Tampilkan postingan dengan label based on true story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label based on true story. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Juni 2012

Ibuk



Ibuk
IwanSetyawan
GPU – Juni 2012
427 hal
(Gramedia Pondok Indah)

Cinta membutuhkan sebuah keberanian untuk membuka pintu hati  
(page 15)

Tinah, si gadis desa yang lugu, sehari-hari membantu Mbok Pah berdagang baju bekas di Pasar Batu. Pendidikannya hanya sebatas SD, terbentur masalah biaya, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya. Di usia yang matang, kepolosan Tinah membuat beberapa pria kepincut, sebut saja tukang tempe yang setiap hari memberikan tempe gratis untuk Tinah dan Mbok Pah. Tapi, hati Tinah ternyata tertambah pada Sim alias Abdul Hasyim, kenek angkot, berpenampilan klimis bak bintang film India dan dikenal sebagai playboy pasar.

Pendekatan Sim yang sederhana, tanpa bunga-bunga rayuan, membuat Tinah bertekut lutut dan bersedia mewujudkan mimpinya bersama Sim. Menikah dengan Sim, dimulai pula perjalanan panjang Tinah untuk membuat keluarga tetap utuh dan kuat. Yang ada di benaknya, anak-anak harus sekolah yang tinggi, gak boleh yang hanya sampai SD seperti dirinya. Harus berhasil biar gak hanya jadi supir angkot seperti bapaknya.

Lima orang anak, pekerjaan suami sebagai supir angkot, kebutuhan yang semakin hari semakin bertambah, biaya yang besar – untuk sekolah anak, makan. Belum lagi, anak laki-laki satu-satunya yang sering merengek minta sepatu baru lah, buku baru lah…. Beruntung anak-anak perempuannya lebih pengertian.

Kesabaran Ibuk benar-benar diuji. Hampir tak pernah beliau meneteskan air mata di depan anak-anaknya. Benar-benar sabarrrr….

Rumah tangga ini – di samping masalah keuangan – rasanya benar-benar adem ayem… Gak ada tuh yang namanya pertengkaran antara suami – istri yang ngeributin masalah uang. Mungkin karena sosok Ibuk yang nrimo dan selalu sabar. Atau memang kalau pun ada gak ditampilkan di sini. Padahal sih, menurut gue, manusiawi aja kalo sekali-sekali ada tuh yang namanya sedikit ‘riak-riak’. Emosi yang rada tinggi hanya sekali ditampilkan saat Bapak benar-benar mengeluh dan putus asa saat angkotnya bolak-balik mogok dan uang hasil narik angkot habis untuk benerin angkot.

Sejujurnya, di lembar-lembar awal, gue terkesan cerita yang mengalir dengan tenang ini, setenang sosok seorang Tinah, sang Ibuk yang tak kenal lelah, pantang menyerah demi memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Gue memberikan penghormatan sebesar-besarnya pada Ibuk (dan juga Bapak) di dalam buku ini (dan juga di mana pun para Ibuk dan Bapak yang lain berada). Berkat tangan-tangan yang gigih dan kuat, bisa mengantar anak-anaknya menjadi sosok yang berhasil tanpa pamrih.

Tapi, ma’af ya, mas Iwan, kenapa makin ke belakang, gue gak merasakan sesuatu yang lebih istimewa. ‘Plain’ aja gitu. Gak melibatkan emosi yang lebih (hmm… gue sih khususnya). Karena apa yang ada di dalam buku ini, gak jauh berbeda dengan yang ada di buku 9 Summer 10 Autumn. Plek.. plek… nyaris sama. Nyaris gue skip bagian Bayek di New York. Soalnya, ya udah tau sih ceritanya kaya’ apa. Yah, tanpa perlu penasaran, pembaca bakal tau lah, siapa sosok Bayek ini.

Kembali di bagian akhir, gue kembali terharu… karena di menjelang bagian akhir ini, cerita lebih ‘bergelombang’, gak datar-datar aja.

Gue sebenernya suka sama tulisannya beliau, tapi sayang, emotionless gitu. Mungkin yang berasa ada ‘sesuatu’ hanya penulisnya aja. (hehehe.. lagi-lagi gue sok tau).

