Tampilkan postingan dengan label thriller. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label thriller. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 September 2012

The Tokyo Zodiac Murders


The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo)
Barokah Ruziati (Terj.)
GPU – Cet. 2, Agustus 2012
360  hal.
(Gramedia Pondok Indah Mall)

Pembunuhan berantai terjadi di Tokyo pada tahun 1936. Diawali dengan kematian seorang seniman bernama Heikichi Umezawa, yang ditemukan tewas di studionya sendiri. Lalu, diikuti dengan kematian anak-anak dan keponakan Umezawa – yang semuanya perempuan. Lebih sadisnya lagi, tubuh mereka termutilasi.

Di dalam studio Umezawa ditemukan sebuah catatan yang merinci sebuah pembuatan patung yang jika diteliti berdasarkan potongan-potongan tubuh dari para perempuan yang tewas.

Berbagai spekulasi dan teori bermunculan. Ditambah lagi bahwa dalam catatan-catatan itu juga merinci dari segi astrologi para korban, unsur-unsur kimia berdasarkan astrologi, di mana mereka harus dikuburkan dan di mana patung yang disebut Azoth itu harus diletakkan. Dari setiap korban, si pembunuh mengambil potongan tubuh yang paling sempurna.

Singkat kata, segala teori itu akan membuat sebuah karya yang mengerikan. Mungkin orang akan mengatakan ini sebuah karya yang gila, karya orang yang kerasukan setan dan dipengaruhi hal-hal gaib.

Dan selama 40 tahun, misteri pembunuhan yang mengguncangkan ini tak bisa dipecahkan. Sampai seorang perempuan bernama Mrs. Iida datang kepada Kiyoshi Mitarai dan membawa sebuah catatan penting dari seorang perwira polisi, yang tak lain adalah ayah Mrs. Iida.

Kiyoshi Mitarai, seorang astrolog, peramal nasib sekaligus detektif yang ‘nyeleneh’. Gayanya cuek. Punya teori dan pengamatan sendiri. Sebal kalau dibandingkan dengan Sherlock Holmes oleh sahabatnya, Kazumi Ishioka. Ishioak ini tergila-gila sama cerita misteri, bahkan dia yang dengan semangat bercerita sama Mitarai tentang Pembunuhan Zodiak Tokyo, sementara Mitarai ogah-ogahan mendengarkannya.  Sikapnya yang aneh ini kadang membuat sahabatnya ini geleng-geleng kepala. Dengan gayanya yang spontan dan terkadang mirip orang gila ini, Mitarai berhasil melihat detail-detail yang luput dari pengamatan polisi selama 40 tahun.

Kali kedua gue membaca kisah pembunuhan yang ditulis oleh penulis Jepang dan dua-duanya sadisssss…. Yang pertama adalah Out – di mana daging korban diiris tipis-tipis seperti sashimi (untuk gak bikin jadi il-fil makan sashimi) dan kali ini korban dimutilasi. Harus gue akui, bahwa si pembunuh ini cerdas. Gimana gak, dengan hati-hati ia mengikuti isi surat yang ditinggalkan Umezawa dan gak ada yang tahu siapa pelakunya selama 40 tahun.

Kalau aja kita mau mengikuti pola pikir a la detektif, semua fakta sudah dijelaskan dengan rinci oleh penulis. Bahkan, di tengah-tengah cerita, penulis mengajak pembaca untuk sama-sama menebak siapa pembunuhnya.

Yah, sempat sih agak bingung dengan segala penjelasan tentang astrologi itu. Karena penasaran, gue sempat mencoba mengamati pola-pola yang muncul, berdasarkan ilustrasi dari Ishioka, tapi lama-lama gue nyerah… mending baca aja dengan sabar.. hehehe… 

O ya.. gue suka covernya... Putih bersih, dengan tulisan dan gambar merah. Gak penuh detail-detail, simple tapi benar-benar pas sama ceritanya.

Kiyoshi Mitarai – resmi menjadi salah satu detektif favorit gue. Semoga aja cerita Detektif Mitarai yang lain juga diterjemahkan sama Gramedia.
Read more »

Minggu, 16 September 2012

Beat the Reaper



Beat the Reaper (Menaklukkan Maut)
Putri Dewi MR (Terj.)
Penerbit Esensi - 2012
341 hal.
(buntelan dari Penerbit Esensi)

Siapa sangka kalau seorang dokter seperti dr. Peter Brown mempunyai masa lalu yang kelam? Peter Brown memiliki nama Pietro Brnwa. Ia adalah seorang pembunuh berdarah dingin yang secara tidak langsung bergabung dalam kelompok mafia. Awal ia menjadi seorang pembunuh dipicu oleh tewasnya kakek dan neneknya oleh dua orang pemuda. Setelah ditelusuri, dua pemuda ini harus melakukan pembunuhan agar bisa bergabung dengan kelompok mafia.

‘Keberhasilan’ pertama Pietro membunuh orang membuat ia direkrut oleh David Locano, ayah teman sekolahnya sahabatnya, Skinflick. Tapi, pada akhirnya justru Skinflick berbalik menjadi musuh yang ingin melenyapkan Pietro.

Titik balik Pietro adalah saat ia bertemu Magdalena dan jatuh cinta. Magdalena membuat nafsu membunuh Pietro lenyap. Tapi sayangnya, kehidupan dalam dunia mafia penuh dengan dendam.

Pietro pun mengubah identitasnya menjadi Peter Brown dan masuk ke dalam perlindungan saksi.

Tapi, seorang pasien ternyata mengetahui identitas aslinya, Peter pun kembali diburu oleh sahabat lamanya.

Ketika membaca sinopsis di bagian cover belakang, gue sempet berpikir akan menemukan cerita yang penuh ketegangan, intrik-intrik di dalam dunia mafia. Tapi mungkin karena gaya bahasa si Peter yang cuek ini, gue jadi gak terlalu tegang or deg-degan gimana gitu…

Yang menarik adalah sejarah kehidupan Peter, yang dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Pertemuan kakek-nenek Peter yang ‘romantis’ di tengah-tengah hutan saat orang-orang Yahudi pada diburu untuk dibuang ke Auschwitz. Peter bahkan sempet jalan-jalan ke Polandia, nyari orang yang menjual informasi sehingga kakek-nenek Peter ini tertangkap.

