Tampilkan postingan dengan label buku pinjeman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label buku pinjeman. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 September 2012

Rufus M



Rufus M
Eleanor Estes @ 1943
Odyssey – 2001
235 hal.
(Pinjam dari Reading Walk)

Well.. ini adalah kisah tentang anak kecil yang kocak, sok tau dan pantang menyerah tapi tetap lucu. Apa yang dia mau, maka ia akan berjuang supaya tercapai.

Namanya Rufus Moffat, tapi si Rufus ini terbiasa menuliskan namanya hanya Rufus M. Dia adalah anak terkecil dari 4 bersaudara Moffat. Ada aja akalnya yang bisa bikin gue jadi senyam-senyum gemes saat membaca kisah Rufus ini. Ini adalah buku ketiga dari kisah Moffat bersaudara ini.

Baca aja gimana usaha Rufus biar bisa minjem buku di perpustakaan, biar harus bolak-balik, tapi Rufus tetap gigih berjuang sampai akhirnya si pustakawati luluh.

Semua begitu simple di mata Rufus. Di tengah-tengah suasana Perang Dunia I, Rufus tetap ceria bersama kakak-kakaknya. Di sekolah, setiap anak wajib merajut handuk untuk para prajurit yang akan pergi ke medan perang. Dan saat melepas kepergian prajurit itu di stasiun kereta api, Rufus bersikeras untuk menyampaikan sendiri handuk hasil buatannya itu ke salah satu prajurit. 



Salah satu ilustrasi - via Collecting Children's Books

Siapa yang gak bakal jatuh cinta dengan tokoh yang menggemaskan seperti ini?

Ini adalah salah satu buku klasik. Mungkin gak banyak pembaca di Indonesia yang mengenal Eleanor Estes ini. Karena kalo ngeliat di Goodreads, yang kasih review pembaca dari luar semua. Yah, gue sendiri baru tau setelah baca buku ini. Rufus M ini mendapatkan penghargaan Newberry Honor. Buku lain beliau, selain seri The Moffats (The Moffats, The Middle Moffat dan The Moffat Museum) adalah Ginger Pye (yang meraih medali Newberry), Pinky Pye, The Witch Family, The Hundred Dresses dan Miranda the Great.

Ide The Moffat Museum keren juga ya… hehehe.. ini cocok untuk para melakolis yang selalu sayang sama barang-barang yang ‘dianggap’ punya nilai sejarah dan kenangan.

Kira-kira adakah penerbit di Indonesia yang mau menerjemahkan buku-buku Elanor Estes?
Read more »

Kamis, 06 September 2012

Gadis Kretek



Gadis Kretek
Ratih Kumala @ 2012
GPU – Cet. I, Maret 2012
275 hal
(Pinjem sama Om Tan)

Boss besar Kretek Djagad Raja sedang sekarat. Dalam keadaan ‘ngelindur’, Pak Raja malah menyebutkan nama seorang perempuan yang karuan membuat istrinya berang dan cemburu. Jeng Yah – demikian nama perempuan itu. Ketiga anak laki-laki mereka pun bertanya-tanya, siapakah Jeng Yah? Bertanya pada ibu mereka sama saja memicu pertengkaran, karena ibunya berkata “Jangan berani-berani menyebut nama perempuan itu!” Waduh…

Maka, Tegar, Karim dan Lebas pun mencari informasi tentang siapakah sosok Jeng Yah itu. Bergulirlah sebuah kisah di balik kesuksesan Kretek Djagad Raja.

Diawali dengan persaingan antara Soedjagad dan Idroes Moeria di masa perang kemerdekaan. Kala itu jaman serba susah. Pada dasarnya Soedjagad dan Idroes ini berteman sejak kecil. Tapi, persaingan diam-diam dalam memperebutkan seorang gadis bernama Roemisa, membuat mereka akhirnya menjauh. Syarat untuk bisa mendapatkan hati sang gadis adalah harus bisa baca-tulis. Sebuah syarat yang berat kala itu.

Awalnya Idroes-lah yang mulai dengan usaha kretek ini. Tapi, selalu saja tak selang berapa lama, muncul kretek sama produksi Soedjagad, entah dengan nama yang berbeda, atau kemasan yang nyaris sama. Tak ketinggalan pula slogan yang menarik hati para konsumen. Tentu saja Idroes gemas. Meskipun ia berhasil memenangkan ‘hati’ Roemisa, tapi tetap saja tak membuat Soedjagad menyerah. Puncaknya adalah ketika tiba-tiba Idroes menghilang kala masa pendudukan Jepang. Nyaris saja Roemisa jatuh ke pelukan Soedjagad.

Persaingan terus berlanjut bahkan sampai pasangan ini memiliki anak perempuan bernama Jeng Yah. Tapi selalu saja, Idroes selalu selangkah lebih maju. Kretek Gadis-lah yang membuat Idroes semakin sukses. Saat itu, seorang pemuda bernama Soeraja tengah dekat dengan Jeng Yah. Pemuda yang tak jelas asal-usulnya ini membuat Jeng Yah jatuh cinta. Mereka nyaris menikah, tapi sayang, peristiwa G30S/PKI membuat rencana mereka berantakan. Soeraja pun menghilang, Kretek Gadis juga sempat mengalami masa koma.

Dan… bagian yang lucu adalah saat pembaca rahasia luka di wajah Soedjagad terbuka apa penyebabnya. Dan terbongkar pula sebuah rahasia lain, yang membuat ketiga anak laki-laki Soedjagad justru merasa bersalah.

Wah, sebuah usaha yang sangat sederhana, melahirkan perusahaan kretek yang kemudian jadi nomer 1. Cover novel ini bisa membuat pembaca bertanya-tanya, siapakah si Gadis Kretek? Si Gadis yang tengah memegang rokok (yang kalo di iklan rokok aja kan gak boleh keliatan ada rokoknya… CMIIW). Tapi, gue suka cover-nya, tampak klasik.

Pembaca juga diberi ‘pengetahuan’ tentang segala sesuatu tentang kretek, mulai dari cara memilih tembakau dan cengkeh, sejarah kretek, bahan pembungkus kretek, plus resep rahasia yang membuat kretek itu jadi ‘enak’.

Tak hanya itu, Soedjagad juga mengajarkan pada anak tertuanya, bagaimana seharusnya seorang pemimpin itu bersikap, bahwa banyak yang menggantungkan hidup pada pabrik kretek mereka. Para buruh bukan hanya pekerja, tapi juga keluarga mereka.