Tentang ‘Buku Keluarga’, gue jadi teringat pada sosok almarhum Om gue, yang juga menulis dan mendokumentasikan cerita tentang keluarganya – tapi emang gak dipublikasikan sih, hanya untuk keluarga aja
Read more »

Minggu, 04 Maret 2012

Anak Sejuta Bintang

Anak Sejuta Bintang
Akmal Nasery Basral @ 2012
Penerbit Expose – Cet. I, Januari 2012
405 hal.
(hadiah #twitteriak)


Beruntung gue mendapatkan hadiah novel ini dari program #twit_teriak yang ‘bintang tamu’nya penulis sendiri. Dilihat dari judulnya, buku ini langsung menarik hati gue. Dan lagi, Akmal Nasery Basral menulis novel biografis setelah Presiden Prawiranegara

Bercerita tentang masa kecil seorang Aburizal Bakrie (ayooo.. siapa yang gak tau tokoh yang dipanggil Ical ini?) Nama Bakrie kerap menghias berita-berita di Koran, entah karena kontroversi seputar lumpur Lapindo, perusahaan yang bertebaran di mana-mana, atau tabloid gosip. Dalam novel ini, cerita berkisar mulai dari Ical yang berusia 3 tahun sampai Ical lulus SD.

Ical, adalah anak tertua dari 4 bersaudara. Dibesarkan dengan cara yang sangat demokratis, penuh kasih sayang dan memiliki orang tua yang sangat sabar. Ayah Ical, bapak Ahmad Bakrie, sedang merintis kembali usahanya yang sempat terpuruk. Meski dalam keadaan susah, beliau tetap selalu berusaha membantu orang dan memberikan yang terbaik. Tapi, yah, sejak kecil memang sudah digambarkan bahwa Ical memang berasal dari keluarga yang cukup mapan meski sedang susah. Kerap liburan ke villa di Cipanas, ke sekolah di antar mobil, makan di restoran yang terbilang mewah. Memang sih, ayah Ical bercerita bahwa beliau sudah biasa mencari uang sejak kecil.

Memberi sesuatu yang kita senangi kepada orang lain itu selalu membuat hati kita bahagia. Rezeki kita pasti akan bertambah jika kita bisa lebih ikhlas
(Hal. 132)

Ical digambarkan sebagai anak yang baik, penurut, berani, punya inisiatif. Rasanya, nyaris tak ada kenakalan yang dilakukan olehnya. Suka dengan sepak bola, pintar. Selama di SD, hampir selalu jadi juara kelas. Temannya banyak.

Satu pesan di dalam buku ini yang membekas, adalah:

Anak laki2 itu harus sering diajak ngobrol supaya terbiasa mengemukakan pendapat ... Kalau tidak, mereka akan terbiasa menggunakan tangan untuk menyampaikan keinginan.
(Hal. 149)

Yah, terlepas dari kontroversi siapa tokoh yang diceritakan dalam novel ini, yang beberapa orang bilang sebagai ‘pencitraan’, alur ceritanya buat gue bagus. Kalimat-kalimat yang dipakai membuat gue betah mengikuti novel ini. Kalau bukan karena ditulis dalam bentuk novel, belum tentu juga sih gue akan membeli dan membaca buku tentang tokoh dalam novel ini.

Tapi emang sih, apa yang digambarkan dalam novel ini tampak begitu ‘sempurna’. Semua tokoh nyaris tak ada cacat. Orang tua yang sangat sabar, gak pernah marah. Anak-anak yang baik-baik – kecuali yah, suka bertengkar antar saudara. Mungkin lebih ‘pas’ kalo ada sesuatu yang ‘cacat’ dalam kisah ini. Biar lebih manusiawi gitu.

Dan, asyik juga kali, kalo ada beberapa patah kata, komentar dari teman-teman Ical selama sekolah di Yayasan Perwari itu.

Read more »

Selasa, 15 November 2011

9 Summers 10 Autumns

9 Summers 10 Autumns
(Dari Kota Apel ke The Big Apple)
Iwan Setyawan @ 2011
GPU – Cet. IV, Mei 2011
221 Hal.
(Swap with @myfloya)

Iwan Setyawan, seorang anak dari sebuah desa yang terletak di Batu, Malang, tepatnya di kaki Gunung Panderman. Ia adalah anak seorang supir angkot. Iwan punya dua kakak perempuan dan dua adik perempuan. Kehidupan mereka sangatlah sederhana, kalau gak mau dibilang susah ya. Menjadi anak laki-laki satu-satunya, membuat ia harus mengalah, tak pernah punya kamar tidur sendiri, karena kamar tidur yang ada diperuntukan untuk orang tua dan saudara-saudara perempuannya.