Dan, oh no, kalo gue ketemu dokter kaya’ Peter, gue bakalan parno abis, karena cueknya sih Peter ini juga bikin dia jadi kadang seenaknya menangani pasien.

Banyak istilah-istilah kedokteran di buku ini, ada glossary-nya. Tapi, hehehe, gue males bolak-balik ngeliat ke bagian belakang. Lebih enak kalo dijadiin footnote aja kali ya. Biar gak ribet. Satu lagi nih, gak terlalu suka dengan cover versi terjemahan ini.

Oh ya, katanya nih, bakalan dibikin serialnya, dan bakalan melibatkan Leonardo DiCaprio. Ehem…
Read more »

Selasa, 28 Februari 2012

Murder on the Orient Express


Murder on the Orient Express
(Pembunuhan di Orient Express)
Agatha Christie @ 1920
GPU – Cet, VIII, Juli 2007

Hercule Poirot, si detektif bertubuh mungil, berkepala bulat telur dengan kumis melintang dan sangat apik, menolak orang yang meminta pertolongannya, hanya gara-gara dia gak suka sama wajah si orang itu. Dan, malamnya, orang itu ditemukan tewas.

Hercule Poirot sedang dalam perjalanan kembali ke London menggunakan kereta api Orient Express. Seperti biasa, Poirot mengamati semua penumpang yang ada di kereta itu. Ia menilai karakter masing-masing orang dari pengamatan sekilasnya itu.

Orang yang meminta pertolongannya bernama Ratchett, seorang pengusaha asal Amerika. Kematian Rachett cukup menimbulkan kegemparan di kereta itu. Apalagi saat itu, kereta Orient Express terjebak dalam badai salju dan tak bisa jalan.

Untung di dalam kereta itu ada Poirot dan seorang dokter bernama Dokter Constantine yang membantu menyelidiki dan menganalisa kejadia mengerikan di kereta itu. Dari hasil analisa, kemungkinan pelakunya kidal, tapi koq ada juga yang diperkirakan pakai tangan kanan. Direktur kereta api, berpendapat, bisa jadi pelakunya perempuan yang sangat marah, yang katanya kalo lagi emosi, jadi sangat bertenaga.

Satu per satu penumpang dipanggil untuk diwawancara – di antaranya pelayan dan sekretaris Rachett, seorang perempuan bernama Mrs. Hubbard yang selalu menyebut-nyebut ‘Putri saya’ dalam setiap percakapannya, pasangan ningrat asal Hongaria – Count dan Countess Andrenyi, bangsawan asal Rusia – Putri Dragomiroff yang katanya berwajah seperti kodok beserta pelayannya, Hildegarde Schmidt, seorang guru asal Inggris, Mary Debenham, yang dicurigai karena percakapannya dengan Kolonel Arbuthnot dan orang Italia bernama Antonio Foscarelli.

Dengan rapi, Poirot menyusun hasil wawancara, mencocokkan alibi mereka dengan perkiraan waktu kejadian, mengamati sikap mereka yang luput dari pemeriksa yang lain. Sekecil apa pun itu, Poirot bisa menemukan fakta yang tersembunyi, yang cukup mengejutkan.

Setelah sekian lama, akhirnya baca Agatha Christie lagi. Perkenalan pertama dengan tante Agatha ini dari buku papa yang judulnya ‘Tirai’. Terus, sempet koleksi deh, ehhh.. dipinjem.. gak balik. Akhirnya, malah ada beberapa yang dikasih ke sodara-sodara. Favorit gue adalah 10 Anak Negro. Bikin merinding. Satu hari, gue sekeluarga lagi liburan di Puncak, nginep di villa gitu deh. Nah, pas malemnya ada film akhir pekan, setting-nya di pedesaan di Indonesia, ceritanya mirip dengan cerita 10 Anak Negro ini. Gue langsung merinding, karena setting di film itu sama dengan tempat gue waktu itu. Sepi, terus tokoh penjaga villa yang misterius, yang kalo di awal pasti jadi tertuduh utama. Hiiii….

Gue lebih suka cerita yang tokohnya Hercule Poirot dibanding Miss Marple. Mungkin karena sosoknya yang lucu itu, caranya menyelidiki dan menganalisa kasus dengan ‘sel-sel kelabu’nya itu.

Tapi, gue rada gak ‘puas’ nih dengan ending cerita di buku Murder on the Orient Express. Seperti biasa sih, pembunuhnya orang yang tampak baik, gak disangka-sangka, tapi di buku ini, kenapa nyaris semua penumpang ada hubungannya dengan si korban. Ini yang bikin gue jadi rada gak puas. Semua ternyata punya kedok, dan yang pasti emang punya potensi untuk jadi pembunuh.

Read more »

Kamis, 28 Juli 2011

The Day of the Jackal

The Day of the Jackal
Frederick Forsyth @ 1971
Ranina B. Kunto (Terj.)
Penerbit Serambi – Cet. 1, Juni 2011
609 hal.

Sekelompok orang yang tergabung dalam OAS (Organisation L’Armée Secréte) ‘memutuskan’ bahwa Presiden Perancis, Charles de Gaulle, harus mati. Mereka beranggapan de Gaulle sudah berkhianat dan melenceng dari apa yang sudah diperjuangkan oleh para veteran.

Beberapa usaha pembunuhan gagal, para perencana, penggagas dan pelaksana pembunuhan itu sudah dieksekusi. Pentolan-pentolan yang masih berkeliaran beberapa ditangkap. Itu semua membuat orang-orang di OAS berhati-hati dan memilih bersembunyi disbanding berkeliaran di jalan-jalan di Perancis atau di kota mana pun.

Tapi, masih ada beberapa orang yang tetap ingin de Gaulle mati. Orang yang fanatik, seperti Rodin. Selama ini, anggota OAS sudah gagal membunuh de Gaulle, ada kebocoran di dalam organisasi mereka. Entah karena ada pengkhianat atau OAS sudah disusupi oleh mata-mata pemerintah. Oleh karena itu, ia berpikir, misi ini akan berhasil jika mereka merekrut orang luar – bukan warga negara Perancis dan bekerja secara professional alias seorang pembunuh bayaran.

