Jumat, 29 Juli 2011

Cocktail for Three

Cocktail for Three (Klub Koktail)
Sophie Kinsella as Madeleine Wickham
Nurkinanti Laraskusuma (Terj.)
GPU – Juni 2011
440 hal.

Roxanne, Maggie dan Candice, 3 sahabat yang bekerja di sebuah media di London. Tanggal 1 setiap bulannya mereka bertemu di sebuah bar, bernama Manhattan Bar. Yah, untuk sekedar refreshing. Meskipun bekerja di kantor yang sama, tidak berarti tiap hari mereka bertemu.

Roxanne, adalah penulis lepas. Gadis yang penuh percaya diri dan memiliki menjalin hubungan dengan pria yang sudah berkeluarga. Tapi, tak satu pun dari sahabatnya itu tahu siapa pria itu. Ia hanya sesekali datang ke kantor. Tugasnya jalan-jalan ke luar negeri, meliput tempat-tempat penginapan baru. Maggie, si pemimpin redaksi, satu-satunya yang sudah menikah, ambisius dan sedang stress menghadapi peran baru sebagai ibu. Candice, penulis, yang sangat lugu, baik hati dan jujur. Mudah dimanfaatkan orang karena kebaikan hatinya.

Semua berjalan dengan lancer, dan.. asyik-asyik aja gitu. Tapi, ketika di satu pertemuan rutin mereka, pertemuan terakhir sebelum Maggie cuti melahirkan, ada salah satu pramusaji yang membuat Candice tertarik, yang ternyata adalah teman sekolahnya dulu, namanya Heather.

Pertemuan itu membuka luka lama Candice, rasa bersalah terhadap keluarga Heather. Maka, si peri baik hati ini berniat untuk membalas apa yang sudah terjadi, mencoba menghapus kesalahan masa lalu yang disebabkan ayah Candice. Ia membantu Heather mendapatkan pekerjaan di Londoner dan mengajaknya tinggal bersama. Baik Roxanne dan Maggie menyayangkan sikap Candice yang terlau baik.

Lain lagi Roxanne, ia masih harus berurusan dengan pacar gelapnya yang tiba-tiba saja berubah. Lalu Maggie yang sempat mengalami baby blues.

Meskipun sama-sama berkisah tentang perempuan-perempuan di London, usia 30 tahunan ke atas, tapi karakternya beda dengan novel yang memakai nama Sophie Kinsella. Seperti Becky Bloomwood, Tokoh-tokohnya terkesan ‘konyol’. Ceritanya juga lebih ceria.

Kalo di buku ini, tokohnya lebih dewasa, permasalahan juga lebih serius. Yahhh.. ending-nya sih ketebak. Tapi, gak mengurangi rasa tertarik gue sama buku ini.

Mungkin karena gue ‘kecewa’ dengan seri terakhir Shopaholic, gue jadi lebih suka buku ini dan rasa-rasanya jadi pengen baca buku Sophie Kinsella as Madeleine Wickham yang lain. Kadang, abis baca yang ‘berat’, enak juga baca buku-buku kaya’ begini.
Read more »

Kamis, 28 Juli 2011

The Day of the Jackal

The Day of the Jackal
Frederick Forsyth @ 1971
Ranina B. Kunto (Terj.)
Penerbit Serambi – Cet. 1, Juni 2011
609 hal.

Sekelompok orang yang tergabung dalam OAS (Organisation L’Armée Secréte) ‘memutuskan’ bahwa Presiden Perancis, Charles de Gaulle, harus mati. Mereka beranggapan de Gaulle sudah berkhianat dan melenceng dari apa yang sudah diperjuangkan oleh para veteran.

Beberapa usaha pembunuhan gagal, para perencana, penggagas dan pelaksana pembunuhan itu sudah dieksekusi. Pentolan-pentolan yang masih berkeliaran beberapa ditangkap. Itu semua membuat orang-orang di OAS berhati-hati dan memilih bersembunyi disbanding berkeliaran di jalan-jalan di Perancis atau di kota mana pun.

Tapi, masih ada beberapa orang yang tetap ingin de Gaulle mati. Orang yang fanatik, seperti Rodin. Selama ini, anggota OAS sudah gagal membunuh de Gaulle, ada kebocoran di dalam organisasi mereka. Entah karena ada pengkhianat atau OAS sudah disusupi oleh mata-mata pemerintah. Oleh karena itu, ia berpikir, misi ini akan berhasil jika mereka merekrut orang luar – bukan warga negara Perancis dan bekerja secara professional alias seorang pembunuh bayaran.

Akhirnya terpilihlah seorang warga negara Inggris, dengan track record yang minim. Tapi catatan yang minim inilah yang dicari, sehingga jejaknya tak mudah tercium. Nama sandi-nya Jakal. Dengan bayaran yang menggiurkan, akhirnya tercapailah kesepakatan. Sang Jakal diberi kebebasan untuk memutuskan kapan waktu eksekusi yang tepat dan dengan cara apa.

Jakal pun memulai rangkaian operasinya. Ia bekerja sendiri, mempersiapkan semuanya dengan rinci dan teliti. Mulai dari pemesanan senjata, pembuatan identitas palsu, mencari tempat dan saat yang tepat untuk pelaksanaan pembunuhan itu.

Ia bebas berkeliaran dengan identitas palsu tanpa tercium oleh pihak kepolisian. Sampai akhirnya, pihak kepolisian mulai curiga karena ada 3 orang pentolan OAS yang bersembunyi di sebuah hotel di Roma tanpa melakukan apapun. Dengan tipu daya, akhirnya mereka berhasil menangkap dan memperoleh informasi dari bodyguard yang selalu menjaga Rodin bernama Kowalski. Kowalski ini berbadan besar, tidak banyak omong, tapi ternyata punya hati yang ‘lembut’. Dari sinilah operasi yang dilakukan Jakal mulai tercium dan membuat pihak kepolisian kalang kabut. Sementar de Gaulle sendiri enggan membesar-besarkan berita kalau keselamatannya tengah terancam.

Ditugaskanlah seorang detektif bernama Lebel untuk menyelidiki dan menangkap Jakal. Tapi dengan minimnya informasi, tekanan yang bertubi-tubi dari para atasan, penyelidikan ini berjalan dengan sangat lamban. Ditambah lagi, tampaknya pergerakan Jakal selalu selangkah lebih maju. Jakal selalu bergerak lebih cepat tepat ketika Lebel berhasil memperoleh informasi tentang keberadaan Jakal. Sebuah ‘kecerobohan’ yang disebabkan oleh pihak dalam yang dekat dengan presiden dan tak ingin dikalahkan oleh seorang detektif.

Cukup lama buat gue untuk mendapatkan ‘klik’ atau ‘feel’ dengan novel ini. Memang, harus gue akui, novel ini keren. Semua ditulis dengan begitu detail dan sistematis. Gak heran sih, kalo ternyata novel ini jadi ‘inspirasi’ atau ‘manual book’ beberapa orang untuk melakukan tindak kejahatan, seperti pembunuhan atau pemalsuan passport

Bukan novel yang membuat adrenalin gue terpacu untuk baca terus dan terus. Menjelang akhir bagian pertama, baru gue mulai bisa pelan-pelan menikmati isi novel ini. Bagian-bagian yang gue suka adalah bagiannya si Jakal. Setiap dia lagi mempersiapkan segala sesuatunya, bekerja sendiri. Misterius. Gue jadi terbayang sama Daniel Craig – si James Bond.

Eksekusi akhir novel ini berlangsung cepat. Berbeda detail yang begitu panjang di bagian awalnya. Mulai deh keliatan seperti ‘adegan’ film. Detektif yang bolak-balik kalah cepet dengan si penjahat.

Salah satu yang membuat gue betah adalah pemilihan kertas dan font-nya yang ‘bersahabat’ dengan mata. Tapi, kenapa banyak bahasa Perancis yang gak diterjemahin? Dan gue sempat berpikir, kenapa juga Jackal itu harus diterjemahin jadi Jakal, kenapa gak tetap dengan tulisan aslinya?
Read more »

The Day of the Jackal

Judul               : The Day of the Jackal
Penulis            : Frederick Forsyth
Penerjemah    : Ranina B.Kunto
Penyunting      : Adi Toha
Pemeriksa Aksara     : Dian Pranasari
Pewajah isi      : Dinar R. Nugraha
Tebal               : 609 halaman
Cetakan          : 1, Juni 2011
Penerbit          : Serambi Ilmu Semesta





Bagian satu: Anatomi Sebuah Perencanaan


Perburuan dimulai, perencanaan disiapkan, transaksi besar diatur, perbincangan dan intrik politik rahasia diadakan, dan seorang kepala negara pun terancam. Perhatian, ini hanya fiksi, namun beberapa bagian di dalamnya adalah fakta, termasuk kisah kehidupan presiden Perancis paling termasyhur, Charles de Gaule dan organisasi teroris OAS (Organisation L’Armee Secrete). Semua diawali oleh kebencian, yang menjurus pada tuduhan pengkhianatan. OAS adalah para mantan loyalis Perancis yang berjibaku di IndoChina dan ALjazair. Demi negaranya, mereka rela mengorbankan hidupnya agar Perancis bisa berjaya di Asia maupun Afrika. Namun, semuanya berbalik ketika Charles de Gaule mendukung kemerdekaan Aljazair dari Perancis. OAS merasa telah terkhianati, Dan mereka marah, sedemikian marah hingga memutuskan untuk menghabisi Charles de Gaule atas nama Perancis versi mereka.

