Tampilkan postingan dengan label Tere-Liye. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tere-Liye. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 April 2012

Sunset bersama Rosie



Sunset bersama Rosie
Tere-Liye
Penerbit Mahaka – Cet. II, Desember 2011
426 hal.
(Hadiah dari temen kantor)

Tegar, seorang eksekutif muda rela meninggalkan pekerjaannya yang sudah memberinya kedudukan yang nyaman untuk menjaga anak-anak dari sahabatnya Rosie. Bukan hanya itu, ia juga rela menunda pertunangannya dengan kekasihnya, Sekar.

Rosie adalah sahabat Tegar sejak mereka masih kecil. Selama berpuluh tahun persahabatan itu, wajar aja kalo Tegar gak hanya merasa Rosie sebagai sahabat, tapi juga ingin menjadi bagian dari hidup Rosie. Tapi, sayang, saat pengen menyatakan cinta di tempat dan saat yang romantis, eh.. Tegar keduluan sama Nathan. Padahal, Tegar juga yang sudah memperkenalkan Rosie pada Nathan, tapi Tegar gak nyangka kalo Nathan malah ‘nyolong’ start.

Tegar pun akhirnya memilih menghilang dari kehidupan Rosie. Tapi, akhirnya toh Rosie dan Nathan berhasil ‘melacak’ jejak Tegar. Dan sejak itu Tegar kembali hadir dalam kehidupan Rosie dan Nathan. Bahkan Tegar pun akrab dengan keempat anak Rosie dan Nathan.

Kalau di Hafalan Shalat Delisa, Tere-Liye mengambil latar belakang peristiwa tsunami, di buku ini, peristiwa bom Bali II yang jadi benang merahnya. Saat keluarga itu sedang menikmati sunset di Jimbaran, sekaligus merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke 13, saat itu pula peristiwa bom Bali II terjadi. Nathan jadi korban. Keluarga itu seketika ‘jatuh’ dan berduka. Rosie kehilangan kendali, tak kuat menahan cobaan, sementara anak-anak masih kecil butuh dukungan orang yang lebih tua. Tegar pun mengambil alih, peran sebagai orang tua. Tegar tak hanya mengasuh anak-anak, tapi juga mengurus resor milik Rosie dan Nathan. Pelan-pelan, Anggrek, Sakura, Jasmine dan Lily berhasil berdamai dengan trauma. Tegar menjadi Paman, Uncle, Om hebat dan super keren. Mereka menjadi anak-anak yang cepat ‘dewasa’ tapi tak lantas menjadi mereka ‘tua’ sebelum waktunya. Mereka tetap anak-anak yang jahil dan iseng.

Karena anak-anak ini adalah ‘saksi’ pada peristiwa Bom Bali II, mereka harus hadir saat pembacaan vonis bagi terdakwa pelaku pengeboman di Jimbaran itu. Pastinya berat banget ya buat mereka, mereka harus melihat orang yang menyebabkan mereka kehilangan ayah, terpaksa mengingat lagi kejadian yang menyakitkan. Tapi, di sini, letak ‘indah’nya cerita ini, berdamai dengan masa lalu dan berlapang dada untuk mema’afkan.

Gue sih sempat berharap ada sedikit ‘ribut’ kecil gitu antara anak-anak dengan Tegar. Entah mereka ‘nuduh’ Tegar karena sok mengambil peran orang tua. Biar rada ‘seru’ gitu. Hehehe.. Tapi emang karena mereka anak-anak baik jadinya mereka nurut banget sama Paman mereka yang super keren ini. Konflik yang rumit justru lebih difokuskan sama hubungan antara Tegar dan Sekar yang on-off, dan Tegar yang terombang-ambing apakah mengambil kesempatan kedua bersama Rosie atau kembali ke Sekar.

Meskipun buat gue Hafalan Shalat Delisa masih lebih membekas, buku ini tetap mengharu-biru dengan cerita yang indah. Semoga sih, kalo pun gue nanti baca karya-karya beliau yang lain, gak malah jadi klise ya… :)

Buku ke 5 untuk 'Name in a Book Challenge 2012' - hosted by Blog Buku Fanda
Read more »

Kamis, 08 Maret 2012

Hafalan Shalat Delisa


Hafalan Shalat Delisa
Tere LiyeJustify FullPenerbit Republika – Cet. XIII, Februari 2011
270 Hal.
(Gramedia Plaza Semanggi)

"Delisa cinta Ummi karena Allah...."
"Delisa cinta Abi karena Allah...."