Tapi, kenapa gue merasa porsi si Gadis Kretek ini terlalu singkat ya? Justru begitu panjang kisah cinta Idroes dan Roemisa, plus cerita tentang persaingan Idroes dan Soedjagad.
Read more »

Jumat, 29 Juni 2012

The Postmistress



The Postmistress
Sarah Blake @ 2010
Meggy Soejatmiko (Terj.)
Elex Media Komputindo, Cet. I – April 2012
588  hal.
(Pinjam sama Astrid)

Ini adalah kisah dua perempuan yang bertugas menyampaikan berita. Sama-sama berperan penting dalam kehidupan ‘kelangsungan’ hidup seseorang.

Amerika – masa-masa Perang Dunia II, pemerintah sudah berjanji bahwa tidak akan ada pemuda yang dikirim ke medan perang. Tapi, tetap saja warga was-was. Bisa-bisa sewaktu-waktu tentara Jerman muncul di perairan Amerika.

Harry Vale, setia memantau perairan di di pesisir Franklin, di sekitar daerah tempat ia tinggal. Meskipun banyak yang menganggap remeh usahanya ini. Bahkan ia meminta kepala kantor pos yang baru, Iris James, untuk segera memotong sedikit tiang bendera di depan kantor pos yang terlalu menjulang. Khawatir ini akan menjadi tanda bagi tentara Jerman.

Iris James, si kepala kantor pos baru ini, sangat serius dengan pekerjaannya. Baginya, surat-surat yang masuk ke kantor posnya adalah sangat penting bagi kehidupan seseorang. Bisa saja di salah satu surat itu ada panggilan kerja untuk seorang pencari kerja, surat undangan, surat lamaran pria pada kekasihnya. Jika ini terlambat sampai ke orang yang bersangkutan, maka akan menghambat hari-hari orang lain.

Sementara, nun jauh di London, Frankie Bard, reporter asal Amerika, setia mengabarkan kepada dunia – Amerika tepatnya – akan kondisi perang yang sesungguhnya. Bom yang nyaris dijatuhkan di London setiap malam, orang-orang yang kehilangan sanak-saudara, teman dan tempat tinggal. Frankie mencoba membuka mata, bahwa perang itu sungguh ada. Ia meninggalkan kehidupan yang nyaman demi menyampaikan berita.

Adalah Will Fitch yang jadi benang merah antara kedua perempuan ini. Karena gagal membantu menyelamatkan nyawa seorang ibu saat melahirkan, Will Fitch merasa bersalah, ia pun ingin menebus rasa bersalahnya itu dengan pergi ke London, menjadi sukarelawan di sana. Meski berat, Emma, istrinya melepas kepergian suaminya. Will tak tahu kalau Emma sedang hamil. Dan, Will berjanji akan terus mengirimkan kabar dan segera pulang.

Di awal, kabar itu lancar, sampai suatu malam, terjadi tragedi yang merengut nyawa Will. Saat itu, Frankie yang baru saja berkenalan dengan Will, melihat surat yang akan dikirim Will pada Emma. Kejadian ini, membawanya mengambil keputusan untuk mencari berita dengan mewawancarai para pengungsi. Kembali ia harus menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis. Selain itu, masih ada beban – surat Will, dan bahwa ia adalah sebagai salah satu penyampai berita buruk.

Dan, surat yang mengabarkan kematian Will juga tiba di kantor pos tempat Iris. Iris yang melihat bagaimana setiap hari Emma selalu melihat kotak pos-nya, menanti datangnya surat dari Will, tak tega untuk menyampaikan berita ini. Sosok Emma yang begitu rapuh, membuat semua orang ingin melindunginya.

Siapakah yang nantinya akan menyampaikan berita itu ke Emma? Iris atau Frankie? Yang jelas dua-duanya mempunyai beban yang berat.

Inilah cerita perang tapi tanpa dar-der-dor. Malah perangnya sendiri seolah gak ada. Padahal sesungguhnya ada di sekeliling mereka. Coba aja baca, saat Frankie masih sempat minum-minum di klub, atau teman-teman Harry yang masih asyik mancing. Padahal mereka semua juga was-was.

Dan bagaimana, keputusan seseorang bisa sangat mempengaruhi jalan hidup orang lain. Bagaimana juga rasa curiga justru lebih besar ada di tempat yang adem-ayem. Yang bikin sedih, saat seorang ibu melepas anaknya untuk pergi sendiri, biar anaknya selamat, lalu saat seorang anak melihat rumahnya sudah luluh lantak terkena bom dan gak tau keluarganya di mana. Ini adalah bagian-bagian yang bikin sesak. Hiks….

Gue sempat merasa bagian soal tiang bendera itu bagian yang gak penting. Tapi itu justru bagian itu yang jadi ‘penanda’ hubungan antara Iris dan Harry.

Cerita ini juga menggambarkan sosok perempuan yang ‘gagah’. Bukan berarti macho sih. Tapi berani. Frankie Bard dengan berita-beritanya di medan perang – tak sekali nyawanya pun terancam, dan Iris James, si lajang yang sempat jadi bahan omongan di tempat barunya karena penampilannya yang katanya rada gak cocok dengan lingkungan sekitar.

Judulnya sih rada gak nyambung atau menyesatkan kali ya, soalnya ternyata yang paling banyak rasanya justru si Frankie Bard, bukan Iris. Bahkan Emma rasanya juga lebih berperan di sini. 

Dan sekedar intermezo aja sih, di jaman itu sepertinya merokok untuk perempuan jadi hal yang hip, bahkan Emma yang sedang hamil pun masih terus merokok. 

O ya, inilah sosok Edward R. Murrow - wartawan perang yang jadi pembimbing Frankie


Read more »

Minggu, 24 Juni 2012

Hujan dan Teduh



Hujan dan Teduh
Wulan Dewatra
Gagas Media  - Cet. IV, 2011
250 hal
(pinjam sama pepito)

Cerita pertama, saat Bintang duduk di  bangku SMA di Bandung. Hubungannya dengan teman sebangkunya, Kaila, terbilang sangat akrab. Suatu hari, saat mengerjakan tugas di rumah Kaila, Bintang harus menginap. Dan, tercetuslah sebuah pengakuan dari bibir Kaila, bahwa ia menyukai Bintang lebih dari sekedar teman. Gayung bersambut, Bintang membalas perasaan Kaila. Sejak itu, dimulailah hubungan diam-diam. Mereka berdua berlaku normal di depan keluarga dan teman-teman. Sama-sama punya pacar dan saling cemburu saat salah satu harus bersama pacar ‘normal’nya.

Rahasia terbongkar karena kecerobohan Kaila, beredarlah foto-foto mereka berdua.  Bintang lebih kuat menghadapi cemooh teman-teman sekolah. Tapi tidak dengan Kaila. Kisah  bersama Kaila berakhir tragis, tapi Bintang tetap menyimpan potongan hatinya untuk Kaila.