            Seorang pembunuh dipilih, ia adalah anonim bagi kepolisian Perancis maupun OAS sendiri. Sang pembunuh adalah tukang tembak jitu, berbadan tegap, berpikiran analitis, dan luar biasa berbahaya. Nama sandinya adalah Jackal atau Jakal. Dialah yang terpilih oleh OAS untuk menghabisi presiden Perancis. Dan, ibarat anak panah, sekali terlepas maka tidak ada jalan untuk mundur. Sang Jakal menyetujui perintah itu dengan bayaran tinggi, dan ia tidak bisa dihentikan. Tidak ada data tentang dirinya. Orang hanya mengenalinya sebagai orang yang tinggi dan pirang. Si Jakal benar-benar membuat polisi—sebagaimana kata  Lebel—“meraba-raba dalam gelap!”

            Perencanaan pun dibuat, dan pembaca dipaksa untuk sedikit bersabar menghabiskan lembar demi lembar bagian pertama ini. Bagaimana tidak, sesabar di Jakal, penulis menguraikan seluruh perencanaan eksekusi rencana pembunuhan itu dengan begitu detailnya. Mulai dari pembuatan dan pemilihan senapan, pembuatan paspor dan kartu identitas palsu, jati diri sosok yang dipalsukan, sampai pemilihan sudut tembakan dan cat warna rambut serta bola mata diuraikan dengan begitu detail. Sungguh luar biasa karena pasti dibutuhkan ketelitian tingkat tinggi bak  seolah detektif untuk menulis novel sedetail ini. Perhatikan detailnya!


Bagian Dua: Anatomi Perburuan Manusia
            Serapi-rapinya rencana, upaya pembunuhan terhadap presiden Gaule pun tercium polisi Perancis. Mereka melakukan segala daya upaya yang memungkinkan demi menemukan sang Jakal. Di bawah komando deputi komisioner Claude Lebel. Tampaknya, Jakal telah menemukan lawan seimbangnya. Lebel dengan pengalamannya mampu menguraikan benang kusut yang menyelubungi si pembunuh bayaran ini. Walau semuanya masih serba meraba-raba dalam gelap, namun secarik petunjuk muncul. Dan lewat komando Lebellah maka perburuan terhadap Jakal diitensifkan. Dari sini, alur kejar mengejar mulai memanas. Pembacaan memasuki bagian aksi, dan sekali lagi, detailnya membuat pembaca geleng-geleng. Pembaca seolah diajak untuk mengikuti bagaimana Lebel dan Jakal saling kejar mengejar dan kucing-kucingan. Semuanya diuraikan dengan begitu wajar, metodis, dan sangat terencana.
           
            Di bagian dua inilah, alur dan latar belakang cerita mulai menyatu. Pembaca mulai mengerti apa dan siapa si Jakal, bagaimana latar belakang di Lebel, dan betapa rumitnya situasi dan kondisi yang dihadapi oleh para politikus Perancis. Seolah-olah penulisnya turut menghadiri rapat rutin yang dilakukan oleh para petinggi kepolisian Perancis. Perlahan tapi pasti, sang pemburu mulai diburu. Perhatikan detailnya!


Bagian Tiga : Anatomi  Pembunuhan
            Adegan pengejaran, pengengeledahan, pencegatan, hingga pemeriksaan kartu identisa mewarnai bagian akhir dari novel ini. Simak pula tips dan langkah cerdik yang digunakan sang Jakal untuk menghindar dari polisi, bagaimana ia menyembunyikan senjata, dan teknik apa saja yang ia keluarkan. Di sini, akhirnya tembakan dilepaskan dan Gaule? Yah, Anda harus membaca novel tebal ini sendiri untuk mencari jawabannya. Bagaimana nasib sang Jakal? Dan, yang lebih utama, siapakah si Jakal itu sebenarnya. Perhatikan detailnya!


Bagian Empat: Anatomi Review (Maksa :p)
Sekali lagi, perhatikan detailnya, dan Anda akan terpukau ada novel semendetail ini. Membacanya laksana mengamati detail-detail dari sebuah film aksi. Deskripsinya yang sangat vivid, alur kronologisnya yang luar biasa runtut tapi terarah, pemilihan karakter yang begitu utuh, dan latar-belakang historisnya yang serba-cocok; kita ibarat memutar sebuah sinematografi tentang upaya pembunuhan presiden Perancis di tahun 1963. Detail ini mungkin didapatkan oleh Forsyth karena ia pernah bekerja sebagai wartawan Reuters di Perancis. Perhatikan, wartawan! Pantas deskripsi tempat, waktu dan latar sejarah yang ditampilkan begitu memukau.

Begitu memukau dan mendetailnya novel ini, sejumlah peristiwa besar dunia turut diinspirasi olehnya. Pembunuhan presiden Israel, Yitzak Rabin pada tahun 1995, konon diilhami oleh novel ini mengingat si pembunuh menganggapnya sebagai semacam “buku manual”. Bahkan, metode pembuatan paspor dan kartu identitas palsu dalam novel ini pernah ditiru dan diujicobakan … dan berhasil. Sungguh, The Day of the Jackal amat sangat pantas dimasukkan dalam 100 novel kriminal terbaik sepanjang masa.

Detailnya yang mengagumkan—terutama—merupakan kelebihan paling utama  dari buku ini. Penerjemahannya juga luar biasa, membacanya jadi  tiak terasa janggal walaupun buku ini begitu kental dengan berbagai jargon-jargon Eropa Barat. Konteks dan ketegangan yang disampaikan pun mampu terbangun dengan baik. Hanya saja, membaca novel yang termasuk tebal ini memang memaksa kita untuk lebih bersabar—terutama pada bagian-bagian awal. Namun, hujan detail itu akan terbayar dengan eksekusi yang mantap di setengah bagian akhir. Benar-benar memukau.




Read more »

The Day of The Jackal - Frederick Forsyth (Lomba Resensi Buku Serambi 2011)

[No. 264]
Judul : The Day of the Jackal
Penulis : Frederick Forsyth
Penerjemah : Ranina B. Kunto
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Juni 2011
Tebal : 609 hlm

Tentunya kita masih ingat sekitar dua tahun yang lalu Presiden SBY dalam sebuah konferensi pers mengatakan bahwa foto dirinya dijadikan sasaran tembak oleh para teroris yang sedang berlatih. Sebenarnya ini bukanlah hal yang aneh karena para pemimpin negara di berbagai belahan dunia ini seringkali menjadi target utama pembunuhan dari para lawan politiknya.

Presiden Soekarno sendiri selama masa pemerintahannya telah tujuh kali mengalami percobaan pembunuhan, begitu juga dengan pemimpin-pemimpin negara lainnya, rekor terbanyak hingga kini dipegang oleh pemimpin Cuba, Fidel Castro dengan 638 kali usaha percobaan pembunuhan terhadapnya.

Dari sekian banyak pemimpin dunia yang mendapat ancaman pembunuhan, Charles de Gaulle, (Presiden Perancis 1958-1969) adalah salah satu Presiden yang berkali-kali lolos dari upaya pembunuhan terhdap dirinya. Yang paling terkenal adalah yang terjadi pada tgl 22 Agustus 1962 dimana ia dan istrinya ditembak ketika sedang mengendarai mobil. Rencana pembunuhan ini dikomandoi oleh Kolonel Jean-Marie-Thiry, anggota militer Prancis sekaligus pemimpin OAS (Organisation L’armee Secrete), organisasi tentara rahasia yang berniat bertujuan menjatuhkan de Gaulle karena mereka berpendapat sang Presiden telah menghianati negaranya dengan memberi kemerdekaan kepada Aljazair yang semula merupakan tanah jajahan Prancis.

Rencana tersebut gagal, walau terdapat 14 lubang tembakan di mobilnya, Charles de Gaulle dan istrinya selamat dan Kolonel Thiry diganjar hukuman mati oleh pengadilan miltier Prancis pada tahun 1963. Persitiwa inilah yang kemudian mengilhami novelis Inggris Frederick Forsyth untuk menulis novel The Day of The Jackal (1971)

Dalam novelnya ini Forsyth mengawali kisahnya saat menjelang dilaksanakannya hukuman mati bagi Kolonel Jean-Marie-Thiry. Kemudian kisah bergerak mundur sejenak ke peristiwa percobaan pembunuhan de Gaulle yang dikomandoi oleh Kolonel Thiry. Paska percobaan pembunuhan yang gagal inilah yang oleh Forsyth dijadikan pijakan awal dalam mengembangkan imajinasinya.

Kematian Kolonel Thiry selaku pimpinan OAS tak membuat putus asa anggota-anggotanya. Belajar dari kegagalan-kegagalan sebelumnya, Kolonel Rodin, salah satu petinggi OAS membuat sebuah rencana rahasia untuk mencoba kembali membunuh Presiden de Gaulle melalui jasa seorang pembunuh profesional. Untuk mencegah bocornya rencana ini maka hanya tiga petinggi OAS dan sang pembunuh bayaran yang mengetahuinya.