Lama gue mendengar tentang novel ini. Mendengar komentar orang yang membaca buku yang mengharu-biru. Tapi, gue belum tergerak untuk membeli, meminjam atau membacanya. Bahkan, setelah dibuat film-nya pun, gue juga belum pengen baca buku yang menuai banyak pujian dan di goodreads.com pun rata-rata memberi bintang 4-5.

Tapi, yang membuat gue akhirnya penasaran dengan buku ini adalah saat dua orang teman di BBI – yang non-muslim, membaca buku ini dan memberi bintang yang tinggi. Wah… ada apa dengan buku ini?

Akhirnya, dari hasil muter-muter tanpa tujuan di Gramedia Plaza Semanggi, gue memutuskan membeli buku ini dan segera membacanya.

Cerita diawali dengan keluguan dan kepolosan sebuah keluarga di pagi hari. Saat subuh, saling menggoda saat si kecil Delisa yang berusia 5 tahun susah bangun. Keharmonisan sebuah keluarga terlihat dari awal. Ya, kalo pun ada cemburu, iri, ngambek dan marah-marahan, maklum aja deh, namanya juga kakak-adik,

Delisa ini akan segera menghadapi ujian hafalan bacaan sholat. Ummi sudah menjanjikan sebuah kalung cantik jika Delisa berhasil lulus ujian itu. Ditambah iming-iming sepeda dari Abi yang bekerja di lepas pantai di sebuah perusahaan minyak.

Di pagi yang cerah, tanggal 26 Desember 2004, pantai Lhok Nga dipenuhi orang-orang yang sedang bermain dan Delisa bersiap-siap untuk menyelesaikan ujian itu. Tapi, petaka datang, Delisa pun gagal. Bukan karena ia belum hafal, tapi tsunami menghapus semua mimpi dan kebahagiaan yang ada.

Ia kehilangan ketiga kakaknya dan Ummi tidak diketahui keberadaannya. Bahkan Delisa harus kehilangan salah satu kakinya. Beruntung Abi segera pulang dan menjemput Delisa.

"Kau memiliki lebih banyak teman dibandingkan seluruh dunia dan seisinya,Sayang.”
_Hal.99

Di tengah-tengah cobaan, Delisa tetap ceria dan polos. Meskipun rindu Ummi dan kakak-kakakknya. Dan satu yang pasti, Delisa tetap berusaha menyelesaikan hafalan shalat yang sempat tertunda. Hingga akhirnya, ia mampu sujud dengan sempurna, khusyuk dan ikhlas.

Berulang kali gue mengucap Istighfar kala membaca buku ini. Ada haru dan ada rasa malu. Meskipun ini hanya kisah fiksi yang mengambil latar belakang peristiwa tsunami di Aceh, tapi, tetap saja, tokoh gadis cilik ini seolah menegur gue yang sholat masih suka bolong dan gak khusuk, yang suka gak iklas setiap ada cobaan, yang masih sering mengharap pamrih dan lain-lainnya.

“Orang-orang yang kesulitan melakuan kebaikan itu, mungkin karena hatinya, Delisa…. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan…”
_ hal 245.

"Maha Suci Engkau, ya Allah! Yang selalu menepati janji. Cukuplah percaya dengan satu janjiMu. Maka kehidupan di dunia ini akan terasa jauh lebih baik … Semua akan terasa jauh lebih indah! Yakinlah!"
_hal. 262

Betapa gue masih juga suka kurang bersyukur, masih selalu berasa kurang. Padahal, coba liat Delisa, di tengah cobaan yang begitu dahsyat, dia masih bisa tersenyum.

