Jumat, 31 Agustus 2007

Apa Kabar Kang Je ?

Judul : Apa Kabar Kang Je ?
Penulis : Anjar Anastasia
Penerbit : OBOR
Cetakan : I, Mei 2007
Tebal : 177 hlm
Harga : Rp. 24.000,-


Beberapa bulan yang lalu sms dari Anjar masuk ke selularku, isinya mengabarkan bahwa cerpen-cerpen Kang Je karyanya akan dibukukan dan aku akan dikirimi satu bukunya. Wow! Dalam hati aku bersorak karena akhirnya cerpen-cerpen Kang Je dibukukan !. Sebelum dibukukan, Anjar kerap mengirim email padaku yang berisi cerpen-cerpen yang tokohnya bernama Kang Je. Awalnya aku tak tahu siapa Kang Je yang dimaksud, namun begitu aku membacanya aku langsung mengerti bahwa Kang Je disini adalah Yesus Kristus !

Semenjak itu pula saya tertarik membaca cerpen-cerpen Kang Je. Bagi saya ide cerpen dengan tokoh Yesus yang dipersonifikasikan dengan Kang Je sangat orisinil dan menarik. Saya masih ingat kalau dulu saya pernah mengusulkan agar cerpen-cerpen Kang Je bisa dibukukan. Namun saat itu Anjar masih belum menemukan penerbit yang cocok untuk cerpen-cerpennya ini.

Ketika itu cerpen-cerpen Kang Je hanya disebarnya ke sejumlah milis dan kepada kawan-kawannya. Setelah bertahun –tahun beredar dalam lingkungan terbatas di milis dan emai-email pribadinya, kini cerpen-cerpen Kang Je menyapa ke lingkungan pembaca yang lebih luas. Mei 2007 yang lalu cerpen-cerpen ini diterbitkan. Sungguh suatu kejutan yang menyenangkan bagi saya karena isi dari cerpen-cerpen seri Kang Je ini sangat inspiratif dan saya berharap banyak orang mendapat inspirasi dari cerpen-cerpen sederhana namun sarat makna ini.

Dalam cerpen-cerpennya ini Yesus dijadikan tokoh yang sangat dekat dengan tokoh ‘aku’. Yesus bukanlah sosok yang jauh dan kasat mata, ia menjadi tokoh yang terlihat, bisa disentuh, dan bisa menjadi siapa saja, sebagai ayah, kakak, sahabat, dll.

Buku ini memuat 28 kisah tentang ‘aku’ dan Kang Je. Selain cerpen, ada pula beberapa puisi. Kisah-kisahnya sederhana, diangkat dari kejadian sehari-hari mulai dari soal cinta, persahabatan, kesetiaan, perceraian, hingga acara tujuh belasan dan kesibukan lebaran. Semuanya terangkai dalam kalimat-kalimat yang mengalir enak dibaca, sederhana, mengharukan, lucu, kadang mengejutkan, dan sarat makna. Yang paling menarik bagiku adalah sosok Kang Je yang digambarkan begitu dekat dengan tokoh ‘aku’. Walau yang dimaksud Kang Je adalah Yesus Kristus, namun yang terlihat di keseluruhan kisahnya adalah Yesus yang sangat manusiawi. Yesus di buku ini bukanlah sosok yang selalu serius, ia bisa melucu, menjitak dan mencacak-ngacak rambut tokoh aku yang iseng, menepuk bahu memberi semangat, hingga mendekap dengan kasih bagaikan seorang ayah yang mendekap anaknya.

Dari penampilannya, Yesus atau Kang Je juga kadang dideskripsikan dalam pakaian modern, berkaos oblong, memakai celana jins, dll. bahkan, Kang Je bisa menyenandungkan lagu Josh Groban “You Rise Me up”. Ia juga sangat toleran terhadap kepercayaan lain. Dalam satu kisahnya diceritakan bagaimana Kang Je menghadiri perayaan Idul Fitri dan makan ketupat lebaran!

Apakah Yesus pantas dideskripsikan dengan sangat manusiawi seperti dalam kisah-ksiah dalam buku ini? Dalam kehidupan iman Kristen, Yesus sah-sah saja dipersonifikasikan sebagai siapa saja. Dalam pujian, dalam doa, Yesus sering disebut sebagai, Bapa, sahabat, kekasih jiwaku, dll. Sedangkan dalam ranah cerpen rasanya belum ada yang mendeskripsikan Yesus sedekat dan semanusiawi kisah-kisah dalam buku ini. Namun walau Yesus dimanusiakan oleh Anjar, unsur-unsur ketuhanannya masih tetap melekat baik melalui kisahnya maupun melalui obrolan-obrolan antara Kang Je dengan tokoh-tokohnya sehingga kita yang membacanyapun tak lantas merasa bahwa Kang Je adalah manusia biasa. Kita akan tetap merasa bahwa Yesus alias Kang Je adalah Tuhan yang hadir dalam tubuh manusia.

Saya tak akan berkisah mengenai apa-apa saja yang dikisahkan oleh Anjar dalam bukunya ini. Rasanya akan lebih mengasyikan jika kita membaca sendiri dan mencoba merefleksikan berbagai pesan tersembunyi yang terdapat dalam kisah-kisah dalam buku ini.

Buku ini sangat cocok untuk dijadikan bahan refleksi bagi siapa saja. Bukan tak mungkin tiap kisah-kisahnya bisa dijadikan bahan diskusi bagi kelompok-kelompok kecil di gereja-gereja atau persekutan-persekutuan. Kisahnya pendek-pendek saja namun sarat makna dan inspiratif. Karena diangkat dari kejadian sehari-hari, tak sulit untuk memahami seluruh kisah dalam buku ini. Bukan tak mungkin apa yang dikisahkan juga pernah dialami oleh kita.

Di tiap akhir kisah terdapat juga beberapa baris pesan moral yang disampaikan oleh penulisnya. Namun menurut saya pribadi pencantuman pesan moral ini rasanya tak perlu. Biarlah pembaca buku ini menggali dan merefleksikan sendiri apa yang dimaksud dalam tiap kisah-kisahnya. Toh buku ini bukan ditujukan untuk anak-anak. Pencantuman pesan moral saya rasa justru akan membatasi si pembaca merefleksikan kisah-kisah yang ada dalam kehidupannya pribadi.

Terlepas dari hal diatas buku ini sangat layak dibaca dan dimiliki oleh mereka yang ingin mengenal lebih dekat bagaimana Yesus menyikapi semua masalah pribadi dan lingkungan yang kita hadapi. Buku ini mencoba mengajak kita menempatkan sosok Yesus bukan sebagai sosok yang jauh, tak terjangkau, namun sosok yang dekat dengan kita dan mengerti apa yang kita alami karena dia adalah Tuhan bisa hadir kapan saja sebagai sahabat, kakak, ayah, kekasih, tempat kita berkeluh dan berbagi suka dan duka. Selain itu buku ini juga bisa menghibur dan menguatkan iman kita ketika kita mungkin mengalami hal yang sama dengan kisah-kisah di buku ini.


Sekilas tentang Anjar

Anjar Anastasia, atau lebih dikenal dengan Anjar, adalah novelis kelahiran Tanjungkarang-Lampung yang kini bermukim di Bandung. Sebagai novelis, Anjar dikenal produktif melahirkan karya-karyanya. Setidaknya sudah 10 buah karyanya dibukukan, diantaranya : Beraja, biarkan kumencinta (Grasindo,2002), Kidung-senandung cinta untukku (Grasindo,2004), Tiga-menjemput semburat cinta (Grasindo,2005), Apa Kabar Kang Je ? (OBOR, Mei 2007), Teenlit-Karena Aku Sayang (Gramedia,2007), dan yang terbaru , Lelana-jiwa-jiwa yang pulang (Grasindo, Agustus 2007).
Selain menulis novel, Anjar juga sempat menjadi sejumlah editor di sejumlah buku-buku sastra, aktif di berbagai milis sastra dan aktif di berbagai kegiatan sastra di kota kembang Bandung.

Hingga kini Anjar masih menulis cerpen-cerpen Kang Je. Menurutnya minimal 2 buku Kang Je akan terbit kembali. Baginya menulis cerpen Kang Je mengasah sisi relijiusitasnya yang masih terus dipelajari dan dicarinya. Dan apa yang dia cari, tulis, dan bukukan itulah yang akan ia bagikan kepada para pembacanya. Ia ingin banyak berbagi kepada seluruh alam semesta sekaligus rasa syukur terdalamnya bagi Sang Mahacinta.

@h_tanzil
Read more »

Rabu, 29 Agustus 2007

Some Kind of Wonderful

Some Kind of Wonderful
Sarah Webb
Pan Books, 2003
495 Hal.

Rossie memang menyadari kalau kehidupan pernikahannya sedang dalam masa-masa hambar, tapi, bagi dia, rasanya belum jadi masalah. Darren, suaminya, masih bersikap mesra, meskipun sering banget pulang telat, atau keluar kota. Tapi, Rossie gak menyangka kalau pulang telat dan keluar kota itu hanya alasan. Rossie gak punya bayangan kalau Darren meninggalkan dirinya dan Cass, putri semata wayang mereka, demi seorang cewek blonde bernama Tracy. Emang sih, Darren bukan pria kebapakan. Semua urusan Cass diserahkan pada Rossie, tapi ketika mereka berpisah, Darren menuntut waktu untuk bertemu dengan Cass.

Beruntung Rossie memilik adik, Kim dan ayah, Rex, yang asyik dan selalu mendukungnya. Bahkan, Rex menawarkan kepada Rossie untuk mengelola sebuah gallery di daerah Wicklow, yang kebetulan berada di sebuah area taman hiburan yang dimiliki temannya, Connor Dunlop.

