Tampilkan postingan dengan label classic. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label classic. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 September 2012

Wednesday Wishful 8



Pengen baca buku klasik, tapi takut keburu ngantuk di tengah jalan. Yang udah-udah sih gitu… liat aja nasib Wuthering Heights, Pride & Prejudice atau beberapa buku lain yang belum berhasil gue tuntaskan. Jadi, harus dicari cara, gimana gue bisa buku klasik tanpa kendala. Sekarang banyak cerita-cerita klasik yang dikemas dengan lebih menarik, gak hanya kalimat panjang yang mungkin buat sebagian orang membosankan, tapi dengan ilustrasi yang cantik.

Buana Ilmu Publishing mengeluarkan seri Dongeng Sepanjang Masa. Ada Dongeng untuk Putra Tersayang, Dongeng untuk Liburan, Dongeng tentang Binatang, dan yang menarik nih… ada Dongeng Karya Grimm Bersaudara, Dongeng Karya Hans Christian Andersen dan Dongeng Karya Charles Dickens. 






 Wah, langsung buku-buku ini masuk ke dalam daftar wishlist. Buat anak-anak cocok, buat orang dewasa juga ok koq.

Ini nih, sebagian beberapa ilustrasi dari buku Dongeng Karya Charles Dickens




Mau ikutan Wishful Wednesday juga, seperti biasa rules-nya:
  1. Silakan follow blog Books To Share – atau tambahkan di blogroll/link blogmu =)
  2. Buat posting mengenai buku-buku (boleh lebih dari 1) yang jadi inceran kalian minggu ini, mulai dari yang bakal segera dibeli, sampai yang paling mustahil dan hanya sebatas mimpi. Oya, sertakan juga alasan kenapa buku itu masuk dalam wishlist kalian ya!
  3. Tinggalkan link postingan Wishful Wednesday kalian di Mr. Linky (klik saja tombol Mr. Linky di bagian bawah post). Kalau mau, silakan tambahkan button Wishful Wednesday di posting kalian.
  4. Mari saling berkunjung ke sesama blogger yang sudah ikut share wishlistnya di hari Rabu =)
Read more »

Senin, 24 September 2012

Rufus M



Rufus M
Eleanor Estes @ 1943
Odyssey – 2001
235 hal.
(Pinjam dari Reading Walk)

Well.. ini adalah kisah tentang anak kecil yang kocak, sok tau dan pantang menyerah tapi tetap lucu. Apa yang dia mau, maka ia akan berjuang supaya tercapai.

Namanya Rufus Moffat, tapi si Rufus ini terbiasa menuliskan namanya hanya Rufus M. Dia adalah anak terkecil dari 4 bersaudara Moffat. Ada aja akalnya yang bisa bikin gue jadi senyam-senyum gemes saat membaca kisah Rufus ini. Ini adalah buku ketiga dari kisah Moffat bersaudara ini.

Baca aja gimana usaha Rufus biar bisa minjem buku di perpustakaan, biar harus bolak-balik, tapi Rufus tetap gigih berjuang sampai akhirnya si pustakawati luluh.

Semua begitu simple di mata Rufus. Di tengah-tengah suasana Perang Dunia I, Rufus tetap ceria bersama kakak-kakaknya. Di sekolah, setiap anak wajib merajut handuk untuk para prajurit yang akan pergi ke medan perang. Dan saat melepas kepergian prajurit itu di stasiun kereta api, Rufus bersikeras untuk menyampaikan sendiri handuk hasil buatannya itu ke salah satu prajurit. 



Salah satu ilustrasi - via Collecting Children's Books

Siapa yang gak bakal jatuh cinta dengan tokoh yang menggemaskan seperti ini?

Ini adalah salah satu buku klasik. Mungkin gak banyak pembaca di Indonesia yang mengenal Eleanor Estes ini. Karena kalo ngeliat di Goodreads, yang kasih review pembaca dari luar semua. Yah, gue sendiri baru tau setelah baca buku ini. Rufus M ini mendapatkan penghargaan Newberry Honor. Buku lain beliau, selain seri The Moffats (The Moffats, The Middle Moffat dan The Moffat Museum) adalah Ginger Pye (yang meraih medali Newberry), Pinky Pye, The Witch Family, The Hundred Dresses dan Miranda the Great.

Ide The Moffat Museum keren juga ya… hehehe.. ini cocok untuk para melakolis yang selalu sayang sama barang-barang yang ‘dianggap’ punya nilai sejarah dan kenangan.

Kira-kira adakah penerbit di Indonesia yang mau menerjemahkan buku-buku Elanor Estes?
Read more »

Selasa, 31 Juli 2012

Pesta Makan Malam


Detik-detik terakhir baru saya berhasil menulis untuk ikutan event Shorty July: Baca Bareng Cerpen Klasik Dunia yang diadakan @bacaklasik, bekerja sama dengan Penerbit Serambi.

