Rabu, 30 Mei 2012

Buku Pintar Penyuntingan Naskah


Judul     : Buku Pintar Penyuntingan Naskah (Edisi Kedua)
Penulis : Pamusuk Eneste
Setting  : Rahayu Lestari
Sampul : Pagut Lubis
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal                  : 252 halaman/November 2009



                Dulu, saya berpikir bahwa menjadi seorang editor itu cukup dengan sekadar menguasai penggunaan tanda baca, paham dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, dan mengetahui aturan-aturan tata bahasa baku dalam Bahasa Indonesia. Ternyata, setelah saya benar-benar menjadi editor, pengetahuan tentang tata bahasa dan kosakata itu bisa diibaratkan sebagai tangga awal untuk menuju ke dunia editor yang sangat berwarna-warni. Dalam mengedit naskah, terutama naskah yang masih mentah, seorang editor dituntut untuk jeli sekaligus awas dengan naskah yang dihadapinya. Tidak sekadar mengawasi salah ketik (typo) dan kesalahan tanda baca, editor juga harus meluruskan pola kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah, mengganti kata-kata yang diksinya kurang tepat untuk konteks tertentu, dan mengecek sekiranya penulis mengutip karya atau pendapat atau gagasan orang lain.
                Dengan mengalami sendiri betapa peliknya dunia editor itu, bersyukur sekali saya karena telah menemukan buku Buku Pintar Penyuntingan Naskah karya Pamusuk Eneste ini. Walaupun telah diterbitkan sejak tahun 1995 dan mengalami beberapa kali cetak ulang (yang membuktikan bahwa buku ini memang sangat berguna), muatan dalam buku ini masih sangat relevan untuk digunakan sebagai pegangan. Terutama di tengah carut-marut kebahasaan dalam dunia bahasa kita, adanya sebuah buku patokan tentang bagaimana cara mengedit yang baik dan benar (setidaknya yang sesuai dengan aturan-aturan yang saat ini berlaku) adalah sesuatu yang sangat penting. Di sinilah peran buku ini.
                Salah satu salah kaprah yang disinggungg buku ini di antaranya makna kata “bergeming” yang artinya (silakan cek di KBBI) adalah “tidak bergerak sama sekali”. Jadi, keliru kalau kita mengatakan, “Meskipun sudah diusir, pria itu tidak bergeming dari tempatnya.” Juga, tentang penulisan nama julukan untuk negara atau kota, bahwa yang benar adalah negeri sakura dan kota pelajar dan bukannya Negeri Sekura dan Kota Pelajar. Juga, dari sini kita bisa tahu bahwa yang benar adalah Bukittinggi bukan Bukit Tinggi (hlm 70).
                Ada pula pembahasan tentang “kalimat membosankan”, yakni kalimat yang menggunakan  dua buah kata yang berasal dari kata dasar yang sama. Secara tata bahasa, kalimat semacam ini tidak salah, hanya saja dapat membuat pembaca menjadi bosan. Contoh dari kalimat membosankan adalah: “Kapan tempat itu ditempati?” atau Pertanyaan itu sering dipertanyakan kepada kami.” (hlm 56). Dibahas juga tentang kalimat salah kaprah, yakni kalimat yang tidak mengandung unsur tertentu atau terasa janggal karena penggunaan kata yang tidak tepat (hlm 57). Contoh dari kalimat ini di antaranya Persib memenangkan pertandingan 2-0 (apakah nama pertandingan itu “pertandingan 2-0?) dan Kamus ini dimiliki para wisatawan, baik mancanegara maupun domestik (Siapa yang mancanegara dan domestik di sini? Kamusnya apa wisatawannya?).
                Secara muatan, kandungan buku ini cukup lengkap karena mengulas perjalanan sebuah naskah mulai dari tahap pra-penyuntingan hingga menjadi buku. Ada pula syarat-syarat menjadi penyunting naskah yang baik, kode etik penyuntingan naskah, aturan-aturan dasar dalam EYD, hingga ragam naskah dan teknik menyuntingnya. Sungguh, dengan segala kelebihannya, buku ini sangat perlu dimiliki oleh mereka yang berkecimpung di dunia tulis-menulis, baik editor, penerjemah, maupun penulis sendiri. Setidaknya, mulailah dengan hal-hal dasar yang sering terlewat dari kita; bahwa yang benar adalah stres, daripada, di kota, dimakan, gula jawa, dan batik Pekalongan. Dan, bahwa stress, dari pada, dikota, di makan, gula Jawa, dan batik pekalongan itu keliru. Mari kita belajar bersama.

               Postingan ini dibuat dalam rangka posting bareng buku-buku terbitan Gramedia bersama member Blogger Buku Indonesia. 
                
Read more »

Garis Batas



Garis Batas
GPU – April 2011
510 hal
(Hadiah #GPU100 dari @Gramedia)


untuk Mama di surga tanpa batas

Halaman persembahan dengan kalimat yang membuat gue terharu. Betapa besar cinta seorang Ibu, mendoakan anaknya yang berada di negeri ‘antah-berantah’.

Jika di Selimut Debu, Agustinus Wibowo berkunjung ke Afganistan, sebuah negara yang rawan dengan ‘ranjau’. Di Garis Batas, ia menjelajah negeri-negeri Asia Tengah yang dulu bersatu di bawah naungan Uni Soviet – sebut saja Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.

Dulu, kalau ngeliat atlas, ngeliat Uni Soviet itu besarrrr banget. Rasanya mungkin menghabiskan setengah halaman dari atlas itu sendiri. Berada di dua benua – Eropa dan Asia (inget kalo dulu ada salah satu pertanyaan kalo ulangan: sebutkan negara yang berada di Eurosia?) Negeri yang dingin – itu yang ada di benak gue – dingin dalam arti cuaca, tapi juga orang-orangnya (berdasarkan pengamatan di foto atau ngeliat di film). Udah gitu, ini negara kaya’nya jagoan banget kalo pas Olimpiade.

Tapi apa iya, setelah mereka masih hidup ‘makmur’ setelah Uni Soviet terpecah dan menjadi negara-negara kecil. Apa iya mereka masih ‘sekuat’ dulu?

Setelah terpecah-pecah, mereka yang dulunya hidup dalam satu negara besar kini menetapkan otoritasnya masing-masing, menentukan batas-batas negara mereka dengan birokrasi yang ribet dan penuh dengan korupsi.

Gue gak akan membahas negara-negara yang dikunjungi Agustinus Wibowo ini satu per satu. Tapi secara garis besar, negara-negara ini hidup dalam kesusahan. Korupsi merajalela, para pria kebanyakan kongkow-kongkow di warung minuman dan mabuk, malas bekerja.

Dari segi fisik sih, perempuannya cantik-cantik, laki-laki juga ganteng… tapi ya itu, ternyata si cowok-cowok ini kebanyakan ‘pemalas’. Meski mengaku beragama Islam, terkadang mereka sama sekali gak merasa perlu sholat atau baca Al-Qur’an. Bahkan mereka gak tau arti syahadat. Bahkan saat Idul Fitri pun tak terasa kalau hari itu adalah hari yang istimewa.

