Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 25 Agustus 2012

Menyibak Tirai Tipis Dua Dunia



Judul: The Marked Son
Penulis: Shea Berkley
Penerjemah: Selviya Hana
ISBN:978-979-433-704-2
Terbit:Cetakan 1,Mei 2012
Penerbit: Mizan Fantasi
Tebal: 535 hlm

Peresensi: Zaitur Rahem

Seperti lokus awal penciptaannya, dunia memang dipenuhi dengan sepak terjang manusia yang dimensial. Bahasa yang paling sederhana, di dalam kehidupan dunia ada dua sifat yang saling bersamaan. Bersanding saling melengkapi dan menyempurnakan. Semisal, ada sifat baik dan buruk, bagus dan jelek, laki-laki dan perempuan, siang dan malam, dan sifat lain yang bersepadan. Sifat-sifat dunia ini menjadi sangat absurd ketika terkontaminasi oleh sifat di luar kehidupan dunia lain tak terbatas. Yaitu, ketika dunia alam nyata berbaur dengan kehidupan gaib (tidak nyata).

Dalam perspektif rasional, sangat mustahil dunia nyata berpadu dengan dunia gaib. Sebab, dua dunia ini dipandang memilik garis pemisah meski sangat tipis. Dan kisah dua dunia itu ada dalam novel bergensi ini. Sebagai karya fiksi bergenre sastra modern, Shea Berkley (Penulis) menghadirkan dua dunia seperti tidak memiliki garis pemisah sama sekali dalam novel ini. Kehidupan dunia nyata dan gaib menjadi bagian satu dari kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Alam gaib-alam nyata seperti kehidupan tetangga sebelah yang saling mengisi. Sensasional dan luar biasa. Meski sedikit mengernyitkan kening, namun membaca novel setebal 535 halaman ini menyenangkan. Dalam novel ini pembaca akan diajak menjadi penghuni baru dalam kehidupan yang baru. Seperti yang dialami Dylan dan Kera dalam karya ini. Kedua orang tokoh ini menjadi pengantar dalam memasuki dunia lain setelah dunia nyata.

Dylan, dalam kisah ini menjadi tokoh baik yang menaklukkan tokoh jahat yang bernama Navar. Seperti hukum alam, dua sifat ini memang saling berseberangan. Saling berkehendak berdasar garisan yang diinginkan. Dylan menginginkan kejahatan musnah dari alam ini. Tetapi pemuja kejahtan tidak mau kalah, justru kebaikan harus kalah. Berangkat dari sebuah hutan yang menggiring langkah Dylan, tokoh dalam novel ini maka misteri dua dunia bisa diketahui. Dylan yang dicitrakan sebagai tokoh baik harus jatuh bangun melindungi saudara yang lain, yaitu Kera. Kera adalah seorang gadis yang kemudian menjadi rebutan dua orang antara Dylan dan Navar. Navar mencoba menaklukkan Kera dengan macam cara, tetapi bisa dipatahkan oleh Dylan. (hlm 20-71)

Pertarungan dua tokoh jahat dan baik ini menjadi titik menarik dalam novel ini. Ada sejumlah ketegangan yang dimasukkan dalam karya ini. Meski pesan paling esensial adalah kehidupan nyata dan tidak nyata adalah kehidupan yang sarat dengan sepak terjang pernghuninya. Namun dalam perjalannya, yang baik akan mengalahkan yang jahat. Novel ini layak menjadi bacaan merenungi kehidupan dua dunia. Setidaknya menjadi tambahan pengetahuan akan kebesaran Tuhan. Selamat Membaca!

ZAITUR RAHEM, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Aktif menulis di sejumlah media: Radar Surabaya, Kendari Pos, Annida Online, Jawa Pos, Kompas, Majalah KUNTUM Jogjakarta, MPA, Nuonline, Memorandum, Tabloid Info dan majalah Parlemen.

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono
Read more »

Hukum Itu Selalu Dinamis


Judul: Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadapTeori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif
Penulis: Romli Atmasasmita
Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta
Tahun: I, Maret 2012
Tebal: xv+127 halaman
Harga: Rp 45.000,-

Peresensi oleh: A.P. Edi Atmaja

BUKU ini mengetengahkan diskursus baru dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia. Setelah pada 1970-an Mochtar Kusumaatmadja menawarkan Teori Hukum Pembangunan dan pada 1990-an Satjipto Rahardjo menghidangkan Teori Hukum Progresif, kini Romli Atmasasmita melontarkan gagasan rekonstruksi atas dua teori tersebut, yang dinamakannya Teori Hukum Integratif.