Berhubung saya gak punya kumcer klasik, akhirnya saya membongkar-bongkar website Fiksi Lotus, dan cerpen ini langsung menarik perhatian saya, bukan karena ceritanya, tapi karena penulisnya.





Pesta Makan Malam, atau The Butler, ditulis oleh Roald Dahl, pada tahun 1973.  Cerpen ini diterjemahkan oleh Maggie Tiojakin. Bagi pecinta buku, nama Roald Dahl tentunya tak asing lagi. Siapa yang tak kenal karya-karyanya dengan tokoh-tokoh yang ajaib atau ‘nyeleneh’, seperti ‘Charlie and the Chocolate Factory’, ‘Matilda’, ‘BFG’ dan masih banyak lagi. Cerita-cerita anak-anak itulah yang saya kenal. Tapi, seperti apa kalau Roald Dahl menulis cerita untuk orang dewasa?


Singkat cerita, Pesta Makan Malam bercerita tentang pasangan George Cleaver yang mengadakan jamuan makan malam di rumah mewah mereka. Mereka berusaha menyajikan menu terbaik dan mewah, tapi tetap saja, para tamu tidak terkesan. Anggur mahal yang disajikan atas saran Tibbs, pelayan mereka, juga tak membuat jamuan makan malam itu jadi lebih baik. Malah acara itu jadi hambar. Karuan Mr. Cleaver gusar. Pasalnya jamuan makan malam mewah itu bertujuan untuk menaikkan status sosial mereka.

Endingnya, malah Tibbs kabur dengan sang koki, Monsieur Estragon.

Ok, sekarang tiba waktunya untuk opini dari cerita ini:

  1. Ini adalah cerita tentang pasangan OKB alias Orang Kaya Baru, di mana untuk ‘memperjelas’ status baru mereka, pasangan ini perlu menampilkan berbagai kemewahan yang baru mereka cicipi. Tak peduli berapa pun harganya, mereka bersedia membeli anggur paling mahal sekali pun.
  1. Tapi, ternyata, bahkan semahal apa pun anggur yang disajika tidak bisa membohongi asal-usul mereka. Ini dilontarkan oleh Tibbs, “Saya selalu menyajika anggur merah murahan asal Spanyol itu. Menurut saya anggur itu sangat cocok dengan kepribadian anda.”
  1. Karakter Tibbs juga bukanlah sosok yang sempurna. Buktinya dengan tega ia mempermalukan Tuan-nya di depan para tamu, dengan mengucapkan kalimat-kalimat yang mencela.
  1. Anggur ‘dipercaya’ sebagai minuman yang bisa meningkatkan status sosial seseorang. Bukan hanya dari segi uang, tapi juga ‘martabat’. Semakin tua umur anggur, biasanya akan semakin mahal pula harganya. Tapi, untuk menikmatinya pun ada tata cara tersendiri. Seperti kata Tibbs (lagi), “Anggur terbaik harus diperlakukan dengan sangat hati-hati.”

Terima kasih buat Fiksi Lotus, poin diskusinya membantu saya untuk mencoba memahami cerita Pesta Makan Malam ini.
Read more »

Senin, 23 April 2012

The Marvelous Land of Oz



The Marvelous Land of Oz
L. Frank Baum
Justin Tedjasukmana (Terj.)
Penerbit Atria – Cet. I, Januari 2012
234 hal.
(Gramedia Plaza Semanggi)

Tip, anak lelaki dari Negeri Gilikin yang yatim piatu. Sejak kecil ia diasuk oleh seorang penyihir bernama Mombi. Setiap hari, Tip disuruh untuk bekerja keras. Lama-lama Tip kesal. Timbul akalnya untuk mempermainkan Mombi. Ia membuat sebuah manusia labu, dengan tujuan untuk menakut-nakuti Mombi. Tapi, masa’ sih seorang penyihir takut sama manusia labu yang berwajah tersenyum. Dengan serbuk ajaib, Mombi menghidupkan manusia labu itu dan ia pun menghukum Tip.

Tip akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dan mengajak si Manusia Labu yang diberi nama Jack untuk pergi bersamanya. Tujuannya adalah ke Negeri Oz. Dalam perjalanan menuju Negeri Oz, Jack membuat sebuah kuda kayu, yang dihidupkan dengan serbuk ajaib yang dicurinya dari Mombi. Bersama mereka menuju Negeri Oz.

Ternyata, Negeri Oz sedang dalam keadaan genting. Sekelompok gadis yang dipimpin oleh Jenderal Jinjur bermaksud untuk mengadakan kudeta untuk menggulingkan sang Raja yang tak lain adalah Boneka Jerami. Jenderal Jinjur dan pasukannya ini bersenjatakan jarum yang sangat tajam. Mereka ingin memanfaatkan batu zambrud yang bertebaran untuk dijadikan perhiasan, mereka juga katanya ‘lelah’ dipimpin Boneka Jerami dan ingin para pria yang jadi ‘pekerja’ di rumah. Jenderal Jinjur dan pasukannya ini adalah rombongan gadis-gadis manja dan genit.. dan tetap takut dengan binatang-binatang menggelikan seperti tikus.