Cerita kedua, tentang Bintang yang kuliah di Jakarta. Bintang berkenalan dengan Noval, dan akhirnya menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Awalnya Noval begitu perhatian pada Bintang, tapi lama-lama, Noval jadi posesif. Bintang dilarang macam-macam – sebut saja dilarang berenang karena banyak cowoknya, padahal renang adalah olahraga favorit Bintang. Gak boleh pake rok, gak boleh jalan sama cowok lain. Kalau Bintang melawan sedikit, secara tak sadar, Noval menyakitinya secara fisik. Noval juga kerap memaksakan keinginannya.

Meskipun demikian, Bintang tak punya keberanian untuk meninggalkan Noval. Hubungan mereka lambat laun jadi dingin.

Wah, udah lama gak baca buku romance begini, ternyata lumayan untuk selingan. Sehari selesai, dan ceritanya juga oke lah. Buku ini jadi juara I dalam lomba penulisan 100% Roman Asli Indonesia yang diselenggarakan oleh Gagas Media. Temanya, tentu saja tentang cinta. Tapi, yang membuatnya jadi menarik adalah pelakunya, dan dengan siapa percintaan itu terjadi. Ada dua cerita yang selang-seling, dengan setting waktu yang berbeda.

Buat gue, mengangkat tema percintaan seperti ini cukup berani, meskipun jaman sekarang udah bukan suatu rahasia kali ya.

Ada satu yang ‘ganggu’ dan ngeselin… endingnya itu, lho. Mengakhiri cerita dengan pertanyaan yang ‘menggantung’ itu bikin kesel pembaca… tau gak?!  :D Gue sampai berpikir, apa ada halaman yang sobek, atau hilang. Tapi, gak ternyata… Yah, tapi, it’s oke lah, daripada dilanjutin kalimatnya malah bikin ceritanya lebih klise lagi…
Read more »

Senin, 16 Januari 2012

Hotel on the Corner of Bitter and Sweet


Hotel on the Corner of Bitter and Sweet
Jamie Ford @ 2009
Leinovar Bahfein
Penerbit Matahati - Cet. 1, November 2011
398 hal.
(pinjam sama @balonbiru)



“Berapa lama kau akan menungguku, Henry?”

”Selama yang dibutuhkan…”
“Bagaimana kalau aku tetap di sini sampai tua dan ubanan __”
“Kalau begitu aku akan membawakanmu tongkat.”

(hal. 317)

Ah, betapa romantisnya kalimat-kalimat di atas. Didukung dengan cover-nya yang cantik, cuaca dingin-dingin abis hujan :D

Diceritakan dalam dua kurun waktu yang berbeda, tahun 1942 dan 1986, ber-setting di Amerika. Henry, anak laki-laki berusia 11 tahun, hidup dalam masa perang. Sebagai keturunan Cina, tidaklah mudah bagi Henry. Ayah Henry, seorang pria nasionalis sejati, ia sangat membenci Jepang yang sudah memporak-porandakan Cina. Ia sangat mendukung diusirnya rakyat Jepang dari Amerika. Dan ayah Henry menginginkan anaknya untuk menjadi ‘Amerika’, ia tidak diperbolehkan bicara bahasa Canton di rumah. Padahal orang tuanya sendiri tidak begitu paham bahasa Inggris. Di sekolah pun, Henry kerap jadi bahan ejekan. Ditambah lagi, ia wajib memakai bros ‘Aku Orang Cina’ ke mana pun ia pergi. Mungkin tujuannya biar gak dikira orang Jepang dan demi keselamatan Henry sendiri. Di sekolah, Henry bekerja di kantin, membantu menyediakan makan siang untuk para siswa.

Suatu hari, datanglah seorang gadis cantik bernama Keiko. Malang bagi Keiko, meskipun ia lahir di Amerika, tapi tetaplah di mata orang, ia tetap seorang Jepang. Keiko tinggal di kawasan Nihonmachi. Keiko dan Henry sama-sama bekerja di kantin. Dan saat itulah, dimulai persahabatan mereka. Hubungan yang sangat terlarang di mata ayah Henry. Tapi, bahkan, saat Keiko dan keluarganya, beserta warga keturunan Jepang lainnya harus tinggal di dalam kamp pengungsian, Henry tetap setia menemui Keiko dan kerap berkirim surat.

Tapi, hubungan ini tidak mulus. Ayah Henry yang mempunyai kuasa di kalangan keturunan Cina, menggunakan pengaruhnya untuk menjauhkan Henry dan Keiko. Dalam keadaan sakit pun, ayah Henry bisa ‘mensabotase’ surat-menyurat antara Henry dan Keiko. Yang pada akhirnya membuat Henry terpaksa mengalah dan hubungan itu pun terputus.

Tahun 1986, Henry yang baru saja kehilangan istrinya, lewat di depan hotel Panama yang sedang dibongkar. Hotel Panama ini adalah tempat warga Jepang menyimpan barang-barang mereka sebelum mereka dulu dibawa ke kamp pengungsian. Daripada menghancurkan kenangan mereka, para warga Jepang memilih untuk menyimpannya. Meskipun tak tahu kapan bisa diambil lagi.

Tanpa sengaja, Henry melihat sebuah benda yang membawanya kepada kenangan 40 tahun silam. Dan ia pun tergerak untuk mencari potongan kenangan yang lain.

Wahh.. tanpa terasa gue ikut terhanyut dalam kenangan Henry, kenangan akan cinta monyet, saat anak laki-laki 11 tahun berusaha untuk jadi dewasa, mencoba bertanggung jawab atas anak perempuan seusianya dan bahkan pengen ngajak kabur… Begitu lugu…

Buku ini gak hanya melulu soal hubungan Keiko dan Henry, tapi juga menyorot hubungan Henry dengan ayahnya yang kaku, ibunya yang terombang-ambing, antara kadang kasihan sama anaknya, tapi juga harus nurut sama suaminya. Padahal gue pengen lebih mengenal Keiko, tapi sayangnya, justru Henry yang paling dominan. Suka dengan Keiko yang manis.. pinter gambar. Dan uniknya nih, dua anak ini punya soundtrack lagu jazz.


Gue juga tertarik dengan fakta-fakta dalam buku ini. Misalnya Hotel Panama yang memang benar adanya. Dibangun oleh arsitek Jepang di tahun 1910, bernama Sabro Osaza. Sekarang, di dalam hotel ini, dibuat semacam lantai kaca, di mana para pengunjung bisa melihat ke basement di mana masih ada barang-barang yang ditinggalkan warga Jepang.