Tak jauh beda dengan dua teori sebelumnya, guru besar Universitas Padjadjaran ini pun bertolak dari realitas keseharian. Argumen akademis Teori Hukum Integratif amat dipengaruhi oleh situasi hukum masa kini yang sarat ketidakadilan, ketimpangan, dan jauh dari kesejahteraan. Memang, kalau dibandingkan dengan dua teori itu, titik tolaknya lain: Indonesia selepas Reformasi 1998, di mana setan globalisasi dan kapitalisme menghinggapi seluruh bidang kehidupan, termasuk hukum.
Membaca buku ini, terasa benar titik pijak penulisnya: masyarakat (hukum) adat. Hukum tinggalan kolonial yang diproyeksikan sedemikian rupa oleh penguasa setelahnya amat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Hukum pada akhirnya dipakai penguasa untuk menggerus eksistensi masyarakat adat, masyarakat lokal. Hukum terasa sangat antipati kepada kaum pribumi.

Pembentukan hukum nasional, kata Romli, sampai saat ini masih belum selesai dan patut dipertanyakan terus. Sebelum dan setelah Indonesia memasuki era Reformasi, upaya yang dilakukan lebih banyak berupa harmonisasi pengaruh hukum asing (internasional) ke dalam peraturan perundang-undangan nasional (hal. 61).
Sebagai contoh, “nasionalisasi” Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP Belanda) berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 muatannya nyaris sama dengan teks aslinya—yang bahkan di negara asalnya sudah diperbarui beberapa kali. Di sisi lain, pembaruan hukum melalui yurisprudensi belum melembaga di kalangan aparatur hukum meski telah diakui dalam pelbagai forum diskusi.

Teori Hukum Pembangunan yang menjiwai kebijakan Orde Baru pun rupanya masih terdapat cacat di sana-sini. Hambatan timbul lantaran kegagapan teori itu untuk menghadapi perkembangan hukum yang dinamis. Hambatan berkisar soal (1) penyalahgunaan teori untuk kepentingan politik sesaat, (2) sukarnya menentukan tujuan pembaruan hukum, (3) sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif, (4) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil atau tidaknya usaha pembaruan hukum, dan (5) para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan soal corak hukum yang dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi seperti saat ini (hal. 77).

Kegagapan Teori Hukum Pembangunan coba dilengkapi Romli dengan menyandingkannya dengan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Progresif lebih melihat persoalan di tataran eksekusi. Artinya, bekerjanya hukum dianggap berhasil atau gagal tergantung dari pelaksana Undang-undang—kendati menurut Satjipto Rahardjo hukum tak bisa dimaknai sebatas Undang-undang.

Ada satu kunci yang dikemukakan Romli Atmasasmita sebagai upaya rekonstruksi atas dua teori hukum tadi sekaligus pendeklarasian Teori Hukum Integratif, yakni pemberdayaan birokrasi (social bureaucratic engineering). Rekayasa birokrasi dan masyarakat yang berlandaskan pada sistem norma, perilaku, dan nilai yang bersumber dari Pancasila sebagai ideologi bangsa—itulah Teori Hukum Integratif (hal. 97). Diharapkan, semua itu akhirnya akan bermuara pada tercapainya kondisi hukum yang asali: dinamis akan kehidupan masyarakat. []

A.P. EDI ATMAJA,
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono
Read more »

Kapitalisme di Panggung Kuasa Jawa


Judul buku : Kapitalisme Bumi Putra; Perubahan Masyarakat Mangkunegaran
Penulis : Prof. Dr. Wasino, M.Hum.
Penerbit : LKiS Jogjakarta
Cetakan : 2012
Tebal ` : xiii + 398 halaman

Oleh: Munawir Aziz*

Kapitalisme telah diperagakan oleh penguasa Jawa sejak beradab-abad lalu. Spirit kapitalisme ini ditanamkan oleh rezim kolonial Belanda kepada penguasa Jawa. Dengan menggunakan modal sosial, modal simbolik dan kekuasaan, penguasa Pribumi Jawa tak kuasa untuk menolak kegenitan kapitalisme. Maka lahirlah rezim pencari profit, yang lahir dari perselingkuhan penguasa dan kekuasaan di tanah bumiputra.

Dan, kerajaan Mangkunegara, terjangkit spirit kapitalisme dalam sistem pemerintahannya. Hal ini terjadi, ketika Belanda dengan semangat menggebu membangun beberapa pabrik gula di wilayah Jawa. Pemerintahan kolonial Belanda menjadikan sektor pertanian tebu sebagai ladang untuk mengeruk untung yang berlimpah. Inilah yang menjadikan kolonialisme begitu massif, karena menyalurkan pundi ekonomi bangsa ini melalui pipa penjajahan ke negeri Belanda.