Seluruh rencana pembunuhan diserahkan pada si pembunuh bayaran dari Inggris dengan nama sandi “Jackal”. OAS hanya menyediakan bayaran yang diminta oleh si jackal yaitu 500 ribu dolar ( Rp. 4,5 Milyar), jumlah yang fantastis di tahun 60an. Setelah menerima uang muka dari OAS, mulailah sang Jackal melakukan berbagai persiapan mulai dari memesan senjata khusus dengan peluru berhulu ledak yang jika mengenai kepala akan menghancurkan segalanya di dalam tulang tengkorak, membuat 4 buah paspor palsu, hingga mempersiapkan perlengkapan penyamaran secara matang.

Berkat kejelian kepolisian Prancis, rencana pembunuhan terhadap Presiden de Gaulle kembali tercium, hanya saja kali ini mereka dibuat hampir mati kutu karena yang mereka ketahui hanyalah ciri-ciri fisik si pembunuh yaitu pria Inggris jangkung dengan rambut pirang, selain itu tak ada satu arsip dan data yang dimiliki pihak keamanan Prancis mengenai nama pembunuh, kapan, dimana, dan bagaimana si pembunuh professional ini akan beraksi.

Dengan nyawa Presiden sebagai taruhannya, pihak kepolisian Prancis yang dipimpin oleh Claude Lebel, detektif terbaik Prancis dan dibantu oleh kepolisian dari lima negara Eropa plus Amerika dan Afrika bertarung dengan waktu dan kecerdasan si Jackal dalam melaksanakannya tugas yang diembannya.

Kaya akan detail

Yang membuat novel ini menarik adalah bagaimana Forsyth menghadirkan detail-detail fakta dan peristiwanya. Hal ini bisa jadi keunggulan sekaligus kelemahan dimata pembacanya. Bagi yang menyukai kisah dengan plot cepat hal ini bisa jadi membosankan, terlebih jika pembaca tidak begitu menguasai materi yang dipaparkan si penulis.

Contohnya adalah soal senjata rakitan yang dipakai oleh si Jackal. Di sini penulis memaparkan secara detail mulai dari ukuran, jenis logam, alat picu, dsb yang tentunya membuat pembaca yang awam akan senjata jadi bosan, namun bagi mereka yang akrab dengan senjata mungkin hal ini merupakan bagian yang menarik.

Selain soal senjata, detail-detail soal pencurian paspor, pembuatan SIM Internasional dan paspor palsu, penyamaran si jackal, bagaimana ia mengelabui petugas keamanan dan imigrasi , cara kerja seorang detektif dalam merangkai data, dan sebagainya juga dibeberkan dalam novel ini. Selain itu penulis juga memaparkan latar belakang politik Prancis di masa pemerintahan Charles de Gaulle yang tentunya akan menambah wawasan pembacanya dalam hal situasi politik Prancis di tahun 60-an.

Kesemua itu diramu oleh Forsyth menjadi sebuah kisah triller yang menarik, walau di awal-awal agak terasa membosankan karena detail-detail diatas namun di bag-bab terakhir pembaca akan dibawa pada puncak ketegangan ketika Sang Presiden telah berada dalam bidikan senjata sang Jackal.

Di novel ini juga dikisahkan bagaimana Union Corse sebuah sindikat kejahatan yang terorganisir di Prancis yang lebih tua dan berbahaya daripada Mafia Sisilia turut membantu kepolisian Prancis untuk memburu sang Jackal. Sayangnya Forsyth kurang mengeksplorasi keterlibatan Union Corse, kalau saja peran organisasi rahasia ini diberi porsi yang lebih besar novel ini pasti akan lebih menarik lagi.

Novel yang berbahaya

Saking detailnya penulis memberikan gambaran bagaima sang Jackal mempersiapkan dirinya untuk melaksanakan perkerjaan profersionalnya, buku ini ternyata memberikan dampak yang mungkin tidak terduga oleh Forsyth sebelumnya.

Metode untuk mendapatkan paspor palsu yang secara diteil dijelaskan dalam buku ini berhasil ditiru oleh banyak orang. Metode yang akhirnya dikenal dengan istilah “Day of the Jackal Fraud” ini kemudian dianggap sebagai celah keamanan paling rentan di Inggris sehingga pemerintah Inggris akhirnya melakukan perubahan besar-besaran dalam birokrasi pengurusan dokumen.

Usaha sang Jackal untuk membunuh presiden Prancis juga mengilhami Yigal Amir, seorang militan ekstrem kanan untuk membunuh PM Israel Yithzak Rabin pada 1955. Vladimir Arutnunian yang pada tahun 2005 berencana membunuh Presiden AS George W. Bush mengaku terobsesi untuk melakukan apa yang dilakukan oleh Jackal.

Dari fakta-fakta diatas rasanya tak berlebihan kalau novel ini saya anggap sebagai novel yang memikat sekaligus berbahaya!

Sejarah Penerbitan dan Adaptasi film


The Day of The Jackal karya Frederick Forsyth ini pertama kali diterbitkan di Inggris pada 1971 oleh penerbit Huthcinson dan langsung menjadi best seller. Di tahun 1972 novel ini meraih penghargaan novel terbaik Edgar Allan Poe. Pada tahun 1990 Crime Writers' Association (Asosiasi Penulis Misteri Inggris) memasukkan The Day of The Jackal sebagai 100 Novel Kriminal terbaik sepanjang masa. 5 tahun kemudian novel ini juga masuk dalam daftar “100 Novel Misteri Terbaik Sepanjang Masa” yang dibuat oleh Mystery Writers of America (Asosiasi Penulis Kisah Misteri Amerika)

Di Indonesia sendiri novel ini setidaknya telah 2 kali diterjemahkan, di tahun 1977 The Day of The Jackal l pernah diterbitkan oleh Gramedia setelah sebelumnya muncul sebagai sebagai cerita bersambung di Koran KOMPAS. Pada thun 2004 novel ini juga diterbitkan dalam dua jilid oleh penerbit Alice Saputra Comunication dengan judul Beraksinya Sang Jakal









Edisi terjemahan terbitan thn 2004
Penerbit : Alice Saputra Communication Co. (?)











Sedangkan untuk adaptasi film, novel ini pertama kali diadaptasi ke layar lebar oleh Universal Picture pada tahun 1973 dengan Edward Fox sebagai sang Jackal. Kabarnya plot filmnya ini sangat setia pada bukunya, sesuatu yang sangat jarang terjadi pada film-film yang diadaptasi dari sebuah novel.

Pada tahun 1997 film ini dibuat remake-nya dengan perubahan plot dan kondisi era tahun 90an dengan Bruce Willis sebagai sang Jackal didampingi Richard Gere dan Sidney Poiter.

Tentang Penulis

Frederick Forsyth (73 thn) adalah penulis asal Inggris, sebelum menjadi penulis ia pernah bertugas sebagai pilot AU Inggris, dan sebagai jurnalis di Reuters dan BBC, ia juga pernah menjadi koresponden liputan [perang sipil di Nigeria.

Pada tahun 1969 ia memulai kariernya sebagai penulis buku dengan terbitnya sebuah karya non fiksi berjudul The Biafra Story (1969) . Namanya baru dikenal publik setelah ia menerbitkan novel The Day of The Jackal (1971). Selanjutnya Novel-novelnya yang bercerita seputar peperangan, intrik, politik, dan spionase lintas Negara selalu menjadi bestseller yang memukau para pembacannya di seluruh dunia. Hampir semua karya-karyanya seperti The Day of the Jackal, The Odessa File, The Dogs of War telah difilmkan dengan bintang-bintang andalan dan sukses di mana-mana.

Frederick Forsyth kini tinggal di Hertfortshire, Inggris dengan istri dan dua anak laki-lakinya, dan masih aktif menulis. Novel ke-13 yang merupakan karya terbarunya adalah The Cobra (2010) yang bercerita tentang perdagangan kokain internasional yang berpusat di Kolombia
Read more »

Selasa, 26 Juli 2011

Hold Me Closer, Necromancer

Judul                : Hold Me Closer, Necromancer
Penulis              : Lish McBride
Penerjemah      : Berliani M.Nugrahani
Penyunting        : Pujia Pernami
Pewajah isi       : Aniza Pujiati
Tebal                : 445
Cetakan           : I, Juni 2011
Penerbit            : Atria




            Sam atau Sammy atau Samhain Corvus LaCroix hanyalah seorang jebolan kuliah yang bekerja di restoran cepat saji. Pemuda vegetarian ini tidak tahu apapun tentang manusia serigala, penyihir, vampir, ataupun fey (peri ala Amerika); ia juga tidak tahu apa-apa soal membangkitkan mayat. Bersama teman-temannya yang urakan, Brooke, Ramon dan Frank; keempat anak muda slengeean ini menjalani masa muda mereka yang sangat “Amerika”. Semuanya itu berubah ketika seorang necromancer atau pembangkit mayat keji bernama Douglas mendapati aura necroamcer Sam yang menyeruak ke sana-kemari dan tidak  terdaftar secara resmi. Sam secara non-resmi telah menyaingi Douglas sebagai satu-satunya necromancer utama di Seattle.

            Belum mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, Sammy and friends cuek bebek sebelum akhirnya Douglas menunjukkan keseriusannya dengan mengirimkan kepala Brooke. Aduh,…langsung shock dah di bagian awal sudah ada adegan penggal-memenggal. Lebih bikin shock lagi, Brooke (atau kepala Brooke) bisa berpikir dan berbicara layaknya manusia hidup. Inilah keahlian seorang necromancer, sang pembangkit mayat. Douglas memang hebat, tapi ia juga kejam dan terlalu ambisius. Dan Sam yang belum terbangkitkan adalah objek dari kesewenang-wenangannya.