Rossie akhirnya pindah ke Wicklow, dan mengelola gallery bernama Redwood Gallery. Tapi, ternyata, Darren gak terima kalau anaknya pindah ke daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Buntutnya, karena Darren menganggap Tracy mulai ‘menuntut’ banyak, Darren malah membujuk Rossie untuk balik lagi dengan dia.

Tokoh lainnya adalah Martina. DIa ini membuka butik di tempat yang sama dengan Rossie. Kebetulan, Martina juga kekasih Rory Dunlop, anak Connor. Tapi, hubungan mereka rada tegang ketika Rory meminta Martina untuk menikah dengannya. Ada alasan sendiri kenapa Martina menolak meskipun ia mencintai Rory.

Lain lagi, ada Anna. Ia sahabat Martina, punya play group. Bercerai dengan suami dan punya satu anak. Suami Anna gak kalah brengsek dengan suami Rossie. Connor Dunlop suka sama Anna, tapi Anna masih maju mundur.

Hhhh… cerita yang biasa aja. Woman power… suami yang selingkuh… Hehehe, entah kenapa, gue gak pernah kapok baca buku seperti ini, meskipun ceritanya juga gak banyak yang beda. Tergoda sama cover yang lucu-lucu berwarna-warni dan bikin seger…

Baca buku ini juga karena udah lama ‘terkapar’ di lemari kantor. Dibaca buat sebagai selingan baca Vienna Blood. Maklum, baca yang berdarah-darah, kaya’nya perlu pengalihan sebentar ke cerita yang ringan. Padahal, bukunya juga lumayan tebel. Karena gak terlalu berkesan… gak banyak comment, deh…
Read more »

Senin, 27 Agustus 2007

The White Lama #1: Reinkarnasi

Judul : The White Lama # 1 : Reinkarnasi
Teks : Alejandro Jodorowksy
Gambar : Georgess Bess
Penerjemah : Hetih Rusli
Editor : Tanti Lesmana
Proofreader : Yulia Hanoto
Penerbit : Humandios / Gramedia
Cetakan : Juli 2007
Tebal : 144 hlm ; 6 mm
Harga : Rp. 56.000,-

Tibet, negeri yang berada di pegunungan Himalaya yang sering dikatakan sebagai puncak dunia, sebelum kedatangan bangsa asing dan invasi China adalah negeri yang damai. Masyarakatnya sangat menjunjung tinggi kehidupan spritualnya. Ketentraman ini tiba-tiba diresahkan oleh mimpi yang mengganggu tidur Lama Agung Mipam (pemimpin spiritual Tibet). Dalam mimpinya ia diberi penglihatan sesosok mayat yang jatuh dari langit. Sesuai dengan apa yang telah diramalkan Guru Agung Padma Shambava, mimpi itu menandakan bahwa dalam tahun naga akan datang gerombolan penjahat yang akan menyerbu perbatasan Tibet dari selatan. Darah akan menodai salju abadi bangsa Tibet dan hal ini akan meruntuhkan pondasi keyakinan bangsa Tibet dan orang-orang Tibet akan terinjak-injak dan tersebar ke empat penjuru angin.

Lama Agung Nipam yang telah sepuh sadar bahwa sebelum semua itu terjadi, Tibet butuh seorang pemimpin yang memiliki tubuh yang kuat dan jiwa seorang pejuang. Sebelum meninggalkan raganya Nipam menyatakan bahwa ia akan kembali bereinkarnasi menjadi seorang bocah yang tempat kelahirannya telah ia ramalkan. Untuk itu ia mengutus pendeta pelatih Dondup dan guru Tzu untuk menemukan bocah itu dan melatihnya hingga siap menjadi seorang Lama Agung.

Sebagai Lama Agung ad interim, Nipam menunjuk Lama Migmar untuk memimpin kehidupan spiritual masyarakat Tibet hingga bocah yang merupakan reinkarnasi Nipam ditemukan.

Setelah Nipam wafat, datanglah Gabriel dan Susan - sepasang orang inggris bersama menuju Tibet. Ternyata Susan sedang mengandung. Penyihir Naljdjorpa yang disegani di Tibet menyatakan bahwa terdapat ikatan abadi yang menyatukan wanita inggis tersebut dengan Atma, wanita Tibet yang ketika itu juga sedang mengandung. Dan mereka diharuskan tinggal dalam satu rumah hingga kedua anak mereka lahir.Ternyata rumah tempat kedua anak itu dilahirkan merupakan tempat dimana Nipam akan berinkarnasi.

Lama Migmar yang ingin kekuasaannya langgeng memerintahkan sekutunya untuk mencari tempat dimana Nipam akan bereinkarnasi dan membunuh bocah tersebut. Utusan Migmar berhasil membunuh bayi yang baru dilahirkan dari rahim Atma, sedangkan Gabriel dan Susan yang tinggal bersamanya tewas terbunuh. Namun sebelum menghembuskan nafasnya, Susan sempat melahirkan anaknya yang kelak akan diberi nama Gabriel Marpa dan dibesarkan oleh Atma dan Kuten.

Lama Migmar tak pernah menduga bahwa ia salah membunuh bayi. Ia sama sekali tak menduga bahawa reinkarnasi Lama Agung Nipam akan lahir dari rahim seorang wantia inggris. Merasa telah berhasil membunuh bocah yang ‘terpilih’ Dengan rekayasanya Migmar memperdaya rakyat Tibet dengan menetapkan seorang bocah idiot sebagai reinkarnasi Lama Agung Nipam. Bocah idiot tersebut dijadikannya boneka sehingga kekuasaan secara faktual masih dipegang oleh Migmar.

Selanjutnya kisah dalam buku ini akan berputar pada bagaimaan Gabriel kecil harus menjalani didikan keras dari Pendeta Tzu hinggga akhirnya suatu tragedi menimpa ayah angkatnya dan menyebabkan dirinya terusir dari keluarganya dan mengembara mencari sebuah biara yang mau menerimanya untuk menjadi soerang biksu. Saat itu tak seorangpun tahu kecuali Atma dan pendeta Tzu bahwa ia adalah reinkarnasi Lama Agung Nipam.

Akhirnya ia sampai di biara tempat dimana Migmar dan bocah idiot yang dipercaya sebagai reinkarnasi Nipam berada. Usahanya untuk diterima dalam biara tersebut tidaklah mudah, ia harus menjalani berbagai syarat yang berat. Ketika akhirnya diterima, Gabriel harus melihat kenyataan bahwa biara yang dipimpin Migmar telah mengalami kemerosotan moral. Migmar hanya peduli pada kekuasaan dan kekayaan. Ia hanya memikirkan bagaiman ia dapat terus berkuasa. Ketamakan dan egoismenya begitu besar sehingga ia rela menjual negaranya pada orang-orang Cina.

Kisah diatas terdapat dalam buku pertama sebuah novel grafis - The White Lama : Reikarnasi karya Alejandro Jodorowski dan Georges Bessis. Seluruh kisah kehidupan Gabriel sebagai Rahib Putih ini termuat dalam 6 buah buku yang telah diterbitkan oleh Les Humanoïdes Associés / Perancis pada tahun 1988 hingga 1993.

Jodorowski sendiri adalah seorang jenius kelahiran Chili dan telah menjadi warga negara perancis. Ia seorang yang multitalent, selain dikenal sebagai figur penting dalam percaturan komik Eropa : bahkan dunia, jodorowksy juga memiliki seabrek keahlian sebagai produser dan sutradara film alternatif, aktor, dramawan, composer, ahli tarot, filsuf, ahli perbandingan agama, psikoterapis, dll.

Dalam kariernya sebagai penulis komik, Jodorowsky telah menghasilkan lebih dari 20 buah komik yang telah diterjemahkan lebih dari 10 bahasa. Komik yang paling terkenal adalah L’Incal yang digambari oleh Jean Giraud (Mœbius). Dalam komiknya ini Jodoroewsky menggunakan symbol-sombol kartu Tarot yang memang dikuasainya. Komik terbarunya diberinya judul Dayal de Castaka, dengan ilustrator Das Pastoras, Les Humanoïdes Associés, 2007


Sedangkan Georges Bessis adalah illustrator komik yang kariernya sebagai komikus menanjak setelah berkolaborasi dengan Jodorowsky dalam White Lama. Sebelumnya Bess adalah ilsutrator di malajah-majalah Swedia dan juga mengerjakan serial komik The Phantom yang diterbitkan oleh penerbit Skandinavia. Hingga kini Bess masih produktif. Pada tahun 2005 terbit komik karyanya yang juga berlatar Tibet, 'Pema Ling', dan kini Bess sedang mengerjakan komik terbarunya yang berjudul Yamantaka, seigneur de la mort (Dubois).

Kolaborasi Jodorowsky dan Bess dalam The White Lama ini menghasilkan sebuah komik berlatar belakang Tibet yang sangat menarik. Tibet yang masyarakatnya dikenal dekat hal-hal gaib dan kedekataannya pada tradisi dan spiritualisme tergambar jelas pada komik ini. Dalam komik ini kita akan menemui hal-hal yang gaib seperti munculnya penyihir Naldjorpa yang bisa menalayang, guru Tzu yang menjelma menjadi dua, munculnya sosok gaib Lama Mirpan dalam diri gabriel kecil, dll. Semuanya itu tercertiakan dan tergambar dengan apik dalam komik ini. Dalam hal tradisi Tibet, komik ini juga mengungkapkan bagaimana ritual penenggelaman bayi yang baru lahir ke sebuah danau es guna menguji ketahanan si bayi akan kondisi dingin yang akan menyertai dia selama hidupnya.