Akhirnya terpilihlah seorang warga negara Inggris, dengan track record yang minim. Tapi catatan yang minim inilah yang dicari, sehingga jejaknya tak mudah tercium. Nama sandi-nya Jakal. Dengan bayaran yang menggiurkan, akhirnya tercapailah kesepakatan. Sang Jakal diberi kebebasan untuk memutuskan kapan waktu eksekusi yang tepat dan dengan cara apa.

Jakal pun memulai rangkaian operasinya. Ia bekerja sendiri, mempersiapkan semuanya dengan rinci dan teliti. Mulai dari pemesanan senjata, pembuatan identitas palsu, mencari tempat dan saat yang tepat untuk pelaksanaan pembunuhan itu.

Ia bebas berkeliaran dengan identitas palsu tanpa tercium oleh pihak kepolisian. Sampai akhirnya, pihak kepolisian mulai curiga karena ada 3 orang pentolan OAS yang bersembunyi di sebuah hotel di Roma tanpa melakukan apapun. Dengan tipu daya, akhirnya mereka berhasil menangkap dan memperoleh informasi dari bodyguard yang selalu menjaga Rodin bernama Kowalski. Kowalski ini berbadan besar, tidak banyak omong, tapi ternyata punya hati yang ‘lembut’. Dari sinilah operasi yang dilakukan Jakal mulai tercium dan membuat pihak kepolisian kalang kabut. Sementar de Gaulle sendiri enggan membesar-besarkan berita kalau keselamatannya tengah terancam.

Ditugaskanlah seorang detektif bernama Lebel untuk menyelidiki dan menangkap Jakal. Tapi dengan minimnya informasi, tekanan yang bertubi-tubi dari para atasan, penyelidikan ini berjalan dengan sangat lamban. Ditambah lagi, tampaknya pergerakan Jakal selalu selangkah lebih maju. Jakal selalu bergerak lebih cepat tepat ketika Lebel berhasil memperoleh informasi tentang keberadaan Jakal. Sebuah ‘kecerobohan’ yang disebabkan oleh pihak dalam yang dekat dengan presiden dan tak ingin dikalahkan oleh seorang detektif.

Cukup lama buat gue untuk mendapatkan ‘klik’ atau ‘feel’ dengan novel ini. Memang, harus gue akui, novel ini keren. Semua ditulis dengan begitu detail dan sistematis. Gak heran sih, kalo ternyata novel ini jadi ‘inspirasi’ atau ‘manual book’ beberapa orang untuk melakukan tindak kejahatan, seperti pembunuhan atau pemalsuan passport

Bukan novel yang membuat adrenalin gue terpacu untuk baca terus dan terus. Menjelang akhir bagian pertama, baru gue mulai bisa pelan-pelan menikmati isi novel ini. Bagian-bagian yang gue suka adalah bagiannya si Jakal. Setiap dia lagi mempersiapkan segala sesuatunya, bekerja sendiri. Misterius. Gue jadi terbayang sama Daniel Craig – si James Bond.

Eksekusi akhir novel ini berlangsung cepat. Berbeda detail yang begitu panjang di bagian awalnya. Mulai deh keliatan seperti ‘adegan’ film. Detektif yang bolak-balik kalah cepet dengan si penjahat.

Salah satu yang membuat gue betah adalah pemilihan kertas dan font-nya yang ‘bersahabat’ dengan mata. Tapi, kenapa banyak bahasa Perancis yang gak diterjemahin? Dan gue sempat berpikir, kenapa juga Jackal itu harus diterjemahin jadi Jakal, kenapa gak tetap dengan tulisan aslinya?
Read more »

Minggu, 03 Juli 2011

Theodore Boone: The Abduction

Theodore Boone: The Abduction (Theodore Boone: Penculikan)
John Grisham @ 2010
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
GPU – Juni 2011
232 hal.

Theodore Boone atau Theo kembali disibukkan dengan sebuah peristiwa hukum yang kali ini melibatkan sahabatnya sendiri. Di buku sebelumnya, sudah diceritakan bahwa Theo bersahabat dengan April Finnmore. April ini sedang mempunyai masalah dalam keluarganya. Kedua orangtuanya dalam proses perceraian. Ayahnya jarang di rumah, lebih sibuk dengan band-nya yang tak terkenal itu, ibunya juga sering menggunakan obat-obat terlarang. April anak yang tertutup, meskipun April dan Theo kerap bercerita, tapi tetap ada rahasia yang disimpan April.

Dan pada suatu hari, di tengah malam, keluarga Boone dikagetkan dengan berita bahwa April menghilang, diduga diculik oleh orang yang ia kenal. Theo pun khawatir dengan keselamatan sahabatnya itu. Ada petunjuk bahwa April sering berkirim surat dengan sepupu jauhnya, seorang tahanan bernama Jack Lepper. Jack Leppert ini diketahui kabur dari penjara. Tuduhan utama pun tertuju pada Jack Lepper.

Theo tentu saja gak betah hanya berdiam diri menunggu hasil kerja polisi yang menurutnya lamban. Ia mengerahkan teman-temannya, membentuk regu pencarian April. Mereka berpencar mencari April dan menempelkan selebaran foto April di penjuru kota tempat mereka tinggal.

Upaya ini tak juga membuahkan hasil. Namun berkat kecanggihan teknologi, kepintaran Theo, akhirnya ia berhasil mendapatkan sebuah titik terang tentang kemungkinan di mana April berada. Lagi-lagi, Theo harus menghindar dari orang tuanya yang protective dan meminta bantuan Ike Boone, pamannya yang juga mantan pengacara itu.

Di buku ini, gue lebih bisa merasakan emosinya Theodore Boone, mungkin karena kasusnya menimpa orang yang dekat dengan dia. Theo yang jadi gak bisa konsenstrasi, susah makan dan tidur, dan terus berpikir mencari cara untuk menemukan April.