Penulisnya sendiri, Jamie Ford, adalah seorang keturunan Cina, yang akrab dengan sejarah Chinatown dan Nihonmachi. Kakek buyutnya hijrah ke San Fransisco pada tahun 1865.

Dan gue juga suka endingnya… gak banyak basa-basi… tapi manis…

4 payung cantik untuk Keiko dan Henry

Read more »

Senin, 09 Januari 2012

The Truth about Forever


The Truth about Forever
Sarah Dessen @ 2004
Puffin Books – 2008
391 pages
(pinjem dari Mia)

Macy Queen, harus berjuang untuk mengatasi kesedihan setelah ayahnya meninggal. Ibunya, kembali tenggelam dengan kesibukan sebagai sales perumahan, kakaknya tinggal bersama suaminya. Tinggallah Macy dengan kehidupannya yang membosankan. Ia ingin bicara dengan ibunya, tapi tampaknya, bekerja adalah salah satu cara ibunya untuk mengalihkan kesedihannya.

Hubungan Macy dengan ayahnya bisa dibilang lebih dekat, dibanding dengan ibunya. Macy dan ayahnya kerap lari pagi bersama. Dua-duanya sama-sama menyukai olahraga lari. Dan, sebelum meninggal, di pagi itu, ayah Macy sempat mengajaknya untuk lari pagi bersama, tapi, rasa kantuk dan malas membuat Macy menolak ajakan ayahnya. Itulah satu kejadian yang sangat ia sesali.

Di liburan musim panas ini, Macy kembali sendiri. Pacarnya, Jason, ikut ‘Brain Camp’. Yah, si Jason ini adalah anak yang pintar, teratur, terjadwal dan terkoordinasi. Semua harus sesuai dengan daftar yang dia buat. Pokoknya, Jason adalah laki-laki yang ‘sempurna’. Tapi, ehmm.. menurut gue sih rada ‘menyebalkan’. Tapi, bagi Macy, kesempurnaan Jason membuatnya nyaman. Macy terlindungi dengan adanya Jason.

Macy pun menggantikan Jason bekerja di perpustakaan. Pekerjaan yang sangat membosankan, dengan dua orang teman yang juga membosankan, yang memandang Macy sebelah mata, menganggapnya gak becus. Dan parahnya lagi, saat Macy mengeluh dan curhat sama Jason, ehh.. Jason malah bilang, Macy gak serius dengan pekerjaan di perpustakaan itu. *pengen jitak Jason*

Secara gak sengaja, Macy akhirnya punya pekerjaan double. Ia juga ambil bagian membantu Wish Catering. Yang membawanya berkenala dengan cowok bernama Wes. Keakraban mereka berdua menimbulkan perasaan-perasaan lain. Tapi, sayang, dua-dua masih mempunya hubungan dengan orang lain. Dan, ditambah lagi konflik Macy dengan ibunya yang tidak menyukai Wes dan teman-teman baru Macy. Ya, biasa deh, orang tua selalu menuntut anaknya untuk jadi yang terbaik, punya pergaulan yang baik. Masa lalu yang kelam membuat Wes langsung dicap negatif oleh ibu Macy.

Pergaulan Macy dengan orang-orang di Wish Catering juga membuat Macy berubah. Ia merasa lebih bebas dan lepas. Seolah beban yang ada selama ini pelan-pelan menghilang.

Buku pertama Sarah Dessen yang gue baca, genre YA (young adult). Rada lama untuk ‘nyambung’ dengan novel ini. Gue suka bagian Macy dan Wes main ‘Truth’. Justru lewat permainan ini, gue jadi lebih ‘kenal’ dengan karakter Macy maupun Wes.

Read more »

Senin, 07 November 2011

Thing Your Mother Never Told You

Thing Your Mother Never Told You
Olivia Lichtenstein @2009
Orion Books – 2009
312 hal.
(pinjam dari mia)

Ketika seseorang sudah tiada, ada saja hal-hal yang baru diketahui kemudian. Begitulah yang dialami Ros. Ia menemukan banyak rahasia yang tak sempat disampaikan ibunya, Lilian ketika ia masih hidup.

Buku ini bercerita tentang Ros, yang sedang mengalami gonjang-ganjing dalam pernikahannya. Pernikahan yang sudah berjalan selama 20 tahun diambang perceraian, karena Ros tidak tahan dengan suaminya yang punya masalah dengan pengendalian emosi.

Suatu hari, ia menemukan sebuah selebaran yang berisi iklan seorang cenayang. Keinginan untuk ‘bertemu’ dengan Lilian, membuat Ros menelpon Clare Voyante – yang ternyata sudah tahu kalau Ros akan menghubunginya.

Lilian dibesarkan di Afrika Selatan. Ia tidak setuju dengan adanya perbedaan perlakuan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. Semasa kuliah dan setelah lulus, Lilian terlibat dalam suatu organisasi yang membela hak-hak orang kulit hitam. Bahkan Lilian sempat terlibat hubungan asmara dengan Sipho, salah satu aktivis yang berkulit hitam. Mereka menjalani hubungan ini secara sembunyi-sembunyi.

Selama ini Ros hanya mengetahui sedikit tentang kehidupan masa lalu Lilian. Tapi, suatu hari ia menerima kiriman paket berisi tulisan Lilian yang akan dibukukan. Dari sinilah, Ros banyak mendapat kejutan.

Sementara itu, kehidupan sehari-hari Ros dipenuhi dengan hal-hal baru berkaitan dengan ‘status’ yang yang sebentar lagi akan berubah. Ros nekat men-tato kakinya, sampai-sampai ia diprotes karena memberi contoh yang kurang baik bagi anak didiknya. Lalu, memberanikan diri untuk mendaftar kencan online.

Gue sih lebih tertarik baca tentang kehidupan Lilian di Afrika Selatan, kaya’nya lebih banyak misteri dan dramanya. Karakter Lilian, ibu yang kaya’nya normal, tapi punya kebiasaan-kebiasaan unik. Yang lucunya, kalo tiba-tiba dia seolah ‘bicara’ sama Ros dari alam lain. Sementara tentang Ros rasanya udah sering gue baca di buku-buku lain, jadi gak terlalu 'mencuri perhatian'.

Read more »

Selasa, 11 Oktober 2011

If I Stay

If I Stay (Jika Aku Tetap di Sini)
Gayle Forman @ 2009
Poppy D. Chusfani (Terj.)
GPU – February 2011
200 hal.,
(pinjem dari Mia)

Kehidupan Mia tampaknya menyenangkan. Tinggal dengan orang tua yang selalu mendukungnya, adik yang manis. Meskipun bisa dibilang orang tuanya rada ‘nyentrik’, tapi semua berjalan dengan baik-baik saja. Mia menyukai musik klasik, sementara orang tuanya cenderung ke arah rock. Di masa mudanya, ayah Mia pernah ikut bermain band. Dan sekarang, Mia juga bermain alat musik, cello. Saat ini ia tengah bersiap-siap untuk audisi masuk sekolah musik ternama, Julliard. Pacar Mia sendiri juga pemain band.