Masuknya budaya barat yang dibawa oleh tentara inggris yang pertama kali menginjakkan kakinya di Tibet juga tergambar dengan jelas di komik ini. Dengan alasan membawa keberadaban pada bangsa Tibet, Inggris mencoba meruntuhkan kepercayaan di Tibet dengan membawa agama baru bagi orang Tibet. Hal ini terlihat pada tokoh Gyalpo dan seluruh keluarganya yang dibabtis secara Kristen dan memiliki nama baru “Yesus” dan anak cucunya diberi nama yesus junior dan yesus kecil dan merubah gaya hidup mereka menjadi gaya barat seperti bermain kriket, perabotan barat dan patung salib di rumahnya.

Jodorowsky tampaknya memahami betul budaya dan spiritualisme Tibet. Selain soal-soal tradisi dan budaya yang telah diungkap diatas, kita juga akan disuguhkan beberapa percakapan yang filososofis, semua ini terangkai secara pas dan tidak berlebihan sehingga tidak mengganggu alur ceritanya. Ilsutrasi yang dibuat oleh Bess juga sangat menarik dan detail sehingga membantu kita memahami isi ceritanya. Kesimpulannya Alexandro Jodorowsky dan Georges Bess mempersembahkan kisah memikat yang menggabungkan unsur-unsur filososif, bela diri, kekuatan supranatural, dan kebangkitan spiritual.

Walau terjemahan komik ini baru hadir di tangan pembaca Indonesia lebih dari 10 tahun sejak terbitan perdananya di Perancis, rasanya tak ada kata terlambat untuk menikmati komik-komik kelas dunia dalam bahasa indonesia. Kabarnya seri berikutnya dari komik ini telah selesai diterjemahkan dan akan segera terbit, semoga tak terlalu lama menunggunya sehingga kita bisa segera menikmati salah satu seri terbaik karya komikus dunia ini secara lengkap.

The White Lama dicetak dengan format yang sama dengan edisi aslinya (format Album) Dari segi terjemahannya, komik ini diterjemahkan dengan sangat baik sehingga pembaca dipastikan tak akan menemui kendala dalam memahami komik ini. Dari hasil cetakannya, karena tidak menggunakan kertas art paper, konsekuensinya beberapa gambar dalam buku ini terlihat kurang terang dibanding edisi aslinya. Hal yang patut dimaklumi karena tampaknya penerbit berusaha menekan harga agar buku ini lebih terjangkau oleh pembaca indonesia.

Saya rasa apa yang diambil penerbit dalam menyiasati kemasan novel grafis ini agar harganya lebih terjangkau sangat tepat. Hasilnya tak mengecewakan dan tidak terlalu berbeda dengan edisi aslinya. Semoga dengan terus diterbitkannya novel-novel grafis bermutu dengan harga yang terjangkau, masyarakat Indonesia mulai tersadarkan bahwa komik bukanlah bacaan anak-anak yang tak berguna. Kini melalui komik, pembaca juga akan mendapat wawasan baru sesuai dengan keragaman komik-komik kelas dunia yang kini bukan hanya menyajikan cerita-cerita superhero belaka.


@h_tanzil
Read more »

Minggu, 26 Agustus 2007

The Liebermann Papers: Vienna Blood

The Liebermann Papers: Vienna Blood
Frank Tallis
Berliani M Nugrahani (Terj.)
Qanita, 2007
592 Hal.

Pembukaan novel ini sudah cukup mengerikan. Diawali dengan matinya seekor ular besar kesayangan kaisar bernama Hiedelgard. Ular ini bukan hanya ‘sekedar’ mati. Yang bikin jadi misteri, karena ular ini ditemukan terpotong-potong menjadi 3 bagian. Inspektur Oskar Rheinhardt-lah yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus ini. Mengingat ini ular kesayangan kaisar, atasan Inspektur Rheinhardt tentu saja ingin kasus ini segera dituntaskan.

Belum lagi kasus aneh ini ditemukan jawabannya, terjadi lagi pembunuhan yang lebih sadis. Kali ini yang jadi korban bukan binatang, tapi manusia – tidak tanggung-tanggung, 4 korban sekaligus. Tepatnya, 4 orang wanita yang bekerja di rumah bordil. Kondisinya benar-benar mengerikan.

Pembunuhan itu bukan yang terakhir, karena diikuti lagi oleh dua pembunuhan lain yang tak kalah sadisnya. Inspektur Rheinhardt diliputi kebingungan memecahkan kasus pembunuhan berantai itu. Bahkan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak aman meninggalkan keluarganya di rumah.

Berdasarkan data-data yang dikumpulkan, disimpulkan korban dibunuh dengan pedang – bukti yang mengarah pada para tentara. Apalagi,dari hasil interogasi dengan saksi, rumah bordil itu sering didatangi para tentara yang ingin bersenang-senang. Lalu, ditemukan pula sebuah simbol aneh.

Inspektur Rheinhard meminta bantuan sahabatnya, Max Lieberman, yang mencoba menganalisa melalui sisi psikologisnya. Miss Lydgate juga kembali muncul untuk membantu Rheinhardt dan Lieberman.

Dari hasil penelitian Miss Lydgate, ditemukan beberapa hal yang menarik, yang sangat membantu Rheinhardt dan Lieberman dalam mengambil kesimpulan tentang si pelaku pembunuhan itu.

Pemecahan kasus ini seolah tidak mungkin, Rheinhardt dan Lieberman curiga tentang keterlibatan sebuah kelompok rahasia yang tidak akur dengan pihak kepolisian, dan mereka juga tidak begitu saja membiarkan orang luar masuk ke dalam ritual rahasia mereka. Tapi, demi mencegah terjadinya pembunuhan berikut yang diduga akan terjadi pada saat mereka menggelar ritual pengangkatan anggota baru, pimpinan organisasi itu terpaksa membiarkan Lieberman datang, meskipun untuk mencapai tempat yang ditentukan, mata Lieberman harus ditutup dan harus berjanji untuk tidak melibatkan pihak kepolisian.

Oh ya.. .satu lagi tentang Max Lieberman. Di buku ini, diceritakan, kalau Lieberman tengah dilanda kebimbangan dengan pertunangannya dengan Clara. Perasaan Lieberman mulai terombang-ambing, antara maju terus atau berhenti saja.

Kalau dibandingkan dengan novel pertamanya, A Death in Vienna, kasus di buku ini lebih sadis, lebih banyak korban dan lebih rumit. Masih dihiasi dengan musik-musik klasik dan makanan yang manis-manis tapi yummy. Satu lagi yang lucu, Lieberman terkagum-kagum dengan teknologi baru yang dipakai Rheinhardt yaitu… lampu senter. Sementara Miss Lydgate – yang menghadapi masalah gender di kampusnya - juga terlihat ‘keren dan cool’ dengan caranya menganalisa darah hewan dan darah manusia, plus waktu Rheinhardt harus menepuk-nepuk karung untuk ‘memisahkan’ debu.
Read more »

Senin, 20 Agustus 2007

The Secret of Moon Castle

The Secret of Moon Castle
Enid Blyton
Award Publication Limited – 2nd Edition, 2003
166 Hal.

Nora, Peggy, Jack dan Mike adalah anak-anak dari Mr. & Mrs. Arnold. Mereka berteman dengan Paul, seorang pangeran dari sebuah negara bernama Baronia. Mereka sudah sering menghabiskan liburan bersama yang pastinya diisi dengan petualangan.

Biasanya Paul hanya sebentar bersama anak-anak itu sampai akhirnya ia harus kembali ke Baronia. Kali ini ada kejutan yang menyenangkan, karena Ratu Baronia memutuskan untuk berlibur ke Inggris bersama keluarga Arnold. Ratu Baronia sudah meminta Mrs. Arnold mencari tempat yang cocok untuk mereka semua menghabiskan liburan musim panas kali ini.

Mrs. Arnold pun sibuk mencari sebuah kastil yang cocok untuk Ratu Baronia. Tapi, tampaknya tidak ada yang berkenan di hati Mrs. Arnold. Anak-anak nyaris kecewa. Mereka memutuskan untuk memlih sendiri kastil yang sesuai, karena Paul pasti bisa mengira-ngira selera ibunya.

Sambil menikmati menu piknik yang lezat, mereka melihat brosur-brosur, tidak ada yang menarik hati mereka, sampai akhirnya mereka menemukan sebuah brosur yang menawarkan Moon Castle. Mereka langsung jatuh hati, dan memaksa Mrs. Arnold untuk segera mengajak mereka melihat Moon Castle. Meskipun agak berat hati, Mrs. Arnold pun setuju.

Di toko es krim yang mereka singgahi untuk beristirahat, pelayan di sana memberikan informasi yang aneh. Katanya, tidak ada yang pernah mau untuk tinggal di sana, karena banyak keanehan yang terjadi di Moon Castle. Tapi, anak-anak itu pantang menyerah, justru mereka menantang berbagai misteri yang mungkin muncul.

Jalan menuju Moon Castle juga tidak bagus dan sepi, tidak ada rumah-rumah penduduk yang lain. Sampai di sana, mereka disambut pelayan yang bersikap tidak ramah – Mrs. Brimming, Eddie dan Hannah Lots. Bahkan mereka mengusir keluarga Arnold dengan mengatakan tempat itu tidak disewakan dan tidak mengijinkan ada orang asing yang boleh datang ke sana apalagi menetap. Ketika anak-anak itu hendak menjelajah salah satu menara, muncul lelaki berwajah seram yang langsung marah-marah dan mengusir mereka, ternyata laki-laki itu adalah Guy, anak Mrs. Brimming.