Tapi menurut gue, cerita tentang Theo yang jadi ‘pengacara’ yang berurusan dengan Pengadilan Hewan, rasanya gak perlu diulang lagi di buku kedua ini. Karena kesannya hanya sebagai ‘sisipan’. Kenapa gak diceritain Theo yang berusaha ‘memecahkan’ kasus yang lebih ‘menantang’ sedikit.
Read more »

Kamis, 30 Juni 2011

Theodore Boone: Kid Lawyer

Theodore Boone: Kid Lawyer (Theodore Boone: Pengacara Cilik)
John Grisham @ 2010
Monica Dwi Chresnayani (Terj.)
GPU – September 2010
272 hal.

Sebagai anak pengacara, Theodore Boone atau akrab dipanggil Theo, tahu banyak tentang seluk-beluk pengadilan. Ayahnya, Wood Boone, seorang pengacara real estate, sedangkan ibunya, Marcella Boone, adalah pengacara perceraian. Theo sering main-main ke gedung pengadilan, kenal dengan hakim, jaksa dan pekerja lain di pengadilan itu. Pengetahuannya tentang dunia hukum juga tidak main-main. Ia kerap diminta bantuan oleh teman-temannya untuk memberi ‘nasihat hukum’.

Di kota kecil tempat tinggal Theo, ada kasus yang menghebohkan yang menarik minat para penduduk. Kasus pembunuhan seorang wanita yang tertuduhnya adalah suaminya sendiri. Kasus Duffy tentu saja tidak luput dari minat Theo. Di sidang perdana, Theo dan teman-temannya memperoleh kesempatan untuk studi lapangan Kelas Pemerintahan. Berkat hubungan akrab dengan hakim, mereka bisa mengikuti sidang perdana itu. Dan, dengan akses rahasia, Theo bisa mengikuti sidang melalui notebook-nya secara real time.

Dalam kasus ini, Pete Duffy didakwa bersalah, namun tak ada bukti-bukti yang cukup, sehingga hampir dipastikan Pete Duffy akan bebas. Tapi, ternyata, ada seorang saksi. Ia melihat ada orang yang masuk ke rumah itu. Sayangnya, saksi ini tak mau keberadaannya diketahui, karena ia adalah seorang imigran, dan pekerja illegal. Jika sampai polisi tahu, maka ia akan dideportasi dan dikirim kembali ke negara asalnya.

Theo pun terlibat. Ia menyimpan terlalu banyak rahasia. Dan ia sudah berjanji untuk tidak membocorkan identitas si saksi kepada siapa pun. Tapi, seandainya ia terus menyimpan rahasia ini, kebenaran tak akan terungkap dan pembunuh berdarah dingin itu akan berkeliaran dengan bebas.

Meskipun tidak setegang dan seseru novel John Grisham yang lain, novel Theodore Boone ini tetap enak untuk diikuti. Tetap ada bagian-bagian yang bikin penasaran, seperti tokoh Omar Cheepe yang misterius, yang tidak berkata-kata, tapi kehadirannya membuat Theo tidak nyaman.

Untuk tokoh Theo sendiri, rasanya adalah anak yang tahu ‘terlalu banyak’ dan untungnya bukan anak sok tahu. Dia juga gak pelit membantu teman-temannya, ikut kegiatan sosial dan sedang dalam masa ‘cinta monyet’. Minatnya hanya di Kelas Pemerintahan. Cita-citanya sudah pasti berkisar di dunia hukum. Punya paman yang juga mantan pengacara kelas atas. Untuk novel Theodore Boone ini sendiri, tingkat ‘ketegangan’ gak terlalu tinggi. Segmen pembaca lebih ke remaja.

Setelah gue liat-liat, ternyata koleksi buku John Grisham gue lumayan lengkap. Novel-novel John Grisham termasuk yang selalu gue ‘buru’ di awal-awal gue mulai mengkoleksi novel yang ‘gedean’ dikit. Udah lama juga sih gue gak baca novelnya, baru sekarang gue baca lagi. Dan ternyata, gue masih tetap suka.

Segera lanjut ke sekuel Theodore Boone…

Read more »

Senin, 26 Juli 2010

Shinjū

Shinjū
Laura Joh Rowland @ 1994
Reni Indardini (Terj.)
Hikmah - Cet. I, Januari 2010
532 Hal.

Sano Ichiro, diangkat sebagai seorang yoriki karena unsur balas budi. Seseorang yang sudah ditolong oleh ayah Ichiro di masa lalu ingin segera ‘menuntaskan’ rasa utang budinya kepada ayah Ichiro. Padahal, Ichiro tidak punya latar sebagai seorang ‘penegak hukum’, ia hanyalah seorang pengajar bela diri.

Dengan kedudukan barunya, orang mulai memandang segan padanya. Tapi tidak demikian dengan rekan-rekan sejawatnya yang tahu bagaimana latar belakang Ichiro sebenarnya. Rasa idealisme yang tinggi juga membuatnya dijauhkan dari lingkungan pergaulan sesama yoriki.

Munculah kasus kematian dua orang muda yang berbeda ‘derajat’. Niu Yukiko, seorang gadis dari keluarga ningrat dan Noriyoshi, seorang pemuda, seniman miskin. Mereka diyakini melakukan Shinjū, atau bunuh diri karena cinta terlarang. Atasan Ichiro, Hakim Ogyu, meminta Ichiro menulis laporan seperti yang sudah ‘diperintahkan’. Tapi, naluri Ichiro yang masih ‘polos’ berkata lain. Ia yakin ada sesuatu yang salah di balik kematian Yukiko dan Noriyoshi.

Ichiro pun mulai melakukan penyelidikan. Ia pergi ke kediaman keluarga Niu dan mendapat sambutan yang dingin dari Nyonya Besar Niu yang enggan kematian anak (tirinya) diungkit-ungkit. Lalu Ichiro pergi ke tempat di mana biasa Noriyoshi bekerja dan bertemu dengan orang-orang yang dianggap berpotensi mengingikan kematian seorang Noriyoshi.