Pagi itu semua baik-baik saja. Salju turun, menyebabkan sekolah-sekolah diliburkan, dan ibu Mia memutuskan untuk tidak masuk kantor. Akhirnya, orang tua Mia memutuskan untuk berkunjung ke rumah sahabat mereka.

Perjalanan juga diawali dengan santai, berebut ingin memutar lagu pilihan mereka masing-masing di mobil. Semua begitu sempurna…. Dan tiba-tiba saja, semua berubah jadi bencana.

Dalam kecelakaan itu, hanya Mia yang ‘selamat’, Mia dalam keadaan koma. Jiwanya ‘melayang-layang’, tapi ia bukan hantu. Mia bisa melihat tubuh ayah dan ibunya yang sudah meninggal, tapi ia tak bisa menemukan adiknya, Teddy. Mia bisa melihat tubuhnya sendiri yang diterbangkan ke rumah sakit dengan helicopter, dimasukin segala macam selang yang membantunya untuk tetap hidup. Mia juga melihat bagaimana Adam, pacarnya, berbuat nekat agar bisa menjenguknya yang ada di ICU.

Dalam keadaan ‘melayang’ itu, semua kisah hidupnya seolah terputar kembali, Mia bercerita tentang ayahnya yang mantan pemain drum, ibunya yang bergaya bak rocker, saat Mia menemani ibunya ketika melahirkna Teddy, saat bersama sahabatnya, Kim dan kencan pertamanya dengan Adam.

Dan dalam keadaan itu juga, Mia harus memilih, apakah ia harus kembali hidup, tapi tanpa keluarga yang menantinya, atau pergi meninggalkan orang-orang yang terus berharap agar ia bertahan?

Mungkin ada baiknya siap-siap sedia tissue, yah buat jaga-jaga kalo-kalo nangis pas lagi baca buku ini. Meskipun sedih, tapi buku ini gak terkesan cengeng dan terlalu ‘menye-menye’, Liat aja gimana Adam, yang meskipun hancur lebur tapi tetap berusaha tegar, atau kakeknya yang sedih, tapi tetap menyerahkan semua pilihan ke Mia. Ini gak hanya tentang kisah cinta Mia dan Adam, tapi juga cinta dalam keluarga dan juga untuk sahabat.

“Aku punya tujuan mengatakan semua ini,” dia melanjutkan. “Ada sekitar dua puluh orang di ruang tunggu sekarang. Beberapa di antara mereka berhubungan darah denganmu. Beberapa lagi tidak. Tapi kami semua keluargamu.”

…. “Kau masih punya keluarga,” bisiknya.

Hal. 183 - 184


Untung buku keduanya udah mau beredar, jadi gue gak perlu terlalu lama penasaran gimana ‘nasib’ Mia selanjutnya.
Read more »

Rabu, 05 Oktober 2011

Cinderella

Cinderella (as if you didn't already know the story)
Barbara Ensor @ 2006
Schwartz & Wade Books, New York
115 hal.,
(pinjem dari mia)

Cinderella… bukan cerita yang asing kan? Apalagi untuk penggemar dongeng. Terutama cewek-cewek. Cerita si gadis sepatu kaca, bukan hanya gue tonton versi kartun, tapi versi film bahasa Inggris (eh.. ada versi Indonesia-nya juga bukan? Yang main Ira Maya Sopha?)

Cerita di dalam buku ini pun, gak jauh berbeda. Cinderella harus tinggal dengan ibu tiri yang kejam, dua orang saudara tiri yang gak kalah nyebelin dan bossy, ayahnya yang jadi berubah setelah menikah. Lalu, acara pesta dansa dan pulang tepat tengah malah dengan sebelah sepatu yang ketinggalan.

Terus… apa yang menarik dari buku ini kalau semuanya sama aja? Salah satunya adalah karena ilustrasi hitam-putihnya. Ilustrasinya sih simple aja. Tapi, jangan bayangkan Cinderella dengan gaun yang gelembung dan ribet. Atau jangan bayangkan wajah tampan si Pangeran, atau cantiknya Cinderella. Hmm.., kalo buat sosok ibu tiri dan kedua saudara tirinya, sih, pas aja. Yang keren nih, ada gambar sepatu kaca Cinderella dalam ukuran yang sebenarnya.

Yang menarik lagi, ada surat-surat yang ditulis Cinderella untuk almarhumah ibunya, menggambarkan betapa ia merindukan ibu kandungnya.

Apakah selesai sampai kalimat ‘Happily ever after’… ow, ada sedikit cerita tambahan, sedikit kejutan, menampilkan sosok yang berbeda dari seorang Cinderella dan juga pangerannya.

Buku ini memang benar-benar ‘a quick read’ seperti yang tertulis di covernya.
Read more »

Minggu, 02 Oktober 2011

Smile

Smile (Senyum)
Raina Telgemeier

Indah S. Pratidina (Terj.)
GPU, Cet. I - Juni 2011
224 hal.
(pinjam dari mia)

Sebagai anak ABG, Raina sedang ‘sibuk-sibuk’nya dengan dunia ‘pencarian jati diri’. Di satu sisi, masih ada jiwa anak-anak, tapi di sisi lain, udah pengen ‘lepas’ dari keluarga yang sering ikut campur, adik yang sering banget ganggu, temen-temen yang suka norak kalo ngeledek, atau udah mulai deg-degan liat cowok cakep. Hmmm… sounds familiar… Kalo diliat-liat sih, kata temen-temennya, Raina emang masih kaya’ anak kecil – rambut dikepang dua kalo ke sekolah, suka main video game dan belum dikasih izin untuk tindik telinga.

Dan malangnya, di saat yang lain sedang ‘sibuk’ untuk tampil ‘sekeren’, ‘secakep’, Raina justru bermasalah dengan giginya. Awalnya, gara-gara pas lagi kejar-kejaran sama temannya, Raina tersandung dan dua gigi depannya copot dan rahangnya ‘rusak’. Sejak itu, kunjungan ke berbagai macam jenis dokter gigi jadi rutinitas Raina. Mulai dari orthodontist dilanjutkan dengan segala yang berakhiran ‘dontis’ lainnya. Pemeriksaan yang mengerikan, plus perlengkapan yang bisa bikin minder kalo dipakai.