Mrs. Arnold akhirnya memutuskan untuk menyewa kastil itu, berpegang pada surat dari agensi yang mengiklankan kastil tersebut. Persiapan sudah dilakukan, anak-anak sudah tidak sabar menanti liburan mereka. Tapi, ada saja yang mengganggu dan nyaris membatalkan liburan mereka. Mrs. Arnold harus menemani suaminya yang seorang penerbang menguji coba pesawat baru, lalu Ratu Baronia mengabarkan kedatangannya ditunda karena salah satu saudara Paul terkena cacar air dan harus dikarantina.

Untung saja Mrs. Arnold mengijinkan anak-anak berangkat lebih dulu ditemani Dimmy, pelayan rumah tangga mereka dan Ranni, pengawal pribadi Paul.

Benar saja, banyak keanehan yang terjadi selama mereka di sana. Mulai dari muncul suara-suara misterius, buku-buku yang jatuh sendiri dari lemarinya, tempat tidur yang berpindah sendiri, lukisan-lukisan yang tampak hidup dan sikap para pelayan di sana yang semakin misterius.

Kelima anak itu bertekad menyelidiki rahasia di balik keanehan itu. Mereka tidak percaya adanya tahayul dan mencoba memecahkannya dengan logika mereka.

Buku ini mengingatkan gue pada buku-buku petualangan Lima Sekawan. Bahasanya sederhana, meskipun petualagan mereka lebih simple dibanding yang ada di Lima Sekawan. Gak ketinggalan limun, biscuit sandwich, kue cokelat yang besar dan es krim yang menemani mereka bertualang… hmmmm… Jadi bernostalgia sama Enid Blyton, nih…

O ya, untuk seri Secret ini, buku The Secret of Moon Castle (1953) adalah bagian terakhir, seri lainnya adalah: The Secret Island (1938), The Secret of Spiggy Holes (1940), The Secret Mountain (1941) dan The Secret of Killimooin (1943).
Read more »

Minggu, 19 Agustus 2007

Glonggong


Judul : Glonggong
Penulis : Junaedi Setiyono
Penyunting : Imam Muhtarom
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juli 2007
Tebal : 293 hal

Perang Jawa atau De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan menyeluruh yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro atau yang dalam novel ini disebut-sebut sebagai Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa

Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran.

Di pihak Belanda perang ini menghabiskan 20 juta gulden dan banyak memakan korban. Belanda kehilangan 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, sedangkan rakyat Jawa yang tewas sebanyak 200.000. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Novel Glonggong, adalah novel sejarah berlatar Perang Jawa. Namun bukan novel tentang Pangeran Diponegoro atau tokoh-tokoh perang jawa lainnya. Novel ini mengisahkan seorang pemuda yang namanya tidak akan pernah kita temui dalam buku-buku sejarah. Tokoh utama novel ini bernama Danukusuma yang lebih dikenal dengan nama Glonggong.

Nama Glonggong diperoleh Danukusuma karena kemahirannya bermain perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong. Glonggong adalah tangkai daun pepaya berwarna kuning pucat kehijauan. Oleh anak-anak Jawa pelepah pohon pepaya ini dijadikan pedang untuk bermain perang-perangan. Sedangkan nama Glonggong disandangnya setelah ia bermain perang-perangan dengan Suta, sahabatnya. Ketika ia jatuh terjerembab di tanah, seseorang menariknya dan ternyata dia adalah seorang putrra raja bernama Bendara Raden Mas Antawijaya yang kemudian dikenal dengan nama Kangjeng Pangeran Aria Dipanegara. Ketika itu Pangeran menyapanya dengan panggilan “Glonggong”. Dan sejak itu Danukusuma dipanggil Glonggong oleh teman-temannya dan nama itu terus melekat dengan dirinya hingga dewasa.

Dalam darah Glonggong mengalir darah biru. Namun hidupnya tak semulus teman-temannya yang berdarah biru lainnya. Ibunya seorang Raden Ayu dari daerah Tegalreja (tanah kelahiran Pangeran Diponegoro) yang menikah dengan Kiai Sena, seorang jagabaya (penjaga kemanan) dari wilayah Bagelen. Namun pernikahan ini tak berlangsung lama karena ayahnya hilang ketika terjadi peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Rangga Prawidirja pada tahun 1810. Saat itu Glonggong masih dalam ayunan gendongan selendang ibunya. Ia tak sempat mengingat wajah ayah kandungnya yang tak pernah pulang.

Ibunya kemudian menikah lagi dengan Raden Suwanda. Glonggong tinggal bersama ibu dan ayah tirinya, sementara dua orang saudaranya tinggal bersama pamannya. Walau telah menikah, ibu glonggong masih terus memikirkan Kiai Sena sehingga kondisi psikisnya terganggu, ia hidup dalam dunianya sendiri, setiap hari dilaluinya mengeram dalam kamar sambil menembangkan tembang-tembang mapacat. Sedangkan Raden Suwanda, ayah tiri glonggong, sibuk dengan kepriyayiannya. Tak ada tegur sapa yang harmonis layaknya bapak dan anak. Ayah tirinya terlampau asing bagi glonggong.

Dalam keluarga yang seperti inilah Glonggong dibesarkan, sejatinya ia tumbuh dalam asuhan kedua orang pembantunya. Setiap hari dilaluinya dengan bermain glonggong bersama anak-anak desa di kampungnya. Ketika Raden Suwanda memperoleh pendamping baru, glonggong dan ibunya diusir dari rumahnya sendiri. Mereka terpaksa harus tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan. Dengan setia glonggong merawat ibunya hingga sebuah tragedi merengut nyawa ibunya dan membuat Glonggong harus hidup terlunta-lunta sebatang kara.

Hidup sendirian membuat dirinya bertekad untuk berkelana untuk mencari ayah dan dua kakak kandungnya. Kemahirannya memainkan glonggong juga membuatnya bekerja sebagai pengawal para priyayi keraton. Pekerjaan ini membuatnya memahami bahwa para priyayi umumnya hidup dalam kemewahan harta, tahta, dan wanita yang memabukkan kehidupan mereka. Lalu ia juga bergabung dengan barisan prajurit Pengeran Dipanegoro yang saat itu sedang berjuang melawan Belanda. Saat itu keraton Ngayogyakarta terbelah menjadi dua, satu pihak mendukung perjuangan Diponegoro, di lain pihak bersekongkol dengan Belanda.

Dalam sebuah tugasnya mengawal peti harta karun laskar dipanegaran guna ditukarkan dengan senjata, Glonggong mendapat serangan dari para bagal. Ia terluka cukup parah. Setelah sembuh, ia diperhadapkan dengan munculnya orang yang menyamar menjadi dirinya dan membunuhi penduduk desa. Selain itu ia juga bertekad untuk menemukan kembali harta karun yang direbut oleh para bagal sebagai tanggung jawabnya pada Sang Pangeran.

Novel Glonggong karya Junaedi Setiono, yang sehari-harinya mengajar sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Purworejo ini merupakan novel pertamanya dan langsung didapuk sebagai pemenang ke-empat (harapan I) sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006. Sebelumnya cerpen dan puisinya pernah memenangi sayembara penulisan cerpen dan puisi. Cerpen dan Puisi-puisinya telah dimuat di media masa lokal (Porworejo), juga dapat ditemui dalam beberapa antologi puisi yang terbit sejak tahun 1988, yang terakhir , kumpulan puisi dan cerpennya dibukukan alam antologi Kemuning (2005)

Walau novel ini berlatar belakang Perang Jawa ini kita tidak akan disuguhkan oleh serunya peperangan antara Laskar Dipanegaran dengan Belanda atau kisah-kisah heroik Sang Pangeran dan laskar-laskarnya dalam membela haknya. Sang Pangeran dalam novel ini hanya muncul sekilas saja, selebihnya novel ini lebih mendeskripsikan kisah kehidupan Glonggong dan tokoh-tokoh lain yang merupakan lapisan pertama dan kedua dari hirarki pasukan Diponegoro. Selain itu novel ini juga mengupas intrik politik dan perilaku kaum bangsawan keraton dalam melawan belanda.

Tak ada deskripsi mendetail baik mengenai peristiwa sejarah, setting lokasi dan waktunya. Melalui kisah hidup glonggong, penulis lebih memilih untuk mengungkap bagaimana kebobrokan kehidupan para priyayi keraton yang memilih hidup nyaman dan mencari aman dengan berpihak pada Belanda. Bahkan yang lebih ironis bagaimana akhirnya pasukan Dipanegaran sendiri yang akhirnya frustasi karena kekalahan-kekalahan yang dideritanya sehingga akhirnya membelot dan mencari jalan sendiri-sendiri.

Karakter glonggong dieksplorasi secara baik oleh penulis sebagai pribadi yang pantang menyerah terhadap kepahitan hidupnya yang tercerabut dari keluarganya, berperang melawan ayah tiri dan saudara kandungnya sendiri, dikhianati oleh guru dan sahabatnya, hingga menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana akhirnya Sang Pangeran yang dijunjungnya tertangkap oleh Belanda. Namun hal ini tidak membuat dirinya undur dari perjuangannya dan tetap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap tugas yang diembannya.

Novel setebal 293 halaman ini memiliki plot yang cepat dengan kalimat-kalimat yang enak dibaca. Untuk lebih menghidupkan novel ini, penulis menggunakan beberapa istilah dalam bahasa jawa. Untuk itu, buku ini menyediakan daftar glosari di halaman akhir yang memuat 74 istilah jawa. Sangat membantu, walau sedikit mengganggu kenikmatan membaca karena harus membolak-balik daftar glosari ketika menemukan istilah yang tidak dimengerti. Mungkin lebih baik diberi catatan kaki saja sehingga pembaca tak perlu terhenti lebih lama untuk membolak-balik buku ini.