Penyelidikan ini membuat pihak-pihak tertentu gerah, yang tidak ingin apa yang sebenarnya terjadi terungkap. Hakim Ogyu mulai ‘menekan’ Ichiro, beberapa orang jadi celaka. Tapi, Ichiro tetap maju, ia ingin keadilan ditegakkan.

Rumit sistem pemerintahan, peradilan di Jepang jaman dahulu kala. Di mana yang berkuasa senantiasa menekan anak buahnya dan jika tidak dipatuhi, kematian akan jadi akhir. Yang kaya selalu berusaha disembunyikan semua aibnya, sementara jika warga miskin, harus diungkap apa pun kejelekannya.

Yang membuat cerita ini menarik mungkin karena latar belakang cerita. Gue terlalu sering membaca cerita detektif dalam versi modern, jadinya buat gue apa yang ada dalam buku ini ‘menimbulkan rasa baru’. Meskipun nihhhh… gak terlalu membuat gue penasaran. Ending cerita juga gak terlalu dramatis. Tentu saja, Ichiro jadi pahlawan dan dapat kedudukan yang lebih tinggi dibanding jadi seorang yoriki.

Masih ada seri-seri Sano Ichiro selanjutnya, yang rasanya gak akan jauh-jauh dari misteri pembunuhan.
Read more »

Minggu, 28 Februari 2010

Six Suspects

Six Suspects
Vikas Swarup @ 2008
Black Swan - 2009
575 Hal.

Jika orang biasa – katakanlah supir taksi, pengemis, atau karyawan biasa – tewas dalam kecelakaan atau terbunuh, tidak akan menjadi sebuah berita besar, karena dianggap itu adalah hal-hal yang biasa, tidak istimewa. Tapi, ketika seorang pejabat, anak pejabat, selebritis tewas karena hal yang sama, semua media akan secara besar-besaran memberitakan hal tersebut.

Demikian saat Vicky Rai tewas. Vicky Rai, anak seorang menteri yang berpengaruh di India, tewas dalam pesta yang diselenggarakan untuk merayakan bebasnya Vicky Rai dari tuduhan membunuh seorang pramusaji bar bernama Ruby Gil. Vicky Rai sendiri memang bukan orang yang ‘bersih’. Berkali-kali ia lolos dari jerat hukum berkat posisi ayahnya.

Jaganath Rai sendiri, sang menteri, kerap melakukan permainan ‘kotor’. Siapa saja yang berani-berani menghalangi jalannya, akan segera dihabisi – entah polisi, entah sesama politisi yang masih berusaha bersikap idealis.

Dalam kasus ini, ada 6 orang tersangka. Seorang jurnalis investigasi, Arun Advani, berusaha mengungkapkan kasus ini (jadi inget Mikael Blomkvist).

Keenam orang tersangka itu adalah: Mohan Kumar - mantan sekretaris Jaganath Rai; Shabnam Saxena – aktris Bollywood papan atas yang jadi ‘incaran’ Vicky Rai; Munna Mobile – seorang pencuri handphone; Larry Page – warga negara asal Amerika yang datang ke India untuk menemui ‘calon pengantin’ yang hanya ia kenal lewat surat-menyurat dan foto; Eketi – penduduk sebuah suku di pedalaman India; and the last but not least, adalah sang menteri sendiri, ayah dari Vicky Rai – Jaganath Rai.

Layaknya sebuah penyelidikan, ada tersangka, ada motive, ada penyelesaian kasus dan akhirnya ada sebuah ‘kebenaran’, begitulah pembagian bab-bab dalam buku ini. Kita diajak mengenal siapa sih sebenarnya para tersangka itu – gimana keseharian mereka, apa yang membuat mereka akhirnya ‘terhubung’ dengan Vicky Rai dan bagaimana mereka bisa ada di pesta tersebut.

Buku ini nyaris membuat gue gak tidur, males kerja (pengennya ngumpet di kamar mandi, biar bisa baca buku ini… hehehe…). Bener-bener bikin penasaran. Kalo Mikael Blomkvist berperan ‘aktif’ sepanjang buku, di buku ini, Arum Advani hanya muncul di awal dan di akhir, itupun berupa bentuk kolom yang ditulisnya di koran. Pembaca yang diajak ‘aktif’ untuk menelusuri kasus ini, menduga siapakah yang sebenarnya menembak Vicky Rai berdasarkan latar belakang dan motif-motif yang dipaparkan sepanjang buku ini. Bagian ‘The Suspects’ dan ‘The Motives’ memang mendapatkan porsi yang besar dalam buku ini.

Tapi, kerennya buku ini lagi, ketika udah sampai ‘kesimpulan’ siapa pelaku sebenarnya, tiba-tiba muncul sebuah ‘teori’ baru yang mematahkan bahwa tersangka yang ditangkap polisi bukanlah pelaku yang sebenarnya. Dan ketika kita (well.. paling nggak gue) mulai percaya dengan teori baru itu dan mulai mengangguk-anggukan kepala, sambil berkata. “Ooo… jadi dia pelakunya. Hmm.. iya juga sih…” tau-tau, ada lagi fakta baru yang menunjukkan pelaku sebenarnya. Ending-nya, gue harus menebak-nebak sendiri siapa pelaku sesungguhnya.
Read more »

Selasa, 02 Februari 2010

The Girl who Played with Fire

The Girl who Played with Fire
Stieg Larson @ 2006
Nurul Agustina (Terj.)
Qanita, Cet. 1 - Desember 2009
904 Hal.

Melihat ketebalan buku ini yang ‘luar biasa’, gue nyaris mengurungkan niat gue untuk membaca sekuel dari Blomkvist & Salander Trilogy. Tapi, gue jadi penasaran, karena – lagi-lagi terpengaruh komentar orang – katanya, buku ini lebih seru dari yang pertama. Ya.. ya.. ya… kalo dilihat dari tebalnya sih, semoga memang benar begitu.