            Seiring dengan beranjaknya halaman-halaman berhiaskan tengkorak ke bagian tengah buku ini, mulai jelas apa, bagaimana, dan kok bisa bahwa Sam adalah juga seorang necromancer. Dari ibunya sendiri, Sam mengetahui fakta pahit bahwa ayah biologisnya tidak menerima Sam yang seorang necromancer, bahwa pamannya adalah seorang ****, bahwa ibunya juga merupakan seorang ***** hahahaha (takut spoiler) Semua yang berkenaan dengan dunia supranatural ini membuat Sam bingung, begitu bingung hingga ia dengan mudah masuk dalam perangkap Douglas.

            Di kerangkeng bawah tanah kediaman Douglas, Sam harus memilih apakah akan menjadi murid Douglas atau mati. Di kerangkeng itulah, Sam bertemu dengan Bridin—separuh manusia serigala dan separuh fey. Rupanya, Douglas pernah membunuh dan menyiksa beragam makhluk supranatural demi mengisap dan menambah kekuatannya. Itu pula yang nampaknya akan ia lakukan kepada Sam dan Briddin. Namun, disatukan dalam kerangkeng yang sama, mulailah muncul getar-getar asmara di antara Sam dan Briddin. Bagian ini, entah kenapa agak terlalu vulgar sebagai bacaan remaja. Bagaimana tidak, penulis benar-benar menjelaskan sosok Sam sebagai tipikal cowok muda Amrika Serikat yang sangat Amerika, begitu bebas, liberal, dan … sering berkata kasar. Belum lagi Briddin yang dikerangkeng dalam keadaan telanjang (oh no) hingga membuat Sam salah tingkah dan kepalanya terbentur jeruji dengan sangat keras saat berusaha sekuat tenaga menahan matanya  dr pemandangan gratisan ;p (jiah beginian hohoho)

            Ok deh, kita loncati bagian yang romantis, kembali ke nasib Sam dan Briddin yang terancam, terutama setelah Douglas mengetahui kekuatan Sam yang sebenarnya. Mulai pada bagian tengah hingga akhir, konflik mulai terbentuk. Kawanan Briddin yang mencari-carinya, ibu Sam dan juga Ramon yang khawatir dengan putranya, semuanya akan dipertemukan dalam sebuah anti-klimaks berdarah-darah di rumah Douglas. Bagian inilah yang paling seru karena pertempuran dan konflik mulai memanas. Saksikan bagaimana Douglas menjaga dan melindungi rumah kediamannya, saksikan juga bagaimana cipratan dan tetesan darah menjadi perantara dari  perang final antara Sam dan Douglas, masing-masing berjuang demi meraih posisi sebagai satu-satunya necromancer yang paling unggul di Seattle.

            Hold Me Closer Necromancer benar-benar novel yang cukup berdarah-darah, agak kelam kalau saja penulis tidak piawai memasukkan banyolan dan kelakar Ramon ke dalamnya. Dunia anak muda yang penuh warna dan begitu dinamis inilah yang mungkin mampu menangkal darah-darah yang ditebarkan Douglas. Membacanya jadi imbang, sesekali kita bisa tersenyum ngakak ditengah-tengah alur yang berbau manusia serigala, vampire atau mayat itu sendiri. Kita juga bisa menyaksikan bagaimana teknik pembangkitan arwah, dan mengapa seorang necromancer harus membuat lingkaran perlindungan, atau mengapa darah itu merupakan property wajib dalam dunia supranatural. Dalam novel ini, kita akan mendapat sedikit jawabannya. Bagian paling asyik, dan wajib ditunggu adalah bagian pamungkas yang begitu keren dan membuat pembaca tidak bisa melepaskan buku ini sebelum selesai. Oh ya, satu hal yang unik dari buku ini, judul-judul setiap babnya memakai kalimat bahasa Inggris. Mengapa? Saya juga bingung sebelum akhirnya melihat halaman 440 hohohoho.  

            Saya suka sekali dengan kutipan ini:

            “Tahukah kau apa yang hebat dari bayi? Mereka bagaikan bingkisan-bingkisan mungil berisi harapan. Seperti masa depan yang terbungkus selimut.” (halaman 196).

            Terakhir, sebagaimana kata Sam, kita harus berbangga dengan setiap kelebihan yang diberikan kepada kita. Apa pun itu, selama itu bermanfaat untuk kebaikan orang lain.

            “…bahwa kekuatan ini bisa dimanfaatkan untuk kebaikan. Aku perlu menerima siapa diriku. Apa adanya diriku. Namaku Samhain Corvus LaCroix. Aku seorang necromancer. ( halaman 437) 

Read more »

The Girl who Could Fly

Judul                : The Girl who Could Fly
Penulis              : Victoria Forester
Penerjemah      : Ferry Halim
Penyunting        : Ida Wajdi
Pewajah isi       : Husni Kamal
Cetakan           : 1, Mei 2011
Tebal                : 330 halaman
Penerbit            : Atria
Harga               : Rp 50.000,00


 


            Perkenalkan, Piper McCloud, seorang gadis pertanian yang bisa terbang. Bukan, bukan terbang menggunakan pesawat sebagaimana kita bisa terbang seperti biasanya. Piper benar-benar bisa terbang tanpa alat ataupun pesawat. Ia seringan udara, ia adalah bagian dari angkasa. Dia itu istimewa. Semuanya berawal ketika masih bayi. Ketika sang Ibu menidurkan si bayi Piper, tanpa sengaja si bayi terguling dan jatuh dari tempat tidur. Namun, alih-alih menghantam tanah dan menangis sejadi-jadinya, bayi piper Cumamengapung di udara. Ketika menginjak usia 11 tahun, Piper semakin penasaran dengan bakat terbangnya ini, yang sayangnya, berusaha ditekan dan ditutup-tutupi oleh pasangan McCloud. Kedua orang tuanya tidak suka Piper terbang karena, yah, manusia memang tidak bisa terbang kan? Namun, panggilan angkasa nan biru terlampau sulit untuk ditolak Piper. 

            “Dan dia hampir saja mencium tanah ketika hal yang mirip mukjizat terjadi. Bagaikan sebuah pesawat dalam sebuah acara dirgantara, Piper bergesekan dengan permukaan tanah dalam sebuah gerakan melingkar yang menantang maut. Arah gerakannya berubah seratus delapan puluh derajat dan wajahnya berbalik dari permukaan tanah ke udara. Dia melesat ke atas dengan sebuah dorongan yang tidak terduga dan tingkat kecermatan yang menyamai pesawat F-22 Raptor. (halaman 20). Piper McCloud benar-benar terbang!

Ia tetap nekat terbang diam-diam hingga akhirnya peringatan orang tuanya terbukti. Saat mengikuti pertandingan bisbol di kampungnya. Ketika hendak menangkap bola yang terlempar terlalu jauh, Piper tak kuasa melesatkan dirinya ke udara. Dia terbang menangkap bola itu dengan hati riang gembira, tak menyadari konsekuensi dari melakukan tindakan terbang tanpa alat di hadapan banyak orang. Piper pun mengundang perhatian dunia. Seluruh dunia ingin mengetahui tentang Piper, gadis yang bisa terbang.

           Hidup Piper McCloud tidak pernah sama lagi sejak saat itu. Ia terpaksa diamankan di sebuah institut rahasia yang dibangun di sebuah gunung terpencil oleh Dokter Hellion. Institut rahasia itu bernama I.N.S.A.N.E, yang merupakan sebuah sekolah rahasia untuk anak-anak yang mempunyai kemampuan luar biasa. Di sekolah inilah, Piper bertemu dengan anak-anak luar biasa seperti dia. Mereka adalah anak-anak berbakat khusus yang sering kali dianggap aneh oleh orang awam. Ada Lilly yang bisa menggerakkan benda-benda dengan pikiran, Violet yang bisa mengecilkan maupun membesarkan badan,  Bella sang seniman warna, Daisy yang merupakan orang terkuat yang pernah hidup, Smitty yang pandangannya menembus tembok, Kimber yang mampu mengeluarkan arus listrik, Myrtle yang mampu berlari mengelilingi dunia dalam waktu sangat singkat, dua bersaudara Ahmed dan Nalen yang mampu mengendalikan cuaca, serta Conrad, anak paling cerdas dan paling analitis di dunia.

Dari merekalah Piper merasakan dirinya diterima. Dan, karena kedatangan Piper jugalah maka anak-anak super itu mendapatkan sengatan antusiasme. Awalnya, Conrad begitu memusuhi Piper. Ia sepertinya iri dengan kemampuan Piper. Ternyata, Conrad bukan iri, tapi dia punya rencana. Dan, Piper adalah anak yang tepat untuk menjalankan rencana itu. Kelihaian berpikir dan perencanaan Conrad yang selalu hampir 100% tepat akhirnya menyadarkan Piper. Piper yang semula benci luar biasa kepada Conrad akhirnya harus berterima kasih ketika akhirnya Piper mengetahui fakta yang sebenarnya dari I.N.S.A.N.E. Secara diam-diam, ia melihat sendiri berbagai hal buruk yang dilakukan Dokter Hellion dan para stafnya. I.N.S.A.N.E benar-benar tempat paling berbahaya untuk anak-anak itu.