‘Penderitaan’ Raina ternyata terus berlanjut sampai ia di duduk di sekolah lanjutan atas. Saat temannya sudah mulai punya gebetan, tapi Raina masih tetap dengan gaya Raina yang lama. Masih suka pakai t-shirt cowok. Tapi meskipun dengan segala keribetan urusan gigi itu, Raina tetap ceria. Meskipun sesekali gak pe-de untuk senyum gara-gara behel-nya itu.

Tapi, saat keribetan itu berakhir… wah… Raina pun bisa tersenyum lepas…

Membaca buku ini, gue koq jadi berasa kembali ke ‘masa lalu’. Gue juga ‘mantan’ pemakai behel, tapi gak ‘lulus’. Hehehe.. gara-gara gue males banget dengan segala tetek-bengeknya. Ditambah masalah gak pe-de karena harus pakai kawat gigi, jaman gue dulu rasanya belum banyak yang pake kawat gigi, jadinya sering jadi ledekan temen-temen gue pas sd.

Melihat buku ini direview di beberapa blog, gue jatuh hati dengan cover-nya yang simple. Gue jadi bertanya-tanya, koq kalo gue ke toko buku, buku ini gak keliatannya ya? Saat pertama gue buka buku ini, wah… gue disajikan ilustrasi yang menyegarkan, full color, simple dan rapi. Menyenangkan rasanya baca buku ini.

Gue langsung browsing ke website Raina Telgemeier, pengen liat novel apa lagi yang udah ditulis. Wah.. ternyata, ada The Baby-Sitters Club versi novel grafis, dan… satu buku lagi yang dari covernya ada tampak lucu, Nursery Rhyme Comics: 50 timeless rhymes from 50 celebrated cartoonists. Nah, salah satunya ada ilustrasi Raina Telgemeier.


Read more »

Kamis, 29 September 2011

Around the World in 80 Dinners

Around the World in 80 Dinners
Cheryl & Bill Jamison
Kania Dewi (Terj.)
Gagas Media, Cet. II - 2010
384 hal.
(pinjem dari Mbak Riana)

Cheryl & Bill Jamison, penulis buku masakan yang kerap melalang buana ke luar negeri untuk berwisata kuliner. Karya-karya mereka sudah diakui dengan beberapa penghargaan di bidangnya. Nah, kali ini, kembali mereka membuat rencana untuk berwisata kuliner ke 10 negara, dengan menggunakan fasilitas frequent flier miles mereka. Perjalanan ini akan memakan waktu selama 3 bulan.

Setelah dipilah-pilah, dipilih-pilih, akhirnya mereka berdua memutuskan 10 negara itu adalah: Indonesia - tempat yang dipilih adalah Bali, Australia, Kaledonia Baru, Singapura, Thailand, India, Cina, Afrika Selatan, Perancis dan berakhir di Brazil.

Dimulailah petualangan pertama mereka di Bali. Sebuah boneka kertas bernama Flat Stanley setia menemani mereka selama perjalanan. Namun malang, nasib Flat Stanley pertama berakhir di tangan kera nakal di Monkey Forest

Tidak hanya restoran-restoran mahal dan ternama yang mereka cicipi, tapi juga makan di sea food di tenda-tenda di Singapura, makan bebek betutu masakan rumah di Balii dan semua itu memberi pengalaman tersendiri untuk mereka. Mereka berdua gak ragu untuk melihat-lihat pasar tradisional dan mencicipi makanan yang aneh-aneh.

Namun, gak selamanya perjalanan mereka mulus. Selain insiden flat Stanley, Cheryl dan Bill sempat terserang demam, ketinggalan kartu ATM dan nyaris kehilangan uang dan paspor gara-gara Bill yang ceroboh meninggalkan jaket di kamar mandi. Belum lagi kemacetan di beberapa tempat dan makanan yang terkadang kurang memuaskan.

Di akhir setiap cerita perjalanan mereka, Cheryl dan Bill membuat sebuah rangkuman tempat di mana mereka menginap, makan dan yang mereka kunjungi. Plus sebuah resep salah satu makanan yang mereka cicipi. Hmmm… lebih oke, kalo resep ini juga dikasih foto kali ya.

Agak pusing sebenernya baca buku ini, terlalu banyak informasi tentang tempat wisata dan makanan, tapi gak punya bayangan, kaya’ apa wujud makanan itu sendiri. Foto-foto yang ditampilkan juga minim banget, kalo pun ada, kecil dan gak berwarna. Terlalu banyak yang mau mereka sharing, buat orang awam kaya’ gue, jadi akan membingungkan.

Meskipun begitu, buku ini sukses membuat gue pengen makan mie tom yam yang seger… pengen es kacang yang menggunung itu… pengen makan sea food tenda di Benhil… pengen makan kare...

Mau liat foto-foto yang lebih lengkap dan berwarna tentunya, bisa berkunjung ke website mereka di: http://www.cookingwiththejamisons.com/

Read more »

Rabu, 24 Agustus 2011

Presiden Prawiranegara

Presiden Prawiranegara:

Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia


Akmal Nasery Basral

Mizan Pustaka, Cet. I – Maret 2011

370 hal.



Mungkin tak banyak yang tahu, atau menyadari, bahwa Republik Indonesia pernah dipimpin oleh seorang ‘presiden’ bernama Syafruddin Prawiranegara. Yah, jujur sih… gue aja baru nyadar sekarang.. hehehe…



November 1948, mungkin awal mula dari sejarah ini. Ketika Bung Hatta menjemput Syafruddin Prawiranegara yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, untuk segera berangkat ke Bukittinggi. Bukittinggi adalah salah satu wilayah di Indonesia yang tidak termasuk dalam negera federal. Beliau terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil di Yogyakarta. Meskipun menjabat sebagai menteri, tapi kehidupan beliau dan keluarga begitu sederhana. Istri beliau bahkan harus berjualan sukun goreng demi menyambung hidup kala Syafruddin bertugas di Bukittinggi.



Beliau pun akhirnya ‘terjebak’ di Bukittinggi. Bulan Desember 1949, kemerdekaan Indonesia baru berumur 4 tahun. Tapi, rupanya Belanda masih aja ‘penasaran’. Terikat perjanjian yang isinya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak membuat Belanda mundur. Ternyata mereka melakukan serangkaian serangan yang membuat Republik Indonesia kembali berada dalam keadaan genting.



Yogyakarta, kala itu yang menjadi ibukota Indonesia, sudah tidak aman. Rapat darurat diadakan. Jenderal Sudirman, dalam keadaan sakit parah, memilih untuk melakukan perang gerilya. Sampai akhirnya Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa orang lainnya dikenakan tahanan rumah, dan kemudian diasingkan ke Bangka.