Akan tetapi, di kerajaan Mangkunegara, iklim kapitalisme berwajah lain. Jubah kapitalisme tak lagi disandang oleh rezim kolonial, akan tetapi oleh penguasa Mangkunegara, yang merupakan kaum bumi putra. Inilah ironi yang tercatat dalam jejak sejarah bangsa ini. Kapitalisme merasuki keheningan jiwa penguasa Mangkunegara, raja yang kekuasaannya bergemuruh di kalangan bumiputra.

Gerak kapitalisme bumi putra ini berawal, ketika raja Mangkunegara IV dalam menggerakkan perekonomian kerajaan Mangkunegara. Sama halnya seperti kerajaan-kerajaan lain, yakni memanfaatkan bercocok tanam kopi, jahe, dan rempah-rempah lainnya untuk dijual. Selain itu, Raja Mangkunegara IV juga turut menyewakan tanah-tanah kekuasaannya untuk dijadikan ladang usaha para penanam modal asing yang datang dari kalangan swasta Barat dan China dengan menggerakkan usaha produksi dan pemasaran gula pasir dari tanaman Tebu yang dikuasai oleh VOC.

Setelah dirasa bahwa pendapatan—kerajaan baik dari usaha kerajaan sendiri maupun berbagai pajak (upeti) dari rakyat Mangkunegaran—tidak bisa menutup kebutuhan kerajaan, raja Mangkunegaran IV menarik kembali tanah-tanah yang ia sewakan terhadap pengusaha-pengusaha swasta Barat dan China untuk dijadikan usaha sendiri. Berbekal pengetahuan dan dukungan sahabat karibnya yang bernama Manuel (pemilik perkebunan indigo di Baron), raja Mangkunegara IV menggalakkan penanaman Tebu diberbagai tanah kekusaannya, yang kemudian disusul dengan didirikannya pabrik gula Colo Madu (tahun 1862) untuk menggiling dan memproses tanaman Tebu tersebut (hlm. 49).

Inilah yang menjadi titik balik kejayaan kerajaan Mangkunegara, mampu menimbun pundi-pundi ekonomi dari bisnis perkebunan tebu. Sejalan dengan hal ini, gemerlap usaha barunya itu pun mulai tampak dengan hasil gula pasir yang laku keras di pasaran Eropa. Laba hasil pemanenan Tebu di musim panen pertama inipun dirasa belum memuaskan raja Mangkunegara IV. Pada musim tanam tebu berikutnya, raja Mangkunegara IV, kembali bersungguh-sungguh dalam melanjutkan usahanya dengan menambah kuantitas penanaman Tebu ditanah-tanah kekuasan Mangkunegran yang lain dan mendirikan pabrik gula untuk kedua kalinya, dengan diberi nama Tasik Madu pada tahun 1874 (hlm 52).

Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Wasino, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang ini merupakan disertasi beliau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Buku ini berhasil merekam secara komprehensif jejak sejarah kerajaan Mangkunegara, dengan raut wajah kapitalisme yang tampak tergurat jelas dalam sistem pemerintahan.

Buku ini juga memotret secara apik benang kusut problematika kepemilikan tanah yang berlangsung di berbagai daerah. Penulis buku ini meriset hal ini secara utuh dalam bingkai kasus monopoli perkebunan tebu di kerajaan Mangkunegara. Kasus kepemilikan tanah menyimpan luka sejarah kelam, karena penuh dengan intrik dan pertentangan kepentingan. Sengketa kepemilikan tanah seringkali meletus antar berbagai pihak.

Temuan dalam buku ini, sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hiroyosi Kano, Frans Husken dan Joko Suryo, di daerah perkebunan tebu pabrik gula Comal, Jawa Tengah. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan, bahwa masyarakat di daerah pabrik gula tidak mengalami involusi, tetapi diferensiasi. Pemilikan tanah di pedesaan tidak merata, tetapi terjadi kesenjangan antara petani pemilik tanah luas dengan pemilik tanah sempit dan tak bertanah.

Monopoli tanah perkebunan tebu di Mangkunegara menjadikan rakyat gelisah dan bertambah sengsara. Warga Mangkunegara bukan sengsara akibat penjajahan kolonial yang kejam, akan tetapi otoritarianisme penguasa yang menghamba pada denyut kapitalisme. Inilah yang menjadikan Mangkunegara sebagai kerajaan pribumi yang memasung kemerdekaan rakyatnya, karena mengejar target materialisme semata.

Buku ini menarik dikaji, karena dari sebagian besar penelitian yang ada hanya mengungkap kasus monopoli perkebunan tebu dan industri gula oleh bangsa asing yang menjajah negeri ini. Penelitian yang terekam dalam buku ini memberikan sumbangsih besar, karena secara intim berhasil memotret gerak kapitalisme yang menggejolak dalam jiwa bumi putra. Buku ini menjadi rujukan penting untuk mengetahui "wajah lain" bumi putra dalam mengelola aset rakyatnya.