Tip bertualang bersama Boneka Jerami, Jack si Manusia Labu, kuda kayu, berangkat ke tempat Kaisar Tin Woodman, dan kemudian, bersama-sama pergi ke negeri tempat Glinda si Penyihir Baik.

Jadi, berhasilkan Boneka Jerami merebut kembali tahtanya di Negeri Oz? Dan siapakah Tip sebenarnya? Ada kejutan kecil di akhir cerita.

" Tapi kau juga harus mengakui bahwa hati yang mulia adalah sesuatu yang tak bisa diciptakan meski kau berotak cerdas. Bahkan uang pun tak mampu membelinya."

-- Tin Woodman - hal. 234 

Seneng deh baca buku ini, sebuah cerita fantasi yang gak ribet membayangkan makhluk-makhluk aneh, dengan nama-nama yang ribet. Gak susah mengingat para tokoh. Karakter di cerita ini juga sederhana dan lugu. Apalagi si Jack Manusia Labu dan Boneka Jerami. Bahkan gadis-gadis Jenderal Jinjur pun bikin gue tersenyum. Tin Woodman yang ‘garang’ dengan kapaknya, tapi juga pesolek. Takut banget badannya tergores.

Sangat direkomendasikan buat anak-anak. Hehehe.. beberapa kali gue dengan cuek bacain Mika buku ini pas Mika lagi sibuk main yang lain. Eh… ternyata dia inget lho ada tokoh si Manusia Labu, meskipun kesannya dia gak meratiin apa yang gue baca. Hehehe..

O ya, buku ini ditulis, karena L. Frank Baum ini menerima banyak surat yang pengen banget The Wizard of Oz dibuat lanjutannya.

Read more »

Senin, 26 Maret 2012

The Wizard of Oz


The Wizard of Oz
L. Frank Baum
Alva Indriani (Terj.)
Penerbit Atria – Cet. I, Oktober 2010
206 hal.
(Gramedia Pondok Indah Mall)

Inilah pertama kali gue membaca buku The Wizard of Oz, yah, meskipun sering denger, tapi gue gak tau, seperti apa sih kisah The Wizard of Oz ini. Beruntung, Penerbit Atria menerbitkan terjemahan buku ini dan karena gue lagi punya sebuah ‘misi’, maka gue pun memutuskan untuk membeli buku ini.

Kisah ini lahir karena rasa ‘prihatin’ L. Frank Baum akan kisah fantasi yang beredar, tentang peri dan dunia sihir yang penuh ‘darah’ dan teror. Maka terciptalah sebuah dongeng sederhana, tapi penuh dengan petualangan dan banyak pelajaran yang bisa diambil dari dongeng ini.

Si kecil Dorothy tiba di sebuah kota yang indah berwarna biru, kota para Munchkin. Berbeda jauh dengan Kansas, kota tempat Dorothy tinggal bersama paman dan bibinya. Sebuah kota abu-abu, gersang dan suram. Angin puting-beliung menerbangkan rumah Dorothy. Dorothy yang tak sempat bersembunyi di ruang persembunyian ikut terbang bersama rumah itu, termasuk juga Toto, anjing milik Dorothy.

Karena rumah Dorothy ‘tanpa sengaja’ jatuh di atas tubuh si Penyihir Jahat dari Timur, Dorothy pun dianggap pahlawan. Tapi, keinginan Dorothy hanya satu, yaitu kembali ke Kansas. Atas petunjuk Penyihir Baik dari Utara, Dorothy dianjurkan untuk bertemu Penyihir Hebat Oz.

Dimulailah perjalanan panjang Dorothy bersama Toto, menyusuri batu bata kuning menuju negeri Zambrud, negeri Penyihir Hebat Oz. Dalam perjalanan itu, Dorothy bertemu dengan Boneka Jerami yang menginginkan otak, Tin Woodman, si manusia kaleng yang menginginkan hati dan Singa Penakut yang ingin memiliki keberanian. Bersama teman-teman barunya, dengan keyakinan penuh Dorothy pergi menuju negeri Zambrud.

Tapi, untuk menemui Penyihir Hebat Oz pun tak mudah. Tak seorang pun tahu, seperti apa wujud pasti Oz, wujudnya selalu berubah-ubah. Dan ternyata tak mudah untuk mendapatkan apa yang dinginkan oleh mereka berempat. Mereka harus melakukan sesuatu dulu untuk Oz, baru keinginan mereka akan dikabulkan.

Baca buku ini, rasanya kembali ke masa kecil, masa-masa berkhayal, membaca buku-buku petualangan yang ringan. Gak perlu deh, petualangan yang bikin deg-degan, bikin tegang, tapi seperti Dorothy, di setiap langkahnya, dalam perjalanannya, ia selalu menemui hal-hal baru, seperti menyelamatkan Boneka Jerami, menolong Tin Woodman, ketemu Singa, Monyet Terbang, kaum Munchin dan Winkie yang lucu. Dan, satu pelajaran yang bisa diambil dari buku ini adalah kesetiakawanan, rasa empati dan tolong-menolong. Menjelang akhir cerita, ketiga teman baru Dorothy yang sudah punya kedudukan enak, tetap menemani Dorothy sampai bertemu jalan pulang. Dan saat yang satu lagi kesusahan, yang lain merasa kehilangan dan dengan sigak membantu.