Sejarah yang hebat menjadi latar belakang yang menarik dari negara-negara ini. Keriuhan di pasar-pasar mungkin jadi gambaran perdagangan Jalur Sutera. 


Yang menarik adalah negara terakhir – Turkmenistan. Hehehehe.. aduh terus terang ya, gue ngikik geli baca bagian ini. Membayangkan betapa narsisnya sang pemimpin. OMG … bahkan saat nulis ini pun gue senyum-senyum geli. Gimana gak narsis… Patung emasnya berdiri tegak dan dapat berputar! Foto-nya di mana-mana, tari-tarian, lagu-lagu dan segala puja-puji bagi sang Turkmenbashi. Bahkan ada kitabnya sendiri yang mungkin posisinya lebih tinggi daripada kitab suci. Aduh..duh..duh.. Foto di depan patung jadi salah satu tempat yang wajib untuk para pengantin baru.

Memang sih, dibandingkan dengan Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan dan Uzbekistan,  Turkmenistan bisa dibilang lebih ‘makmur’. Pendidikan gratis, gedung-gedung megah dengan air mancur, jalanan mulus. Pemandangan yang menyilaukan mata. Tapi, eitss.. tunggu dulu… itu di tengah kota. Coba melongok sedikit ke bagian belakang gedung, masih ada juga pemukiman kumuh.
O ya.. yang ‘unik’ lagi adalah perbatasan antara di mana satu bangunan rumah bisa berada di dua negara. Yang tinggal di rumah itu, bisa makan dan tidur di Negara yang berbeda. Perbatasannya hanyalah sebuah gang kecil yang sepertinya gampang banget ‘diselundupi’.

Ternyata ya, sebuah Negara yang selama ini bersatu, begitu terpisah-pisah oleh garis batas langsung berubah drastis segala aspek kehidupannya. Dan yang tadinya rukun, tiba-tiba bisa saling menjelekka dan merasa dirinya lebih baik daripada yang lain.

O ya, selain bercerita tentang keluh kesah, pengalaman selama perjalanan, di buku ini, Agustinus Wibowo juga bercerita tentang kisah pribadinya menjadi warga keturunan Cina di Indonesia. Tentang diskrimninasi yang ia dan keluarganya alami.

Tau gak sih, kalo baca Selimut Debu dan Garis Batas, hehehe.. kadang gue kasian sama Agustinus Wibowo ini… abis kadang sepertinya menderita banget.. entah karena nyaris ditangkep polisi, ‘diperas’, ditinggal sama mobil angkutan, udah gitu, kalo pun di mobil, jangan bayangkan itu mobil travel yang oke, tapi truk atau bis yang desek-desekan, kadang mogok dan harus ikutan dorong. Belum lagi, pengalamannya naik keledai… Uang pas-pasan, tidur di warung-warung.. belum lagi ngurus perijinan yang ribet.

Tapi, mungkin semua itu terbayar dengan pengalaman yang pastinya belum semua orang mau menjalaninya.
Read more »

Selasa, 29 Mei 2012

Manx Mouse


Judul  : Manx Mouse
Penulis           : Paul Gallico
Penerjemah  : Maria Lubis
Penyunting    : Abu Ibrahim
Sampul& Ilustr.:Ella Elviana
Penerbit         : Media Klasik Fantasi (Mahda Books)
Tebal              : 227 halaman/April 2011



            Selalu ada imbalan untuk keberanian, dan petualangan yang seru serta mengasyikan untuk dialami. Adaberagam pelajaran kehidupan yang dapat direguk, serta teman dan musuh terbaik dalam perjalanan kehidupan. Adaberagam tantangan yang bisa menjadikan kehidupan itu sendiri menjadi utuh, tidak sempurna memang, tapi utuh. Nilai-nilai inilah yang bisa diperoleh pembaca dari novel simpel namun membawa pesan yang sangat besar ini Manx Mouse.

            Embel-embel “Buku favorit J.K. Rowling” yang tercetak di sampul depan novel inilah yang pertama menggugah rasa penasaran saya terhadap novel indah ini. Kisahnya sendiri sangat simpel, yakni perjalanan seekor tikus manx dalam menjelajahi daratan Inggris. Alkisah, seorang pengrajin keramik tua berhasil membuat sebuah patung keramik berbetuk tikus yang luar biasa. Begitu hidupnya patung keramik itu sehingga entah bagaimana patung itu benar-benar hidup dan menjadi seekor tikus manx yang bisa bergerak. Tikus itu berwarna biru, memiliki kaki belakang seperti kanguru dan telinga yang panjang seperti seekor kelinci lucu. Ia juga tidak punya ekor. Ia adalah tikus manx satu-satunya di dunia.

            Maka dimulailah perjalanan sang tikus manx berkeliling Inggris untuk menemukan tujuan mengapa ia diadakan. Di perjalanan, ia bertemu dengan beragam petualangan hebat. Pertama, ia bertemu dengan Clutterbumph, sang ketakutan itu sendiri. Inilah hal pertama yang harus dihadapi oleh manusia saat berada di dunia. Sejauh mana ia berhasil menaklukkan rasa takutnya, maka di situlah letak kunci suksesnya. Lalu, tikus manx juga diajak terbang oleh seekor elang perkasa dan menolong seekor rubah tua yang kelelahan dan sedang diburu oleh sekawanan anjing dan kelompok pemburu. Di sebuah sirkus, ia bertemu dengan Nellyphanth, gajah besar yang suka gugup di mana tikus manx berhasil membantu si gajah menjinakkan kegugupannya sendiri.

            Di sebuah sekolah, ia bertemu dengan gadis baik bernama Wendy. Disinilah si tikus manx tertangkap oleh guru-guru Wendy yang menganggapnya tidak lebih dari sekadar sebuah specimen. Demi ilmu pengetahuan, mereka rela melakukan apa saja—bahkan melanggar etika kemanusiaan dan mengabaikan perasaan.  Lalu, ada juga harimau penakut yang menyesal karena rasa penasarannya telah membuatnya terlibat dalam masalah. Sering kali, keinginan kita begitu besarnya hingga imbalannya tak sepadan dengan pengorbanan yang diberikan. Kadang kala, apa yang telah kita miliki, itulah yang terbaik. Sayangnya, kita sering kali terlambat menyadarinya.

Lalu, ada pula ketika tikus manx biru itu dijual di sebuah toko binatang peliharaan. Pemiliknya benar-benar tamak dan culas. Ia berusaha menjual tikus unik ini dengan harga jual yang setinggi-tingginya. Bahkan, tikus manx sampai dianggap sebagai barang lelang yang kemudian diperebutkan banyak orang. Pada akhirnya, si pemilik toko yang tamak malah kehilangan semua harta dan juga tokonya karena ketamakan dan keculasannya itu.