Munawir Aziz, Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM Jogjakarta.

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono
Read more »

Jurus Ampuh Menjadi Orang Hebat


Judul: Status Update For The Best Student
Penulis: Agung Baskoro
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2012
ISBN: 978-979-22-8490-4
Tebal: 201 hlm
Peresensi: Zaitur Rahem

Situasi dan kondisi negeri pasca dilanda krisis moneter sedikit banyak berdampak pada aktivitas berkehidupan masyarakat Indonesia. Setidaknya dampak itu bisa terlihat dari semakin ketatnya persaingan di ranah sosial. Peta berkehidupan masyarakat ini juga merambah ke semua wilayah kehidupan masyarakat, mulai wilayah ekonomi, keyakinan dan relasi sosial lainnya. Bahkan, bedampak pada corak pandang masyarakat.

Pada tahun 2012 ini, masyarakat semakin diliputi rasa khawatir belitan masalah negeri ini berlarut hingga akhir usia negeri Indonesia. Sehingga, sejumlah orang tersesat pada ranah keputusasaan. Padahal, masalah ini hanya bagian lain sebagai upaya mendidik manusia semakin tegar menatap masa depan yang lebih baik.

Buku ini bermaksud menjawab kebimbangan atas sejumlah masalah kehidupan yang dihadapi manusia Indonesia. Dalam kemasan bahasa yang update seiring kemajuan hari ini Agung Baskoro, Penulis buku ini menawarkan tips dan trik keluar dari persoalan yang dihadapi. Ada banyak pengetahuan baru dari buku ini. Meski, ide yang ada dalam buku ini tak semua mewakili semua solusi dari masalah yang ada.

Buku ini enak dibaca. Penulis berhasil menarik simpati orang yang memegang buku ini untuk membaca buku ini secara tuntas. Sebab, berbeda dengan kebanyakan buku yang ada format isi buku diramu dalam bentuk sebuah curhat di dunia maya. Hasil share sejumlah orang itu kemudian menjadi sumber awal masuk kepada tips dan trik yang jitu/update (menjanjikan). (hl. 10-20). Setiap orang dipandang mampu menggapai mimpi-mimpinya. Tetapi, proses mencapai impian itu melalui ahapan yang melelahkan dan aneka ragam. Seperti Kata Mahatma Gandhi yang dikutip dalam buku ini, Kemenangan terletak pada usaha, bukan pada hasil. Berusaha dengan keras adalah kemenangan yang hakiki (Mahatma Gandhi) hl 43. Artinya, kemampuan seseorang menjinakkan rasa mudah menyerah adalah kunci utama menggapai mimpi yang diharapkan.

Selain berusaha dengan bekerja keras, untuk meraih mimpi itu membutuhkan Pengalaman. Pengalaman seseorang juga menjadi modal penting seseorang meniti kesuksesannya. Agung menekankan, kesempatan memiliki pengalaman jangan disia-siakan. Sebab, pengalaman tersebut adalah peta maha penting masuk kepada 'istana emas'. Buku ini tak sekedar curhat belaka. Namun, pada sejumlah halaman dimuat alamat penting kantor, lembaga yang sudah mengantarkan penulis menjadi pengusaha, dosen, mahasiswa peraih sejumlah beasiswa, pemikir, penulis dan pengalaman lainnya yang energik. (hl 40-60)

Prestasi dan posisi strategis di medan usaha dalam logika formalnya tidak bisa didapat hanya dengan duduk manis. Tetapi, seseorang dituntut bisa merebut posisi itu dengan penuh keberanian. Persaingan dalam dunia karir hal lumrah. Yang penting, dalam menjalani persaingan dilakukan secara benar dan tidak menyimpang dari garis aturan yang ada. Sehingga, dalam buku setebal 201 halaman ini diharapkan seseorang bisa membenahi mental dan moral diri. Sebab ketika diri seseorang tertata baik maka aktifitas yang dilaksanakan bisa maksimal. Semua orang berfikir mengubah dunia dan tidak ada yang berfikir mengubah dirinya sendiri (Leo Tolstoy) hl 71.

Akhirnya, buku ini layak menjadi bahan bacaan orang-orang yang ingin menjadi hebat. Meski harus disadari, teori saja tidak cukup namun harus diimbangi dengan gerakan nyata. Semoga, hadirnya buku ini menjadi bagian ruh semangat bagi masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

* ZAITUR RAHEM, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabay. Aktif menulis di sejumlah media.