Gue ketawa waktu tau wujud asli Penyihir Hebat Oz itu. Klimaks yang kocak.. hehehe…

O ya, ada satu koreksi di halaman 125, yang tertulis: “… Dorothy berlari ke halaman untuk memberitahu bahwa Tukang Sihir Jahat dari Timur telah tewas … “ Padahal seharusnya Tukang Sihir dari Barat kan? Iya kan? Karena kalo Tukang Sihir Jahat dari Timur udah ketauan dari awal tewasnya.

*seharusnya ini buat posting bareng BBI, tapi telat.. kelupaan tanggalnya*
Read more »

Selasa, 13 Maret 2012

Pollyanna


Pollyanna
Eleanor H. Porter @ 1913
Rini Nurul Badriah (Terj.)
Orange Books – Cet. I, Mei 2010
312 hal.
(hadiah #TebakDickens @bacaklasik)

Selama bertahun-tahun hidup sendiri, Miss Polly menerima kabar bahwa keponakannya, Pollyana, akan datang dan tinggal bersamanya. Kabar ini jelas merupakan suatu kejutan. Hubungan dengan mendiang ibu Pollyana tidak begitu baik. Bahkan bisa dibilang komunikasi terputus semenjak adiknya itu lebih memilih menikah dengan seorang pendeta daripada dengan seorang pria kaya. Pollyana kini yatim piatu, sehingga tak ada pilihan lain, selain menyerahkan perwalian Pollyana kepada Miss Polly.

Miss Polly sudah menyiapkan kamar yang panas, pengap dan gelap di loteng. Memang sih, Miss Polly ini dikenal sebagai perempuan yang kaku, serba teratur dan konon, menurut gosip yang beredar, ia pernah patah hati sehingga hingga akhirnya memilih menyendiri.

Pollyana datang dengan penuh suka cita dan keceriaan. Kepolosan sebagai anak kecil membuat banyak orang luluh hatinya. Sebut saja Mrs. Snow yang banyak maunya atau Mr. Pendelton yang jutek. Belum lagi, dengan polosnya Pollyanna membawa pulang seekor kucing dan anjing yang dipungutnya dari tengah jalan. Ooo.. itu belum apa-apa.. dibanding apa yang dibawa pulang berikutnya oleh Pollyanna.

Hanya Bibi Polly yang tampaknya adalah satu-satunya orang yang masih belum menerima keceriaan dan spontanitas yang ada pada diri Pollyanna.

Sebenernya dibalik keceriaan itu, tidak berarti Pollyana tidak pernah bersedih. Hanya saja, sebuah ‘permainan’ yang diciptakan ayahnya yang membuatnya selalu bisa berpikir positif. Dan, saat ia sendiri mengalami musibah, keceriaan apa yang bisa membuatnya kembali tersenyum?

Di awal-awal buku ini, gue teringat dengan sosok Anne di Anne of Green Gables. Anak yatim-piatu yang terpaksa tinggal dengan orang lain. Sama ceria-nya, sama-sama suka mengkhayal, meskipun dengan cara yang berbeda. Meskipun emang sih, gue sempet merasa si Pollyanna ini ‘ganggu’ banget. Semua orang ditegor, meskipun cemberut dan dijutekin, Pollyanna pantang menyerah.

Tapi, liat sisi positif dari ‘keberadaan’nya. Ini seperti cerita ‘Pay It Forward’. Sesuatu yang kecil, bisa menimbulkan efek yang besar.

*Buku ke 4 untuk 'Name in a Book Challenge 2012' - hosted by Blog Buku Fanda
Read more »

Selasa, 28 Februari 2012

Murder on the Orient Express


Murder on the Orient Express
(Pembunuhan di Orient Express)
Agatha Christie @ 1920
GPU – Cet, VIII, Juli 2007

Hercule Poirot, si detektif bertubuh mungil, berkepala bulat telur dengan kumis melintang dan sangat apik, menolak orang yang meminta pertolongannya, hanya gara-gara dia gak suka sama wajah si orang itu. Dan, malamnya, orang itu ditemukan tewas.

Hercule Poirot sedang dalam perjalanan kembali ke London menggunakan kereta api Orient Express. Seperti biasa, Poirot mengamati semua penumpang yang ada di kereta itu. Ia menilai karakter masing-masing orang dari pengamatan sekilasnya itu.

Orang yang meminta pertolongannya bernama Ratchett, seorang pengusaha asal Amerika. Kematian Rachett cukup menimbulkan kegemparan di kereta itu. Apalagi saat itu, kereta Orient Express terjebak dalam badai salju dan tak bisa jalan.