            “Manx mouse di atas landasan pilarnya menatap para hadirin lelang itu dan bertanya-tanya, bagaimana begitu banyak orang yang jelas tampak terhormat, dengan pakaian yang indah, bisa tampak begitu liar karena ketamakan. Keinginan apa yang bisa membuat wajah mereka begitu merah padam, mata mereka menyipit, dan mulut mereka cemberut serta ganjil.”(161).

Dalam setiap petualangannya, tikus manx mengalami warna-warni kehidupan. Ada pengalaman menyenangkan dan menakutkan, ada sahabat terbaik dan musuh terculas, ada tempat terindah dan tempat paling buruk, ada orang baik dan ada orang jahat. Namun, kemanapun ia pergi, ia selalu diingatkan pada takdirnya bahwa seekor tikus manx adalah milik kucing manx yang tinggal di Pulau Man. Pada akhirnya, kepada kucing itulah ia harus memasrahkan nasib dan ujung dari perjalanan kehidupannya. Dan, karena semua orang berkata demikian, maka tikus manx yang awalnya tidak punya rasa takut dan tidak takut apapun, kini menjadi takut dengan sosok kucing manx. Dengan berat hati, tikus mungil ini akhirnya harus menghadapi ujung perjalanannya sebagai mangsa si tikus manx.

Tapi, pada akhirnya, ia membuktikan bahwa ia tidak boleh menjalani kehidupannya tanpa berbuat apa-apa. Ia memutuskan untuk maju dan berjuang, untuk melawan dan berbuat sesuatu. Bukan untuk melawan takdir yang telah ditetapkan olehnya, tapi lebih untuk mencoba berupaya secara maksimal sebelum memasrahkan semuanya ke tangan sang takdir.Lagipula, tak ada yang benar-benar mengetahui takdir kehidupannya selain Tuhan sang pencipta.

 “… bahwa dia, manx mouse, hari ini akan berjalan dengan tenang ke kerongkongan Manx Cat. Dia telah datang ke sana dengan tekad kuat untuk menghadapi nasib apa pun yang akan menunggunya, tetapi tidak berarti dia akan mengalah saja tanpa perlawanan”  (217)

Perjalanan tikus manx tampaknya simpel, tapi sesungguhnya dalam perjalanannya yang singkat itu ia telah mengkritik sekaligus menyindir kecenderungan-kecenderungan negatif dari diri setiap kita: ketakutan, ketamakan, egoisme, pengecut, keinginan-buta, pengkhianatan, tidak pernah merasa cukup, dan  takut terhadap takdir. Pada akhirnya, si kecil manx mouse mengajarkan kepada kita agar tidak takut dengan musuh terbesar kita, yakni ketakutan kita sendiri. 

Mereka yang terbukti tetap maju dan berjuang--meskipun orang-orang lain mengatakan bahwa pada akhirnya ia akan kalah--adalah seorang pejuang kehidupan yang sejati. Mereka tidak takut pada nasib dan sanggup menanggung risiko dalam kehidupannya. Dan, keberanian mereka terkadang menghasilkan imbalan yang sangat manis, ditambah dengan sedikit hadiah-hadiah yang menyertai jalan keberaniannya, yakni petualangan seru, sahabat-sahabat baru, dan pelajaran hidup yang luar biasa berharga.

… Aku harus pergi dan mencari kucing manx di mana pun dia berada, dan menghadapinya langsung tak peduli apa pun yang terjadi, dan tidak takut (217)

Read more »

The House of Silk



The House of Silk
Anthony Horowitz @ 2011
Mulholland Books
339 pages
(Kinokuniya Plaza Senayan)

Inilah perkenalan pertama gue dengan sosok Sherlock Holmes, detektif legendaris ciptaan Sir Arthur Conan Doyle. Bersamaan dengan Sherlock Quest yang diadakan oleh @bacaklasik, gue pun tergoda untuk mencari tahu seperti apa sih ‘keren’nya Sherlock Holmes ini. Semoga gak salah ya, kalo gue mulai berkenalan justru bukan dari bukunya Doyle, tapi dari karya Anthony Horowitz.

Sosok detektif yang ‘canggih’ selama ini yang gue kenal hanyalah Hercule Poirot. Sosoknya yang pendek dengan kepala bulat telur dan berkumis tipis. Kalau Sherlock Holmes gue hanya tau gaya berpakaiannya yang khas, dan tak ketinggalan pipa yang bertengger di bibirnya.

Tak ketinggalan sahabat Holmes yang setia, Dr. Watson, yang menulis kisah-kisah penyelidikan Holmes. Kepiawaian Holmes sangat membantu kepolisian Inggris dalam menyelesaikan beberapa kasus. Di awal buku ini, Dr. Watson memberikan pengantar, kenangannya akan sosok Holmes – yang sempat membuat gue terharu. Hiks…

Buku ini diawali dengan kedatangan seorang art dealer ke kediaman Holmes di 221 Baker Street. Pria itu bernama Edmund Carstairs, yang mengaku diikuti oleh seorang pria misterius sejak kepulangannya dari Amerika. Di jaman itu, sekitar tahun 1890an, sering terjadi perampokan di kereta api. Tak terkecuali, kereta yang membawa benda seni yang berharga milik Edmund dan rekannya. Untungnya perampokan itu dapat digagalkan, dan kelompok perampok itu berhasil diringkus. Tapi, ada satu yang lolos dan menyebar teror untuk membalas kematian saudara kembarnya. Sosok inilah yang diyakini Edmund sebagai penguntitnya – yang diperkirakan sebagai salah satu anggota The Flat Cap.

Awalnya, Holmes sempat menganggap kasus ini sebagai kasus sepele, sampai terjadinya pembunuhan.. tak hanya satu, tapi dua kasus pembunuhan. Holmes merasa bersalah, akhirnya terjun total dalam kasus ini. Kasus yang pada akhirnya nyari membuat Holmes mendekam dalam penjara karena tuduhan pembunuhan.

Kasus ini berkembang jadi jauh… pembunuhan berkembang jadi perdagangan opium illegal, lalu tentang sebuah rumah misterius bernama ‘The House of Silk’.

Awalnya gue sempet be-te, koq jadi ngelantur kemana-mana begini kasusnya. Tentang misteri penguntit Edmund dan kematian pria misterius yang awalnya terjadi, sempat lama gak disinggung-singgung. Justru Holmes berkutat pada kematian informan cilik yang seorang anak jalanan – ini yang bikin Holmes merasa bersalah. Gue sempat merasa koq kasus selanjutnya seperti mengada-ada, atau dipanjang-panjangin aja.

Tapi, karena Sherlock Holmes ini ‘canggih’, gue jadi mengaibaikan segala keluhan gue di atas. Holmes seperti bisa ‘menelanjangi’ seseorang meskipun baru sekali bertemu. Dia bisa tau latar belakang pendidikannya apa, orang itu abis ngapain. Fakta sedetail, dan sekecil apa pun tak luput dari pengamatan beliau ini.Endingnya, tetap mengejutkan, dan bikin gue jadi kagum sama Sherlock Holmes, sama seperti gue kagum dengan kecerdikan Hercule Poirot.