Di awal kisah, penulis menyajikan novel ini seolah-olah Glonggong sedang menulis kisahnya kepada Hendrik, sahabat belandanya. Sayangnya tokoh Hendrik dan kisah persahabatannya dengan Glonggong sendiri kurang terekplorasi sehingga saya tak melihat urgensinya mengapa Glonggong sampai perlu menulis kisahnya ini untuk Hendrik.

Ada satu kejanggalan di halaman 111, disebutkan “Uang hasil menang judi sebanyak sepuluh ribu rupiah perak dapat selamat sampai ke purinya” (hal 111). Yang jadi pertanyaan, apakah pada masa itu istilah rupiah sudah mulai digunakan?

Namun terlepas dari kelemahan dan kejanggalan di atas, novel ini tetap menarik untuk disimak Awalnya saya menyangka novel ini seperti layaknya novel-novel pendekar dimana tokohnya menderita, terkucilkan, dan akhirnya menjadi seorang yang besar dan disegani. Rupanya penulis tak terjebak dalam alur seperti itu. Di sini penulis mengelaborasi jalan hidup tokohnya secara lain , glonggong tetaplah glonggong, yang namanya tidak dikenal dan bukan siapa-siapa hingga kisahnya berakhir.

Yang patut diteladani adalah sikap hidupnya yang tetap konsisten membela kebenaran di tengah kehidupan pribadinya yang pahit dan kekecewaannya terhadap teman-temannya dan gurunya yang pada akhirnya memilih hidup nyaman dengan meninggalkan perjuangan melawan ketidakadilan.

Dan seperti diungkap oleh Ahmad Tohari dalam endorsmen buku ini, novel ini mengungkap genetika kebobrokan politikus sekarang yang bisa dilacak dengan jelas dalam novel ini. Jika kita cermati, intrik politik yang terjadi lebih dari seratus lima puluh tahun yang lampau masih terjadi hingga kini. Tidak percaya ? Silahkan baca novel ini.

@h_tanzil
Read more »

Rabu, 15 Agustus 2007

Minoes

Minoes
Annie M. G. Schmidt
R. Indira Ismail (Terj.)
GPU, Juli 2007
200 Hal.

Tibbe adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai wartawan di koran Killendoornse Courant. Sebenarnya sih, tulisan-tulisan Tibbe cukup bagus, karena memang Tibbe berbakat dalam hal tulis-menulis. Tapi sayang, Tibbe orang yang pemalu, tulisan-tulisannya hampir selalu berkisar tentang kucing. Oleh karena itu, meskipun bagus, menurut pemimpin redaksi koran itu, tulisan Tibbe kurang layak untuk masuk dalam koran. Tibbe harus mencari sesuatu yang baru dan menarik, kalau tidak, ia akan dipecat.

Tibbe bingung, ia memang menyukai kucing, dan menganggap berita tentang kucing selalu menarik baginya. Ternyata, kucing memang memberinya jalan keluar. Di tengah kebingungannya, ia melihat seorang perempuan muda yang bersikap aneh, karena tiba-tiba saja ia memanjat pohon tapi tidak berani turun. Semakin aneh lagi, karena Tibbe melihat perempuan bernama Minoes itu bertingkah seperti kucing.

Ternyata, Minoes memang ‘mantan’ kucing. Tiba-tiba saja ia berubah wujud jadi manusia. Maka itu, ia masih bisa berkomunikasi dengan bahasa kucing dengan para kucing yang berkeliaran di kota itu. Karena tidak punya tempat tinggal, ia bingung harus ke mana. Si Burik, kucing liar, memberi saran untuk tinggal di tempat Tibbe, yang juga memiliki seekor kucing bernama Fluff.

Tiba-tiba saja Minoes muncul di atap tempat tinggal Tibbe. Tadinya Tibbe keberatan dengan keberadaan Minoes. Tapi, ketika Minoes menyampaikan berita-berita yang bisa jadi bahan tulisan untuk Tibbe, Tibbe pun ‘mengangkat’ Minoes menjadi sekretarisnya. Minoes mendapatkan berita-berita itu dari obrolannya dengan para kucing, seperti kucing pabrik parfum, kucing sekolah, kucing gereja dan masih banyak lagi, yang tergabung dalam Kantor Berita Kucing.

Suatu hari, Si Burik yang baru melahirkan itu, mengalami kecelakaan. Setelah diusut, kecelakaan itu melibatkan orang penting di kota itu, bernama Meneer Ellemeet. Meneer Ellemeet dikenal sebagai orang yang berpengaruh dan punya berbagai macam kedudukan penting. Bahkan, ia baru saja diangkat sebagai Ketua Perlindungan Binatang.

Tapi, sebenarnya, Meneer Ellemeet tidaklah sebaik dan sehebat yang dikira orang. Belum lagi kasus Si Burik terselesaikan, ada berita baru yang menyatakan bahwa Meneer Ellemeet terlibat dalam kecelakaan dengan tukang ikan sebagai korban.

Para saksi sudah disuap agar tidak buka mulut. Tibbe menuliskan berita ini di koran, tapi langsung mendapatkan kritik pedas dan komentar sinis dari para pembaca yang mengenal sosok Meneer Ellemeet sebagai tokoh masyarakat yang baik hati. Gak ada yang percaya sama berita yang ditulis Tibbe.

Tibbe dipecat. Bukan itu saja, ia pun diusir dari tempat tinggalnya oleh induk semangnya yang pengagum Meneer Ellemeet.

Minoes dan rekan-rekan kucingnya berusaha mencari jalan untuk membantu Tibbe. Berhasilkah Minoes? Minoes sendiri sedang menghadapi dilema apakah ingin tetap jadi manusia atau kembali menjadi kucing.

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ilustrasinya Carl Holliander. Gue bukan penggemar kucing (malah cenderung sebel ngeliat kucing dan mendengar kucing yang mengeong-ngeong), tapi, gara-gara baca buku ini, gue jadi ngebayangin tiap ada kucing lagi mengeong, kira-kira ada berita apa hari ini? Satu lagi, gue inget dulu juga ada cerita Disney yang judulnya ‘Kucing Ningrat’. Jarang-jarang kucing jadi ‘tokoh utama’, selama ini kaya’nya kebanyakan anjing yang selalu diceritain sebagai ‘sahabat manusia.’
Read more »

Senin, 13 Agustus 2007

Ekspedisi Kapal Borobudur - Jalur Kayu Manis

Judul : Ekspedisi Kapal Borobudur - Jalur Kayu Manis
Text & arahan visual : Yusi Avianto Pareanom
Gambar : M. Dwi Bondan Winarno & Dhian Prasetya
Penerbit : Banana
Cetakan : 2007
Tebal : 50 hlm ; 29 x 20.5 cm
Hard Cover


Catatan-catatan Sejarah dan bukti-bukti arkeologis secara jelas telah mengungkapkan pada kita bahwa berabad-abad yang lampau nenek moyang bangsa Indonesia telah mengarungi lautan untuk berdagang rempah-rempah dengan perahu tradisionalnya. Pada abad ke-1 Masehi sejarahwan Romawi Pliny menulis tentang pelaut yang datang ke Afrika dari lautan Timur, "Mereka datang menggunakan rakit atau perahu sederhana dua cadik dengan muatan kayu manis dan bumbu-bumbu lain" (hal 1)

Salah satu bukti sejarah lain adalah relief yang yang terdapat di dinding Candi Borobudur, tepatnya pada panil nomor 6 bidang C, lorong I, sisi utara Borobudur. Hal ini membuktikan bahwa di abad ke 8 pada saat dinasti Syalendra berkuasa, jauh sebelum pelaut-pelaut Eropa sampai ke kawasan Asia tenggara, nenek moyang kita telah berlayar hingga pesisir barat Afrika untuk melakukan misi perdagangan. rempah-rempah.

Salah satu rempat-rempah yang diperdagangkan adalah kayu manis yang merupakan rempah yang paling bergengsi karena aromanya yang harum dan elegan. Jalur yang digunakan pelaut-pelaut nusantara untuk berdagang kayu manis dikenal dengan Rute Kayu Manis (The Cinnamon Route). Rute itu membentang dari samudera Hindia- Kepulauan Maladewa-Madagaskar-Cape Town-Tanjung Harapan, hingga di Ghana, di pesisir barat Afrika.

Benarkah pelaut-pelaut nusantara pernah melakukan pelayaran hingga Afrika barat ? Tak puas hanya dengan membaca catatan-catatan sejarah, sekelompok pelaut dari dalam dan luar negeri tergerak untuk menjajal rute yang pernah dilalui oleh pelaut-pelaut nusantara dengan kapal tradisionalnya. Tak tanggung-tanggung mereka mencoba menyusuri rute itu dengan perahu tradisional yang mereka dapatkan gambarnya dari sebongkah relief di candi Borobudur. Karenanya ekpedisi ini diberi nama Ekspedisi Kapal Borobudur

Pencetus ide ekspedisi ini lahir dari seorang berkebangsaan Inggris, Philip Beale, mantan Angkatan Laut Kerajaan Inggris yang di tahun 1982 mengunjungi candi Borobudur guna mempelajari kapal tradisional Indonesia. Dua puluh tahun kemudian, setelah melakukan riset yg mendalam barulah ide Philip Beale terwujud.