Untuk menjaga agar Indonesia ‘tetap ada’ dan jangan sampai pemerintahan lumpuh, pejabat pemerintahan di Bukittinggi akhirnya membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dengan Mr. Syafrudding Prawiranegara sebagai ketuanya. Keadaan yang tidak aman, memaksa anggota PDRI untuk melakukan perjalanan, berpindah-pindah tempat, melewati hutan rimba. Semua demi menjalankan roda pemerintahan Indonesia.



Kisah lain yang memberi ‘warna’ pada buku ini adalah kisah si Kamil Koto, mantan copet yang akhirnya insyaf, dan ikut dalam perjalanan Syafruddin sebagai tukang pijat. Melalui berbagai kesempatan berbincang dengan Syafruddin, Kamil menemukan banyak hal – selain mendapat jodoh - yang membuatnya menjadi manusia yang lebih b aik pada akhirnya. Tak hanya itu, lewat perbincangan ini pula, kehidupan masa kecil Syafruddin terungkap.



Tapi sayang, di masa-masa Orde Baru, justru peran Syafruddin seolah terlupakan. Ia dianggap tokoh yang berseberangan dengan pemerintah kala itu. Gue sih gak ngerti politik (dan kadang gak mau tau), tapi, ada bagusnya juga kalo para pejabat pemerintahan sekarang nih, baca buku ini.



O ya, satu bagian yang ‘mencuri perhatian’, adalah ketika Bung Karno dan Bung Syahrir ditempatkan di dalam satu rumah saat di pengasingan, Bung Syahrir marah-marah karena Bung Karno yang katanya ‘pandir’ dan ‘bodoh’.



Read more »

Rabu, 17 Agustus 2011

Kuantar ke Gerbang

Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno

Ramadhan K.H

Penerbit Bentang – Cet. I, Maret 2011

431 hal.



Waktu pertama belajar sejarah, yang gue ketahui Ibu Negara, istri Bung Karno adalah Ibu Fatmawati. Baru belakangan, dari buku-buku yang gue baca, dari majalah, koran dan lain-lain, gue tahu kalau istri beliau tidak hanya Ibu Fatmawati. Dan baru kemudian lagi, gue tahu, sebelum menikah dengan Ibu Fatmawati, Bung Karno pernah dua kali menikah, dengan Ibu Utari dan Ibu Inggit. Mungkin nama Ibu Utari tidak banyak terdengar, karena pernikahan itu juga hanya seumur jagung. Berbeda dengan Ibu Inggit, meskipun jarang dibahas, tapi beliau adalah sosok yang berpengaruh dalam kehidupan Bung Karno, terutama di awal-awal perjuangan kemerdekaan. Melalu buku ini, yang judulnya menurut gue ‘sangat romantis’, gue pun mengetahui kisah cinta antara Ibu Inggit dan Bung Karno.



Pertemuan itu diawali ketika Kusno (nama kecil Bung Karno) tinggal di rumah Ibu Inggit dan suaminya, Kang Sanusi. Tujuan Bung Karno datang ke Bandung adalah untuk menyelesaikan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung. Ibu Inggit pun menerima kedatangan Bung Karno – beserta istrinya, Ibu Utari di rumah itu. Meskip



Sosok Ibu Inggit yang sederhana, penuh kasih dan lemah lembut, ternyata membuat hati Bung Karno ‘bergetar’. Tak peduli usia Ibu Inggit yang jauh lebih tua dan masih berstatus istri orang, Bung Karno ‘nekat’ melontarkan kata cinta. Ibu Inggit pun ternyata tak mampu ‘menolak’ pesona seorang Soekarno. Meskipun masih muda, tapi penuh tekad dan tegas.



Urusan rumah tangga masing-masing pun diselesaikan dengan baik-baik, dan mereka pun menikah. Dalam sosok Ibu Inggit, Bung Karno menemukan sosok seorang ibu mengemongnya dan istri yang melayani dengan setia dan juga seorang teman mau mendengar ide-ide dan pandangan-pandangannya.



Sepak terjang Bung Karno di dunia politik membawa mereka pada keadaan yang tak menentu. Belanda terus mencurigai segala pergerakan Bung Karno, sampai akhirnya beliau dan beberapa temannya dijebloskan ke penjara. Tak mudah bagi Ibu Inggit untuk menengok Bung Karno. Tapi, berkat kesabaran dan doa yang tak putus, mereka bisa bertemu kembali.



Ibu Inggit tetap setia mendampingi bung Karno meskipun harus ikut ke tempat pengasingan, pertama di Pulau Ende, Flores dan kemudian ke Bengkulu. Tak sekali pun Ibu Inggit mengeluh, yang ada justru semangat yang terus diberikan kepada Bung Karno untuk terus berjuang dan sabar. Meskipun di saat berpidato, Bung Karno bolehlah disebut ‘singa podium’, tapi di samping Ibu Inggit, beliau layaknya anak lelaki kecil yang ingin dimanja.



Namun, ternyata di Bengkulu inilah, pernikahan mereka mengalami cobaan. Bung Karno tertarik dengan seorang gadis yang pernah tinggal bersama dengan mereka di rumah – bernama Fatmawati. Bung Karno yang masih muda, ingin mempunyai keturunan sendiri, sementara Ibu Inggit tidak mampu memenuhi keinginan Bung Karno. Bung Karno tetap bersikeras menikahi Fatmawati, dan Ibu Inggit tidak mau dimadu, maka pernikahan mereka pun harus berakhir dengan perceraian.



Meski hatinya sakit dan cemburu, tapi Ibu Inggit tetap mendoakan Bung Karno agar terus selamat dan tetap berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.



… bahwa sesungguhnya aku harus senang pula karena dengan menempuh jalan yang bukan bertabur bunga, aku telah mengantar seseorang sampai di gerbang yang amat berharga.



Hal. 415


Pertama yang menarik perhatian gue, tentu saja judulnya, tapi gue masih ragu-ragu, karena jarang gue berhasil menyelesaikan membaca buku seperti ini. Thanks to Om Tan, yang berbaik hati, merelakan buku ini ‘jalan-jalan’ sebentar ke Jakarta. Dari buku ini, gue gak hanya belajar sejarah, tapi juga ‘mengenal’ sosok seorang Inggit Ganarsih – sosok perempuan yang tak berharap apa-apa, kecuali melayani suami dengan kasih sayang yang tulus.



Buku ini ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan Ibu Inggit Ganarsih, dibantu anak angkat Ibu Inggit dan Bung Karno – Ratna Djuami dan Kartika.