Mereka tak pernah merasakan yang namanya bermain boneka, main sepeda. Kemewahan mereka mungkin hanyalah sebuah televisi yang kerap ‘mengundang’ tetangga mereka untuk menumpang nonton di rumah mereka.

Namun demikian, keluarga sederhana ini adalah keluarga ‘pejuang’. Dengan berbagai daya upaya, orang tua mereka berhasil menyambung hidup dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Dan Iwan bersaudara pun, tak segan-segan untuk mencari kerja kecil-kecilan demi membantu orang tua mereka. Kesederhanaan yang mengajarkan mereka untuk bekerja keras.

Iwan pun berhasil diterima di IPB jurusan Statisik. Dari sinilah, awal mula kesuksesan seorang Iwan Setyawan. Lulus dari IPB, ia bekerja di AC Nielsen, perusahaan yang memberinya kesempatan untuk bekerja di luar negeri, tepatnya di New York City.

Bertahan selama 10 tahun, tapi, kerinduan akan kampung halamannya, terutama kehangatan berada di antara keluarga tercinta, membuat Iwan memilih berhenti dan pulang kembali ke Batu.

Novel ini disajikan dengan bahasa yang puitis dan indah. Iwan seolah bercerita kepada sosok bocah kecil berbaju putih-merah yang misterius. Penggemar Dostoevsky, yang kutipannya menghias beberapa halaman di buku ini.

"... I told my self, I will not let this happen again. I want to make her a happy mother, a very happy mother. I want to do something for my family. I love them so much."
-- hal. 210

Tampaknya bukan sebuah tema yang baru mengangkat kehidupan nyata menjadi sebuah novel. Sebut saja Laskar Pelangi (meskipun ini belum baca sih) atau Negeri 5 Menara. Seorang anak ‘kampung’ yang bersusah payah dari kecil, akhirnya mendulang sukses kala dewasa hingga keluar negeri.

Tapi, tetap saja, buku-buku seperti ini masih menarik untuk dibaca karena bentuk penyampaian yang jauh dari kesan membosankan, berlebihan atau sekedar ingin pamer ‘kesuksesan’.

Yang juga menarik perhatian, adalah cover-nya yang bersih dan simple. Berlatar warna putih, dengan dua buah apel merah yang bersanding.
Read more »

Rabu, 24 Agustus 2011

Presiden Prawiranegara

Presiden Prawiranegara:

Kisah 207 Hari Syafruddin Prawiranegara Memimpin Indonesia


Akmal Nasery Basral

Mizan Pustaka, Cet. I – Maret 2011

370 hal.



Mungkin tak banyak yang tahu, atau menyadari, bahwa Republik Indonesia pernah dipimpin oleh seorang ‘presiden’ bernama Syafruddin Prawiranegara. Yah, jujur sih… gue aja baru nyadar sekarang.. hehehe…



November 1948, mungkin awal mula dari sejarah ini. Ketika Bung Hatta menjemput Syafruddin Prawiranegara yang kala itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran, untuk segera berangkat ke Bukittinggi. Bukittinggi adalah salah satu wilayah di Indonesia yang tidak termasuk dalam negera federal. Beliau terpaksa meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil di Yogyakarta. Meskipun menjabat sebagai menteri, tapi kehidupan beliau dan keluarga begitu sederhana. Istri beliau bahkan harus berjualan sukun goreng demi menyambung hidup kala Syafruddin bertugas di Bukittinggi.



Beliau pun akhirnya ‘terjebak’ di Bukittinggi. Bulan Desember 1949, kemerdekaan Indonesia baru berumur 4 tahun. Tapi, rupanya Belanda masih aja ‘penasaran’. Terikat perjanjian yang isinya Belanda harus mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak membuat Belanda mundur. Ternyata mereka melakukan serangkaian serangan yang membuat Republik Indonesia kembali berada dalam keadaan genting.



Yogyakarta, kala itu yang menjadi ibukota Indonesia, sudah tidak aman. Rapat darurat diadakan. Jenderal Sudirman, dalam keadaan sakit parah, memilih untuk melakukan perang gerilya. Sampai akhirnya Bung Karno, Bung Hatta dan beberapa orang lainnya dikenakan tahanan rumah, dan kemudian diasingkan ke Bangka.