            Lalu, apakah yang dilakukan Piper dan Conrad selanjutnya? Apakah mereka akan diam saja atau memberontak? Apakah Piper bisa kembali ke rumah pertaniannya? Lalu, ada satu lagi rahasia besar yang disimpan rapat-rapat oleh I.N.S.A.N.E, Anda bisa menemukan di akhir buku ini. Sampul novel ini, sepertinya terlalu spoiler karena pembaca bisa langsung menebak siapa dan bagaimana dokter Hellion. Namun, ada satu kejutan lagi dari dokter Hellion. Apakah itu? Perhatikan saja nama “Hellion”, apakah Anda teringat sesuatu saat mendengar nama itu?

             Secara keseluruhan, novel ini menyenangkan untuk dibaca. Saya sangat suka dengan cara penulis menampilkan kepribadian Piper yang memang masih anak-anak. Walaupun memiliki kekuatan super, yah mereka juga masih anak-anak dan penulis mampu menghadirkan jiwa anak-anak yang polos dan ceria. Pelukisan karakter Conrad dan dokter Hellion juga sangat matang, tidak nanggung, bahkan saya dibuat hampir yakin kalau orang cerdas seperti Conrad itu benar-benar ada. MembacaThe Girl who Could Fly, pembaca akan teringat langsung pada serial X-Men. Beberapa anak di I.N.S.A.N.E memang memiliki kemampuan yang sama dengan beberapa tokoh utama di film X-Men. Itu juga yang membuat novel ini menarik.

 Satu hal yang mungkin agak mengganjal adalah kurangnya detail teknis yang menjelaskan mengapa seorang manusia bisa terbang. Penulis hanya menjelaskan ada sensasi menggelitik yang menyebar dalam tubuh Piper, yang kemudian membuatnya bisa terbang. Dari mana Piper mendapatkan dorongan untuk melesat dan terbang berputar-putar mengingat tidak ada mesin jet yang mendorong kakinya? Ada perbedaan besar antara mengapung di udara dan terbang. Awan dan balon mengapung di udara, keduanya hanya bergerak vertikal dan hanya akan berpindah tempat kalau terkena hembusan angin. Sementara Piper, hanya dijelaskan bahwa tubuhnya bisa menjadi ringan, namun kurang dijelaskan dari mana Piper mendapat tenaga atau dorongan untuk melesat ke udara mengingat dia tidak memiliki sayap ataupun mesin jet.

             Namun demikian, novel ini mungkin ditulis bukan untuk tujuan teknis, tapi lebih sebagai bacaan ringan bagi para remaja. Ending­ novel ini juga cukup memuaskan, walaupun agak kurang greget di bagian pertempuran kecilnya. Namun, kejutan-kejutan yang dihadirkan benar-benar mampu membuat pembaca terperangah dan menepuk jidat sambil berkata, “Ow…begitu ya, pantas!” Inti dari novel ini adalah jangan takut untuk menunjukkan bakatmu walaupun orang lain mungkin akan iri. Jangan lupakan antusiame untuk mewujudkan mimpi-mimpi kalian, karena Piper sendiri tak akan pernah bisa terbang jika dia tidak berani berbuat nyata—melompat dari atap rumahnya—untuk mengetahui bakat istimewanya. Piper telah berhasil terbang dan menggapai impiannya untuk menjelajahi langit. Kita juga mampu menggapai mimpi dan cita-cita kita jika kita memenuhi diri ini dengan keberanian untuk mencoba, pantang putus asa, dan antusiasme. Mari terbang ke awan bersama Piper. 
Read more »

The Thief

The Thief (Sang Pencuri dari Eddis)
Megan Whalen Turner @ 1996
Zaky Yamani (Terj.)
GPU – Juni 2011
360 hal.

Gen, dipenjara karena kebodohannya sendiri. Ia membual bias mencuri apa saja, tapi malah memamerkan hasil curiannya di sebuah kedai anggur.

Suatu hari, penasihat Raja Sounis, sang Magus datang membebaskannya. Bukan tanpa maksud akhirnya Gen dibebaskan. Sang Magus punya misi khusus untuk mau merepotkan diri melakukan hal itu.

Sang Magus meminta Gen untuk mencuri sebuah batu. Batu ini bukan sembarang batu, tapi jika Raja Sounis bisa memiliki batu ini, maka hal ini bisa dijadikan ‘alasan’ untuk menikahi Ratu Eddis dan menyatukan kedua wilayah.

Maka, Gen pun berangkat bersama sang Magus dan rombongan yang terdiri dari 2 orang murid sang Magus dan satu orang pengawal. Perjalanan terbilang lancar. Tak ada hambatan yang berarti kecuali makanan yang harus dihemat, jalan yang terjal dan berbatu. Hambatan sesungguhnya baru terjadi saat Gen harus masuk ke dalam gua tempat batu itu ada.

Terus terang gue rada gak sabar baca buku ini. Membosankan. Karakter Gen juga ‘nyebelin’ banget. Anak muda yang manja, sok cakep, bawel dan kadang sok tahu. Tokoh lain juga gak ada yang – menurut gue – ‘kuat’ karakternya. Padahal dari cover-nya, seolah Gen itu tokoh yang gagah, pemberani dan pantang menyerah. Terlalu ‘macho’ untuk jadi gambaran tokoh seperti Gen.

Jalan cerita juga cenderung datar, saat ada pertempuran pun juga gak membuat jadi tegang. Kaya’nya terlalu bertele-tele. Buku yang gak terlalu tebel ini, mungkin bisa jadi lebih tipis lagi. (duh.. gue jadi sok bisa nulis aja)

Yang menarik justru catatan dari penulis, tentang latar belakang penulisannya dari mana dia mengambil ide cerita, dan daftar buku-buku yang berpengaruh dalam prosesnya jadi penulis. Hmmm.. bisa jadi contekan…

Buku ini ada sekuel-nya, tapi rasanya gue gak tertarik untuk tahu lanjutannya.
Read more »

One Amazing Thing

One Amazing Thing
Chitra Banerjee Divakaruni @ 2009
Sujatrini Liza (Terj.)
Qanita – Cet. 1, Juni 2011
422 hal.

Kantor permohonan visa ke India terasa begitu membosankan. Petugas yang acuh tak acuh, cuek dengan para pemohon yang antri. Salah satu di antara pemohon visa itu adalah Uma. Meskipun ia orang India, tapi belum pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di tanah airnya itu. Tujuannya ke India, adalah untuk berkunjung, bertemu dengan orang tuanya yang menghabiskan masa pensiun di kampung halamannya. Sejak pagi, ia sudah tiba di sana. Semua tampak tenang, sibuk dengan pikiran masing-masing, mengusir kebosanan dengan caranya sendiri.

Tiba-tiba, terdengar suara gemuruh. Gempa bumi. Sembilan orang terjebak di dalam kantor itu. Cameron, salah satunya, sebagai mantan prajurit, ia cepat tanggap dengan situasi yang genting. Meskipun sikapnya ini tidak disukai oleh Thariq, pemuda berjenggot keturunan Pakistan, yang memandang sinis orang-orang Amerika, sebagai balasan atas sikap orang Amerika sendiri terhadap kaum Muslim.

Dengan sigap, Cameron memeriksa kerusakan yang terjadi, membantu orang-orang yang cedera, memeriksa cadangan air dan membagi makanan dengan sama rata. Di tengah kegelapan dan bahaya karena sewaktu-waktu langit-langit bisa runtuh.

Untuk mengusir rasa takut, sepi dan ketidakpastian, Uma mengusulkan agar mereka saling berbagi satu kisah yang sangat berarti dalam hidup mereka. Awalnya usul ini ditolak, khawatir akan membuang oksigen dengan sia-sia.

Tapi, Nenek Jiang memberanikan diri untuk menjadi yang pertama menuturkan ceritanya. Dan sambil berharap-harap cemas akan bantuan yang tak kunjung datang, persediaan makanan dan air yang menipis, akhirnya, semua pun bercerita satu kisah yang membuat hidup mereka berubah dan membawa mereka ada dii kantor permohonan visa.

Semua kisah memang ‘menakjubkan’ dan punya arti sendiri-sendiri bagi si penutur, yang pada akhirnya memberi pengaruh pada orang-orang di sekitar yang baru dikenal saat terjadi bencana itu.

Kisah favorit gue, adalah ceritanya Malathi, perempuan petugas di kantor permohonan visa itu. Salon pink yang digambarkan dalam bayangan gue jadi benar-benar genit dan wangi. Penuh dengan gosip para pelanggan dan pekerja salon yang tekun tapi diam-diam ikut menguping.

Chitra Banerjee Divakaruni adalah salah satu penulis favorit gue sejak pertama baca The Mistress of Spices, dan entah kenapa, gue lebih bisa menikmati tulisan-tulisan penulis dari India, ketimbang penulis-penulis Jepang. Rasanya tulisan mereka lebih ‘dekat’ dengan kehidupan sehari-hari, lebih nyata.