Untung di dalam kereta itu ada Poirot dan seorang dokter bernama Dokter Constantine yang membantu menyelidiki dan menganalisa kejadia mengerikan di kereta itu. Dari hasil analisa, kemungkinan pelakunya kidal, tapi koq ada juga yang diperkirakan pakai tangan kanan. Direktur kereta api, berpendapat, bisa jadi pelakunya perempuan yang sangat marah, yang katanya kalo lagi emosi, jadi sangat bertenaga.

Satu per satu penumpang dipanggil untuk diwawancara – di antaranya pelayan dan sekretaris Rachett, seorang perempuan bernama Mrs. Hubbard yang selalu menyebut-nyebut ‘Putri saya’ dalam setiap percakapannya, pasangan ningrat asal Hongaria – Count dan Countess Andrenyi, bangsawan asal Rusia – Putri Dragomiroff yang katanya berwajah seperti kodok beserta pelayannya, Hildegarde Schmidt, seorang guru asal Inggris, Mary Debenham, yang dicurigai karena percakapannya dengan Kolonel Arbuthnot dan orang Italia bernama Antonio Foscarelli.

Dengan rapi, Poirot menyusun hasil wawancara, mencocokkan alibi mereka dengan perkiraan waktu kejadian, mengamati sikap mereka yang luput dari pemeriksa yang lain. Sekecil apa pun itu, Poirot bisa menemukan fakta yang tersembunyi, yang cukup mengejutkan.

Setelah sekian lama, akhirnya baca Agatha Christie lagi. Perkenalan pertama dengan tante Agatha ini dari buku papa yang judulnya ‘Tirai’. Terus, sempet koleksi deh, ehhh.. dipinjem.. gak balik. Akhirnya, malah ada beberapa yang dikasih ke sodara-sodara. Favorit gue adalah 10 Anak Negro. Bikin merinding. Satu hari, gue sekeluarga lagi liburan di Puncak, nginep di villa gitu deh. Nah, pas malemnya ada film akhir pekan, setting-nya di pedesaan di Indonesia, ceritanya mirip dengan cerita 10 Anak Negro ini. Gue langsung merinding, karena setting di film itu sama dengan tempat gue waktu itu. Sepi, terus tokoh penjaga villa yang misterius, yang kalo di awal pasti jadi tertuduh utama. Hiiii….

Gue lebih suka cerita yang tokohnya Hercule Poirot dibanding Miss Marple. Mungkin karena sosoknya yang lucu itu, caranya menyelidiki dan menganalisa kasus dengan ‘sel-sel kelabu’nya itu.

Tapi, gue rada gak ‘puas’ nih dengan ending cerita di buku Murder on the Orient Express. Seperti biasa sih, pembunuhnya orang yang tampak baik, gak disangka-sangka, tapi di buku ini, kenapa nyaris semua penumpang ada hubungannya dengan si korban. Ini yang bikin gue jadi rada gak puas. Semua ternyata punya kedok, dan yang pasti emang punya potensi untuk jadi pembunuh.

Read more »

Rabu, 08 Februari 2012

A Christmas Carol

Sampul A Christmas Carol edisi pertama tahun 1843

A Christmas Carol
Charles Dickens @ 1843
(via Project Guttenberg)

A Christmas Carol bercerita tentang Ebenezer Scrooge, seorang laki-laki tua yang pemarah dan penyendiri. Mempunyai usaha hmmm – simpan pinjam (bener gak sih?) yang dulu didirikannya bersama mendiang sahabatnya, Jacob Marley. Gak ada orang yang menyapanya, karena akan selalu dibalas dengan ketus. Bahkan, di saat-saat yang seharusnya gembira seperti hari Natal, Scrooge tetap marah-marah. Diundang makan malam sama keponakannya, malah dia tolak. Diajak menyumbang untuk kaum miskin, dia tolak, malah Scrooge bilang, “Biar aja mereka mati kelaparan, biar mengurangi populasi dan masalah.” (Gitu sih kira-kira yang gue terjemahinkan secara bebas.. hehehe)

“Humbug!” itulah gerutuan khas Scrooge (dan hihihi.. gue pernah mengucapkan ini pas gue lagi bt di kantor!)

Suatu malam, menjelang tidur, tau-tau, dia ngeliat hantu temannya, Marley. Tadinya dia gak percaya. Hantu Marley sedih ngeliat sikap temen lamanya itu. Dan Hantu Marley bilang, bahwa aka nada 3 ‘penampakan’ di 3 malam berturut-turut, yang akan membantu Scrooge jadi orang yang lebih baik. Lagi-lagi Scrooge gak percaya, sama muncullah ‘Penampakan Pertama’ – dialah Ghost of Christmas Past. Sosoknya seperti kurcaci. Hantu pertama ini mengajak Scrooge kembali ke masa kecil dan masa muda Scrooge. Di mana Scrooge ternyata gemar baca, tapi sayangnya, selalu merasa kesepian. Ngeliat masa lalunya aja, udah bikin Scrooge stress nungguin Hantu-Hantu berikutnya.