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono
Read more »

Ziarah ke Masa Lalu Jepang


Judul Buku: Minamoto no Yoritomo
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books
Cetakan: I, Februari 2012
Tebal: 386 Halaman

Memperbincangkan sastra Jepang, sangat sulit dilepaskan dari sosok bernama Eiji Yoshikawa. Dua karya utamanya; Musashi dan Taiko, menjadi bacaan wajib bagi para pecinta kisah Samurai khususnya, dan sastra Jepang pada umumnya. Kedua buku tersebut juga dianggap mampu menginspirasi dan memotivasi para pembacanya.

Pria bernama asli Hidetsugu Yoshikawa ini dikenal memiliki gaya penulisan yang khas, ia kerap mengekspresikan pandangan-pandangan pada masanya dengan menggunakan setting masa lampau Jepang, era ketika para Samurai dan Shogun berperang menumpahkan darah untuk meraih kehormatan dan kekuasaan. Hasilnya, karya-karya Eiji seakan tak lekang oleh zaman.

Salah satunya karya berjudul Minamoto no Yoritomo ini. Berkisah tentang anak-anak Sama no Kami Yoshitomo, pemimpin klan Minamoto, yang kalah telak dalam Perang Hougen Heiji di Rokujo-Kawara melawan Taira no Kiyomori. Yoshitomo beserta seluruh keluarganya terbunuh, dan hanya menyisakan empat orang anak; Uhyoe no Suke Yoritomo, Otowaka, Imawaka, Shanaou Ushiwaka dan seorang gundik bernama Tokiwa.
Jatuh-Bangun Rezim

Nasib kelimanya jauh lebih beruntung dibanding dengan anggota keluarga klan Minamoto lainnya yang mengalami akhir tragis, mati di ujung pedang para samurai klan Taira. Yoritomo misalnya, anak bungsu Yoshitomo dari istri sah ini, selamat dari hukum pancung berkat hati Kiyomori, yang tidak seperti biasanya, melunak atas bujukan dari ibu tirinya, Ike no Zeni, dan putra sulungnya, Shigemori untuk mengampuni anak musuh bebuyutannya.

Sedangkan Tokiwa dan ketiga anaknya dapat selamat dikarenakan hati Kiyomori yang memang mata keranjang, kepincut oleh kecantikan gundik mendiang Yoshitomo ini. Akhirnya, hukuman yang ddapatkan oleh anak-anak tersebut hanyalah pengasingan, sedangkan Tokiwa sendiri harus rela dinikahkan dengan salah satu anak buah Kiyomori, sebagai siasat pemimpin klan Taira ini mengelabui publik.

Meski menceritakan semua tokoh utamanya hampir secara berimbang, namun kisah Yoritomo dan Ushiwaka-lah poros dari semuanya. Yoritomo, yang diasingkan ke Izu, kemudian mulai menyusun kekuatan dari sisa-sisa pasukan keluarga klan Minamoto. Sedangkan Ushiwaka yang dibuang ke Kuil Kurama, secara diam-diam mendapatkan perhatian dan dukungan dari mantan anak buah ayahnya yang masih setia. Keduanya memiliki misi yang sama; meruntuhkan rezim Taira yang tengah berkuasa.

Ketegaran dan semangat yang pantang menyerah, nampaknya menjadi spirit yang hendak dihembuskan oleh penulis yang paling disukai seantero Jepang ini kepada para pembacanya. Sikap demikian tergambarkan dengan sangat jelas melalui karakteristik tokoh utamanya, Yoritomo. Spirit seorang samurai yang patut diteladani.

Sebagaimana buku-bukunya yang terdahulu, karya ini pun tergolong cukup tebal, meskipun dalam versi Indonesia dibagi menjadi dua jilid, dan semakin mengerek namanya sebagai novelis dunia dengan spesialisasi fiksi histori Jepang. Namun, sebagai sebuah kisah yang lahir dari perkawinan antara fakta sejarah dan imajinasi penulisnya, ketebalan tersebut tidak membuat jenuh pembaca.

Teladan dari Sejarah

Sebagai sebuah fakta sejarah, kisah yang ditawarkan Eiji tersebut dapat kita ketahui melalui lembaran resmi sejarah yang ada, namun bagaimana imajinasi Eiji yang penuh warna sangat menarik untuk dinikmati. Mengingat karya fiksi sebagai hasil dari proses imajinasi, bukan catatan sejarah yang harus menitikberatkan pada data-data faktual. Sehingga ia memiliki dunianya sendiri, yang bisa saja dibengkokkan dari mainstream sejarah.