Untuk menjaga agar Indonesia ‘tetap ada’ dan jangan sampai pemerintahan lumpuh, pejabat pemerintahan di Bukittinggi akhirnya membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia, dengan Mr. Syafrudding Prawiranegara sebagai ketuanya. Keadaan yang tidak aman, memaksa anggota PDRI untuk melakukan perjalanan, berpindah-pindah tempat, melewati hutan rimba. Semua demi menjalankan roda pemerintahan Indonesia.



Kisah lain yang memberi ‘warna’ pada buku ini adalah kisah si Kamil Koto, mantan copet yang akhirnya insyaf, dan ikut dalam perjalanan Syafruddin sebagai tukang pijat. Melalui berbagai kesempatan berbincang dengan Syafruddin, Kamil menemukan banyak hal – selain mendapat jodoh - yang membuatnya menjadi manusia yang lebih b aik pada akhirnya. Tak hanya itu, lewat perbincangan ini pula, kehidupan masa kecil Syafruddin terungkap.



Tapi sayang, di masa-masa Orde Baru, justru peran Syafruddin seolah terlupakan. Ia dianggap tokoh yang berseberangan dengan pemerintah kala itu. Gue sih gak ngerti politik (dan kadang gak mau tau), tapi, ada bagusnya juga kalo para pejabat pemerintahan sekarang nih, baca buku ini.



O ya, satu bagian yang ‘mencuri perhatian’, adalah ketika Bung Karno dan Bung Syahrir ditempatkan di dalam satu rumah saat di pengasingan, Bung Syahrir marah-marah karena Bung Karno yang katanya ‘pandir’ dan ‘bodoh’.



Read more »

Selasa, 09 Agustus 2011

Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan

Tasaro GK

Penerbit Bentang – Cet. I, Maret 2010

546 hal.



Buku ini berkisah tentang perjalanan seorang penyair bernama Kasvha. ‘Pemindai Hujan’ demikian julukannya. Ia mencari seseorang yang namanya disebut-sebut dalam berbagai kitab suci, nama yang diramalkan akan membawa perubahan dan rahmat bagi alam semesta, menyejukan semua kaum, pembela yang teraniaya dan pemimpin semua umat. Nama yang disebut berbeda-beda tapi merujuk pada satu orang, yaitu Muhammad SAW.



Untuk mencari sosok itu, Kashva rela meninggalkan kuil yang selama ini jadi tempatnya bermukim, melarikan diri dari kejaran pasukan raja Khosrou yang ingin menghabisinya karena meyakini hal yang berbeda dari apa yang selama ini mereka percaya dan imani.



Perjalanan panjang dan melelahkan harus ia lalui. Emosi kadang menjadi tidak stabil, dalam keadaan tak sadar, Kasvha sering berhalusinasi, hingga akhirnya mengaburkan antara yang nyata dan khayalan.



Sementara itu, di belahan dunia lain, di tanah Arab, Muhammad tengah berperang, melawan orang-orang Quraisy yang masih tetap berpegang teguh pada ajaran menyembah berhala. Orang-orang Quraisy yang tak mau mengakui Muhammad sebagai nabi dan tak mau beriman pada ajaran yang dibawa Muhammad. Tak sedikit orang-orang yang menaruh dendam pada Muhammad, tapi pada akhirnya lebih banyak orang yang berpaling dari ajaran lama mereka dan memilih untuk menjadi pengikuti Muhammad.



Dicerca, dihina dan bahkan diusir dari Mekkah, tanah kelahirannya sendiri, Muhammad terus berjuang bersama para sahabat dan pengikutnya. Hijrah ke Madinah, menghimpun umat di sana. Sungguh sebuah pengorbanan yang besar. Tapi tak sedikit pun Muhammad mengeluh, tak sekalipun ia menaruh dendam pada musuh-musuhnya. Bahkan ketika mereka memohon perlindungan dan pengampunan dari Muhammad, beliau senantiasa mengabulkannya.



Mungkin baru sedikittttt sekali pengetahuan gue tentang sosok nabi Muhammad. Mungkin hanya sebatas sejarah ketika gue belajar agama di sekolah. Tapi membaca buku ini, gue bener-bener mendapatkan banyak hal baru, melihat sosok Muhammad tak hanya sebagai seorang Nabi, tapi juga sebagai seorang suami yang menenangkan hati kala istrinya cemburu, menjadi pendengar bagi sahabat-sahabatnya, pelindung para budak dan kaum lemah. Bahkan ketika dalam perjalanan menuju Mekkah, dengan pasukan perangnya, beliau masih sempat meminta salah satu sahabatnya untuk menjaga anjing yang sedang menyusui di tengah jalan, khawatir nanti anjing-anjing itu terganggu karena perjalanan mereka. Lalu bagaimana tegarnya Muhammad ketika pamannya yang selalu melindunginya, Abi Thalib, meninggal tapi masih belum bisa meninggalkan keyakinan lamanya. Bahkan orang-orang yang senantiasa melindungi dan mencintainya pun belum sanggup untuk berpaling dari berhala.



