bela diri, membantu bibinya dan membaca buku. Yah, Merphilia suka banget baca. Yang ia tahu, ibunya meninggal dan ayahnya menitipkan Merphilia pada bibinya karena terlalu miskin.

Di ulang tahunnya yang ketujuh belas, Merphilia mendapat kejutan. Satu kejutan menyenangkan berupa hadiah kuda dari bibinya, satu lagi kejutan yang bisa dibilang tak menyenangkan. Seorang Zauberei – seorang yang sakti – mendatangin kediaman mereka, dan memberi kabar, bahwa Merphilia adalah si Gadis Prajurit. Sudah tertulis dalam ramalah, bahwa Merphilia mempunyai tugas membunuh seorang ratu jahat bernama Veruna, atau yang dikenal dengan Ratu Merah. Dan, seolah kejutan itu belum cukup, harus ditambah fakta, bahwa Ratu Veruna adalah ibu kandung Merphilia.

Wah..wah..wah.. sempat Merphilia merasa dibohongi oleh bibi Bruzilia. Maka bergulirlah cerita yang sebenarnya. Singkat kata, Merphilia pun dibawa ke Istana Naraniscala – salah satu dari Empat Negeri Besar Prutopian. Kedatangan Merphilia memang disambut dengan cukup bersahabat oleh Ratu Alanisador. Tapi tidak dengan anggota keluarga kerajaan yang lain, yang langsung memberi cap buruk pada Merphilia, karena ia adalah anak Ratu Veruna. Meskipun faktanya, Merphilia sudah lupa pada sosok ibunya yang bernama Mergogo Dunsa.

Fakta bahwa hanya Merphilia yang bisa menghancurkan Ratu Merah. Karena hanya sesuatu yang berasal dari dalam diri Veruna yang bisa membunuhnya. Merphilia dan pasukan Sena Naraniscala yang dipimpin Jenderal Ardelarda harus bergerak cepat untuk mencegah Ratu Merah memporak-porandakan kembali Empat Negeri Besar Prutopian.

Sosok Merphilia yang memang cantik dan cerdas, menarik hati Pangeran Skandar Alderazam dan Putra Mahkota, Pangeran Wavilerma. Tapi, diam-diam, Merphilia sudah menetapkan pilihan, meskipun rasanya mustahil untuk diwujudkan.

Hmmm… awalnya nih, gue pengen ketawa begitu tau alasan Mergogo Dunsa a.ka Ratu Veruna menyerang Naraniscala. (Ma’af ya, Vinca… ) Wah, gara-gara masalah ‘itu’ aja (gak usah ditulis di sini, deh.. :D), Empat Negeri besar jadi porak-poranda.

Dalam buku ini juga banyak sesuatu yang baru. Gak hanya sihir menyihir, tapi makhluk atau hewan-hewan aneh yang bertebaran dalam buku ini. Dan yang paling keren adalah Istana Delmonaria. Kalo untuk makhluk aneh itu, gue suka sama Wyattenakai dan Fata. Di bagian Glosarium, dijelaskan lagi tentang makhluk-makhluk itu dengen lebih rinci. Tapi, tampaknya akan lebih keren kalo ada ilustrasinya. Biar lebih dapet gambaran gitu.

Satu lagi rada ribet, pertama karena nama-nama yang panjang dan bikin lidah ‘keriting’ kalo diucapin. Meskipun dibantu oleh silsilah dan peta di halaman depan, tapi tetap agak ‘pusing’. Soalnya hurufnya keriting dan terlalu kecil.

Suasana peperangan, perjalanan Merphilia, Pangeran Skandar dan Jenderal Ardelarda juga digambarkan dengan cukup detail. Jadi berasa ketegangan saat peristiwa itu. Tapi, koq, waktu Merphilia masuk ke Lukisan Putih rada kurang dramatis gitu. Pertemuan dengan ibunya juga terkesan biasa-biasa aja. Tau-tau.. udah aja gitu.

Dan…endingnya… gimana kisah percintaan Merphilia dengan pangeran pujaannya itu?? Koq ‘menggantung’ sihhhh??? *penasaran*

Anyway, salut untuk Vinca Callista yang cukup jeli menggambarkan isi cerita buku ini.