Kapal Borobudur dibuat oleh seorang ahli pembuat kapal tradisional As’ad Abdullah al Madani (70). Kapal yang menyerupai kapal penangkap ikan ini berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dan tinggi 2,25 meter, serta memiliki berat 30 gross ton tersebut terbuat dari 125 meter kubik kayu dan dikerjakan hanya dalam waktu empat bulan enam hari oleh 26 orang, termasuk As’ad dan 13 tukang perahu di sebuah desa di Pulau Kangean, Madura. Kapal ini dikerjakan dengan teknik tradisional dan menggunakan bahan lokal yang mendekati bahan asli kapal masa silam, tidak ada satu pun paku dan besi digunakan dalam pembuatan kapal ini. Sebagai gantinya digunakan tali temali tradisional dari tumbuhan, yaitu serabut kelapa, serat nanas, serat henet dan ijuk. Sekitar Rp 250 juta dihabiskan untuk menyiapkan kapal ini.

Setelah melakukan perjalanan uji coba dan berbagai persiapan, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2003 Ekpedisi Borobudur resmi dilepas oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di FIS Water Sport Club Marina, Ancol Jakarta Utara. Kapal layer bercadik yang dinahkodai oleh Kapten Laut (P) I Gusti Putu Ngurah Sedana ini akan menapak tilas rute kayu manis (Cinnamon Route) dari Jakarta menuju Afrika, dengan melewati Seychelles, Madagaskar, Cape Town, dan berakhir di Accra, Ghana. Kapal yang tidak menggunakan mesin dan hanya digerakkan oleh layar ini tak menggunakan peralatan modern kecuali sejumlah peralatan navigasi seperti global positioning satelite (GPS), saluran telekomunikasi Inmarsat, Navtex, dan Ecosonar. Tak ada radar sama sekali sehingga ketajaman mata dan intuisi para pelaut terutama di malam hari amatlah berperan penting.

Ekspedisi ini dipimpin sendiri oleh Philip Deale dan melibatkan 10 anak buah kapal (ABK) dari warga negara Indonesia dan beberapa awak berkewarganegaraan asing. ABK asal Indonesia adalah, Mucoko, Niken Maharani, Sheirlyana Juanita, Bayu Siantoro, Oskar Susanto, Irvan Risnandar, Muhammad Habibie, Abdul Aziz, Anthony Hugiono, dan I Gusti Ngurah Agung.

Ekpedisi ini menempuh jarak 11 ribu mil dalam waktu 6 bulan sebelum akhirnya pada tanggal 23 Februari 2004, Kapal Borobudur berlabuh di pelabuhan Temaa di Accra, Ghana. Dengan demikian berakhirlah seluruh ekpedisi Borobudur yang juga membawa misi mempromosikan budaya Indonesia dan menggali budaya Indonesia yang mungkin ditinggalkan nenek moyang kita di tempat persinggahannya

Kisah Petualangan Ekspedisi Borobudur inilah yang dijadikan komik oleh Yusi Avianto Paraenom, M. Dwi Bondan Winarno, dan Dhian Prasetya. Yusi menggarap teks dan ceritanya, sedangkan gambarnya dikerjakan oleh Bondan W dan Dhian Prsetya.

Komik non fiksi ini bisa dikategorikan sebagai komik dokumenter, komik berdasarkan catatan perjalanan orang lain. Jika dilihat dari gambar-gambarnya, komik ini sangat mememesona. Gambar-gambarnya mengingatkan kita pada komik Herge (Tintin) atau Peter Van Dongen (Rampokan Jawa, Pustaka Primatama 2005). Gambar-gambarnya bersih dan sapuan warna-warnanya cerah dan indah. Untuk menyiapkan komik dengan gambar kelas satu dan tingkat presisi tinggi, kabarnya Yusi dan teman-temannya memotret tempat, benda-benda, dan tokoh yang terlibat dalam ekspedisi itu.

Ceritanya sendiri merupakan dokumentasi dari kisah-kisah perjalanan kapal Borobudur. Apa yang selama ini kita baca di media-media beberapa tahun yang lampau mengenai kisah-kisah suka duka yang diungkapkan oleh para peserta ekspedisi ini kini tersaji dalam teks dan gambar-gambar yang menawan. Tampaknya komik ini memang komik yang sengaja dibuat untuk mendokumentasikan salah satu peristiwa bersejarah dalam dunia pelayaran kita. Penulis tampaknya sangat setia pada fakta-fakta yang terjadi selama pelayaran. Karenannya tak banyak yang bisa diceritakan dalam komik ini, sehingga untuk menggambarkan keseluruhan kisah mulai dari munculnya ide, persiapan, suka duka selama perjalanan, hingga kedatangan kembali ekpedisi ini, komik ini hanya menyajikan 217 panel gambar dengan tebal 50 halaman saja.

Rieza Fitramuliawan, penggemar dan pemerhati komik yang aktif berdiskusi dalam milis-milis komik, ketika dimintai pendapatnya akan komik ini mengungkapkan bahwa komik ini dikemas dengan sangat bagus, hard cover, kualitas kertas yang baik, dan memiliki gambar-gambar dan warna yang bagus, mestinya harus menjadi standar baru bagi komik Indonesia, sedangkan ceritanya sendiri sangat datar, dan sarat akan pesan-pesan sponsor [ Hal yang bisa dimaklumi mengingat bahwa komik ini merupakan hasil kerjasama antara Penerbit Banana dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata] . Dialog dalam balon teks sangat kering dan formal, percakapan yang dimaksudkan untuk melucu - sama sekali tidak tersampaikan.
Menurut pendapat pribadinya, buku ini lebih cocok diklasifikasikan sebagai picture book yang bagus dibandingkan komik atau novel grafis. Baginya gambar-gambar dalam buku ini walau indah tapi tidak ‘hidup’. Ekspresi kurang tergarap. Menurutnya yang membuat buku ini menjadi komik adalah balon teksnya saja. Demikian ungkap Rieza.

Memang buku ini memiliki tampilan yang sangat bagus terlebih dalam komposisi warna-warninya yang indah. Sayang tampilan yang menawan ini diciderai oleh beberapa kesalahan pengetikan tanda baca, walau tak terlalu mengganggu namun mengurangi kenikmatan dalam membacanya. Selain itu Ada yang kurang dalam komik ini. Kalau memang dimaksudkan untuk mendokumentasikan sebuah peristiwa bersejarah, kenapa tak ada panel gambar atau teks yang mengungkap bahwa kebrangkatan ekspedisi ini ini dilepas oleh Presiden Megawati ? Padahal hal ini tentu saja merupakan salah satu bagian yang penting guna mengungkap bagaimana pemerintah begitu concern terhadap ekspedisi ini.

Kabarnya setelah menerbitkan buku ini, penerbit banana juga akan menerbitkan komik lain yang berjudul Pencurian Permata di Eendagsche Exprestreinnen. Komik berlatar sejarah yang memotret masa awal masuknya jalur kereta di Jawa. Di luar itu, ada dua lagi yang sudah menunggu. Komik tentang Jalan Raya Anyer-Panarukan dan kisah pembantaian orang-orang Tionghoa di masa pendudukan Belanda di Batavia. Semoga apa yang menjadi kekurangan-kekurangan seperti yang diungkap oleh Rieza diatas bisa diperbaiki di komik-komik berikutnya

Namun terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, ide untuk mengkomikkan ekspedisi bersejarah ini patut diacungi jempol. Tentunya tak semua orang mengetahui bahwa 4 tahun yang lampau sebuah ekspedisi ‘nekad’ berhasil melakukan napak tilas perjalanan yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita ratusan tahun yang lampau. Semoga dengan terbitnya komik ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang sadar bahwa bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut yang tangguh. Mereka mengarungi ribuan mil hingga ke Afrika untuk berdagang dengan kapal layar bercadik yang sederhana. Semoga hal ini bisa mengilhami kita semua untuk bersama-sama mengembalikan kejayaan bahari Indonesia

Jalesveva Jayamahe!. Di lautan justru kita jaya !

@h_tanzil
Read more »

Minggu, 05 Agustus 2007

Century

Century
Sarah Singleton
Poppy Damayanti Chusfani (Terj.)
GPU – 2007
248 Hal.

Mercy dan adiknya, Charity, tinggal di sebuah rumah bernama Century dalam musim dingin panjang yang sepertinya tidak akan pernah berakhir. Mereka tinggal bersama ayah mereka, Trajan Verga, dan dua orang pelayan – Aurelia dan Galatea yang masih terhitung kerabat mereka. Sedangkan ibu mereka, Thecla, sudah meninggal. Di sekitar rumah mereka, tidak ada rumah-rumah lain. Mereka benar-benar hidup sendiri.

Keluarga Verga menjalani ritme kehidupan yang aneh. Mereka menjalani hari-hari yang ‘terbalik’. Mereka bangun ketika matahari terbenam dan tidur menjelang fajar. Seperti layaknya anak-anak normal, Mercy dan Charity juga belajar di bawah pengawasan Galatea. Sementara Aurelia lebih banyak mengurus dapur. Mercy dan Charity juga berjalan-jalan di luar rumah, hanya saja semua itu dilakukan di malam hari.

Mercy memiliki kelebihan, yaitu bisa melihat hantu. Tapi, tidak satu pun hantu itu bisa membuatnya takut. Sampai di satu malam, Mercy berjalan-jalan ke kolam di dekat rumahnya. Di kolam yang membeku itu, ia melihat hantu wanita yang seolah ingin mengatakan sesuatu. Berbeda dengan biasanya, kali ini Mercy merasa ketakutan.

