Tampilkan postingan dengan label Akmal Nasery Basral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Akmal Nasery Basral. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 Maret 2012

Anak Sejuta Bintang

Anak Sejuta Bintang
Akmal Nasery Basral @ 2012
Penerbit Expose – Cet. I, Januari 2012
405 hal.
(hadiah #twitteriak)


Beruntung gue mendapatkan hadiah novel ini dari program #twit_teriak yang ‘bintang tamu’nya penulis sendiri. Dilihat dari judulnya, buku ini langsung menarik hati gue. Dan lagi, Akmal Nasery Basral menulis novel biografis setelah Presiden Prawiranegara

Bercerita tentang masa kecil seorang Aburizal Bakrie (ayooo.. siapa yang gak tau tokoh yang dipanggil Ical ini?) Nama Bakrie kerap menghias berita-berita di Koran, entah karena kontroversi seputar lumpur Lapindo, perusahaan yang bertebaran di mana-mana, atau tabloid gosip. Dalam novel ini, cerita berkisar mulai dari Ical yang berusia 3 tahun sampai Ical lulus SD.

Ical, adalah anak tertua dari 4 bersaudara. Dibesarkan dengan cara yang sangat demokratis, penuh kasih sayang dan memiliki orang tua yang sangat sabar. Ayah Ical, bapak Ahmad Bakrie, sedang merintis kembali usahanya yang sempat terpuruk. Meski dalam keadaan susah, beliau tetap selalu berusaha membantu orang dan memberikan yang terbaik. Tapi, yah, sejak kecil memang sudah digambarkan bahwa Ical memang berasal dari keluarga yang cukup mapan meski sedang susah. Kerap liburan ke villa di Cipanas, ke sekolah di antar mobil, makan di restoran yang terbilang mewah. Memang sih, ayah Ical bercerita bahwa beliau sudah biasa mencari uang sejak kecil.

Memberi sesuatu yang kita senangi kepada orang lain itu selalu membuat hati kita bahagia. Rezeki kita pasti akan bertambah jika kita bisa lebih ikhlas
(Hal. 132)

Ical digambarkan sebagai anak yang baik, penurut, berani, punya inisiatif. Rasanya, nyaris tak ada kenakalan yang dilakukan olehnya. Suka dengan sepak bola, pintar. Selama di SD, hampir selalu jadi juara kelas. Temannya banyak.

Satu pesan di dalam buku ini yang membekas, adalah:

Anak laki2 itu harus sering diajak ngobrol supaya terbiasa mengemukakan pendapat ... Kalau tidak, mereka akan terbiasa menggunakan tangan untuk menyampaikan keinginan.
(Hal. 149)

Yah, terlepas dari kontroversi siapa tokoh yang diceritakan dalam novel ini, yang beberapa orang bilang sebagai ‘pencitraan’, alur ceritanya buat gue bagus. Kalimat-kalimat yang dipakai membuat gue betah mengikuti novel ini. Kalau bukan karena ditulis dalam bentuk novel, belum tentu juga sih gue akan membeli dan membaca buku tentang tokoh dalam novel ini.

Tapi emang sih, apa yang digambarkan dalam novel ini tampak begitu ‘sempurna’. Semua tokoh nyaris tak ada cacat. Orang tua yang sangat sabar, gak pernah marah. Anak-anak yang baik-baik – kecuali yah, suka bertengkar antar saudara. Mungkin lebih ‘pas’ kalo ada sesuatu yang ‘cacat’ dalam kisah ini. Biar lebih manusiawi gitu.

Dan, asyik juga kali, kalo ada beberapa patah kata, komentar dari teman-teman Ical selama sekolah di Yayasan Perwari itu.

Read more »

Rabu, 24 Agustus 2011

Presiden Prawiranegara

Presiden Prawiranegara:

Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia


Akmal Nasery Basral

Mizan Pustaka, Cet. I – Maret 2011

370 hal.



Mungkin tak banyak yang tahu, atau menyadari, bahwa Republik Indonesia pernah dipimpin oleh seorang ‘presiden’ bernama Syafruddin Prawiranegara. Yah, jujur sih… gue aja baru nyadar sekarang.. hehehe…



November 1948, mungkin awal mula dari sejarah ini. Ketika Bung Hatta menjemput Syafruddin Prawiranegara yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, untuk segera berangkat ke Bukittinggi. Bukittinggi adalah salah satu wilayah di Indonesia yang tidak termasuk dalam negera federal. Beliau terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil di Yogyakarta. Meskipun menjabat sebagai menteri, tapi kehidupan beliau dan keluarga begitu sederhana. Istri beliau bahkan harus berjualan sukun goreng demi menyambung hidup kala Syafruddin bertugas di Bukittinggi.



Beliau pun akhirnya ‘terjebak’ di Bukittinggi. Bulan Desember 1949, kemerdekaan Indonesia baru berumur 4 tahun. Tapi, rupanya Belanda masih aja ‘penasaran’. Terikat perjanjian yang isinya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak membuat Belanda mundur. Ternyata mereka melakukan serangkaian serangan yang membuat Republik Indonesia kembali berada dalam keadaan genting.



Yogyakarta, kala itu yang menjadi ibukota Indonesia, sudah tidak aman. Rapat darurat diadakan. Jenderal Sudirman, dalam keadaan sakit parah, memilih untuk melakukan perang gerilya. Sampai akhirnya Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa orang lainnya dikenakan tahanan rumah, dan kemudian diasingkan ke Bangka.