Read more »

Selasa, 19 Juli 2011

A Tale Dark and Grimm

Judul                            : A Tale Dark and Grimm
Penulis                          : Adam Gitwitz
Penerjemah                  : Khairi Rumantati
Penyunting                    : Jia Effendie
Penyelaras                    : Fenty Nadia
Pewajah isi                   : Husni Kamal
Tebal                            : 229 halaman
Cetakan                       : 1, Juni 2011
Penerbit                        : Atria


             Satu lagi versi plesetan—atau jangan-jangan malah versi asli—dari dongeng-dongeng karya Grimm keluar di pasaran. Hati-hati, dongeng versi asli ini lebih kejam, lebih berdarah-darah, lebih banyak anggota tubuh yang terpotong, lebih menyedihkan, namun juga lebih keren. Sekali lagi, berhati-hatilah saat membaca novel ini. Suruh anak-anak di bawah usia remaja untuk tidur agar mereka tidak memimpikan Gretel yang dipotong jarinya atau Hansel yang dibelah kulitnya. Hiyyy …

            Sudah lebih dari satu abad ketika Grimm Bersaudara menerbitkan kumpulan cerita-cerita daerah dan legenda rakyat Jerman yang kemudian digemari dan dimiliki oleh penduduk dunia. Kita semua sudah begitu akrab dengan dongeng-dongeng tersebut sehingga sangat sulit membayangkan ada orang dewasa yang belum mengenal kisah Cinderella, Hansel dan Gretel, ataupun Gadis Bertudung Merah. Nah, banyak yang belum mengetahui kalau dongeng-dongeng yang banyak beredar di pasaran itu adalah dongeng versi yang sudah sangat diperhalus. Dongeng-dongeng tersebut disampaikan turun-temurun dari satu orang ke orang lain, lalu diulangi lagi oleh orang yang lainnya, dan dari orang tua ke anak-anaknya sehingga versinya pun diperhalus agar si anak tidak bermimpi buruk. Namun demikian, yah, versi yang diperhalus ini telah kehilangan bagian-bagian kerennya sampai-sampai Adam Gitwitz berujar, “Dan kau bosan setengah mati sampai pingsan ke lantai.”


            Cerita di awali dengan kisah tentang seorang Raja Muda dan pelayannya yang paling setia. Dikisahkan bahwa raja ingin menikahi Putri Emas padahal wanita paling jelita itu membawa kutukan mengerikan. Semua pria yang menikah dengannya akan mati. Hanya saja, pelayan setia sang raja mengetahui dari bisikan tiga burung gagak bahwa ia harus mengorbankan dirinya agar raja dapat menikahi putri emas itu. Cerita pun mulai bergulir dengan berbagai ramalan mengerikan seperti “Tapi, kalau menyentuhnya dia akan habis terlelap api dan terbakar langsung jadi abu langsung di tempat itu,” (hlm 13) atau “Tapi, jika dia melakukannya, dia akan terlempar dari punggung (kudanya) dan mati.” (hlm 12). Agar cerita terus bergulir, Raja dan Ratu pun akhirnya menikah, namun dengan satu syarat, sang pelayan paling setia itu berubah menjadi batu dan keduanya hanya bisa menangis tersedu-sedu. Dan, tahu tidak? Raja dan Ratu ini tidak lain dan tidak bukan adalah orang tua dari Hansel dan Gretel.

            Dan, Hansel dan Gretel pun dilahirkan sebagai anak-anak yang sehat, pintar, dan ceria. Suatu ketika, Raja tengah menangisi patung pelayannya yang paling setia. Dan, tahu tidak apa yang dikatakan oleh patung itu? Begini:

            “Dan Johannes berkata: ‘ Kau harus memenggal kepala anak-anakmu dan melumuri patungku dengan darah mereka. Hanya dengan cara itulah aku bisa hidup kembali. (halaman 21)

            Pengorbanan dibalas dengan pengorbanan. Dan Hansel dan Gretel pun dipenggal (maaf, not for children yah), darahnya dilumurkan, dan hiduplah Johhanes yang setia. Selesai? Belummm…cerita masih berlanjut.

            “ Johannes memasangkan kembali kepala Hansel dan Gretel ke tubuh mereka. Serta merta, kedua bocah itu melompat dan bermain-main, seolah peristiwa mengerikan yang terjadi sebelumnya tidak pernah ada. (halaman 23).

            Sudah selesai? Belum dong kan baru halaman 23! Cerita berlanjut ketika Hansel dan Gretel menyadari bahwa orang tua yang tega memenggal kepala anak-anaknya sendiri tidaklah pantas disebut orang tua yang baik (ya iyalah!, dipenggal gitu loohhh). Keduanya lalu melarikan diri, hanya untuk bertemu dengan seorang penyihir kanibal, bapak yang mengutuk anak-anaknya menjadi burung layang-layang, serta penyihir yang suka merenggut roh para gadis dan mengubahnya menjadi burung merpati. Berbagai cerita yang sering kita baca dalam versi-versi halus dongeng Grimm saling berjalinan membentuk struktur cerita berdarah-darah yang harus dilalui oleh Hansel dan Gretel. Masak Gretel harus memotong jarinya sendiri, dan Hansel membunuh anak rusa tidak berdosa yang manis. Aduh!

Di samping itu, mereka berdua toh harus kembali ke kerajaan mereka sendiri yang saat itu sedang diporak-porandakan oleh naga. Inilah ujung dari perjuangan mereka, menyelamatkan kerajaan dari naga. Dan, tahukah siapa naga itu sebenarnya? Ituloh, naga yang ganas itu ternyata adalah ZENZOR. Hehehe, di bagian akhir buku inilah novel ini tampak seperti novel-novel lain, penuh tindakan aksi, heroic dan perjuangan. Tentunya, diakhiri dengan akhir yang membahagiakan sebagaimana dongeng-dongeng lainnya.


            Membaca bagian awal, Anda akan langsung merasakan keunikan dari buku nyentrik ini. Selain berdarah-darah, penulis seperti sengaja menggiring pembaca untuk geregetan. Baca saja halaman 19 – 25 kalau tidak percaya. Masak udah mau tamat, eh hampir tamat, eh nyaris tamat, akhirnya tamat. Penasaran kan? Cek sendirilah halaman itu, pokoknya bikin ngakak kelu deh. Secara keseluruhan, versi gelap dari dongeng-dongeng Grimm yang disusun oleh Gitwitz ini bercerita tentang dua bocah, Hansel dan Gretel, yang berkelana di dunia magis dan mengerikan. Sebagai mana judulnya, ceritanya memang sangat kelam, namun tetap menunjukkan makna dan arti dari perjuangan yang sesungguhnya, Bahwa Hansel dan Gretel harus rela mengorbankan dirinya, atau menempuh perjalanan jauh nan berbahaya, untuk mencapai kebahagiaan sejati,


            Namun begitu, buku kecil ini sungguh layak untuk dibaca. Karena, sebagaimana kata penulisnya:
            “Negeri ini sepadan untuk dijelajahi. Karena, dalam hidup, di tempat-tempat gelaplah (sering kali)ditemukan keindahan paling bersinar dan kebijakan paling bercahaya. Dan, tentu saja, darah terbanyak.  

            Selesai. Tamat. The EndFin. Fyuuhhh  

Read more »

Kafka on Shore

Kafka on Shore
Haruki Murakami @ 2005
Vintage Books - 2005
489 hal.

Beberapa orang yang gue ‘temui’ dari hasil blogwalking, yang membaca karya-karya Haruki Murakami bilang, “He’s a jenius.” Karya-karyanya ‘mengagumkan’. Wah… tampaknya seorang penulis yang karyanya ‘wajib’ dibaca.

Kafka on Shore, rasanya (lagi-lagi) udah ada lama banget di lemari buku gue, tapi, sekian lama juga hanya jadi pemanis di sana. Entah kenapa, baru-baru ini, begitu membaca halaman pertama, gue tergerak untuk melanjutkan ke halaman-halaman berikutnya. Buku pertama Haruki Murakami yang gue baca adalah Norwegian Wood, tapi dengan sukses, gak gue selesaikan karena gak nyambung buat gue.

Ada dua kisah di dalam buku ini. Sejalan, tapi ada di tempat yang berbeda.

Pertama, tentang seorang anak laki-laki bernama Kafka Tamura. Tepat ketika ia berulang tahun ke 15, ia memutuskan untuk pergi dari rumah. Tujuannya mencari ibu dan kakak perempuannya yang pergi ketika ia masih kecil. Hubungan Kafka dengan ayahnya, Koichi Tamura, tidaklah harmonis. Malah, sang ayah mengutuk Kafka, bahwa suatu hari ia akan membunuh ayahnya dan meniduri ibu serta kakak perempuannya sendiri. Hmmm.. kutukan yang mengerikan.

Setelah mengambil uang dari laci meja kerja ayahnya dan sebuah pisau lipat, mengemasi pakaian dan kebutuhan lainnya, Kafka pun pergi. Tak ada tujuan pasti, Kafka sempat bertemu dengan seorang gadis bernama Sakura, yang membantunya ketika Kafka tiba-tiba terbangun di sebuah taman dengan baju berlumuran darah, yang ia sendiri tidak tahu darah siapa itu.

Sampai akhirnya Kafka sampai di sebuah perpustakaan pribadi, Komura Library. Ia pun berkenalan dengan asisten di perpustakaan itu bernama Oshima. Oshima ini lah yang pada akhirnya banyak membantu Kafka, seperti memberi tempat tinggal dan pekerjaan.

Di Komura Library ini pulalah, Kafka bertemu dengan Miss Saeki, pemilik perpustakaan ini. Dan menjalin hubungan singkat dengan Miss Saeki. Perbedaan usia tidak menghalangi hubungan mereka itu.