Sejak saat itu, di kepala Mercy timbul berbagai pertanyaan. Selain masalah hantu wanita di kolam es itu, Mercy menemukan sekuntum bunga snowdrop di bantalnya, bunga tanda musim semi tiba, sebuah musim yang sudah lama tidak pernah ia jumpai. Ditambah lagi dengan kemunculan laki-laki misterius bernama Claudius, yang mengatakan bahwa Mercy bisa bebas dan bisa melihat ibunya lagi. Mulailah Mercy bertanya-tanya kepada Trajan dan juga Galatea tentang ibunya. Karena ia merasa, ia tidak ingat kapan ibunya meninggal, bahkan kenangan tentang ibunya pun sudah memudar dari ingatannya. Tapi, Trajan dan Galatea bersikap tertutup, menghindar dari pertanyaan-pertanyaan Mercy.

Mercy semakin merasa banyak kejanggalan dalam rumah mereka. Sampai akhirnya, berkat ‘tuntunan’ hantu gadis kecil yang sering dilihatnya, Mercy menemukan sebuah pintu yang akan menuju kepada sebuah jawaban misteri rumah mereka. Ternyata ada labirin-labirin yang menyelubungi rumah mereka, dan Mercy harus mematahkan sebuah mantra untuk bisa membebaskan mereka semua. Mercy harus menulis ulang kisah hidup mereka, seperti yang sudah dilakukan Trajan.

Ada alasan kenapa Trajan menulis sebuah kisah yang membuat mereka ‘tersembunyi’ dari dunia luar. Keluarga Verga ini bisa dibilang kaya’ Highlander, mereka bisa hidup ‘abadi’, kecuali karena terbunuh. Atau.. bisa juga kaya’ vampire, minus darah, karena mereka hidup di malam hari. Karena alasan ‘berbeda’ dengan orang biasa-lah, Keluarga Verga pindah dari Italia – yang mereka sebut negara lama - ke Inggris. Dengan harapan tidak ada yang memperhatikan perbedaan mereka. Masalah sebenarnya berawal ketika Claudius jatuh cinta pada Marietta yang ‘orang biasa’.

Kalau dipikir-pikir, Claudius dan Trajan seperti seorang ‘psikopat’ yang gak mau kehilangan apa yang mereka miliki… terutama karena cinta sih… misalnya Claudius yang ingin mengambil ‘roh’ Marietta agar Marietta bisa hidup abadi, juga Trajan yang langsung ‘down’ karena kematian Thecla. Kesannya egois banget.

Waktu ngeliat cover-nya, gue jadi inget cerita ‘The Ghost Writer’. Agak membingungkan di awal, soalnya, kita gak tahu asal mula kenapa keluarga Verga selalu hidup di malam hari. Dan… seperti biasa… selalu gak comfort kalo baca cerita yang ada hantu-hantu melayang-layang… ehh.. pake ditambah hantu di dalam kolam itu. Hehehe… tapi.. tetap aja, pengen baca. Sempet pengen berhenti di tengah jalan.. tapi, penasaran juga sih…
Read more »

Jumat, 03 Agustus 2007

The Boy in the Striped Pyjamas

Judul Asli : The Boy in the Striped Pyjamas
Judul Terjemahan : Anak Lelaki Berpiama Garis-Garis
Penulis : John Boyne
Penerjemah : Rosemary Kesauli
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Juli, 2007
Tebal : 240 hlm ; 20 cm

Pembantaian orang-orang Yahudi oleh hitler dalam kurun waktu 1942-1945 adalah persitiwa genosida terbesar dalam sejarah umat manusia. Peristiwa ini menjadi lembaran hitam, bukan saja bagi warga Yahudi di Eropa melainkan bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Kamp Auschwitz yang terletak di bagian selatan Polandia adalah tempat dimana jutaan orang yahudi pernah diisolir, dijadikan esperimen biologis untuk kepentingan perang dan mati dalam kamar gas, kini masih tetap berdiri dan dijadikan museum sebagai saksi bisu atas peristiwa yang paling memilukan itu. Rudolf Hanz, komandan Kamp pernah bersaksi bahwa lebih dari 2,5 juta orang yahudi mati di Auschwitz.

Walau pahit untuk dikenang, namun peristiwa hitam itu terus menjadi inspirasi bagi para penulis untuk menuturkan kisah-kisah yang menggugah sisi kemanusiaan kita. Kisah yang paling terkenal ditulis oleh Anne Frank, gadis yahudi yang menuliskan peristiwa-peristiwa yang dialaminya sebelum diangkut kedalam kamp tahanan. Selain itu masih banyak kisah-kisah lain yang tertuang dalam berbagai kisah fiksi, memoar, dll dengan tema yang sama.

The Boy in the Stripped Pyjamas adalah salah satu novel yang mengambil setting waktu dimana orang-orang yahudi ditangkapi dan diisolir dalam kamp khusus di Austwitz. Kisahnya tentang seorang anak berusia sembilan tahun yang bernama Bruno. Bruno tinggal di Berlin bersama keluarganya, Gretel adalah kakak wanitanya yang berusia 14 tahun. Ibunya seorang wanta rumah tangga biasa, sedangkan ayahnya seorang komandan Nazi yang dekat dengan Hitler.

Suatu ketika keluarga Bruno mendapat kabar bahwa sang Furry (pelesetan dari Fuhrer/Hitler) dan istrinya, Eva Braunn akan berkunjung ke rumahnya untuk makan malam bersama. Rupanya kedatangan sang Furry selain untuk berkenalan dengan keluarga Bruno juga untuk menugaskan ayah Bruno untuk menjadi komandan di kamp Austwitz. Perintah Furry tentu saja tak bisa ditolak, dan merekapun segera bebenah untuk pindah ke tempat mengerikan itu.

Sesampai di Auschwitz (Bruno menyebutnya Out-With), Bruno merasakan suasana yang kontras dengan tempat tinggalnya di Berlin. Rumahnya sekarang memang memiliki pekarangan yang luas namun ia merasa kesepian dan karena tak memiliki teman yang bisa diajaknya bermain. Ketika baru saja tiba di Out-With, lewat jendela kamarnya dalam jarak sekitar 6 meter dari pekarangannya ia melihat sesuatu yang berbeda yang membuatnya merinding dan merasa tidak nyaman.

Bruno melihat sebuah pagar kawat besar selebar rumahnya, pagar itu memanjang di kedua sisinya hingga tak terlihat. Pagar yang disangga oleh tiang-tiang kayu besar itu lebih tinggi dari rumahnya. Di bagian atas pagar terdapat gulungan besar kawat berduri. Halaman dibalik pagar itu tak berumput, bahkan sama sekali tak ada tumbuhan. Tanahnya berpasir, ada pondok-pondok rendah serta bangunan berbentuk kotak yang saling berjejer.








Bruno juga melihat ada ratusan orang disana, tua muda, anak-anak, dan mereka memakai pakaian yang sama: sepasang piama kelabu bergaris-garis, dengan topi garis-garis di kepala mereka.

Satu-satunya cara untuk mencari tahu siapa orang-orang berpiama itu yaitu dengan menanyakan pada ayahnya. Namun jawaban yang diberikan ayahnya mengejutkannya

“Mereka sama sekali bukan orang, Bruno”…..”Tapi kau tidak perlu memikirkan soal mereka. Mereka tidak punya hubungan denganmu. Kau sama sekali tidak punya persamaan apapun dengan mereka…” (hal 64)

Bruno tak mendapat penjelasan lebih lanjut.. Alih-alih mendapat jawaban yang memuaskan hatinya ia malah disuruh membiasakan diri untuk tinggal di rumahnya yang baru. Bruno akhirnya harus membuat betah dirinya untuk tinggal di Out-With. Karena kesepian akhirnya Bruno melakukan petualangan dengan menyusuri pagar diseberang rumahnya. Ternyata pagar itu membentang hingga berkilo-kilo jauhnya. Tak seorangpun yang ia temui dibalik pagar hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang anak lelaki yang sepantaran dengannya dan mengenakan piyama kelabu bergaris-garis.

Anak lelaki itu bernama Shmuel, usianya 9 tahun, sama dengan Bruno, bahkan tanggal lahirnyapun sama. Bruno dan Shmuel akhirnya bersahabat. Setiap hari tanpa diketahui kedua orang tuanya Bruno bertemu dengan Smhuel dibalik pagar. Tak lupa Bruno membawakan sedikit makanan untuknya dan mengobrol banyak hal dengannya. Satu tahun berlalu sejak pertemuan pertamanya dengan Bruno. Sayangnya ketika persahabatan semakin erat, Bruno harus kembali ke Berlin. Namun sebelum ia meniggalkan Out-With, dalam benaknya telah tersmpan rencana besar untuk melakukan petualangan terakhir bersama Shmuel di balik pagar rumahnya.

Persahabatan antara Bruno dan Shmuel inilah yang menjadi inti dari novel karya penulis Irlandia, John Boyne (36 thn) . Dalam novel keempatnya yang diperuntukkan bagi anak-anak ini John menyuguhkan kisahnya dari sudut pandang Bruno yang berusia sembilan tahun. Persahabatan antara Bruno dan Shmuel mengajak pembacanya melihat paradoks kehidupan antara keduanya. Kehidupan normal keluarga Bruno diperhadapkan dengan kehidupan Shmuel yang pahit di sisi lainnya.

Bruno yang hidup secara normal tak dapat memahami apa yang sebenarnya dialami oleh Shmuel dan orang-orang dibalik pagar rumahnya. Mereka saling bercerita, membuka diri. Penderitaan yang dialami Shmuel membuat ia lebih dewasa dibanding Bruno. Sementara Bruno soorang anak yang polos dan kerap tidak mengerti ketika Shmuel menceritakan pahitnya perjalanan hidupnya mulai dari penangkapannya hingga sampai di Out-With. Bruno tak juga sadar bahwa pagar tinggi itu tak hanya memisahkan rumah mereka, melainkan memisahkan status mereka dimana Shmuel dan orang-orang dibalik pagar bukanlah manusia bebas. Hal ini tidak dimengerti oleh Bruno yang dengan kepolosannya mengajak Shmuel makan malam dirumahnya.