Meskipun cara bicaranya masih penuh basa-basi, sopan-santun, tapi buat gue, cara Holmes berbicara terkesan santai, tapi tetap misterius. Sosok yang tak kalah misterius, adalah Mycroft Holmes, yang tak lain adalah saudara kandung Sherlock.

The House of Silk karya Anthony Horowitz ini adalah buku pertama yang disetujui oleh Conan Doyle Estate – sebuah yayasan yang memegang hak cipta atas karya-karya Sir Arthur Conan Doyle.
Read more »

Selasa, 22 Mei 2012

I am Number Four



I am Number Four
Pittacus Lore @ 2010
Nur Aini (Terj.)
Mizan – Cet. I, Januari 2011
493 hal
(via surgabuku’s clearance sale)


Sembilan orang anak dilarikan dari Planet Lorien ketika planet mereka diserang oleh kaum Mogadorian. Masing-masing anak ditemani oleh pendamping mereka. Sebelum meninggalkan Planet Lorien, mereka diberi mantra, sehingga kaum Mogadorian yang kejam tidak bisa membunuh mereka, kecuali secara berurutan. Jika salah satu dari mereka berhasil dibunuh, akan timbul bekas luka di kaki mereka.

Tiga guratan sudah menandai kaki John Smith – si Nomor Empat. Ini artinya para kau Mogadorian kini mengincar dirinya. Selama 10 tahun hidup di Bumi, John Smith – ini nama terbarunya, hidup berpindah-pindah tempat bersama pendampingnya, Henri. Mereka selalu berganti identitas dan nyaris tak pernah lama berada di satu kota. Sembilan anak itu disebut Garde dan para pendamping disebut Cêpan.

Planet Mogadorian menyerang Planet Lorien untuk mendapatkan sumber kehidupan baru. Planet Lorien kaya dengan berbagai sumber alam. Dan setelah Planet Lorien hancur, selain memburu kesembilan anak itu, para Mogadorian juga mengincar planet Bumi sebagai sumber kehidupan baru.

Di Bumi, para Garde dan Cêpan berbaur dengan manusia. Sebisa mungkin menghindar kontak yang terlalu dekat, jangan sampai punya foto. Mereka tersebar di seluruh penjuru bumi. Karena jika mereka berkumpul, mantra itu akan pudar. Di Bumi mereka juga mengasah kekuatan mereka yang disebut Pusaka. Pusaka itu akan berguna untuk berperang melawan Mogadorian dan kembali ke Planet Lorien.

Dengan dirinya yang kini menjadi target, John Smith benar-benar harus ekstra hati-hati. Tempat persinggahan mereka kali ini adalah sebuah kota kecil di Ohio bernama Paradise. Tak disangka-sangka, di kota ini John jatuh cinta dengan gadis bernama Sarah Hart dan ini justru membuat keinginannya untuk berjuang semakin kuat. Ia tak ingin lari dan sembunyi lagi. Di kota ini juga, mereka tahu bahwa para Mogadorian semakin dekat. Tapi, dengan Pusaka yang ia miliki, John pun semakin siap untuk berjuang.

Duh, ini buku ternyata keren ya… Alien tak harus berwajah buruk dengan jumlah mata yang tak normal, kepala besar, mulut aneh… Alien di sini ganteng… :D Dan seperti manusia, mereka juga bisa terluka meskipun mereka bisa sembuh dengan cepat dengan adanya batu penyembuh. Mereka juga punya hati dan bisa jatuh cinta.

Gue rada gak setuju kalo cerita ini dibilang ‘The Next Twilight Saga’. Meskipun ada unsur romance-nya, I am Number Four tidak menitikberatkan pada cerita cinta-cintaanya. Gue lebih ngeliat cerita ini sebagai cerita ‘super hero’. Tokohnya juga gak ‘menye-menye’. Tapi, hmm.. emang tetap aja sih, gue meleleh saat membaca bagian perpisahan John dengan Sarah. 


Yang menarik lagi adalah penulisnya yang ‘misterius’ – Pittacus Lore – yang disebut sebagai Tetua di Planet Lorien. Saat Planet Lorien dalam keadaan genting, para Tetua berkumpul, tapi tak ada yang tahu bagaimana keadaan mereka – di mana mereka, apakah mereka masih hidup.

Dan salah satu Tetua, Pittacus Lore, mengisahkan cerita ini (katanya) agar kita sebagai manusia waspada – keenam anak yang tersisa, para Mogadorian, mungkin saja salah satu di antara kita – yang mungkin saja tetangga, teman sekerja, orang yang lagi mondar-mandir, yang bisa jadi lagi ngeliat gue nulis review ini … hehehe.. bahkan menurut penuturan Pittacus Lore, banyak tokoh dunia berasal dari Planet Lorien.

Benda keren yang ada di dalam buku ini adalah Peti Loric. Saat terburu-buru pindah dan ‘ngungsi’ ke tempat lain, Peti Loric satu-satunya benda yang gak boleh ketinggalan. Peti berukir dan terkunci. Hanya bisa dibuka bersama-sama oleh Grande dan Cêpan, bisa dibuka oleh satu orang saja jika salah satu di antara mereka sudah tewas. Di dalam Peti Loric ini tersimpan batu-batu kecil yang bisa membentuk jadi sistem tata surya Planet Lorien, selain itu juga ada batu-batu penyembuh.

Penasaran pengen baca kelanjutannya… pengen cari film-nya juga ah…
Read more »

Senin, 21 Mei 2012

Sherlock Holmes, A Study in Scarlet



Judul asli           : Sherlock Holmes, A Study in Scarlet
Judul terjemah   : Penelusuran Benang Merah
Penulis              : Sir Arthur Conan Doyle
Alih bahasa       : B. Sendra Tanuwidjaja
Cetakan            : 1, November 2001, 216 Halaman
Peneerbit          : Gramedia Pustaka Utama


            Jika Anda sebagai penggemar awal serial Sherlock Holmes bertanya-tanya bagaimana detektif nyentrik ini bisa dipertemukan dengan Dr. Watson yang merupakan sahabat sekaligus mitra kerja di 221B Baker Street, London, maka di buku A Study in Scarlet inilah Anda akan menemukan jawabannya. Dalam bab-bab awal buku ini, akan terjelaskan mengapa kedua orang yang berbeda jauh bak langit dan bumi ini bisa bertemu dan membentuk satu gabungan luar biasa dari salah satu cerita detektif terhebat sepanjang masa. Dr. Watson yang agak kaku, intelek, dan tipikal khas orang Inggris yang “normal” seolah tercipta untuk melengkapi sosok Sherlock Holmes yang luar biasa ganjil, nyentrik, namun memiliki kepandaian deduksi yang luar biasa. Sebagai penggemar Sherlock Holmes, Anda disarankan untuk tidak melewatkan membaca A Study in Scarlet ini agar mata rantai pengetahuan Sherlockian Anda lengkap dan tidak terputus.