Menjelajahi halaman demi halaman buku ini, akan membuat kita merenung dan mencoba membandingkan antara masa lalu dan masa kini Jepang dan Indonesia. Ada keterkaitan yang erat antara Jepang modern dengan Jepang masa silam terutama abad ke-12. Jepang hari ini masih kental memperlihatkan pengaruh dari ajaran Bushido, atau kode etik samurai. Namun mereka sukses mentransfer nilai-nilai tersebut ke dalam sikap kerja yang lebih riil, sehingga tidak gamang mengarungi modernitas dan sukses menjadi negara maju.

Sebaliknya, meski memiliki kebudayaan dan akar sejarah yang jauh lebih panjang, di Indonesia semuanya hanya berujung pada mitos-mitos yang jauh dari realitas. Bagaimana kebesaran Majapahit, Sriwijaya, Padjajaran maupun sosok Ratu Adil, sekedar berfungsi meninabobokan masyarakatnya untuk terus menunggu Godot, tanpa memahami filosofinya dalam konteks kekinian. Bahkan kondisi geografis dan demografis yang jauh lebih unggul daripada Jepang pun seolah menjadi mubazir. Sebuah kegagalan yang melahirkan keterbelakangan berkepanjangan.

Peresensi:
Noval Maliki, Pemerhati Buku, Tinggal di Yogyakarta

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono
Read more »

Marketing is Bulshit: Retorika Bisnis Era Modern


Judul: Marketing Is Bulshit
Meledakkan Profit dengan Kreatifitas & Otak Kanan
Penulis: Ippo Santosa
Penerbit: PT Elex Media Komputindo
Terbit: ke-19, Juli 2012
ISBN: 978-979-27-4339-5
Tebal: vvii+181 hlm

Peresensi: Ana FM

Persaingan di era modern ini ternyata mulai menjadi trend baru berkheidupan warga Indonesia. Rumus yang ada, siapa yang cepat dan menguasai medan (usaha) maka dapat. Demikian sebaliknya, siapa yang lambat maka akan ditinggal oleh kepastian. Sehingga wajar jika sejumlah orang (pengusaha) berkompetisi menjadi yang terbaik dan terdepan. Meski, ada juga sejumlah orang yang berjalan tertatih dalam menjalankan usahanya.

Buku garapan Ippo Santosa ini hadir menjawab problematika dunia usaha dewasa ini. Buku ini memang bukan segalanya, namun ulasan dalam buku ini sudah nyaris mewakili kebimbangan para pengusaha yang menekuni aktivitasnya. Banyak 'jamuan' tekhnik jitu dalam mengelola dunia usaha menjadi menguntungkan berlipat ganda. Bahkan, dalam buku ini dijelaskan tentang trik, tips dan tekhnik hebat orang terkenal di dunia. Sehingga buku ini terasa sangat lengkap untuk dijadikan referensi dalam menjelajahi dunia bisnis.

Sebagaimana logika bisnis, segala aktifitas di wilayah dunia usaha diharapkan mendatangkan pendapatan (uang). Menggeluti dunia bisnis ini tidak cukup bermodal dana. Dana memang sangat penting, namun pengetahuan dan pengalaman tak jauh penting. Dana dan pengetahuan ini menjadi modal utama dalam memantapkan bisnis yang dijalankan. Belajar kepada pengalaman kepada para tokoh dunia, mengerjakan aktifitas usaha ini harus dilakukan dengan matang dan rapi. Dalam arti, apa yang dijalankan seseorang tidak hanya sekedar kegiatan sambil lalu saja. Kondisi ini yang sering disebut dengan istilah fokus pada satu objek. Namun demikian, fokus saja tidak cukup dalam mengemas usaha menjadi bernilai keuntungan berlipat ganda, tetapi harus diimbangi dengan kreatifitas dan potensi diri yang memadai.

Penulis buku memberikan trik untuk menjadi pengusaha yang cerdas dan kreatif. Dengan mengutip pemikiran Michael Michalko diberikan cara bagaimana menjadi creatif marketer. Pertama, be distinctive. Maksudnya, amati dan cermati persoalan yang ada dengan pendekatan berbeda. Sehingga, persoalan yang ada menjali bagian penting dalam meraih kesuksesan. Jangan pernah takut menghadapi persoalan. Sebab, dengan persoalan ini seseorang akan menjadi lebih dewasa.