Walau novel ini mengambil setting kamp maut Auschwitz, namun tak ada deskripsi yang berlebihan mengenai penderitaan yang dialami oleh orang-orang Yahudi yang ditawan disana. Semua dideskripsikan melalui sudut pandang anak-anak. Namun justru disinilah keistimewaan novel ini. Cukup melalui tuturan seorang anak berusia sembilan tahun yang mengungkapkannya dengan bahasa yang sederhana dan polos inilah justru kemanusiaan kita terasa digedor-gedor untuk bangkit dan melawan ketidakadilan.

Perlahan tapi pasti, John Boyne membangun keharuan hingga sampai pada ending yang tak terduga dan membuat pembaca tenggelam dalam rasa haru dan marah pada-orang dewasa yang membuat kisah Bruno dan Shmuel harus berhenti di lembar terakhir buku ini.

Jody Setiawan dalam resensi buku ini di blognya (http://jodypojoh.blogdrive.com) mengungkap bahwa “..dalam buku ini, tidak ada penjelasan yang memadai untuk latar belakang cerita. Kemungkinan, pembaca anak-anak akan bingung dengan latar belakang historis yang digunakan”

Memang betul! Novel ini tak memiliki penjelasan sejarah yang memadai, padahal John Boyne menulis novel ini untuk pembaca anak-anak. Mungkinkah anak-anak dapat memahami novel ini? Mungkin Boyne menulis novelnya ini dengan asumsi anak-anak di Eropa telah memiliki kesadaran sejarah yang tinggi sehingga ia merasa tak perlu memasukkan lagi penjelasan mengenai latar sejarah pembantaian orang-orang Yahudi.

Bagaiamana dengan anak-anak Indonesia yang belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai latar balakang sejarah dalam novel ini ? Bukan tak mungkin mereka akan sama bingungnya dengan Bruno ketika melihat pemandangan dibalik pagar dan mendengar kisah Shmuel tentang perjalanan hidupnya yang kelam. Mungkin ini salah satu alasan mengapa Gramedia memberi label novel ini sebagai ‘novel dewasa’ padahal John Boyne membuat novel ini untuk pembaca anak-anak.

Namun bukan berarti novel ini tak dapat dibaca oleh anak-anak/remaja di Indonesia. Biarkan anak-anak membaca novel ini dan mencoba memahaminya lewat kacamatanya seperti Bruno mencoba memahami cerita Shmuel. Jika mereka bingung maka tugas kitalah sebagai orang tua untuk menjelaskan dengan bahasa yang sederhana mengenai fakta sejarah yang melatarbelakangi novel ini. Novel ini bisa digunakan sebagai pembuka jalan bagi para orang tua untuk menjelaskan tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di muka bumi ini. Sehigga sedari dini anak-anak/remaja disadarkan bahwa perang dan pengkotak-kotakkan manusia berdasarkan ras membawa dampak yang sangat buruk bagi ras yang dianggap paling hina.

Selain itu melalui novel ini anak-anak/remaja akan mendapat pelajaran bahwa sebenarnya ada ‘pagar’ yang seolah menghalangi persahabatan kita dengan orang lain. Mungkin itu pagar kekayaan, status sosial, jabatan, dll. Namun seperti Bruno dan Shmuel, mereka tak melihat pagar itu sebagai penghalang persahabatan mereka. Malahan Bruno berani menembus pagar itu untuk membantu kawannya. Sanggupkah kita melintasi ‘pagar’ dan mencoba memahami apa yang ada dibalik pagar itu walau dunia dibalik pagar itu sangat berbeda dengan kehidupan kita ?

Beberapa penghargaan

The Boys In The Stiped Pyjamas adalah karya John Boyne (36 thn) , penulis kelahiran Dublin, Irlandia. Novel ini merupakan karya keempatnya setelah The Thief of Time (2000), The Congress of Rough Riders (2001), dan Crippen (2004). Novel The Boys In The Stiped Pyjamas terbit pada tahun 2006. Novel ini masuk dalam New York Time Best Seller selama 57 minggu, dan menjadi no 1 di Irlandia, Australia, masuk dalam jajaran Top ten besseller di Inggris dan di negara-negara Eropa lainnya.

Sedangkan penghargaan yang pernah diraih oleh novel ini al :






CBI Awards untuk The Boys in the Stripped Pyjamas
yang diberikan pada tgl 14 Mei 2007 di No.6 Kildare Street, Dublin







AWARDS:
2007: Irish Book Award: People's Choice Award Book of the Year
2007: Irish Book Award: Children's Book of the Year
2007: CBI Bisto Children's Book of the Year
1995: Curtis Brown Prize

SHORTLISTED AWARDS:

2007: Holland: Flemish Young Readers Award
2007: Ireland: Irish Book Award: Novel of the Year
2007: Belgium: Prix Farmiente
2007: UK: British Book Award: Children's Book of the Year
2007: UK: Lancashire Book Award: Novel of the Year
2007: UK: Sheffield Book Award: Novel of the Year
2007: UK: Berkshire Book Award: Novel of the Year
2006: USA: Borders Original Voices Award
2006: Italy: Paolo Ungari Award
2006: UK: Ottakar's Children's Book Prize

LONGLISTED AWARDS:
2007: Carnegie Medal

Hingga kini novel The Boys In The Stiped Pyjamas telah diterjemahkan kedalam 32 bahasa antara lain Belanda, Perancis, Ibrani, China, Turki, Rusia, Korea, Indonesia, dll)


















(Ket foto : Edisi Catalan, Israel, Belanda)


Novel ini juga telah diadaptasi menjadi skenario film oleh Mark Herman. Tahap pengambilan gambar di Budapest telah dilaksanakan dari April hingga Juni 2007. Rencanaya Film yang diperankan oleh David Thewlis, Vera Farmiga, Asa Butterfield, dan Amber Beattie ini akan dirilis pada bulan Februari 2008.

@h_tanzil
Read more »

Rabu, 01 Agustus 2007

Glonggong

Glonggong
Junaedi Setiyono
Penerbit Serambi – Cet. 1, Juli 2007
293 Hal.

Glonggong, adalah sebuah permainan daerah, permainan perang-perangan dengan menggunakan pedang glonggong – pedang dari tangkai daun pepaya - sebagai senjata.

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang anak keturunan priyayi di Jawa yang kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Glonggong’. Glonggong tidak mengenal siapa ayah kandungnya, ia hanya tahu sosok ibunya yang lebih sering mengurung diri di kamar. Ayah tirinya pun lebih banyak berada di luar rumah dan jarang pulang.

Meskipun anak seorang Raden, Glonggong lebih banyak bermain dengan anak-anak kampung untuk bermain glonggong. Awalnya ia hanya duduk memperhatikan anak-anak lain bermain, tapi, semakin ia besar, ia mulai diperbolehkan ikut bermain glonggong. Makin lama, Glonggong dikenal sebagai ‘petarung’ yang tangkas, tidak ada lagi yang memanggil nama aslinya, kecuali dua orang pembantu di rumahnya. Ia semakin dikenal dengan nama ‘Glonggong’, nama yang akan menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.

Dari permainan glonggong itu, ia menemukan kawan dan juga lawan. Tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga dua orang anak Belanda yang kemudian memberikannya sebuah glonggong istimewa dan buku ‘Gulliver’s Travel’.

Di usia 17 tahun, Glonggong harus kehilangan ibunya. Rumahnya terbakar. Glonggong hidup sebatang kara. Ia diajak bekerja sebagai ‘centeng’ di rumah seorang bangsawan Jawa. Ketika itu, masa perang Pangeran Dipanegara. Banyak bangsawan Jawa yang lebih memilih untuk tunduk kepada pemerintah Belanda dibanding memberontak. Glonggong merasa beruntung bisa bekerja pada seseorang yang ternyata berpihak pada Pangeran Dipanegara.

Sambil bekerja, Glonggong terus mencari tahu keberadaan ayahnya dan juga keluarganya yang lain. Tapi, ternyata, Glonggong sering dikhianati oleh orang yang ia percaya. Berkali-kali Glonggong harus berhadapan dengan lawan yang selama ini ia tahu adalah temannya.

Ada kebanggaan tersediri ketika akhirnya Glonggong mendapat kesempatan untuk ikut membantu membawa barang berharga milik Pangeran Dipanegara. Di tengah jalan, ada komplotan perampok yang mencegatnya, dan mencuri barang berharga itu. Meskipun sudah melawan, tapi tetap Glonggong harus mengalami luka parah.

Glonggong termasuk orang yang pantang menyerah. Demi tugasnya, ia bertekad mencari tahu di mana barang berharga itu ada dan mengembalikan pada pemilik sahnya.

Dalam perjalanannya, glonggong-lah yang selalu setia menemani Glonggong. Ia tidak mau membawa senjata tajam, pistol atau apa pun selain glonggong.

Cerita di buku ini berlatar belakang Perang Pangeran Dipanegara (Diponegoro). Gue jadi inget film ‘November 1828’. Biarpun pusat ceritanya hanya pada satu orang, tapi, gak bikin buku ini jadi membosankan... malah, ternyata.. asyik banget… biasanya, gue termasuk yang lama kalo baca buku ‘serius’ begini, tapi… hmmm… lumayan.. gak sampe satu minggu udah selesai.

Setiap pergantian bab, ditulis dalam bahasa Jawa. Sempet bikin kening berkerut juga karena gak ngerti apa artinya, bolak-balik ke halaman paling belakang, ternyata ada Glosari-nya.

Read more »