Untuk menjaga agar Indonesia ‘tetap ada’ dan jangan sampai pemerintahan lumpuh, pejabat pemerintahan di Bukittinggi akhirnya membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dengan Mr. Syafrudding Prawiranegara sebagai ketuanya. Keadaan yang tidak aman, memaksa anggota PDRI untuk melakukan perjalanan, berpindah-pindah tempat, melewati hutan rimba. Semua demi menjalankan roda pemerintahan Indonesia.



Kisah lain yang memberi ‘warna’ pada buku ini adalah kisah si Kamil Koto, mantan copet yang akhirnya insyaf, dan ikut dalam perjalanan Syafruddin sebagai tukang pijat. Melalui berbagai kesempatan berbincang dengan Syafruddin, Kamil menemukan banyak hal – selain mendapat jodoh - yang membuatnya menjadi manusia yang lebih b aik pada akhirnya. Tak hanya itu, lewat perbincangan ini pula, kehidupan masa kecil Syafruddin terungkap.



Tapi sayang, di masa-masa Orde Baru, justru peran Syafruddin seolah terlupakan. Ia dianggap tokoh yang berseberangan dengan pemerintah kala itu. Gue sih gak ngerti politik (dan kadang gak mau tau), tapi, ada bagusnya juga kalo para pejabat pemerintahan sekarang nih, baca buku ini.



O ya, satu bagian yang ‘mencuri perhatian’, adalah ketika Bung Karno dan Bung Syahrir ditempatkan di dalam satu rumah saat di pengasingan, Bung Syahrir marah-marah karena Bung Karno yang katanya ‘pandir’ dan ‘bodoh’.



Read more »

Selasa, 31 Agustus 2010

Sang Pencerah

Sang Pencerah: Novelisasi Kehidupan K.H. Ahmad Dahlan dan Perjuangannya Mendirikan Muhammadiyah
Akmal Nasery Basral @ 2010
Mizan - Cet. I, Juni 2010
461 hal.

Gue nyaris gak tau apa pun tentang KH Ahmad Dahlan, selain ‘mengenalnya’ sebagai nama jalan. Gue gak tau kalo ternyata beliau adalah pendiri Muhammadiyah, bahwa banyak cerita dan fakta menarik dalam sejarah hidup beliau.

Terlahir dengan nama Muhammad Darwis, anak seorang khatib Masjid Gedhe, pemuka agama di lingkungan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keturunan langsung dari Syaikh Maulana Ibrahim salah satu dari 9 tokoh Wali Songo. Merupakan sebuah keistimewaan memiliki silsilah ini. Nantinya, otomatis jabatan sebagai khatib Masjid Gedhe akan jatuh ke Muhammad Darwis apabila KH Abu Bakar meninggal.

Sebagai anak kiai, sejak kecil Darwis sudah belajar mengaji dan sering diajak ayahnya mendengarkan khutbah di Masjid Gedhe. Batin Darwis terusik ketika dalam salah satu acara pengajian 40 harian meninggal bapak temannya, secara tak sengaja ia mendengar percakapan ibu temannya itu yang terpaksa meminjam uang untuk mengadakan acara itu. Sejak itu, ia mencoba bersikap kritis, tapi, sering tidak mendapat dukungan positif dari bapaknya dan para ulama lainnya.

Ketika remaja, ia sudah dikirim untuk naik haji dan belajar agama di Mekkah. Sepulangnya dari Tanah Suci, dengan pengetahuan yang semakin bertambah, pemikirannya sering kali berbeda dengan para kiai yang masih sangat kaku dan memegang teguh tradisi yang menurut Ahmad Dahlan – nama yang ia peroleh setelah menjadi haji – bertentangan dengan Islam. Baginya, Islam tidaklah menyulitkan umatnya, jadi jika tradisi itu ternyata menyulitkan, sebaiknya disederhanakan saja.

Semakin lama, cara mengajar, cara berpikir bahkan khutbahnya dianggap kontroversial oleh kiai-kiai sekitar, terutama ketika Ahmad Dahlan mengusulkan perubahan arah kiblat – yang akhirnya berujung pada pembongkaran Langgar Kidul yang selama ini dipergunakan Ahmad Dahlan untuk mengajar mengaji.

Belum lagi ketika akhirnya ia bergabung dengan Budi Oetomo, yang dianggap para kiai sebagai perkumpulan kejawen. Ahmad Dahlan pun mendapat sebutan ‘kiai kafir’ Tapi, berbagai cobaan, cercaan dan tuduhan itu tidak membuatnya patah semangat, malah ia semakin giat dalam berusaha membuktikan bahkan apa yang ia sampaikan adalah hal yang benar, bukan bermaksud memecah belah umat Islam sendiri. Beruntung ia didukung oleh istrinya yang sangat sabar, dan murid-muridnya yang setia sampai akhirnya terbentuklah Muhammadiyah.

Jarang-jarang gue suka kalo baca biografi atau memoar seseorang. Karena cara penyampaiannya cenderung datar, monoton, membosankan dan hanya satu arah. Tapi, gue suka baca buku ini. Mungkin karena novel ini dibuat berdasarkan skenario film, mungkin juga karena cara penyampaiannya yang menarik. Jadi bacanya juga enak. Banyak hal yang gue dapat dari buku ini, mulai dari fakta sejarah, dan pemikiran-pemikiran yang simple, tapi sangat masuk akal.

Mungkin kalo ada lagi memoar atau biografi yang dibuat seperti ini, gue bakal lebih banyak lagi baca buku-buku seperti ini.
Read more »