Kedua, be imaginative. membayangkan sesuatu bisnis yang mapan salah stu kunci sukses. Sejumlah tokoh dunia, sebut saja Albert Einstein selalu berjuang menemukan temuan baru. Pada awalnya, temuan-temuan Enstein ini didasari dari membayangkan sesuatu. Dan sesuatu itu dibayangkan menjadi salah satu temuan yang bakal menggemparkan jagad. (hl 119-120)

Ketiga, be productive. Hasil imajinasi itu dilanjutkan dengan mencoba menghasilkan sesuatu dengan lebih nyata. Nyata disini bagi marketer adalah mengasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi usahanya dan popularitasnya. Keempat, be combinative. Memadukan pengetahuan/pengalaman baru dari yang didapat sebelumnya dengan yang update pada titik kulminasi akan menghasilkan temuan baru. Trik keempat ini sudah menjadi syarat mutlak bagi orang menekuni dunia usaha bisnis oriented.

Kelima, be connective. Perjalanan usaha seseorang pasti akan dihadapkan kepada dua ujung arah. Yakni, arah keberuntungan dan kerugian. Menemukan koneksi (hubungan) dari aneka persoalan yang dihadapi akan menciptakan ledakan keberuntungan bagi seorang pengusaha. Bahkan, dengan strategi be connective ini akan juga mampu menciptakan rasa percaya diri dalam menjalankan sebuah usaha.

Selian kelima tips di atas, setiap marketer dituntut memiliki be contrary (mampu menyimpan dua hal yang saling berlawanan), dan tips lain yang satu sama lain saling berkelindan menyempurnakan. Keahlian, berani dan sukses adalah pilihan. Hari yang utama adalah bergerak dan bangkit dari keterpurukan. Selamat membaca, mencoba, dan menjadi jutawan!

*Penulis, Pecinta Buku dan Alumni PonPes An-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura . Email: lembayung_88@yahoo.com

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono
Read more »

Anak Singkong dan Sejuta Kepercayaan


• Judul buku: Chairul Tanjung Si Anak Singkong • Penulis: Tjahja Gunawan Diredja • Penerbit: Penerbit Buku Kompas • Cetakan: VI, Agustus 2012 • Tebal: xvi + 384 halaman • ISBN: 978-979-709-650-2

Resensi oleh Rhenald Kasali

Pada tahun 2000-an, tak lama setelah para konglomerat lama menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional, muncul sejumlah nama pengusaha baru. Chairul Tanjung adalah salah satunya.

Racikan usaha konglomerat baru yang menarik perhatian publik itu bertulang utama di sektor keuangan, sebagian industri, properti atau perkebunan, dan tentu saja media massa. Konglomerat baru itu ingin mendapat pijakan dalam dunia hiburan atau media, menemani tumbuhnya kelas menengah baru domestik.

Berebut tempat atau memosisikan diri sebagai orang media sangat disyukuri, apalagi jika mendapat julukan sebagai tokoh pers, bahkan sebagian menyeberang ke dunia politik dengan motivasi yang berbeda-beda.

Tidak mengherankan jika ada dugaan, konglomerat baru pasca-Orde Baru dibidani oleh pemain lama yang butuh ”orang kepercayaan” untuk memutar kembali asetnya yang tidak dapat dibeli kembali dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Namun, membaca biografi Chairul Tanjung (CT), kita tidak akan menemukan jawaban itu meski gunjingan akan selalu terdengar.

CT mengambil Bank Mega (1995) ”atas tawaran” pejabat senior Bank Indonesia dan Bapindo melalui proses due diligence, jauh sebelum para konglomerat gulung tikar (1997). Namun, benar seperti yang dikatakan Jakob Oetama dalam pengantarnya, modal CT adalah kepercayaan. Dan, itu sesungguhnya adalah modal besar seorang pemimpin, modal utama seorang wirausaha.

Keberuntungan, harta tak terlihat

CT dipercaya pasar, diminati pengusaha, dan disukai Presiden. Sepanjang buku ini kita disajikan langkah-langkah kecil yang menjadikan CT magnet. Sekali lagi bukanlah uang yang menjadi modal, melainkan kepercayaan. Bagi yang melihat uang sebagai constraint dalam berwirausaha tak akan percaya bagaimana seorang ”anak singkong” yang tinggal di Gang Abu, berdinding asal-asalan dan biasa ”nongkrong” di jamban beratap seng, yang masuk kuliah di UI tak punya uang, bisa menjadi sarjana dan bankir yang diperhitungkan. Pastilah, pikir mereka, ada tangan lain yang meminjamnya.

Kata orang bijak keberuntungan itu bukan karena fengsuinya bagus, melainkan karena persiapan diri yang kuat yang bertemu dengan kesempatan. CT membaca kesempatan sejak menjadi anak rakyat di kampus Salemba. Saat mahasiswa lain sibuk kuliah dan fotokopi diktat, ia justru melihat gap antara biaya fotokopi dan mencetaknya dalam bentuk stensilan di percetakan teman sekolah masa SMP-nya di daerah Senen. Selisihnya besar sekali. Ia pun mendatanginya, mengambil risiko, dan menawarkan harga lebih murah. Dipercaya di kampus membuatnya dipercaya dunia usaha sedikit demi sedikit.