            Alkisah, Dr. Watson—yang waktu itu masih lajang dan luntang-lantung—baru dipulangkan dari Afganistan karena penyakit berat yang dideritanya di medanperang. Pengalamannya sebagai dokter militer rupanya tidak menghalanginya untuk ikut terkena penyakit tifus. Kombinasi dari luka tembak dan serangan tifus membuatnya begitu lemah sehingga ia dipulangkan ke London. Karena tidak punya cukup uang dan pekerjaan, ia mencari tempat kos yang murah. Di sinilah ia dipertemukan dengan Sherlock Holmes yang juga sama-sama sedang mencari kamar kos dengan sewa yang murah. Jadilah Dr.Watson sebagai kawan berbagi tempat tinggal dengan Sherlock Holmes—seorang dektektif nyentrik yang akan segera mengubah hidup Dr. Watson yang monoton menjadi penuh warna dan petualangan di dunia kriminal.

            Segera saja, Dr. Watson menjumpai betapa nyentriknya rekan sekamarnya itu. Hal pertama adalah kemampuan Holmes yang mampu menebak bahwa Watson baru saja pergi di Afganistan meskipun keduanya belum pernah bertemu sebelumnya. Holmes sepertinya agak anti-sosial dan jarang bergaul tapi nyatanya ia didatangi oleh banyak tamu. Holmes juga memiliki tatapan mata yang sangat tajam dan selama beberapa waktu dia akan terlihat duduk termenung selama berjam-jam tanpa berkata apa-pa sebelum kemudian mengambil topi dan mantelnya lalu pergi keluar. Yang paling khas tentu saja, Holmes duduk sambil menghisap cangklong rokoknya dan terlihat seperti memikirkan sesuatu dengan sangat serius. Ketika ia membaca, ia membacanya dengan begitu terperinci sampai hal-hal terkecil. Herannya, pengetahuannya yang luar biasa tidak diimbangi dengan pengetahuan yang sama besar di bidang lain, sampai-sampai Watson ngedumel sendiri:
           
            Bahwa ada manusia beradab di abad kesembilan belas ini yang tidak menyadari bahwa Bumi mengitari Matahari, bagiku merupakan fakta yang begitu luar biasa hingga aku hampir-hampir tidak mempercayainya. (24)

            Sherlock Holmes selalu bisa menghadirkan deduksi alias kesimpulannya sendiri, yang membuat Dr. Watson semakin penasaran dengan misteri teman satu tempat tinggalnya ini. Bahkan, sempat-sempatnya Watson menyusun daftar kelebihan dan kekurangan pengetahuan sahabatnya itu dalam sejumlah bidang keilmuan—Holmes terutama sangat mengusai bidang kimia dan hukum Inggris, namun lemah dalam sastra dan filsafat. Namun, lama-kelamaan Watson sendiri yang menyadari bahwa dibalik sosok yang nyentrik itu bersembunyi otak yang luar biasa cerdas. Ketika hari itu tiba, Watson baru menyadari bahwa rekannya itu adalah seorang detektif konsultan yang telah berhasil memecahkan banyak kasus dan misteri rumit di London. Tidak lama kemudian, Watson pun terlibat dalam kasus pertama yang akan ia telusuri benang merahnya bersama Sherlock Holmes.

            “Kau orang pertama yang membuat ilmu deduksi begitu gamblang seperti ilmu eksakta.” (hlm. 60)

            Sebuah pembunuhan terjadi di Lauriston Gardens, London. Seorang pria ditemukan meninggal di dalam sebuah rumah kosong. Tidak ditemukan luka ataupun senjata, namun ekspresi wajahnya menampakkan kengerian yang luar biasa. Sherlock Holmes yang baru bisa mendatangi TKP pada pagi harinya mendapati bahwa para polisi di Scotland Yard telah bertindak sembrono dengan “mengotori” lokasi kejadian  dengan banyaknya petugas yang dilibatkan. Banyak bukti telah bercampur baur dan walaupun para polisi tersebut telah mengaku bahwa mereka bisa mengamankan barang-barang bukti dan membuat deduksi, Sherlock Holmes tetap saja usil dengan melakukan pengamatan sendiri. Ketika dua detektif resmi kepolisian saling berlomba untuk memcahkan misteri kriminal ini, Sherlock—ditemani Watson—bergerak dengan caranya sendiri. Dengan lihai, ia bahkan berhasil mendatangkan sendiri sang pembunuh tepat di depan hidung kedua detektif tersebut. Luar biasa bagaimana alih-alih mengejar si pelaku, Holmes mampu membuat si pelaku mendatanginya sendiri.

            Ketika pembunuh itu akhirnya tertangkap, maka dimulailah bagian cerita kedua tentang masa lalu sang pembunuh dan bagaimana ia bisa melakukan pembunuhan itu. Bagian kedua ini agak berbeda dari seri-seri Sherlock Holmes yang lain—yang dikisahkan oleh Watson ataupun oleh Holmes sendiri. A Study in Scarlet memiliki dua cerita dan dua penceritaan, satu dikisahkan melalui sudut pandang Watson sementara satunya lagi oleh sudut pandang orang ketiga. Kedua cerita ini akhirnya akan saling bertemu di belakang, menyajikan sebuah kasus pelik namun canggih yang akhirnya bisa diungkap oleh Sherlock Holmes.

            Membaca serial Sherlock Holmes ibarat candu yang memabukkan bagi pembacaranya. Tidak heran jika detektif nyentrik rekaan Conan Doyle ini segera merebut perhatian dunia. Cara dan perilaku Holmes yang nyentrik dalam memecahkan kasus, serta sudut pandangnya yang berbeda dari orang kebanyakan merupakan contoh dari otak yang “out of the box”. Kemampuannya berdeduksi serta kelihaiannya dalam melihat apa  yang luput dilihat dari orang lain telah mengajarkan kepada pembaca tentang bagaimana menjadi detektif yang tidak mudah tertipu dengan bukti-bukti palsu. Karakter khas pengamatan Holmes pun cukup unik, ia memulai menceritakan pengungkapan kasusnya dari belakang. Jadi, sang penjahat tertangkap dan baru setelah itu ia menceritakan bagaimana asal-muasal serta alur kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku.

Dari Holmes pula kita belajar banyak tentang bagaimana berpikir secara kreatif dan berbeda dari orang kebanyakan (out of the box), bagaimana melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, bagaimana berfokus pada satu hal yang benar-benar kita butuhkan alih-alih mencoba menguasai hal-hal remeh yang kurang kita butuhkan, dan bagaimana menjadi diri sendiri dengan segala keunikan dan keluarbiasaannya.