Buku kedua Tere Liye yang gue baca. Dua-duanya bercerita tentang kesederhanaan, tapi toh mampu memikat banyak pembaca. Menurut pengakuannya, beliau belum pernah ke Aceh, tapi saat mendengar berita tsunami ini, beliau berjanji untuk memberikan sesuatu untuk anak-anak Aceh. Catatan-catatan kaki di dalam buku ini membuat tokoh Delisa jadi lebih nyata. Seolah bukan beliau tak hanya menulis, tapi menyaksikan sendiri bagaimana susahnya Delisa yang masih polos ini menghafal bacaan sholat dan betapa berat cobaain untuk gadis sekecil Delisa.

Read more »

Kamis, 09 Februari 2012

Ayahku (bukan) Pembohong

Ayahku (bukan) Pembohong
Tere-Liye @ 2011
GPU – Cet. V, Januari 2012
(Gramedia Plasa Semanggi)

Dam adalah seorang anak yang dibesarkan dengan kisah-kisah menakjubkan yang diceritakan oleh ayahnya. Kisah-kisah itu adalah kisah saat ayah Dam masih muda. Jika diperhatikan, kisah itu mirip dengan dongeng, yang patut dipertanyakan kebenarannya. Sebut saja cerita ayahnya yang katanya berteman akrab dengan pemain sepak bola dunia yang dikenal sebagai Kapten, atau tentang layang-layang raksasa suku Penguasa Angin dan kisah tentang petualangan ayah Dam di Lembah Bukhara, atau ayah Dam yang berteman dengan seorang hakim di luar negeri yang dikenal dengan julukan si Raja Tidur.

Bagi Dam kecil, kisah-kisah itu memacu semangatnya. Meski kerap diejek oleh teman-teman sekolahnya, kisah itu menjadi ‘alat’ Dam untuk dianggap lebih oleh temannya yang sombong bernama Jajrit.

Tapi ayah Dam sering kewalahan mana kala Dam bersikeras ingin berkenalan dengan Sang Kapten. Dam ingin mengirim surat untuk Sang Kapten, bahkan bersalaman saat mereka menyaksikan pertandingan persahabatan antara tim sepak bola Sang Kapten dengan tim Indonesia.

Namun perlahan, saat Dam semakin dewasa, ia mulai mempertanyakan kebenaran kisah-kisah itu, yang selalu berujung pada pertengkaran Dam dengan ayahnya. Puncaknya, saat ibu Dam sakit keras dan meninggal dunia, Dam pun berhenti percaya akan kisah-kisah tersebut. Dan sejak saat itu pula, hubungan Dam dengan ayahnya merenggang.

Saat dewasa dan sudah berkeluarga, Dam berusaha sebisa mungkin tidak ‘mencemari’ pikiran anak-anaknya dengan kisah itu. Ia marah dan terganggun kala ayah Dam mengulang kisah tersebut kepada cucu-cucunya.

Sebenarnya tanpa Dam sadari, kisah-kisah itu mempengaruhi jalan hidupnya. Dam yang berprofesi sebagai arsitek, sering membuat desain bangunan berdasarkan imajinasinya dari kisah-kisah ayahnya. Bahkan, ia berhasil menjuarai lomba renang karena ia berkaca pada semangat sang Kapten. Tapi, rasa angkuh membuatnya tidak mau mengakui semua itu kala dewasa.

Penasaran dengan tulisannya Tere-Liye, apalagi katanya, di goodreads.com, rating-nya cukup tinggi. Buku-bukunya juga udah lumayan banyak, sebut aja Hafalan Sholat Delisa yang udah dibuat film-nya. Ini buku pertama beliau yang gue baca.

Ceritanya sederhana aja, mengalir dengan tenang, gak banyak kejutan-kejutan. Tapi, isinya lumayan ‘dalem’. Tentang hubungan orang tua dan anak, tentang apa sih arti ‘bahagia’ itu. Gue jadi pengen biar bisa rutin bacain cerita buat Mika tiap malem. Bukan hanya biar gue deket sama Mika, tapi biar Mika juga bisa punya imajinasi yang semoga berguna untuk dia saat dewasa nanti – seperti Dam.

Bagian yang rada menggangu sih, adalah tentang Jarjit yang tajir itu, yang sekolah di Inggris dan temenan sama pangeran Inggris sana. Rada berlebihan sih buat gue. Selebihnya, oke lah.
Read more »