*Buku ketiga untuk Name in A Book Challenge 2012
Read more »

Senin, 26 Desember 2011

The Emerald Atlas - Books of Beginning


The Emerald Atlas (Books of Beginning)
Atlas Emerald (Buku 1: Buku-buku Permulaan)
John Stephens @ 2011
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – Juli 2011
480 hal.
(swap sama @ndarow)

Malam itu, tiba-tiba saja kebahagiaan Natal menguap. Di usianya yang baru 4 tahun, sebagai anak tertua, Kate harus bertanggung jawab atas dua orang adiknya, Michael dan Emma. Mereka harus berpisah dengan orang tuanya dengan alasan yang tidak jelas. Yang pasti, ketiga anak ini harus disembunyikan di sebuah tempat, entah bersembunyi dari apa atau siapa.

Mereka dibawa oleh seorang laki-laki ke sebuah panti asuhan. Di sana mereka dirawat oleh seorang perempuan tua yang baik hati, yang sayangnya, suka merokok, hingga akhirnya membuat panti itu terbakar. Dan selama 10 tahun, Kate, Michael dan Emma harus berpindah-pindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan yang lain. Bisa dibilang mereka anak-anak yang ‘sulit’ diadopsi. Sebagai anak tertua dan ia memiliki ingatan samar akan kenangan bersama orang tuanya, yang pasti ia selalu ingat akan pesan terakhir ibunya untuk menjaga kedua adiknya. Sementara Michael, anak yang cenderung berkhayal, punya kegemaran memotret dan tergila-gila akan dunia kurcaci. Emma, meskipun paling kecil, tapi paling galak dan temperamental. Sering terlibat perkelahian dengan penghuni panti lain.

Suatu hari, setelah sekali lagi gagal diadopsi, pengurus panti kewalahan, dan ‘menyerahkan’ mereka ke panti asuhan lain, bernama Cambridge Falls – sebuah tempat yang misterius, dingin dan kelam. Ternyata, penghuni panti itu hanya mereka bertiga, plus dua orang pengurus dan satu pria misterius pemilik panti itu. Namanya anak-anak, meskipun sudah dilarang untuk berkeliaran di tempat itu, tetap saja mereka penasaran. Hingga akhirnya mereka masuk ke ruang kerja Mr. Prym. Mereka menemukan sebuah buku yang tanpa disadari membawa mereka jauh ke masa lalu.

Mulailah petualangan mereka, yang sekaligus mulai menjawab pelan-pelan mengapa mereka harus berpisah dengan orang tua mereka.

Sejak awal membaca buku ini, tokoh-tokohnya mengingatkan gue sama cerita di Lemony Snicket. Anak-anak yatim piatu yang ‘terlunta-lunta’ dari satu panti asuhan ke yang lainnya, sampai akhirnya ‘terjebak’ di tangan orang yang salah. Mereka adalah anak-anak terpilih, terjebak di dalam dunia lain yang tak mereka mengerti, dan ternyata punya tugas untuk menyelamatkan dunia.

Dan dalam keadaan terdesak, terkadang justru mengeluarkan sifat-sifat lain yang positif, mereka bertiga jadi anak yang lebih berani dan tangguh.

Buku ini bisa gue nikmati dari awal, meskipun kadang pusing dengan perpindahan waktu dan tempat, plus kejadian yang banyak itu. Menunggu sekuel buku ini, meskipun liat di website-nya masih ‘coming soon’. Uhh.. gak ada bocoran sama sekali.

Read more »

Sabtu, 24 Desember 2011

Holiday on Ice


Holiday on Ice
David Sedaris @ 1997
A Back Bay Book - 1998
134 hal
(swap sama @ndarow)

Gue gak merayakan Natal, tapi beberapa kali gue membaca buku atau cerpen atau nonton film yang berlatar belakang Natal. Dan yang sering kali gue temui dalam cerita-cerita itu, nyaris semua cerita Natal itu indah, penuh tawa dan kebahagiaan. Tapi, yang kali ini gue dapat di tulisan-tulisan pendek David Sedaris adalah cerita Natal yang – menurut gue – diawali dengan kesinisan. Ada humornya, tapi ada juga ‘sindiran’nya. Ini pertama kali gue membaca buku David Sedaris, dan, yah, bisa dibilang gak semuanya gue ngerti. Maklum deh, kadang-kadang kalo orang bule menyampaikan humor suka gak nyambung di otak Indonesia gue. Hehehe…

Ada 6 tulisan. Yang gue share di sini, hanya beberapa aja.

Yang pertama: SantaLand Diaries – berkisah tentang seorang pemuda yang bekerja sebagai Elf di sebuah mal. Biasakan kalo menjelang Natal begini, nyaris di setiap pusat perbelanjaan ada yang namanya ‘Meet & Greet with Santa Clause’. Nah, si cowok ini menjadi Elf yang bertugas mengatur para pengunjung untuk bisa akhirnya sampai ke Santa. Tugas Elf ini ada banyak, ada yang mengatur barisan, ada yang jadi fotografer, sebagai kasir atau ada yang bertugas di pintu keluar.