Selamat ulang tahun Sir Arthur Conan Doyle, terima kasih telah membawa sosok detektif sehebat Sherlock Holmes ke dalam hati kami.
Read more »

Minggu, 20 Mei 2012

The Chronicle of Enigma: The Two Rings



Caraveena bukan gadis biasa. Ia adalah seorang peramal yang terlahir di dunia para penyihir. Tapi tidak seperti kebanyakan peramal yang lebih memusatkan perhatian pada ramalan-ramalan nasib biasa, Caraveena justru lebih suka melakukan penelitian di laboratoriumnya. Meneliti tentang sesuatu yang tak pernah terlintas untuk diteliti oleh siapapun: dunia kematian. Karena rasa keingintahuannya tentang dunia itu dan bagaimana ia mencoba meyakinkan banyak pihak bahwa dunia itu ada, ia kerap dipergunjingkan serta di pandang aneh oleh orang-orang sekitar termasuk keluarganya sendiri yang tergolong penyihir sejati yang tak percaya dengan takhyul seperti itu.


Bagaimanapun juga Caraveena tetap bersikukuh mempercayai keyakinannya. Ia mencoba mencari cara agar ia mampu berinteraksi dunia kematian melalui percoban demi percobaan yang dilakukannya. Hingga pada suatu ketika, hasrat untuk mengetahuinya kian tak terbendung ketika sahabatnya meninggal dunia bersama kekasihnya dengan cara bunuh diri. Karena ingin bertemu dengan sahabatnya itu , Caraveena meminta Profesor Klain yang memiliki ketertarikan yang sama denganya dalam hal kematian untuk membantunya agar ia bisa berinteraksi dengan dunia kematian. Meski awalnya Profesor Klain tidak setuju dengan keputusan Caraveena yang dianggap terlalu gegabah dan beresiko, namun akhirnya ia menyetujui hal ini setelah adanya ancaman dari Caraveena dan pemikiran bahwa hal ini bisa menghilangkan pandangan aneh orang-orang pada mereka berdua bilamana percobaan ini berhasil.


Selama percobaan ini berlangsung Caraveena hanya diberi tenggat waktu kurang lebih 12 jam di dunia kematian. Ia harus segera dipulangkan begitu waktu telah mencapai batasnya. Caraveena setuju dan mencoba memulai semuanya dengan meneguk ramuan yang mengakibatkannya melayang tinggi secara transparan ke suatu tempat bernama Nimbus.


Negeri Nimbus itu sendiri merupakan suatu negeri di atas awan yang menjadi tempat persinggahan arwah-arwah yang akan dikirim ke Hades, tempat yang menjadi tujuan akhir bagi para arwah. Kaum Bats yang menjadi penduduk Nimbus akhirnya menemukan Caraveena di tempat itu dan segera membawanya ke Hades seperti arwah lainnya. Tapi sebelum semua itu terjadi Caraveena lebih dulu menolak dan bersikeras tidak kemana-kemana sampai batas waktunya habis. Kaum Bats yang tergolong kaum yang serba berwarna putih dan terkenal dengan  makhluk 'tanpa emosi', lalu meminta Marlon pemimpin Nimbus untuk turun tangan membujuk gadis itu meski akhirnya Marlon malah jatuh hati pada Caraveena dan meminta gadis itu menetap di Nimbus sampai batas waktu yang diinginkan.


Caraveena pun merasa senang dan tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada perlakuan baik Marlon yang mengizinkannya tinggal. Begitupun Marlon yang sepertinya ingin semakin dekat dengan Caraveena. Mereka berdua berbagi banyak hal hingga pada suatu ketika Caraveena tersentak oleh pernyataan sekaligus sebagai jawaban dari Marlon yang menjelaskan kehidupan setelah kematian yang dialami sahabatnya selama ini. Caraveena tak bisa menahan rasa sedihnya. Bersamaan dengan itu waktu Caraveena disana pun kian habis hingga perlahan-lahan tubuhnya menghilang. Mengetahui kebenaran kembalinya Caraveena itu membuat Marlon panik dan berniat untuk bertemu Caraveena kembali dengan cara apapun, termasuk memberikan cincin kembar yang menjadi barang berharga Negeri Nimbus.


Setelah itu Caraveena pun akhirnya kembali ke negeri asalnya, Merlin. Namun kembalinya Caraveena tersebut ternyata diketahui oleh Pemerintah Hades. Mereka menjadi murka karena merasa Caraveena telah melanggar aturan dunia kematian dan itu semua terlaksana berkat bantuan Marlon. Apalagi kedekatan keduanya yang dibenci dan dianggap terlarang  oleh Hades membuat kehidupan Caraveena maupun Marlon  tak akan  pernah lagi sama seperti sebelumnya.


The Two Rings menurutku merupakan karya sastra yang sangat menarik dan unik. Di lihat dari konsep ceritanya yang mengambil tema dunia kematian sebagai pondasi dan meramunya dengan baik menjadi kisah romance antar dimensi. Sosok Caraveena dan Marlon juga turut hadir menambah warna dalam jalan cerita novel ini melalui karakter uniknya masing-masing. Ada Caraveena yang merupakan sosok perempuan yang kuat sekaligus polos disaat yang bersamaan hingga sulit bagi siapapun untuk tidak jatuh hati pada sosok yang satu ini. Begitu juga halnya dengan Marlon. Sosok yang satu ini bisa dibilang menjadi tokoh favoritku  karena keunikan yang ada pada dirinya. Digambarkan bahwa dia sosok yang serba putih dari kepala sampai kaki serta memiliki pupil mata seperti kucing.  Kebayang gak ngerinya?.Tapi kalau dilihat-lihat lagi, justru itulah menjadi daya tarik. Ditambah lagi perjalanan hidupnya yang terasa tak membahagiakan hingga ia terpaksa mengambil sikap dengan penuh perhitungan itu membuat tokoh Marlon menarik banyak simpati.


Sejujurnya,aku ingin sekali memberi bintang lima untuk novel fantasi lokal karya Vinna Kurniawati ini. Karena bagaimanapun juga aku suka dengan konsep cerita, diksinya yang mendalam, dan alurnya maju mundurnya itu.  Tapi karena ada beberapa kesalahan cetak di beberapa kata  dan akhir cerita yang kurang memuaskanku secara pribadi (kenapa harus berakhir seperti itu???) maka bintang empat sepertinya lebih layak diberikan. hohoho
=================

Judul : The Chronicle of Enigma : The Two Rings
Penulis : Vinna Kurniawati
Penerbit: Medium
Terbit : @2011
ISBN :  978-602-8144-14-8
Tebal : 244 hal
Rating: 4/5

=================

Read more »

Kamis, 17 Mei 2012

Ratu Seribu Tahun



Judul                       : Ratu Seribu Tahun
Pengarang              : Ardani Persada
Pencipta Hikayat  : Ami Raditya
Ilustrasi                  : Tim Ilustrasi Vandaria Wars
Tebal                      : 533 Halaman
Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama


            Ketika cerita epos dijadikan hikayat, penulis dituntut untuk mampu membebaskan elemen-elemen di dalamnya menjadi suatu fiksinisasi fantasi yang menawan. Ardani Persada, dengan pengetahuannya yang kaya dan dipadu dengan ketertarikannya pada ranah fantasi, berhasil menuliskan salah satu hikayat pengisi lini masa di dunia Vandaria. Kelihaiannya membawa nilai-nilai lokal dalam cerita fantasi dengan setting Vandaria telah menghasilkan alur cerita tentang Ratu Narasoma yang kisah perjalanannya merentang sepanjang 1000 tahun masa kehidupan manusia biasa. Dialah Narasoma, Ratu Seribu Tahun.