Penampakan kedua adalah Ghost of Christmas Present, dengan kostum hijaunya. Scrooge diajak berkunjung ke rumah keluarga Crachit yang menurut ‘penerawangan’ akan kehilangan anak laki-laki kecil mereka. Di antara rumah yang ia datangi, beberapa masih mendoakan Scrooge

Dan penampakan ketiga adalah yang paling mengerikan, yang paling bikin merinding, yaitu Ghost of Christmas Yet to Come. Hantu ini gak mengucapkan sepatah kata pun, hanya tunjuk sana-tunjuk sini. Makin serem gak sih. Scrooge diajak mendengar perkataan orang-orang tentang kematian seorang laki-laki tua, sampai Scrooge penasaran siapa sih yang mereka bicarain. Ada orang-orang yang merasa kehilangan, ada yang merasa biasa-biasa aja.

Nah, apakah Scrooge akan berubah seperti yang diharapkan Marley?

Apa yang disampaikan Charles Dickens dalam buku ini sebenarnya ‘simple’ aja dan bisa untuk semuanya. Dalam arti, bukan hanya untuk yang merayakan natal, tapi untuk semua umat manusia (halah…). Gimana si Mr. Scrooge yang kikir diajak berubah dengan menelusuri kehidupannya sendiri di masa lalu, masa sekarang dan masa depan.

Agak deg-deg-an mau sharing A Christmas Carol ini. Banyak alasannya, salah satunya, gue jarang baca buku klasik. Baca yang bahasa Indonesia aja kadang gak nyambung, apalagi yang bahasa Inggris. Gue juga takut salah ‘interpretasi’. Takutnya apa yang gue baca ternyata salah gue artiin. Hehehe.. maklum bahasa Inggris gak canggih-canggih amat. Untuk novel yang lebih modern, oke lah. Tapi untuk yang klasik seperti ini, gue rada ‘jatuh-bangun’ juga sih… (hmm.. oke.. yang terakhir emang agak berlebihan)

Makanya, saat @bacaklasik mengadakan bulan #BacaDickens, gue pun tertarik untuk berpartisipasi. Gak banyak karya Dickens yang gue ketahui, hanya Oliver Twist dan Great Expectations. Itu pun gue tau, karena gue udah pernah nonton filmnya, tapi belum pernah baca bukunya. Setelah liat-liat di Project Guttenberg, akhirnya pilihan gue jatuh pada A Christmas Carol. Karena ceritanya paling pendek dan kaya’nya paling ‘ringan’.

Ilustrasi di edisi yang gue baca juga sangat menarik, melengkapi buku ini dan gue pun bisa mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang novel ini.

Ternyata A Christmas Carol udah ada filmnya, beredar tahun 2009, dibintangi sama Jim Carrey, Gary Oldman dan Colin Firth. Hmm… cari di mana ya? Dan kalo buku ini suatu saat diterjemahin, gue pengen baca lagi, biar lebih ngerti… :)

Terima kasih ya, buat @bacaklasik yang ngadain acara ini… kapan-kapan lagi ya… :)

*review kalian dibuat dalam rangka Bulan Dickens bersama @bacaklasik
Read more »

Rabu, 02 November 2011

Rumah Tangga yang Bahagia

Rumah Tangga yang Bahagia
Leo Tolstoy
Dodong Djiwapradja (Terj.)
Pustaka Jaya, Cet. II – Desember 2008
168 Hal.
(for #savepustakajaya)

Cintaku cinta untuk seumur hidup, karena itu janganlah mengambil sesuatu yang kupandang berharga dalam hidup ini (-- hal. 106)

Masha, Katya dan Sonya, hidup dalam rasa duka setelah ibu mereka meninggal. Kesepian dan kesunyian, itulah yang mereka rasakan. Musim dingin jadi terasa semakin beku dengan kesedihan mereka. Kerabat yang datang mengunjungi mereka, bukannya memberi penghiburan tapi malah semakin membuat suasana jadi muram. Tokoh utama dalam novel ini adalah Masha. Gadis berusia 17 tahun.

Satu-satunya orang yang ditunggu dan bisa membuat suasana lebih ceria adalah Sergei Mikhailich. Ia adalah sahabat ayah mereka, teman terdekat bagi Masha, Katya dan Sonya. Sergei-lah yang mengurus harta benda peninggalan orang tua mereka. Kedekatan ini membuat Masha mempunyai perasaan lain. Tidak hanya sayang seperti layaknya seorang adik pada kakak, tapi timbul rasa cinta yang lebih mendalam. Tapi, usia mereka terpaut cukup jauh. Hingga rasanya tak mungkin bagi Masha untuk mewujudkan angan-angannya. Dan ternyata, Sergei juga merasakan hal yang sama. Ia pun jatuh cinta pada Masha. Kendala usia membuat Sergei juga tak berani mengungkapkan perasaannya pada Masha.