Si cowok ini rada-rada ‘tengil’ dan iseng, atau ‘nyeleneh’. Dalam keadaan bosan, dia bisa tiba-tiba bilang, “Eh, ada Phil Collins… ada Mike Tyson.” Kontan perhatian orang bubar, orang jadi lebih milih minta tanda tangan Phil Collins daripada baris untuk ketemu Santa.

Tipe pengunjung juga macem-macem. Ada yang plin-plan mau pake kartu kredit atau cash. Ada yang suka nyela-nyela si Elf, ada yang satu keluarga pas udah di depan Santa, si anak rewel dan merengek, sementara si orang tua sibuk ngatur gaya anaknya.

Kisah kedua: Season’s Greetings to Our Friends and Family – kisah tentang keluarga Dunbar, yang menjelang Natal tiba-tiba ‘kedatangan’ anggota baru dan berakhir dengan cukup tragis menurut gue. Jadi anggota baru ini adalah seorang gadis yang datang dari Vietnam dan mengaku sebagai anak dari Clifford Dunbar, yang bernama Khe Sahn. Ternyata di Vietnam, Clifford bukan hanya menjalankan tugas negara, tapi juga menjalin hubungan dengan seorang perempuan Vietnam.

Yang jadi kendala utama, adalah bahasa. Dengan bahasa Inggris yang minim, susah untuk berkomunikasi dengan Khe Sahn. Ditambah lagi, cara berbusana Khe Sahn yang ternyata gak kalah minim dengan kemampuan bahasa Inggrisnya. Sebagai seorang istri, Jocelyn cukup sabar menghadapi Khe Sahn, ia berbaik hati menjahitkan pakaian yang layak, yang sayangnya hanya jadi penghuni lemari Khe Sahn.

Kesibukan ngurusin Khe Sahn, bikin Jocelyn jadi gak sempet belanja hadiah Natal untuk keluarganya. Dan kebahagiaan Natal keluarga Dubar di tahun itu berakhir dengan tragis.

Yang ketiga, yang terakhir yang gue share di sini – juga menjadi penutup di buku ini: Christmas Means Giving, tentang sebuah keluarga yang hidupnya bisa dibilang mewah. Semua sih tampak oke-oke aja, sampai suatu hari, keluarga ini mendapatkan tetangga baru, Mr and Mrs. Cottingham. Dan ternyata tetangganya ini gak mau kalah pamor. Apa yang dimiliki tetangga mereka, pasangan Cottingham ini akan berusaha meniru andaikata mereka gak bisa melebihinya. Sampai-sampai semua yang dilakukan jadi rada gak make sense. Tradisi Natal jadi ajang pamer hadiah, pamer ucapan terima kasih. Si keluarga A bikin kartu ucapan yang ekslusif yang emang udah jadi tradisi mereka, ehhh.. si pasangan Cottingham ikut-ikutan… tapi sayangnya, belum ‘mampu’ untuk dicetak, jadinya hanya pake mesin photocopy. Ini juga sebuah kisah yang berakhir menyedihkan.

Well… mungkin dalam setiap hari raya, maknanya sama. Kesederhaaan dan saling berbagi. Gak harus mewah, tapi ada rasa lega di dalam hati. Bener gak sih…

Selamat Natal buat yang merayakan…
Wish all the best and have a wonderful Christmas
Read more »

Selasa, 15 November 2011

9 Summers 10 Autumns

9 Summers 10 Autumns
(Dari Kota Apel ke The Big Apple)
Iwan Setyawan @ 2011
GPU – Cet. IV, Mei 2011
221 Hal.
(Swap with @myfloya)

Iwan Setyawan, seorang anak dari sebuah desa yang terletak di Batu, Malang, tepatnya di kaki Gunung Panderman. Ia adalah anak seorang supir angkot. Iwan punya dua kakak perempuan dan dua adik perempuan. Kehidupan mereka sangatlah sederhana, kalau gak mau dibilang susah ya. Menjadi anak laki-laki satu-satunya, membuat ia harus mengalah, tak pernah punya kamar tidur sendiri, karena kamar tidur yang ada diperuntukan untuk orang tua dan saudara-saudara perempuannya.

Mereka tak pernah merasakan yang namanya bermain boneka, main sepeda. Kemewahan mereka mungkin hanyalah sebuah televisi yang kerap ‘mengundang’ tetangga mereka untuk menumpang nonton di rumah mereka.