Buku ini bercerita tentang misteri latar belakang kehidupan seorang Lisbeth Salander, gadis yang bisa dibilang aneh, gak pedulian sama orang, jago computer, punya ingatan fotografis dan berkepribadian yang rumit banget. Berkat kemampuannya itu, Lisbeth berhasil ‘mengantongi’ uang yang sangat banyak untuk ukuran gadis seperti dirinya. Ia menghilang tiba-tiba dari Swedia. Pergi ke luar negeri. Menjauh dari Swedia nyaris selama dua tahun. Lisbeth juga memilih untuk menjauh dari Mikael Blomkvist.

Dua tahun berlalu sejak mereka bekerja sama, Mikael Blomkvist terus mencari Lisbeth yang seolah lenyap ditelan bumi. Lisbeth tidak pernah menjawab email, telepon, bahkan di apartemennya pun tidak ada. Hubungan mereka berdua akan benar-benar terputus jika saja kasus yang melibatkan Lisbeth tidak ada.

Mikael Blomkvist sedang bekerja sama dengan wartawan bernama Dag Svensson untuk menerbitkan sebuah buku dan artikel tentang kasus perdagangan wanita di Swedia. Dag dibantu istrinya, Mia, seorang kriminolog. Mereka berdua meminta Millenium untuk menerbitkan naskah mereka.

Sementara, Lisbeth masih terobsesi untuk membuat walinya, Bjurman, tersiksa. Tapi, ternyata, Bjurman sendiri memilik rencana tersendiri untuk membuat Lisbeth bertekuk lutut dan menyerah.

Sebagai hacker, tentu saja Lisbeth punya akses ke dalam kompter Blomkvist, sehingga dia tahu apa yang sedang dikerjakan Blomkvist. Dari sana, Lisbeth menemukan sebuah nama yang menghubungkannya dengan masa lalunya.

Tiba-tiba saja, Dag, Mia dan Bjurman ditemukan tewas tertembak di apartemen mereka masing-masing. Sebuah pistol ditemukan di tempat kejadian, dengan sidik jari Lisbeth yang tertera di sana. Jadilah Lisbeth sebagai tersangka utama dan menjadi buron, karena keberadaannya sangat sulit ditemukan.

Blomkvist yakin, Lisbeth tidak bersalah. Tapi, entah bagaimana membuktikannya, karena Lisbeth begitu tertutup dan penuh teka-teki.

Cerita yang rumit banget. Masih seputar pelecehan terhadap perempuan, kali ini lebih focus ke perdagangan perempuan. Sebuah nama, tapi jarang ada yang tahu wujud orang ini, berhubungan dengan masa lalu Lisbeth yang ditutup rapat-rapat, bahkan jadi ‘Top Secret’. Wow… siapa sih sebenernya Lisbeth Salander ini?

Semakin lama, semakin ke belakang, jujur, gue semakin cape’ baca buku ini. Lambat banget. Terlalu banyak orang dengan detail yang panjang. Sampai-sampai gue sering melewatkan beberapa halaman. Ya, kalo penasaran, sih, ya pasti. Keping-keping informasi, muncul pelan-pelan, gak bikin terlalu sport jantung.

Lisbeth Salander jadi layaknya seorang superhero, superwoman, atau Robin Hood cewek. Dia memang gak bersih, tapi dia punya keyakinan sendiri dengan sudut pandang sendiri, kadang beda sama orang pada umumnya. Dia membereskan dosa-dosa orang yang memang pantas mendapatknya, tapi dengan cara yang bertentangan dengan hukum.

Read more »

Rabu, 20 Januari 2010

The Girl with The Dragon Tattoo

The Girl with The Dragon Tattoo
Stieg Larsson @ 2005
Nurul Agustina (Terj.)
Qanita, Cet. I – Juli 2009
780 Hal.

Mikael Blomkvist, seorang wartawan investigasi dari majalah Millenium, terjerat kasus pencemaran nama baik yang menyebabkannya harus dihukum penjara dan dapat menghancurkan karirnya sebagai wartawan. Millenium sendiri terancam gulung tikar karena pemasang iklan banyak yang menarik diri. Lawan Blomkvist tidak tanggung-tanggung, seorang pengusaha besar bernama Wennerström yang memiliki banyak pengaruh.

Datanglah tawaran dari Henrik Vanger, pemilik perusahaan Vanger dan salah satu yang paling berpengaruh di Swedia, yang memintanya menyelidiki sebuah kasus pembunuhan yang terjadi 40 tahun yang lalu. Henrik meminta Blomkvist untuk menyelidiki hilangnya Hariet Vanger, keponakan kesayangannya, yang hilang dan diduga dibunuh, tapi mayatnya tidak pernah ditemukan.

Blomkvist mau menerima tugas itu karena Henrik menjanjikan imbalan berupa data yang bisa membuat Wennerström mati kutu dan membersihkan nama Blomkvist. Maka, pindahlah Blomkvist ke Pulau Hedeby. Dengan alasan untuk membuat biografi keluarga Vanger, Blomkvist mulai mendekati anggota keluarga Vanger dan mencari data-data yang mendukung. Tak semua keluarga Vanger menerima kehadiran Blomkvist. Mereka menganggap, Blomkvist hanyalah alat Henrik untuk ‘memuaskan’ rasa penasaran atas hilangnya Hariet – yang mereka anggap sudah menjadi obsesi atau ‘hobi’ Henrik.

Semua orang yang ada di Pulau Hedeby pada hari itu bisa jadi tersangka. Apalagi menurut Henrik, semua anggota keluarga Vanger memilik ‘keanehan’. Fakta-fakta yang ditemukan sangat mengejutkan. Berhubungan dengan ayat-ayat yang diambil dari Kitab Injil, yang kemudian mengarah pada serangkaian kasus pembunuhan yang tak pernah terpecahkan. Pembunuhan berantai terhadap perempuan-perempuan yang dilakukan dengan cara sadis – merujuk pada penafsiran ayat-ayat Kitab Injil itu dari sudut pandang yang sangat salah. Tak bisa dipungkiri lagi, pelakunya adalah orang yang sangat ‘sakit jiwa’.