Tokoh utama yang kedua, adalah Nakata. Di era Perang Dunia II, Nakata terkena penyakit ‘aneh’. Saat berjalan-jalan di hutan dengan rombongan sekolah, tiba-tiba saja semua murid pingsan, tanpa diketahui penyebabnya. Tapi, sebagian besar murid-murid itu sembuh, kecuali Nakata. Kejadian itu mengakibatkan hilangnya kemampuan Nakata dalam membaca dan menulis, tapi ia punya keahlian lain, yaitu berbicara dengan kucing. Ia hidup dari subsidi pemerintah dan hasil dari membawa pulang kucing-kucing yang hilang.

Nakata juga melakukan perjalanan jauh setelah ia membunuh seorang pria yang ia yakini bernama Johnie Walker. Ditemani seorang pengemudi truk bernama Hoshino, yang dengan senang hati meladeni apa pun yang dikatakan Nakata.

Di saat yang sama, ayah Kafka juga ditemukan tewas terbunuh. Sementara, saat bersama Sakura, Kafka berkesimpulan Sakura adalah kakak perempuannya, dan ketika bersama Miss Saeki, ia pun berasumsi Miss Saeki adalah sosok ibunya. Dan akhirnya, kutukan itu pun benar adanya.

Awalnya gue masih sanggup mengikuti cerita ini, makin ke belakang gue makin puyeng… Buku ini penuh dengan khayalan para tokoh, dan penuh dengan cerita ‘dewasa’. Banyak hal yang aneh di dalam buku ini, tentang Kafka yang punya ‘teman khayalan bernama Crow’ – anyway, Kafka sendiri berarti Crow, lalu, seorang Johnie Walker yang membunuh kucing demi mendapatkan umur yang lebih panjang (yakssss…), hujan ikan, dan berbagai keanehan lainnya. Kafka on Shore adalah sebuah gubahan lagu, dan juga sebuah lukisan seorang bocah kecil di pantai. Bahkan di sini pun Kafka mengambil kesimpulan bocah itu adalah dirinya, karena memang hanya satu foto yang tersisa, yaitu ketika ia dan kakaknya sedang bermain di pantai.

Well, Haruki Murakami memang jenius. Membuat cerita antara nyata, tapi koq gak nyata. Tapi, ma’af kalo gue bingung membaca cerita ini. Gue gak jenius. Gue kadang gak sanggup membaca cerita yang rumit, apalagi ‘menangkap’ pesannya. Akhir membaca buku ini, gue berpedapata kalau buku ini menggambarkan dunia yang ‘campur aduk’, antara kenyataan, mimpi, khayalan, takdir. Tentang usaha seorang manusia melarikan diri dari sesuatu, tapi ternyata tak berhasil.

Another Haruki Murakami? Mmm… nanti dulu deh… hehehe…
Read more »

Sabtu, 16 Juli 2011

Diary of a Wimpy Vampire: Because the Undead Have Feelings Too

 
Seperti Edward Cullen, Nigel Mullet diubah menjadi vampir pada masa remaja dan akan tetap berada dalam tahap itu selama-lamanya. Tapi sayang, dalam hal ini Nigel menjadi vampir dalam usia 15 tahun, usia yang rentan berhadapan dengan suara yang baru pecah maupun jerawat yang tumbuh subur di wajah. Ditambah lagi, fakta menyakitkan lainnya bahwa ia tidak  memiliki ketampanan maupun kekuatan layaknya vampir biasa semakin menambah sederetan kekesalan atas ketidakberuntungan yang bertubi-tubi datang menimpanya.


Namun  mendadak semua kekesalan itu hilang setelah Nigel bertemu Chloe. Chloe Sparrow, nama lengkapnya. Siswi pindahan yang menjadi sasaran cinta si vampir Nigel. Berbagai trik pun dilakukan Nigel untuk mendekati Chloe yang pemalu. Dimulai dari bagaimana ia mencoba berkenalan, mengganti topik pembicaraan, hingga mengubah gestur tubuh agar terlihat lebih keren di mata Chloe. Tapi sayang, Nigel tidak  seperti layaknya Edward Cullen yang mampu memikat Bella Swan. Ia tidak mampu menunjukan kemampuan khusus baik dalam hal pesona,ketampanan maupun kekuatannya sebagai vampir dihadapan Chloe, sebaliknya justru yang ia dapati adalah kesan yang aneh dan sangat meragukan yang harus dilihat gadis itu ketika bersama dengan dirinya.


Lalu apa yang harus Nigel lakukan dengan keadaaan ini? Mencari trik baru? Tapi apa? Belum sampai terjawab pertanyaan batin Nigel itu,Wayne teman sekelasnya ternyata telah keburu berpacaran dengan Chloe pujaan hatinya. Kesal,benci,sedih,tentu saja. Semua perasaan itu  bercampur aduk dalam diri Nigel hingga membuatnya merana menjalani hari-hari abadinya.


Memang,untuk persoalan patah hati kali  ini, tidak mudah bagi Nigel untuk menerimanya. Ia sudah menunggu bertahun-tahun untuk mencari gadis yang tepat untuk dirinya hingga tanpa ia sadari gadis-gadis yang dulu ia sukai kini telah lansia bahkan meninggal dunia. Ironis memang!tapi itu dulu. Nigel tak peduli apapun lagi saat ini karena menurutnya Chloe lah  satu-satunya semangat hidupnya yang tetap harus ia pertahankan. Bagaimana mungkin ia membiarkan Chloe begitu saja? Puisi-puisi pun menjadi lahan segar bagi Nigel untuk menggambarkan rasa cinta terdalamnya pada Chloe. Berikut ini dua puisi terhebat yang Nigel anggap dengan narsisnya sebagai dua puisi cinta terhebat yang pernah ia ciptakan dan seharusnya patut diterbitkan di berbagai media dunia.


Sang pemburu
Seandainya aku sang penggigit, kenapa aku yang digigit?
Seandainya aku sang penyerang,kenapa aku yang diserang?
Seandainya aku sang pemburu,kenapa aku yang diburu
Oleh keputusaan?


(157-158)


Sang Predator
Akulah sang predator
Yang ingin menyedot darahmu
Jadi bagaimana mungkin
Kau yang menyedot kehidupan dari dalam diriku
Dengan penolakan
Ini menyebalkan


(163)


Disamping kisah Nigel yang susah payah berjuang mendapatkan cinta dari Chloe, Nigel juga harus dihadapkan pada kehidupan aneh keluarga vampirnya dan  pertemanannya dengan geng gothic di sekolah. Belum lagi, adanya kasus pengigitan vampir di area sekitar lingkungan tempat tinggal Nigel menambah kerunyaman konflik batin dalam diri Nigel. Bagaimana seandainya kalau orang tua Nigel yang tersandung kasus itu? Apakah dirinya harus pindah ke kota lain ditengah perjuangan cintanya pada Chloe? Berhasilkah pada akhirnya Nigel mendapatkan kekuatan vampirnya seperti yang semestinya?


Semua pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab setelah kamu membaca novel ini. Novel yang menurutku spesial karena  menampilkan perpaduan karakter lucu dan narsis ala Nigel, si vampir paling tengil yang pernah ada. Sifat Nigel yang tengil itu  menurutku juga  mampu ‘menendang habis’ fakta-fakta kharismatik dan mengerikan yang menjadi  stereotipe vampir dalam pikiran masyarakat dari dulu sampai sekarang Tapi disinilah poin paling menariknya. Nigel merupakan tokoh vampir baru yang menyajikan gelak tawa melalui kisah perjuangan cintanya dalam mendapatkan Chloe si gadis pujaan nya. Meskipun adanya kemiripan kisah dan karakter yang sepertinya diinspirasi dari Twilight, hal itu tidak lantas mengubah novel ini seperti kembarannya Twilight. Novel ini berdiri sendiri dengan plot cerita dan karakter-karakter remajanya yang lucu dan lugu sehingga mendatangkan kesan yang berbeda dari Twilight itu sendiri.


Kemudian poin menarik lainnya dalam novel Tim Collins ini juga terletak pada sajian kisahnya yang tidak biasa. Jika novel Virus Dreamunus Nekatisimus menyajikan kisah dalam bentuk kumpulan surat-surat maka novel Diary of a Wimpy Vampire ini menyajikannya dalam bentuk buku harian yang sesungguhnya. Ada tangal-tanggal harian yang tercantum dan juga lompatan-lompatan kejadian yang secara garis besar merupakan kejadian paling menarik atau paling menyedihkan yang dialami oleh Nigel pada hari itu. Plus,selama alur cerita berlangsung pembaca juga akan dimanjakan oleh ilustrasi-ilustrasi manis karya Andrew Pinder yang menggambarkan para karakter dan kejadian kecil dalam setiap bagian-bagian cerita di novel fantastis ini. Ikut ambil bagian dari petualangan humornya Nigel?ayo baca dan rasakan sensasinya.