Namun demikian, keluarga sederhana ini adalah keluarga ‘pejuang’. Dengan berbagai daya upaya, orang tua mereka berhasil menyambung hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dan Iwan bersaudara pun, tak segan-segan untuk mencari kerja kecil-kecilan demi membantu orang tua mereka. Kesederhanaan yang mengajarkan mereka untuk bekerja keras.

Iwan pun berhasil diterima di IPB jurusan Statisik. Dari sinilah, awal mula kesuksesan seorang Iwan Setyawan. Lulus dari IPB, ia bekerja di AC Nielsen, perusahaan yang memberinya kesempatan untuk bekerja di luar negeri, tepatnya di New York City.

Bertahan selama 10 tahun, tapi, kerinduan akan kampung halamannya, terutama kehangatan berada di antara keluarga tercinta, membuat Iwan memilih berhenti dan pulang kembali ke Batu.

Novel ini disajikan dengan bahasa yang puitis dan indah. Iwan seolah bercerita kepada sosok bocah kecil berbaju putih-merah yang misterius. Penggemar Dostoevsky, yang kutipannya menghias beberapa halaman di buku ini.

"... I told my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much."
-- hal. 210

Tampaknya bukan sebuah tema yang baru mengangkat kehidupan nyata menjadi sebuah novel. Sebut saja Laskar Pelangi (meskipun ini belum baca sih) atau Negeri 5 Menara. Seorang anak ‘kampung’ yang bersusah payah dari kecil, akhirnya mendulang sukses kala dewasa hingga keluar negeri.

Tapi, tetap saja, buku-buku seperti ini masih menarik untuk dibaca karena bentuk penyampaian yang jauh dari kesan membosankan, berlebihan atau sekedar ingin pamer ‘kesuksesan’.

Yang juga menarik perhatian, adalah cover-nya yang bersih dan simple. Berlatar warna putih, dengan dua buah apel merah yang bersanding.
Read more »

Senin, 17 Oktober 2011

Selimut Debu

Selimut Debu
Agustinus Wibowo
GPU – Januari 2010
461 Hal.
(swap sama melmarian)

Selama membaca buku ini, sejujurnya, gue hanya bisa ‘bengong’, mencoba membayangkan perjalanan seorang Agustinus Wibowo. Dari beberapa buku bergenre ‘travel’ yang pernah gue baca atau artikel di majalah, nyaris semua pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, bikin iri dengan segala foto-foto yang indah, makanan yang enak-enak dan akomomodasi yang memadai. Ya, sebut aja, tempat-tempat di Eropa, atau Bali, Pulau Komodo, bahkan negara-negara di Afrika pun, tampaknya masih lebih menyenangkan kalau membaca tentang wisata safari-nya meskipun deg-degan, takut kalo-kalo ketemu singa laper.

Tapi, ke Afghanistan, sebuah nama yang kalau gue baca koran atau liat berita di tv isinya perang, bom, penculikan dan segala teror lainnya. Rasanya rada gak ‘waras’ kalo ada orang yang nekat ke sana dengan tujuan melihat ‘keindahan’.

Ke negeri penuh debu itu, seorang diri, dengan modal yang ‘terbatas’, Agustinus Wibowo menelusuri hampir seluruh pelosok Afghanistan. Duh, membaca petualangannya, rasanya miris banget. Mengenakan pakaian tradisional penduduk yaitu shalwar qamiz yang kumal, tidak mandi berhari-hari, tidur menumpang di kedai teh, bepergian dengan truk atau jip yang bolak-balik mogok, bahkan pernah naik traktor. Jalannya tentu tidak mulus – lubang besar-besar, kiri-kanan jurang atau harus menyeberang sungai. Belum lagi, kecopetan dan diperlakukan tidak ‘senonoh’. Apalagi, bepergian di tanah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, bagi seorang Agustinus Wibowo yang non-muslim, masalah agama jadi hal yang sensitif. Meskipun mayoritas orang-orang yang ia temui tergolong baik hati, karena mereka selalu memperlakukan orang asing sebagai tamu, tapi ada saja yang berusaha memerasnya dengan mengenakan tarif kendaraan dengan harga yang tak masuk akal, sengaja ditinggal ketika sedang tidur.

Tapi, ternyata, di balik ‘penderitaan’ dan kesusahan itu, ia bisa melihat keindahan dan keanekaragaman budaya Afghanistan. Mengenal berbagai etnis di Afghanistan, Mendengar penduduk yang saling menjelekkan etnis satu dengan yang lainnya.