Ditulis dalam bentuk novel, membuat gue lebih ‘nyaman’ membacanya ketimbang kalau harus membaca buku ‘sejarah betulan’.



Membaca judulnya pun membuat gue ‘speechless’, ada kesan ‘magis’, sesuatu yang agung, yang gak bisa gue gambarkan dengan kata-kata. Bukan gue berlebihan, tapi memang itu yang gue rasakan. Kata-kata yang ditulis Tasaro GK begitu indah, terutama pada bagian-bagian yang menceritakan perjalanan Muhammad, serasa membaca sebuah puisi.

Read more »

Selasa, 21 Juni 2011

Saga no Gabai Bachan

Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga)
Yoshichi Shimada @ 2001, 2004
Indah S. Pratidina (Terj.)
Kansha Books (a division of Mahda Books)
Cet. I, April 2011
245 hal.

Di usianya yang baru sembilan tahun, Akihiro terpaksa berpisah dengan ibunya. Ia terpaksa dititipkan ke rumah nenek Osano di Saga. Sebagai orang tua tunggal, ibu Akihiro harus bekerja keras. Ayah Akihiro meninggal karena dampak bom Hiroshima.

Di Saga, awalnya Akihiro membayangkan kehidupan yang tak jauh berbeda dari kehidupan di Hiroshima. Tapi, begitu menginjakkan kaki di rumah Nenek Osano, Akihiro langsung dihadapkan pada sosok seorang nenek yang ‘ajaib’ – mungkin aneh pada awalnya. Bukannya mendapat sambutan hangat, Akihiro malah langsung disuruh menanak nasi di tungku.

Kehidupan yang begitu miskin, membuat Nenek Osano yang bekerja sebagai pembersih di sebuah sekolah ini jadi sangat ‘kreatif’. Ia mempunyai ‘supermarket’ alam, setiap berjalan selalu mengikat tali yang diujungnya ada sebuah magnet. Dan apa yang ia dapat dari dua sumber tersebut bisa jadi makanan yang bergizi dan mendapatkan uang tambahan.

Akihiro pun menjadi anak yang tegar dan tangguh berkat didikan Nenek Osana. Di saat anak-anak lain berolahraga dengan peralatan yang mahal, Akihiro memilih berlari, hasilnya ia jadi pelari yang hebat dan selalu jadi juara dalam Festival Olahraga di Saga.

Jika ia ingin sesuatu, Akihiro mencari cara sampai akhirnya ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Kemiskinan tidak lantas membuat Akihiro bersedih, malah akhirnya ia sangat berterima kasih atas apa yang sudah diajarkan oleh Nenek Osano.


Banyak akhirnya yang simpati dengan Akihiro dan Nenek Osana. Ada saja kebaikan yang mereka terima, tapi mereka juga tak lupa memberi. Bahkan Nenek Osana juga berharap perampok yang akan masuk rumah mereka justru kasihan dan malah memberi! Pesan Nenek Osano, jika mau berbuat kebaikan, orang yang kita bantu tidak perlu tahu akan kebaikan kita.

Banyak kata-kata bijak yang tidak menggurui, tapi malah bisa membuat kita tertawa. Salah satunya adalah

“Ada dua jalan buat orang miskin. miskin muram dan miskin ceria. kita ini miskin ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. tetaplah percaya diri.”
Membaca cerita seperti ini, mau gak mau gue inget sama cerita ‘Oshin’. Oshin digambarkan sebagai anak dari keluarga yang sangat miskin, hingga ia terpaksa bekerja keras, terkadang ditindas tapi tetap tegar. Tapi di buku ini, gue gak melihat yang namanya ‘air mata’ tumpah ruah meskipun hidup dalam kemiskinan. Bukan kemiskinan yang ‘diumbar’, justru ada banyak tawa, malah gue membayangkan Nenek Osano sebagai nenek yang jail. Hehehe…. Kata Nenek Osano, jadi orang kaya itu justru sibuk – sibuk bikin kimono, sibuk makan sushi…

Akihiro Tokunaga – kini lebih dikenal dengan nama Yoshichi Shimada – adalah seorang pelawak yang terkenal di Jepang. Kisah ini terinspirasi dari kehidupan masa kecilnya bersama Nenek Osano di Jepang. Ia ingin menularkan semangat Nenek Osano kepada orang banyak.