Read more »

Selasa, 09 Agustus 2011

Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

Tasaro GK

Penerbit Bentang – Cet. I, Maret 2010

546 hal.



Buku ini berkisah tentang perjalanan seorang penyair bernama Kasvha. ‘Pemindai Hujan’ demikian julukannya. Ia mencari seseorang yang namanya disebut-sebut dalam berbagai kitab suci, nama yang diramalkan akan membawa perubahan dan rahmat bagi alam semesta, menyejukan semua kaum, pembela yang teraniaya dan pemimpin semua umat. Nama yang disebut berbeda-beda tapi merujuk pada satu orang, yaitu Muhammad SAW.



Untuk mencari sosok itu, Kashva rela meninggalkan kuil yang selama ini jadi tempatnya bermukim, melarikan diri dari kejaran pasukan raja Khosrou yang ingin menghabisinya karena meyakini hal yang berbeda dari apa yang selama ini mereka percaya dan imani.



Perjalanan panjang dan melelahkan harus ia lalui. Emosi kadang menjadi tidak stabil, dalam keadaan tak sadar, Kasvha sering berhalusinasi, hingga akhirnya mengaburkan antara yang nyata dan khayalan.



Sementara itu, di belahan dunia lain, di tanah Arab, Muhammad tengah berperang, melawan orang-orang Quraisy yang masih tetap berpegang teguh pada ajaran menyembah berhala. Orang-orang Quraisy yang tak mau mengakui Muhammad sebagai nabi dan tak mau beriman pada ajaran yang dibawa Muhammad. Tak sedikit orang-orang yang menaruh dendam pada Muhammad, tapi pada akhirnya lebih banyak orang yang berpaling dari ajaran lama mereka dan memilih untuk menjadi pengikuti Muhammad.



Dicerca, dihina dan bahkan diusir dari Mekkah, tanah kelahirannya sendiri, Muhammad terus berjuang bersama para sahabat dan pengikutnya. Hijrah ke Madinah, menghimpun umat di sana. Sungguh sebuah pengorbanan yang besar. Tapi tak sedikit pun Muhammad mengeluh, tak sekalipun ia menaruh dendam pada musuh-musuhnya. Bahkan ketika mereka memohon perlindungan dan pengampunan dari Muhammad, beliau senantiasa mengabulkannya.



Mungkin baru sedikittttt sekali pengetahuan gue tentang sosok nabi Muhammad. Mungkin hanya sebatas sejarah ketika gue belajar agama di sekolah. Tapi membaca buku ini, gue bener-bener mendapatkan banyak hal baru, melihat sosok Muhammad tak hanya sebagai seorang Nabi, tapi juga sebagai seorang suami yang menenangkan hati kala istrinya cemburu, menjadi pendengar bagi sahabat-sahabatnya, pelindung para budak dan kaum lemah. Bahkan ketika dalam perjalanan menuju Mekkah, dengan pasukan perangnya, beliau masih sempat meminta salah satu sahabatnya untuk menjaga anjing yang sedang menyusui di tengah jalan, khawatir nanti anjing-anjing itu terganggu karena perjalanan mereka. Lalu bagaimana tegarnya Muhammad ketika pamannya yang selalu melindunginya, Abi Thalib, meninggal tapi masih belum bisa meninggalkan keyakinan lamanya. Bahkan orang-orang yang senantiasa melindungi dan mencintainya pun belum sanggup untuk berpaling dari berhala.



Ditulis dalam bentuk novel, membuat gue lebih ‘nyaman’ membacanya ketimbang kalau harus membaca buku ‘sejarah betulan’.



Membaca judulnya pun membuat gue ‘speechless’, ada kesan ‘magis’, sesuatu yang agung, yang gak bisa gue gambarkan dengan kata-kata. Bukan gue berlebihan, tapi memang itu yang gue rasakan. Kata-kata yang ditulis Tasaro GK begitu indah, terutama pada bagian-bagian yang menceritakan perjalanan Muhammad, serasa membaca sebuah puisi.

Read more »

Minggu, 12 Juni 2011

Dear John

Dear John
Nicholas Sparks
Barokah Ruziati (Terj.)
GPU – Juni 2010
392 hal.

Hidup berdua dengan ayahnya, tidak menjadikan John Thryee dekat dengan ayahnya. Hubungan mereka berdua cenderung aneh, masing-masing hidup dalam diam dan sibuk sendiri. Ayahnya adalah petugas pengantar barang, yang seperti punya kehidupan dan rutinitas sendiri. Setiap hari, mudah ditebak apa saja yang akan ia lakukan, bahkan perkataan yang akan diucapkan. Mulai dari sarapan sampai makan malam. Satu-satunya yang membuatnya lebih hidup ketika ia berkutat dengan koleksi koin-koinnya.

John tak mengenal ibunya, dan tak pernah bertanya tentang keberadaan ibunya itu. Ia juga lebih memilih diam, mengikuti rutinitas ayahnya. Mungkin, saat kecil, John masih betah mendengar dan ikut ayahnya mencari koin-koin baru. Tapi, beranjak dewasa, John mulai ‘gerah’. Ia pun ‘melarikan diri’ dan masuk sekolah angkatan darat, hingga kemudian ditugaskan di Jerman. Saat itu, satu-satunya yang dirasa 'pas', adalah masuk angkatan darat, karena John gak tau lagi harus gimana.

Saat cuti,dan kembali ke kampong halamannya John berkenalan dengan seorang gadis, bernama Savannah. Perkenalan ini terjadi karena John berhasil mendapatkan kembali tas Savannah yang jatuh ke laut. Setelah itu, ya, mudah ditebaklah apa yang terjadi. Meskipun kebersamaan mereka singkat, dan John harus kembali bertugas, janji-janji manis pun dibuat.

Namun, mimpi memang gak selalu jadi kenyataan, janji juga gak mudah untuk dipenuhi. Kejadian 11 September 2001, memudarkan semua mimpi indah itu. Jiwa patriotisme membuat John memperpanjang masa tugasnya. Komunikasi mulai tersendat-sendat, sampai akhirnya John dan Savanah berpisah.

Salah satu cerita romance yang mengharu biru, tapi gak membuat gue terkesan. Yang malah lebih menarik minat gue adalah cerita tentang hubungan John dengan ayahnya, dan koin-koinnya itu. Gue menangkap sosok pria tua yang kesepian, dan seorang anak yang bingung dengan sikap ayahnya yang selalu datar. Dan sayangnya, John gak mau berusaha lebih jauh untuk mengenal ayahnya, sampai Savannah datang.Dari beberapa cerita Nicholas Sparks yang pernah gue baca, kenapa selalu ada tokohnya yang sakit?

Read more »