Bertualang dengan cara seperti ini, membuat Agustinus Wibowo jadi lebih mudah berinteraksi dengan penduduk setempat. Menginap di rumah penduduk, ia menangkap mimpi-mimpi mereka, mendegar kegetiran dan penderitaan mereka. Sejarah masa lalu yang kelam, penuh dengan perang,

Ada perempuan tak bernama karena selalu terbungkus burqa, tapi di desa lain, perempuan justru berpakaian warna-warni dan bebas bekerja di luar rumah. Peninggalan bersejarah yang dihancurkan, atau kalau pun ada tampak terlupakan.

Akhirnya… kesampaian juga baca Selimut Debu. Buku ini sudah lama ada di wishlist gue. Gue mendapatkan sebuah ‘pandangan’ baru tentang Afghanistan. Pengetahuan gue yang minim, jadi bertambah. Foto-foto yang keren hasil jepretan Agustinus Wibowo membantu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Gue *speechless* ...
Read more »

Senin, 10 Oktober 2011

Putri Ong Tien

Putri Ong Tien: Kisah Perjalanan Putri China Menjadi Istri Ulama Besar Tanah Jawa
Winny Gunarti @ 2010
GPU - 2010
200 hal.,
(hasil swap sama gadisgerimis)

Putri Ong Tien – putrid Kaisar Hong Gue di masa Dinasti Ming. Ada apa dengan beliau? Yang menjadi Putri Ong Tien disebut dalam sejarah Indonesia, karena ia adalah salah satu istri ulama besar Indonesia, yaitu Sunan Gunung Jati atau dikenal juga dengan nama Syarif Hidayatullah.

Sebagai putri kaisar, Putri Ong Tien mengikuti semua aturan yang telah ditetapkan oleh kaisar sebagai Anak Langit. Meskipun Kaisar menyayangi Putri Ong Tien, tapi tidak setiap saat mereka bisa bertemu dan berbicara dengan santai. Hari-hari Putri Ong Tien dihabiskan dengan mempelajari kaligrafi Cina dan filsafat Cina. Putri Ong Tien adalah putri yang kritis, kala salah satu selir raja tertimpa musibah, ia merasa iba, tapi tak berdaya untuk membebaskan selir itu dari hukuman raja.

Pada masa itu pula, penyebaran agama Islam sudah sampai ke Cina. Bahkan salah satu daerah di Cina, yaitu kota Xian jadi daerah yang populasi penduduk Islam paling banyak. Terbetik kabar bahwa seorang ulama dari Jawa bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa obat-obatan seperti yang selama ini dilakukan oleh para tabib Cina. Beliau hanya meminta orang yang sakit itu melakukan gerakan-gerakan sholat dan Insya Allah, sembuhlah orang itu. “Kesaktian’ ulama itu terdengar sampai ke telinga Kaisar. Tapi, sebagai Kaisar itu tidak percaya begitu saja dengan berita itu. Maka diundanglah ulama itu ke Kerajaan dan diminta untuk membuktikan kebenaran atas kesaktiannya itu.

Kaisar sudah mempersiapkan sebuah tebakan. Tapi sayang, Kaisar yang merasa dipermalukan mengusir ulama itu dari istana. Ulama itu – sang Sunan Gunung Jati – akhirnya pergi, tapi meninggalkan ‘penderitaan’ pada Putri Ong Tien. Putri Ong Tien jatuh cinta pada pria yang baru ia lihat. Kecakapan dan tutur kata Sunan Gunung Jati mampu merebut hatinya. Demi bertemu kembali pria pujaannya itu, Putri Ong Tien rela meninggalkan Cina, mengarungi lautan yang ganas menuju tanah Jawa.

Kompleks Pemakaman Keramat Sunan Gunung Jati
via budayacirebon

Putri Ong Tien pun menikah dengan Sunan Gunung Jati dan memeluk agama Islam. Hari-harinya di Cirebon dihabiskan dengan membatik. Ia pun memperkenalkan motif-motif baru. Putri Ong Tien meninggal dunia karena sakit. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Keramat Sunan Gunung Jati. Dinding di depan makam Putri Ong Tien dihiasi dengan keramik asal Cina yang ia bawa ketika berlayar ke Tanah Jawa.

Wah, banyak pengentahuan baru yang gue dapat dari membaca buku ini. Salah satunya nih, asal kata kota Palembang. Hihihi.. gue memang orang Palembang yang ‘kafir’. Meskipun gue berpikir, “Pe-de banget putri ini, berlayar jauh-jauh demi cinta.” Halahh…. :D

Tapi gue rada bingung, apakah buku ini dikategorikan sebagai ‘historical fiction’ atau bukan? Dan apa maksudnya dengan fakta-fiksi? Di belakang buku ini kategorinya adalah non-fiksi/sejarah.
Read more »