Gue terharu membaca buku ini… bener deh. Buku yang sederhana, tapi banyak banget yang bisa didapet dari buku ini. Kesannya klise banget ya… tapi coba deh.. baca buku ini. Dan, gue rasa kalo pun gue baca bolak-balik gue gak akan bosen dan tetap terkesan, kagum sama Nenek Hebat ini.

Jangan lewatkan juga “Tips Hidup yang Menyenangkan ala Nenek Osano” yang disisipkan di akhir buku ini.

Read more »

Selasa, 31 Mei 2011

Pesan dari Sambu

Pesan dari Sambu
Tasmi P.S. @ 2009
Hikmah – Cet. I, Maret 2010
349 hal

Pulau Sambu? Ada yang pernah denger nama pulau ini? Jujur, gue baru kali ini tau di Indonesia, atau tepatnya di Kepulauan Riau, ada yang namanya Pulau Sambu. Ups.. ma’afkan minimnya pengetahuan geografi gue ini.

Di pulau inilah, Mimi tinggal, bersama orang tua dan adik-adiknya yang tiap 2 tahun sekali selalu bertambah. Mimi sebenarnya ada ketiga, tapi kedua kakaknya sekolah di pulau Jawa, jadilah ia mendapat tugas untuk jadi ‘kakak tertua’, mengasuh adik-adiknya. Mimi berparas cukup cantik, banyak teman-teman sekolahnya yang naksir dengan Mimi, bahkan guru-guru laki-laki juga.

Ayah Mimi bekerja sebagai kepala bengkel di PT Shell. Tinggal di pulau kecil, tidak berarti kehidupan mereka terbelakang. Justru semua di sana serba mudah. Ayah Mimi digaji pakai dollar Singapura. Mau ikan, tinggal mancing, minyak dan air habis, tinggal lapor. Main-main bisa di laut. Mau jalan-jalan, tinggal nyeberang pakai ferry ke Singapura. Asyik kan? Potong rambut aja di Singapura. Keamanan terjamin. Teman juga banyak. Uang di pulau ini justru gak laku, makanya Mak-nya Mimi lebih senang menyimpan emas.

Tapi, justru mereka kehilangan akar budaya mereka. Seperti Mimi, sebenarnya ia keturunan Jawa. Tapi, ketika diajak ‘perlop’ ke Jawa, justru ia dan adik-adiknya dianggap aneh. Orang Jawa tapi gak bisa bahasa Jawa. Malah lebih jago bahasa Melayu, lebih kenal tari Serampang Dua Belas, dibanding tari Serimpi.

Meskipun sayang dengan adik-adiknya, Mimi kerap lelah karena harus selalu mengurus dan bertanggung jawab atas adik-adiknya itu. Mau pergi belajar nari, adik-adiknya merengek ingin ikut, mau nonton ‘wayang gambar’ dengan teman-temannya, meskipun sudah pakai berbagai macam jurus, tetap saja adik-adiknya berhasil menemukan keberadaan Mimi. Awalnya Mimi berpikir, mungkin dengan menikah, ia akan terbebas dari tanggung jawab ini.

Di usia yang sangat muda, Mimi pun akhirnya menikah dengan seorang prajurit dengan usia yang beda 6 tahun. Tapi, Mimi tak boleh sekolah lagi, harus menyesuaikan diri dengan predikat baru sebagai istri prajurit dan ikut ke mana suami pergi.

Menarik? Buat gue, awalnya memang menarik. Banyak kata-kata campur aduk, antara bahasa melayu, bahasa Inggris. Untung catatan kakinya cukup jelas, jadi kita gak perlu menebak-nebak apa arti kata tersebut.

Tapi memang gue suka berharap terlalu banyak di awal. Buku ini jadi rada nanggung buat gue. Tadinya gue pikir, bakalan ada cerita dengan porsi yang lebih banyak tentang gimana Mimi harus beradaptasi dengan saudara-saudaranya di Jawa, atau tentang kehidupan Mimi setelah menikah.

Read more »