            Kisah dimulai ketika terjadi serbuan pasukan Kerajaan Arengka yang dipimpin oleh Raja Rahwan ke negeri Madra. Negeri yang semula aman sentosa itu kini terancam oleh ambisi sang raja lalim yang telah terlebih dulu melumat habis kerajaan-kerajaan lain di daratan utama Vandaria. Setelah Hastin takluk, negeri Madra menjadi target selanjutnya. Perang pun pecah, dengan masing-masing pihak mengerahkan pasukannya dari bangsa manusia, djinn, maupun makhluk-makhluk mitos yang selama ini hanya muncul di dunia epos: garuda dan jatayu. Elemen-elemen lokal yang langsung membanjiri halaman-halaman awal novel inilah yang membuat Ratu Seribu Tahun berbeda dari fiksi fantasi lokal kebanyakan yang seakan berlomba untuk mengusung nama-nama berbau asing.

            Madra pun terdesak sehingga sang raja terpaksa meminta bantuan kepada sosok djinn perkasa bernama Murugan. Sang djinn bersedia membantu, tapi dengan syarat ia harus menumbalkan putrinya, Narasoma,  sebagai wadah bagi Murugan supaya ia bisa mewujud di dunia nyata.  Sang raja setuju dan pasukan Arengka pun dapat dikalahkan. Murugan juga membuat mantra pelindung di sekeliling negeri Madra sehingga negeri itu tidak bisa dimasuki oleh orang-orang yang bukan penduduk Madra. Negeri itu pun aman sentosa walaupun harus terisolir dari luar selama ribuan tahun. Tapi, putri Narasoma lah yang menanggung akibat paling mengerikan. Walaupun Narasoma tetap bisa hidup seperti manusia biasa, dengan kesadarannya yang sehat sepenuhnya, di tubuhnya kini bersemayam djinn Murugan—sosok djinn yang paling ditakuti di Vandaria. Putri cantik itu kini juga memiliki dua tanduk di kepalanya, dan ia hidup abadi.

            Kutukan keabadian inilah yang menyiksa Narasoma karena ia harus menjalani pergantian abad demi abad, sementara dirinya tidak pernah menua. Selama hampir satu millennia, ia mampu memimpin Madra dengan adil dan damai. Rakyat begitu memujanya. Namun, yang namanya kutukan tetaplah kutukan. Keabadian itu serasa membelenggu jiwa dan kehidupan. Sampai akhirnya, seorang Pejalan Cakrawala bernama Hekhaloth mewujud di depannya, memerintahkannya agar melakukan perjalanan ke Barat untuk menemukan Lembah yang Dijanjikan. Selama perjalanan, ia juga diperintahkan mengamalkan dan menyerbarluaskan ajaran Rahwan, yang entah bagaimana selama ratusan tahun kemudian raja bengis itu malah dikenang sebagai penyebar kebaikan. Di Lembah yang Dijanjikan itulah Narasoma berharap bisa menemukan jawab dari galau yang mendera hati dan pikirannya.

            Sayangnya, empat Raja Langit mengira bahwa perjalanan Narasoma adalah untuk berbuat kejahatan—terutama karena iblis Murugan yang bersemayam dalam dirinya juga ikut dalam perjalanan suci tersebut. Sekuat tenaga, empat frameless penjaga bumi Vandaria itu pun bersatu menentang perjalanan Narasoma. Dipersiapkanlah pasukan demi menghadang rombongan Narasoma.

            Perjalanan ke Barat pun dimulai. Beragam ujian dan penghalang tentu saja harus dilalui oleh Narasoma. Untungnya, para dewa-dewi Vanadis memberkati perjalanannya dengan kawan-kawan seperjalanan yang luar biasa. Adalah Kugo, seekor kera sakti dari langit yang awalnya diutus Raja Surga untuk menghentikan perjalanan Narasoma dan kemudian menjadi pengawal paling setia. Selain Kugo, ada juga Vari—sang penyembuh, Hakka—seekor monster gorken yang kemudian mengabdi dan menjadi murid Narasoma, serta Gojoh—pemburu terminus (semacam roh alam) yang akhirnya juga menjadi murid Narasoma. Kisah selanjutnya adalah tentang perjalanan suci Narasoma. Di mana mereka bertempur dengan berbagai makhluk, mulai dari naga hingga kaum frameless. Pada akhirnya, perjalanan itu sendiri adalah proses yang harus dijalani Narasoma agar ia mampu memahami ajaran Rahwan yang telah diajarkan oleh Sang Ibu—dan kemudian diselewengkan oleh Rahwan. Di akhir cerita, Narasoma menemukan bahwa Lembah yang Dijanjikan itu ternyata berada begitu dekat dengan dirinya, dan bahwa pertemuan dan perjalanannya bersama murid-muridnya demi menyebarkan ajaran cinta kasih itulah maksud dari perjalanan suci sang ratu 1000 tahun ini.

            “Karena itulah kedamaian yang sesungguhnya, hanya bisa kita temukan di dalam hati. Lembah yang Dijanjikan sesungguhnya sudah tersimpan di hati setiap umat-Nya. Kita hanya perlu membuka hati dan menerimanya.” (483)

            Novel Ratu Seribu Tahun, terlepas dari kemiripan kisahnya dengan  “Kisah Sun Go Kong dan Perjalanan ke Barat”            mampu membawa angin segar dalam ranah fiksi fantasi dalam negeri. Bukan hanya di bumi Vandaria, kisah rekaan Ardani Persada ini seakan hendak menegaskan kembali bangkitnya muatan lokal dalam ranah fantasi dalam negeri. Sudah sejak lama, fiksi fantasi kita—yang masih sedikit itu—dibanjiri dan diwarnai oleh nama-nama asing serta legenda-legenda luar. Sudah tak terhitung berapa kali pembaca kita kesulitan mengingat nama-nama yang (maaf) “tidak Indonesianis” dalam ranah fiksi fantasi lokal. Serbuan produk luar begitu gencar sehingga kita seolah lebih akrab dengan elf, kurcaci, atau troll yang asli luar negeri padahal hikayat-hikayat di nusantara sendiri sangat kaya akan elemen-elemen fantasi yang menakjubkan. Ardani adalah salah satu yang pertama berhasil menunjukkan bahwa istilah-istilah lokal seperti jatayu, garuda, dan djinn juga mampu menawarkan petualangan yang tidak kalah serunya dibanding istilah-istilah asing. Buku-buku fantasi terjemahan memang tengah menguasai pasaran, tapi bukan berarti kita juga harus membebek dan ikut-ikutan memakai nama asing bukan?