Masha jadi kesal, ‘gregetan’, karena sikap Sergei yang terkadang penuh perhatian, tapi kadang menjauh. Sampai akhirnya justru Masha yang memberanikan diri membuka perasaannya. Tapi, bagi Sergei takut. Menurutnya, di usia remaja itu, Masha harusnya bersenang-senang, masih maunya ‘bermain-main’.

Memang sih, akhirnya mereka menikah (spoiler bukan ya?) Pasangan pengantin baru itu tinggal bersama ibu Sergei yang orangnya ‘apik’ banget. Semua serba teratur dan rapi. Lama-lama, Masha jenuh. Rumah tangganya mulai terasa hambar. Maka untuk membuat Masha senang, Sergei mengajak Masha berlibur ke St. Petersburg.

Di St. Peterburg inilah Masha kenal dengan ‘dunia lain’. Selama ini ia tinggal di desa, sekarang bertemu dengan orang-orang kota yang kaya, diundang ke pesta sana-sini dan mendapatkan banyak pujian karena kecantikannya, Masha ‘terbuai’, sementara Sergei malah memilih menarik diri dari pergaulan itu.

Nah, di sinilah mulai kelihatan perbedaan mereka karena usia yang terpau sangat jauh itu. Masha merasa Sergei menjauh dan berubah. Sementara Sergei sendiri terkesan cuek. Saat Masha merasa telah berkorban, Sergei malah bertanya tentang apa maksud pengorbanan itu.

Jadi, berhasilkan mereka mewujudkan rumah tangga bahagia yang mereka impikan? Berhasilkah mereka menjembatani perbedaan di antara mereka? Sebenarnya ,apa sih arti berkorban itu ya? Kalau salah satu sebenernya gak rela, apa gak malah jadinya bikin sebel dan tersiksa?

Kisah cinta memang selalu jadi ide yang menarik untuk bikin cerita. Tapi, membuat sesuatu yang berbeda biar ‘keliatan’ itu susah. Di sinilah uniknya cerita ini. Kisah cinta antara dua pasangan yang usianya jauh berbeda.

Buku klasik memang bukan ‘makanan’ gue. Terjemahannya sedikit membuat gue pusing dengan bahasa yang sangat baku (dan ada kata-kata yang baru pertama kali gue baca), tapi, ternyata, kalimat-kalimatnya mampu membuat gue bertahan membaca buku ini hingga tuntas. Puitis dan indah.

Hari itu berakhirlah petualangan cintaku dengan suamiku, cintaku yang lama tetap merupakan kenang-kenangan yang indah dan tak ‘kan kembali ….

… dan kehidupan ini tak pernah berakhir sampai hari ini.

-- hal. 166

Read more »

Senin, 17 Oktober 2011

Therese Raquin

Therese Raquin
Émile Zola @ 1867
Juanda Tantani (Terj.)
GPU – Agustus 2011
336 Hal
(Gramedia PIM)

Di sebuah jalan suram di daerah Passage du Pont-Neuf, Paris, ada sebuah toko perlengkapan jahit-menjahit yang dimiliki oleh keluarga Raquin. Toko itu juga merangkap tempat tinggal mereka. Di lantai atas, Mme Raquin tinggal bersama anaknya, Camille dan menantunya, Therese. Rumah itu terasa suram, dingin dan sunyi.

Keluarga kecil ini datang dari kota Vernon. Mme Raquin sangat protektif pada anak laki-laki semata wayangnya itu, dikarenakan sedari kecil Camille selalu sakit-sakitan. Hidupnya nyaris dihabiskan di tempat tidur, minum berbagai macam obat-obatan. Sementara, Therese, sebenarnya masih sepupu Camille. Ia diserahkan oleh seorang laki-laki kepada Mme Raquin ketika masih kecil. Sejak tiba di sana, Therese selalu tidur di ranjang yang sama dengan Camille dan terpaksa ikut minum berbagai macam obat yang diberikan kepada Camille.

Therese sebenarnya menginginkan sebuah kebebasan, berlarian di udara terbuka. Tapi, terbiasa pasif, membuat Therese juga terbiasa diam, menuruti semua kemauan Mme Raquin, bahkan ketika diminta untuk menikah dengan Camille.

Sikap protektif ini pula yang membawa keluarga kecil ini ke daerah suram di Passage du Pont-Neuf. Keceriaan yang berusaha diciptakan oleh Mme Raquin tidak berhasil menular ke menantunya. Bahkan, Therese semakin lama semakin muak dengan kehidupannya. Ia jijik dengan suaminya sendiri.

Suatu hari, saat Camille datang bersama teman lamanya, Laurent, tiba-tiba ada gairah baru dalam diri Therese. Dan ternyata, Laurent pun ‘mengambil’ kesempatan itu. Saat Camille pergi bekerja, pasangan ini bertemu diam-diam di dalam kamar tidur Therese. Karena mereka menganggap Camille adalah halangan, maka mereka berdua berencana untuk melenyapak Camille.