Dari fotokopi ke alat-alat kedokteran, lalu jual beli mobil bekas, menjadi kontraktor kecil-kecilan, dan belajar menangani kesulitan. Saat bangkrut, bukannya pecah seperti telur yang jatuh, ia justru membal kembali seperti bola tenis. Bukankah Tuhan memberikan kita kesulitan agar kita berpikir? Seperti sopir yang mengekspos diri pada risiko, ia tidak mau menjadi penumpang yang berpangku tangan di belakang. Ia mengaku selalu didatangi tawaran untuk masuk ke bisnis-bisnis baru dan ia mau melakukannya. Kalau kita sekolah di kedokteran gigi, kemungkinan besar istri akan mengatakan, ”Ngapain jadi juragan sepatu? Kan, mas dokter?”

Demikianlah ia ditawari orang Taiwan membuat sepatu meski jadinya hanya pabrik sandal, celah yang sulit dimasuki ia ekspos terus. Dari situ ia dapat kepercayaan, menggabungkan keahlian dalam industri dan properti. Dari berhubungan dengan bank sebagai debitur sampai menjadi pemilik bank dan masuk ke dalam dunia pertelevisian. Secara spiritual kita bisa memercayai doa ibu yang menyertai keberuntungan seseorang. Hampir semua pemimpin dan pengusaha besar dalam biografinya selalu menyebut ibu. Aneh, ya, kok bukan bapak?

Namun, dalam kewirausahaan, keberuntungan seseorang hanya terjadi apabila kedua hal di atas terpenuhi: mampu membaca gap (peluang) dan mempersiapkan diri. Jangankan wirausaha, calon presiden saja harus mampu membaca kesempatan serta ilmuwan harus bisa melihat celah apa yang sudah diteliti dan yang masih menjadi masalah. Namun, mampu membaca saja tidak menjadikan Anda manusia beruntung. Manusia harus bergerak, mengeksplorasinya, yang berarti melakukan persiapan sampai ia didatangi oleh kesempatan-kesempatan yang lebih besar. Namun, siapa yang bisa didatangi kalau tidak ada kepercayaan?

Akumulasi semua ini sesungguhnya adalah harta-harta tak kelihatan (intangible) yang menjadikan Warren Buffet pengusaha besar, demikian juga dengan Bill Gates dan Steve Jobs, dan menjadi modal bagi Ir Ciputra, TP Rahmat, dan Peter Sondakh. Menurut saya, kemampuan manusia mengelola harta-harta tak kelihatan inilah (kepercayaan, pengetahuan, daya juang, informasi, pembelajaran, dan etika) masih kurang didalami di dunia persekolahan kita.

Kemampuan mengelola harta-harta tak kelihatan itu dikenal dengan istilah life skills dan menjadikan Jepang, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Singapura sebagai bangsa yang tangguh. Akan halnya CT, dia mendapatkannya dari perjalanan hidup.

Anak singkongnya?

Biografi ini dibuat dengan bahasa yang sederhana, dengan bab yang ditulis pendek-pendek, jauh dari jargon-jargon bisnis. Namun, seperti yang saya katakan di pembukaan, masih banyak yang bisa diceritakan CT, khususnya dalam ”kepercayaan” yang diberikan pemain-pemain lama, minimal bagaimana ia membedakan diri dengan mereka dan memosisikan sebagai pengusaha di era baru yang lebih didasarkan tata kelola yang baik. Refleksi kedekatan dengan penguasa perlu juga diuraikan agar pengusaha muda mampu mengambil pertimbangan yang masak.

Meski generasi CT sangat familiar dengan kata anak singkong, dalam buku ini tak ada ulasan yang menjelaskan mengapa ia mengklaim sebagai anak singkong. Dalam buku ini juga ditemui beberapa ulasan yang terkesan banyak dipotong sehingga muncul pertanyaan, mengapa harus disajikan jika informasinya hanya seadanya? Juga ditemui kegalauan penulisan antara otobiografi (menjelaskan tentang ”saya”) dan biografi yang ditulis orang lain berdasarkan hasil riset (hal 165).

Namun, kalau kita bisa memisahkan bagian-bagian tertentu, buku ini penting untuk menanamkan semangat kewirausahaan. Bagaimana menjadikan para sarjana sebagai manusia beruntung yang tak hanya menjadi pemain warung di kaki lima selama bertahun-tahun bersaing dengan rakyat jelata dan selalu meributkan constraint.

RHENALD KASALI Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia •

Sumber :Kompas Cetak
Editor :Jodhi Yudono
Read more »