Lisbeth Salander dan Blomkvist baru bertemu di tengah-tengah cerita ini. Untuk membantu Blomkvist, Dirch Frode – pengacara keluarga Vanger, meminta bantuan Lisbeth Salander – perempuan muda yang punya masalah pribadi yang tak kalah rumit, selalu berdandan a la punk, jago meng-hack computer, punya ingatan fotografis dan cuek. Kecepatan, ketelitian dan keberanian Salander mampu membantu Blomkvist dalam mengungkap kasus ini. Ternyata kerjasama mereka menghasilkan penemuan yang sangat mengejutkan. Karenanya Blomkvist juga nyaris kehilangan nyawanya.

Dari banyak blog yang gue kunjungi dan pemiliknya pernah baca buku ini, rata-rata mereka memberikan rekomendasi bahwa buku ini bagus dan keren. Bahkan beberapa juga memasukkan buku ini ke dalam daftar buku favorit mereka. Buku ini memang bagus. Buku ini ‘datang’ di saat yang tepat ketika gue lagi pengen baca buku thriller atau yang rada-rada meneganggkan. Emosi gue, ‘adrenalin’ gue dibuat naik turun. Di bagian awal, gue dibuat penasaran dengan cerita kiriman bunga-bunga kering tak bernama, tapi, gue sempat dibuat bosan waktu baca bagian kasus Blomkvist. Adrenalin dan rasa penasaran gue kembali naik ketika udah masuk bagian penyelidikan tentang kasus Hariet Vanger, apalagi waktu fakta-fakta mulai muncul pelan-pelan, rasa ngeri dan ngilu ketika baca detail-detail pembunuhan sadis itu. Lalu, kembali turun, menjelang ending buku ini.

Buku ini menyorot pada kasus pelecehan perempuan yang banyak terjadi di Swedia (atau di belahan dunia manapun). Pelakukanya terkadang orang yang dekat dengan kita – bahkan keluarga sendiri, orang yang harusnya kita percaya. Gak heran kalo Lisbeth Salander akan mencari cara sendiri yang sama sadis dan dinginnya untuk membalas pelaku-pelaku kejahatan itu. Lisbeth sendiri digambarkan sebagai sosok yang juga mengalami kasus pelecehan oleh walinya sendiri, tapi, tidak mampu melaporkan ke polisi atau ke orang lain, karena dia menganggap, tidak akan ada orang percaya, karena si pelaku memiliki kekuasan atau kedudukan yang lebih tinggi dari dia.

The Girl with The Dragon Tattoo adalah buku pertama dari trilogi Blomkvist & Salander (atau The Millenium-series")
Read more »

Senin, 04 Mei 2009

Metropolis

Metropolis
Windry Ramadhina @ 2009
Grasindo – 2009
331 Hal.

Kepolisian disibukkan dengan pembunuhan berantai pimpinan kelompok pengedar narkotika. Adalah Augusta Bram, polisi dari bagian narkotika yang sudah menangani kasus ini. Awalnya, perkiraan terjadinya pembunuhan ini ‘hanya’ karena persaingan antar gank memperebutkan daerah kekuasaan mereka. Para kelompok ini dikenal dengan nama Sindikat 12.

Kalau sudah tahu siapa para pemimpin dan siapa saja anggotanya, kenapa gak ditangkap aja? Hmm.. ternyata gak semudah itu. Para pengedar ‘bermain’ dengan sangat hati-hati dan bersih. Mereka pintar mengatur semua transaksi dan keuangan mereka, agar polisi tidak bisa melacak bisnis kotor mereka. Terkadang polisi juga harus tarik ulur, saling bertukar informasi dan bukti, demi mendapat keping-keping informasi lainnya.

Augusta Bram mulai mencari pola dari pembunuhan berantai itu. Apa motif dari si pembunuh sebenarnya? Dibantu Erik, asistennya, mulailah ia merunut dari awal, siapa di antara Sindikat 12 yang pemimpinnya dibunuh paling awal. Pola yang begitu rumit dan tidak berbentuk.

Keanehan lain timbul, ketika di setiap tempat kejadian perkara, ada seorang perempuan yang hadir. Perempuan yang sama yang ada ketika pemakaman Leo Saada – ada juga di tempat Markus ditemukan tewas, bahkan ada di tempat Soko Galih terjun bebas dari rukonya.

Ternyata perempuan itu bernama Miaa, mantan polisi juga. Ia punya misi tersendiri untuk ada di setiap tempat kejadian.

Bram harus mau kembali bekerja sama dengan Ferry Saada agar bisa menangkap pembunuh ayah Ferry. Dari penyelidikan yang panjang, terungkaplah kejadian tragis di tahun 1991. Motif balas dendam menjadi latar belakang dari pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini.

Kerja keras Bram nyaris terhenti karena atasannya, Burhan, yang ingin mengalihkan kasus ini ke bagian lain. Tapi, Bram tidak mau berhenti begitu saja, ketika titik terang sudah mulai terlihat.

Nama-nama baru muncul seiring berkembangnya kasus ini. Seperti jaring laba-laba, semuanya ternyata berhubungan satu sama lain dan punya kepentingan masing-masing. Tapi, yang rada gak jelas… kaya’nya tokoh Aretha? Kenapa dia begitu baik sama keluarga Al? Apa hubungannya ya?

Gue suka novel ini. Cara penulisannya rapi banget. Semuanya teratur dan detail. Mulai dari awal, ketika pemakaman Leo Saada, gue bisa ngebayangin gimana prosesinya. Gue jadi membayangkan film-film mafia, dengan mobil limousine hitam, para pelayat dengan baju hitam-hitamnya, yang perempuan lengkap dengan kacamata hitam, yang pria tetap cool. Lalu, masuk ketika tokoh-tokoh mulai muncul, gue ngebayangin sosok Ferry Saada bertampang seperti mafia-mafia Cina (tokoh langsung berubah dari wajah Latino ke wajah-wajah seperti Andy Lau – hehehe.. gue gak terlalu hafal nama-nama pemain film Cina, hanya sebatas Andy Lau). Lalu, tokoh Johan yang tampak rapuh, tapi berhati dingin. Tapi, entah kenapa, gue agak kesulitan membayangkan tokoh Bram – rasanya, semua yang gue inget, rada kurang macho untuk menggambarkan sosok Bram.