=================


Judul :Diary of Wimpy Vampire : Because The Undead Have Feeling Too/Karena Manusia abadi Juga  Memiliki Perasaan
Penulis : Tim Collins
Penerjemah: Harisa Permatasari
Penerbit: Kantera
Terbit : @2011
ISBN :978-602-98377-1-1
Tebal : 283 hal

=================
Read more »

Kamis, 14 Juli 2011

The Evolution of Calpurnia Tate

Judul                : The Evolution of Calpurnia Tate
Penulis              : Jacqueline Kelly
Penerjemah      : Berliani M.Nugrahani
Korektor          : Nani
Tata letak         : MAB
Tebal                : 383 halaman
Cetakan           : Pertama, November 2010
Penerbit            : Matahati



            Buku ini adalah novel yang terilhami oleh buku Darwin yang berjudul The Origins of Species atau Asal-Usul Spesies. Setiap babnya diawali oleh kutipan dari buku karya Darwin yang pernah menggemparkan dunia itu, yang mengingatkan kita kembali pada pertanyaan mendasar bahwa apakah makhluk hidup itu diciptakan sudah dalam bentuk demikian ataukah telah mengalami tahapan-tahapan seleksi alam sehingga menjadi bentuknya yang sekarang? Novel ini juga tidak berupaya menjawab isu pertentangan klasik antara sains dan agama, karena sejatinya keduanya saling mendukung dan melengkapi. Untuk sekarang, tinggalkan dulu perdebatan dan marilah kita simak novel unik dengan sampul yang sangat menyegarkan ini.

Alam…tidak memedulikan penampilan, kecuali itu jika bermanfaat bagi makhluk  hidup. (halaman 209).

Mari berkenalan dengan seorang gadis lincah bernama lengkap Virginia Calpurnia Tate. Gadis cilik dengan  rasa keingintahuan yang sangat tinggi ini tinggal di Texas pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dan bersama kakeknya, dia adalah penemu spesies tumbuhan baru bernama Vicia tateii. Bagaimana bisa gadis kecil berusia 11 tahun bisa turut andil dalam sebuah penemuan besar ilmu pengetahuan? Ceritanya demikian. Calpurnia Tate adalah seorang gadis yang sehat, lincah, suka berenang dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Sebagaimana gadis-gadis lain di Texas pada masa itu, Calpurnia tengah menanti takdirnya untuk dididik menjadi seorang perempuan terhormat yang pandai mengerjakan segala jenis pekerjaan rumah tangga. Selain itu, ia juga harus mengalah karena ia adalah satu-satunya anak perempuan dari tujuh bersaudara. Calpurnia hanya bisa pasrah menjalani hari-harinya yang membosankan dengan berlatih piano, memberi makan ternak, dan membantu orang tuanya sambil sesekali berendam di sungai yang merupakan kesukaannya. Semua rutinitas ini berubah ketika Calpurnia diajak oleh kakeknya, Walter Tate, yang misterius untuk menjelajahi laboratorium pribadinya. Sejak saat itu, Calpurnia pun memulai tahap evolusinya.

Kita telah melihat bahwa manusia yang sudah terseleksi bisa dipastikan akan memberikan hasil yang hebat, dan bisa beradaptasi dengan memanfaatkan organisme-organisme lain untuk kepentingannya sendiri …(halaman 63)

Kakek dari Calpurnia adalah mantan pengusaha-pemilik kebun pecan yang telah sukses. Ia mewariskan rumah, lahan pertanian, dan kebun pecan yang luas—yang semua itu lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga besar mereka. Lebig dari itu semua, sang kakek adalah seorang naturalis. Calpurnia serasa mendapatkan tujuan hidup ketika menyadari fakta ini. Seiring dengan semakin akrabnya mereka berdua, Calpurnia mulai menyadari evolusi yang tengah berlangsung dalam dirinya. Tidak, dia tidak sekadar ditakdirkan untuk menjadi seorang wanita rumahan yang hanya bisa memasak, menisik, menyulam, dan membersihkan rumah. Tidak, Calpurnia bertekad bahwa dirinya ditakdirkan untuk menjadi lebih dari itu semua. Ia adalah calon ilmuwan di masa depan.


Keunikan ulat sutra diketahui terlihat pada ulat sejenis atau pada fase kepompong. (Halaman 127)

Sayangnya, kondisi sosial dan budaya pada masa itu seorang menutup peluang bagi gadis kecil seperti Calpurnia untuk belajar di universitas dan menjadi ilmuwan. Seperti biasa, pria dibebaskan menjadi apa saja tetapi wanita diwajibkan menjadi ibu rumah tangga. Dan, Ibunda Calpurnia termasuk golongan orang yang menganut paham tersebut. Maka, Calpurnia pun mulai mengalami tahap pengurangan dalam kepompongnya ketika ia berupaya sekuat tenaga menghindar dari berbagai tugas dan latihan “wanita terhormat” yang ditujukan untuknya. Ia merasa tidak cocok dalam pekerjaan jahit menjahit atau membuat pai apel. Ia lebih suka mengumpulkan specimen, mengamati binatang, dan mencatat serta menggambar sketsa dari binatang atau tumbuhan temuannya. Dan, ibunya sangat tidak menyukai hal itu. Dari sini, konflik itu muncul dan Calpurnia harus menjalani bagian paling pahit dalam proses evolusinya menjadi seorang calon ilmuwan.

Seleksi alam akan memodifikasi struktur hubungan anak denga orang tuanya, dan orang tua dengan anaknya (halaman 169)

            Sang ibu berupaya menjauhkan Calpurnia dari kakeknya. Gadis cilik yang lincah dan ingin tahu itu dijejali dengan beragam kegiatan, mulai dari berlatih piano, memasak, menjahit, dan membersihkan rumah—pokoknya berbagai pekerjaan yang pantas untuk wanita. Semua pekerjaan itu membuatnya kelelahan sehingga ia tidak lagi penya waktu untuk berjalan-jalan mencari specimen makhluk hidup baru di hutan. Namun, naluri ilmuwannya memberontak. Diam-diam, ia menyempatkan diri untuk menjumpai kakeknya, membantu beliau melakukan uji coba membuat minuman keras dari biji pecan. Keadaan seolah terus menyulitkan bagi Calpurnia ketika jawaban dari “seleksi alam” itu datang. Bersama kakeknya, Calpurnia menemukan satu spesies vetch berbulu yang belum pernah didaftarkan dalam daftar taksonomi tumbuhan. Keduanya lalu memotret, mengambil sampel dan mengirimkan foto Tumbuhan itu ke Smithsonian Institute di Washington DC untuk meneliti lebih lanjut apakah benar Tumbuhan itu termasuk spesies baru yang belum ditemukan.


Kerak bumi adalah sebuah museum raksasa. (hlm 107)


Membaca Evolusi Calpurnia Tate, pembaca harus sedikit bersabar. Alur ceritanya memang cenderung lambat sebagaimana proses evolusi yang juga pelan dan perlahan-lahan. Novel ini juga kurang cocok untuk dibaca cepat, lebih enak menikmatinya dengan santai, sambil terus mengamati dan menyelami kehidupan pertanian di Texas di penghujung abad ke-19 yang dilukiskan dengan begitu hidup oleh penulisnya. Di dalamnya, kita akan  bisa membaca ulang bagaimana dinamika kehidupan orang-orang di Texas pada zaman itu. Ketika etika masih dipegang teguh, ketika keluarga masih menjadi yang utama, ketika kehormatan masih begitu dijunjung tinggi, dan ketika pacaran di usia 17 tahun pun masih harus malu-malu (sebagaimana kasus Harry, kakak tertua sekaligus kakak kesayangan Calpurnia). Detail-detail tentang kehidupan di Texas pada zaman itulah yang justru menjadi menu utama dari buku ini, meskipun terpaksa harus mengabaikan bau-bau biologi sebagaimana yang dituliskan oleh judul novelnya.

Manusia lemah bisa melakukan banyak hal jika memiliki kemampuan  untuk melakukan seleksi buatan. (halaman 327)

Saya agak kurang puas mendapati kurangnya pemaparan tentang dunia evolusi, pengumpulan specimen, dan pengawetan specimen yang seolah terkalahkan oleh putaran kehidupan di rumah keluarga Tate. Kisah cinta Harry, kenakalan adik-adik Calpurnia, sekelumit kisah tentang pembantu mereka yang setengah kulit hitam, serta penggambaran suasana sosial budaya pada zaman itu seolah mengalahkan unsur-unsur “evolusi” dalam buku ini. Sebagaimana sampulnya yang segar dan berbau makhluk hidup liar, saya berharap menjumpai kisah ala perjalanan Darwin ke Galapagos atau perjalanan Alfred Wallacea ke Kepulauan Nusantara. Bagian yang berbau-bau evolusi makhluk hidup ini lebih sering muncul di bagian awal buku, sementara di bagian akhir adalah tentang Calpurnia dan keluarganya. Namun, evolusi di sini adalah tentang si Calpurnia itu sendiri, tentang evolusi watak, karakter, serta kepribadian. Untungnya, evolusi “dalam diri” itu juga disajikan dengan begitu segar. Buku ini menjadi begitu segar untuk dinikmati karena penutupnya cukup memuaskan—walaupun agak nanggung. Ada surat dari Washington yang mungkin isinya sudah bisa Anda tebak sendiri. Perhatikan pula bagaimana penulis dengan lihai mengaitkan teori-teori Darwin dengan cerita yang ia bangun. Inilah yang membuat The Evolution of Calpurnia Tate lebih dari sekadar novel biasa. Buku ini kreatif.  Mari kita tutup resensi ini dengan kata-kata penyemangat dari kakek tercinta:

“ Kita harus merayakan kegagalan kita hari ini, karena ini adalah pertanda nyata bahwa petualangan kita di dunia penemuan belum berakhir. Hari ketika eksperimen berhasil adalah hari ketika eksperimen berakhir. Dan, mau tidak mau, aku harus mengakui bahwa kesedihan dalam mengakhiri sebuah eksperimen lebih berat daripada perayaan keberhasilannya (halaman 262-263).

Begitulah sosok ilmuwan yang sejati!

            
Read more »