            Kelebihan lain dari Ratu Seribu Tahun juga terletak pada kekayaan wacana yang ditawarkan, kompleksnya konflik yang diajukan, serta beragamnya karakter yang saling berjalinan di dalamnya, Lebih dari itu, novel ini juga seperti mengajak pembaca agar lebih mengenal tokoh-tokoh pewayangan yang namanya banyak diplesetkan dalam novel ini. Sebut saja Rahwan, Duryuudan, Hastin, padangKurusethr, gunung Argobelah, Garuda, jatayu, dan aneka istilah lain yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh pembaca akan dapat muncul di dunia Vandaria. Lebih kerennya lagi, Ardani mampu memasukkan unsur lokal dan karakter pewayangan ini dengan begitu mulusnya sehingga kita tidak seperti sedang membaca cerita wayang. Atau, mungkin bisa disebut demikian: membaca para karakter di dunia wayang dalam cerita fantasi ala game yang beraroma petualangan kera sakti!

            Ada kelebihan, tentu ada kekurangan. Di samping ceritanya yang jelas sekali terinspirasi oleh Perjalanan Suci Sun Go Kong dalam mencari kitab suci ke Barat, novel ini juga masih memuat banyak typho dan sedikit kesalahan editing. Setelah saya cek, ternyata memang tidak ada editornya (?). Sementara tentang kemiripannya dengan kisah Sun Go Kong, saya kok beranggapan bahwa hal tersebut sangat membantu dalam menjaga alur cerita agar tidak melebar ke mana-mana. Dengan perjalanan ke Barat, penulis berhasil menjaga ritme alur tulisannya agar tetap terfokus meski terlihat sekali betapa besarnya godaan untuk melebarkan cerita sampai ke mana-mana. Salut untuk hal ini. Sebagai tambahan, deskripsi adegan perang besar di halaman-halaman akhir sangat memuaskan saya sebagai pembaca yang menggemari kisah-kisah fantasi petualangan.

           
            “Dan aku percaya kekuatan inilah yang sejati. Kekuatan ini yang bisa menyebarkan cinta kasih, kedamaian, dan menyebarkan kebenaran pada setiap manusia. Bukan, bukan hanya manusia, tapi juga frameless, Gorken, dan manusia separuh frameless. Kita semua, dari berbagai macam kerajaan, suku, ras, pandangan hidup, semuanya berhak atas kebenaran.” (hlm 482)

cek juga kisah lain dari Benua Elir di seberang daratan utama Vandaria dalam buku: 


resensinya di sini.
Read more »

Perkara Mengirim Senja



Perkara Mengirim Senja
Valiant Budi Yogi, Jia Effendi, M. Aan Mansyur, Lala Bohang, Putra Perdana, Sundea , Faiza Reza, Utami Diah, Mudin Em, Maradila Syachrida, Arnellis, Feby Indirani, Rita Achdris @ 2012
Lala Bohang (ilustrasi)
Penerbit Serambi - 2012
188 hal

Buku Perkara Mengirim Senja ini ditulis sebagai ‘tribute’ untuk Seno Gumira Adjidarma. Pertama gue mengenal karya beliau, waktu gue tiba-tiba melihat ada buku yang judulnya koq romantis banget – Senja untuk Pacarku. Akhirnya gue pun mendapatkan buku ini dari pacar gue :D (tapi gak dapet potongan senjanya… hehehe..)

Oke.. pertama baca… gak ngerti… tapi, cerpen Senja untuk Pacarku bisa bikin gue pengen baca buku SGA yang lain, akhirnya, gue pun membaca Negeri Senja. Cerita yang aneh menurut gue, tentang negeri yang dipimpin seorang perempuan (eh.. bener gak ya? Rada lupa nih), terus negerinya itu seperti selalu tertutup debu dan kabut. Cukup bisa dinikmati meskipun tetap aneh. Selanjutnya, meskipun gue membaca buku-buku beliau yang lain… tetap.. gak nyambung.. hehehehe…

Nah, saat Jia Effendi bolak-balik ‘promo’ di twitter-nya, mau gak mau gue pun tertarik. Seperti apa ke 14 penulis ini menginterpretasikan ulang karya-karya SGA. Awalnya sih, gue berharap akan membaca cerita yang lebih ‘segar’, yang lebih mudah dicerna untuk orang yang mungkin gak nangkep sama cerita-ceritanya SGA. Tapi.. awwww.. ternyata gak juga. Cerpen-cerpen dalam buku ada beberapa yang masih tetap ‘rumit’.

Valiant Budi Yogi (Vabyo) yang kalo baca bukunya atau twitter-nya rada ‘tengil’, suka becanda, di cerita Gadis Kembang jadi serius.

Jia Effendi menulis Perkara Mengirim Senja, tentang telemarketing senja. Cerpen ini cukup menggelitik gue. Hehehe.. kalo biasanya telemarketing nawarin kartu kredit, KTA – nah di sini senja yang dijual. Berminat?

Cerpen dengan judul terpanjang di buku ini – Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina menulis Dua Cerita Pendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya – jadi salah satu favorit gue. Dua cerpen – satu tentang suami yang bikin celana dalam besi untuk istrinya (hehehe.. gue jadi inget film Robin Hood: Men in Tights)  dan satu lagi tentang suami yang istrinya baru meninggal. 

Satu lagi yang jadi favorit gue adalah Empat Manusia – Faiza Reza – tentang cinta segi empat.

Sedangkan, Kirana Ketinggalan Kereta (Maradia Syahrida), adalah sebuah cerita yang berakhir ‘tragis’.

Yang unik dan juga menarik adalah Gadis Tidak Bernama (Theoresia Runthe), Guru Omong Kosong (Arnelis) dan Satu Sepatu, Dua Kecoak (Sundea).

Ma’af untuk cerpen Kuman (Lala Bohang), Ulang (Putra Perdana), Akulah Pendukungmu (Sundea), Saputangan Merah (Utami Diah K.), Senja dalam Pertemuan (Mudin Em), Surat ke-93 (Feby Indirani) dan Bahasa Sunyi (Rita Achdris)… karena gue gak (terlalu) mengerti dengan cerpen-cerpen ini. *peace*

Sebagian besar cerpen bercerita tentang perselingkuhan dan bernuansa muram. Dan sayangnya, gak semua penulis mencantumkan cerita SGA yang mana inspirasi untuk cerpen mereka. Mungkin kalo ada kata-kata ‘senja’, udah bisa hampir dipastikan kalo cerpen itu adalah interpertasi ulang dari ‘Sepotong Senja untuk Pacarku’, tapi kalo yang gak ada, bikin bingung. Karena mungkin pembaca buku ini belum tentu semuanya udah baca-baca buku SGA. Kalau pun udah baca, belum tentu hafal semua tokoh atau cerita-cerita SGA kan? *IMHO*

Ya sekianlah ‘pendapat’ gue tentang buku Perkara Mengirim Senja. Tapi ya… gara-gara baca buku ini, terpikir untuk mengumpulkan foto senja. Tapi sayang… untuk sementara senja yang gue liat terbatas pada senja di kantor dan di rumah aja .. :D
Read more »