Perpindahan setiap bagian cerita juga rapi banget. Meskipun tempat dan tokohnya berbeda, tapi tetap berhubungan dengan bagian sebelumnya. Selain itu, Mbak Windry juga bikin blog khusus untuk novel ini. Di sana bisa diliat foto-foto ‘setengah wajah’ dari tokoh-tokoh di sini. Kaya’nya riset buat buku ini juga lumayan dalem. Istilah-istilah narkotika, kepolisian cukup detail. Gue menikmati banget baca buku ini. Gue ikutan tegang dan penasaran (beneran lho… Bukan karena gue dapet buku ini gratis, makanya gue suka…)
Read more »

Rabu, 09 Mei 2007

OUT (Bebas)

OUT (Bebas)
Natsuo Kirino
Lulu Wijaya (Terj.)
GPU, April 2007
576 Hal.

Empat orang perempuan bekerja pada shift malam di sebuah pabrik makanan kotakan. Mereka cukup dekat, meskipun tidak bisa dikatakan bersahabat. Mereka berempat biasa bekerja dalam satu baris atau satu kelompok dan saling mem-back up satu sama lain. Keempat wanita itu adalah Yayoi, Masako, Yoshie, dan Kuniko.

Mereka semua punya masalah tersendiri dengan rumah tangga mereka yang bisa dibilang tidak bahagia. Misalnya Masako, yang meskipun masih satu rumah dengan suami dan anaknya, tapi hampir tidak pernah ada komunikasi, lalu Yoshie, suaminya sudah meninggal dan ia harus mengurus ibu mertuanya yang sakit-sakitan. Yoshie biasa dipanggil ‘Kapten’ karena ia yang paling cekatan; Kuniko, wanita satu ini ingin selalu tampil ‘berkelas’ meskipun untuk itu ia harus mencari pinjaman ke rentenir agar bisa memenuhi semua kebutuhannya. Setiap bulan ia selalu bermasalah dengan cicilan bulanan dari pinjamannya itu.

Sedangkan Yayoi, ibu dua anak yang masih kecil-kecil, baru saja mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Suaminya, Kenji, akhir-akhir ini sering pulang dalam keadaan mabuk dan mulai menghabiskan uang untuk perempuan. Ketika Yayoi protes, Kenji malah memukulnya dan meninggalkan bekas biru di perutnya. Inilah asal mula semua permasalahan.

Karena sakit hati atas sikap suaminya, Yayoi – yang terlihat paling lemah di antara mereka berempat, melakukan tindakan mengerikan dengan membunuh suaminya. Bingung harus berbuat apa, Yayoi pun menelepon Masako agar mau membantunya.

Meskipun juga tidak harus berbuat apa dan atas dasar apa, Masako mau membantu Yayoi. Dan entah apa juga yang merasuki Masako sampai ia akhirnya mengambil tindakan yang sangat mengerikan untuk melenyapkan mayah Kenji. Masako meminta bantuan Yoshie yang dengan terpaksa menuruti permintaan Masako karena hutang budi. Dan Kuniko, pun tanpa sengaja terlibat aksi pemotongan mayat Kenji. Sementara Yayoi sendiri tidak terlibat dalam kejadian ini. Atas perintah Masako, Yayoi harus berperan sebagai istri yang khawatir karena suaminya tidak pulang ke rumah.

Masako, yang bertindak sebagai ‘pimpinan’ dalam hal ini, membagi-bagikan kantong berisi potongan tubuh Kenji pada Yoshie dan Kuniko untuk dibuang di tempat-tempat yang berbeda. Tapi, karena kesalahan satu orang saja yang tidak sabaran dan hanya memikirkan kepentingan sendiri, beberapa kantong berhasil ditemukan, dan polisi pun mulai melakukan penyelidikan.

Tidak ada yang menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Yayoi dan teman-temannya – para ibu rumah tangga biasa. Malah, seorang tersangka berhasil ditemukan dan dijebloksan ke penjara. Satake, tersangka itu, harus kehilangan usaha yang bertahun-tahun ia bangun. Satake juga punya masa lalu yang gelap yang membuat ia menjadi tersangka paling kuat.

Rahasia mereka tidak selamanya bisa disembunyikan dengan baik. Di antara mereka lagi-lagi ada yang hanya memikirkan kepentingan sendiri yang malah menjebloksan mereka ke dalam masalah yang lebih besar. Ancaman mulai muncul dari orang-orang yang mengetahui rahasia mereka dan dari orang yang merasa dirugikan oleh mereka. Mereka merasa diawasi dan nyawa mereka pun terancam. Hidup mereka pun tidak aman dan nyaman lagi.

Natsuo Kirino berhasil membangun ketegangan dari awal cerita. Meninggalkan rasa penasaran untuk terus dan terus melanjutkan buku ini sampai selesai. Bagian-bagian yang mengerikan diceritakan dengan halus, tapi, bisa membuat bertanya-tanya, apa yang ada di benak Masako, Yoshie dan Kuniko kala melakukan hal itu. Kalau gue, bener-bener bisa ngerasain betapa dinginnya Masako.

Pembaca bukan hanya diajak untuk mengikuti jalannya sebuah pelacakan pelaku pembunuhan, tapi juga diajak untuk menyelami kehidupan masing-masing tokoh, dan apa yang mereka rasakan sampai semua ini terjadi.

Sempat ketar-ketir juga begitu tau ada ‘adegan’ potong-memotong mayat. Tapi, ternyata gak seburuk itu… I still love sushi… I still love steak… atau… gue udah ikutan Masako yang dingin itu??? Hehehe… Kalo dipikir-pikir, gak ada satupun dalam novel ini, yang tokohnya punya kehidupan yang bahagia. Iya sih… kalo bahagia, gak akan ada kejadian seperti itu. Tapi, semuanya benar-benar gelap. Mungkin kesamaan nasib yang akhirnya menyatukan mereka, meskipun gak kompak.

Terima kasih untuk para ‘kompor’ – Kobo dan Om Tan, karena ternyata… gue suka sama buku ini… (meskipun gak yakin bisa berani kalo nonton filmnya…)
Read more »