Namun, saat rencana mereka berhasil, justru Camille tetap jadi halangan. Camille seolah menghantui mereka sampai mereka berdua lupa apa tujuan mereka pada awalnya. Akhirnya mereka jadi bak kucing dan anjing yang selalu bertengkar dan saling menyalahkan.

Jangan terjebak dengan cover yang cantik ini. Ini bukan novel romance yang penuh kata-kata cinta. Isinya justru penuh dengan kelicikan dan nafsu. Laurent bukanlah pria tampan yang tatapannya sanggup membuat perempuan meleleh, Therese juga bukan gadis cantik yang bikin pria jadi kalang kabut. Mereka bertemu dan berhubungan karena saling memanfaatkan kesempatan, untuk mendapatkan keuntungan pribadi, bukan karena cinta. Laurent mendapatkan tiga keuntungan, perhatian seorang ibu dari Mme Raquin, mendapat teman bicara bersama Camille dan pemuas nafsu yang diberikan Therese. Sementara Therese mendapatkan kebebasan yang selama ini ia impikan ketika bersama Laurent. Dan buat gue, Laurent adalah cowok yang menyebalkan, selalu berusaha mengambil keuntungan dan licik.

Buku ini pernah menuai protes, karena dianggap terlalu ‘vulgar’. Makanya di edisi kedua, penulis merasa perlu memberikan pendahuluan (1868). Ternyata, kata Émile Zola, jangan diliat dari segi vulgarnya, tapi liat dari sisi ilmiah dan psikologisnya. Setiap tokoh memiliki karakter yang berbeda, Therese bersifat Koleris – yang sebenarnya adalah orang yang kuat dan optimis, tapi gak punya banyak teman. Kalau di sini, Therese gak punya teman dan gak terbiasa mengutarakan keinginannya karena selalu ‘diatur’ oleh Mme Raquin. Dan ketika bersama Laurent, dia bebas mengutarakan apa yang ada di pikirannya., Laurent si Sanguine – yang senang sama kepopuleran, ekstrovert dan selain ingin bersenang-senang dan Camille yang Plegmatis – menyukai ketenangan, pesimis dan biasanya bersifat sebagai pengamat.. Pada akhirnya saat mereka bertemu, menciptakan sebuah konflik yang memunculkan sifat kebinatangan (dalam hal ini Laurent dan Therese).

Wuihh.. kenapa tiba-tiba gue jadi sok ber-psikolog begini? Hehehe.. ini gue dapat dari berbagai sumber hasil bertanya sama Uncle Goole :)

Kembali ke bukunya, seperti yang sudah ‘tertanam’ di otak gue, buku yang minim percakapan akan jadi buku yang membosankan. Tak terkecuali buku satu ini. Tadinya, mau buat baca bareng BBI bulan Oktober ini… eh.. ternyata gak se'romantis' yang gue harapkan...
Read more »

Selasa, 04 Oktober 2011

Anne of Rainbow Valley

Anne of Rainbow Valley
Lucy M. Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita - Cet. I, Juni 2011
428 hal.
(hadiah menang kuis @penerbitmizan)

Anne tidak pernah mengira bahwa ia akan senang tinggal di Ingleside. Di sana, bersama Gilbert yang sibuk dengan praktek dokternya, Anne membesarkan anak-anaknya. Meskipun di sekeliling Anne, orang-orang ‘mencemooh’ atau bergunjing tentang perilaku anak-anaknya, tapi Anne tetap tersenyum, tak pernah terganggu dengan gosip-gosip itu. Anne masih tetap perempuan yang berjiwa ‘romantis’ dan pemimpi, meskipun sudah ‘ibu-ibu’.

Anak-anak Anne berkenalan dengan anak-anak pendeta yang baru saja pindah ke daerah mereka –keluarga Meredith. Keluarga Meredith ini juga jadi bahan pergunjingan orang, karena sang Pendeta, John Meredith, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, anak-anaknya tak terurus, Ibu mereka sudah meninggal, dan bibi mereka yang tinggal bersama juga tidak terlalu mempedulikan keadaan mereka. Baju kumal dan terkadang sudah sobek, makanan yang kurang bergizi. Karena kurangnya perhatian dan tak ada yang menegur mereka, perilaku mereka juga menurut orang-orang, kurang pantas bagi anak-anak seorang pendeta. Jerry, Carl, Faith dan Una, bermain sekehendak hati mereka, meskipun ini masih dalam tahap kewajaran nakalnya anak-anak.

Sementara itu, gosip percintaan juga masih hangat beredar. John Meredith yang bisa dibilang ‘duda keren’ ini menarik perhatian beberapa perempuan muda. Tapi, konon menurut (lagi-lagi) gosip, para perempuan itu berpikir dua kali untuk mendekati John Meredith karena anak-anaknya yang badung.

Tapi ada satu perempuan muda yang pendiam, bernama Rosemary West, yang tinggal bersama kakaknya, Ellen West. Sebenarnya, Rosemary West adalah ‘calon’ yang kuat untuk jadi ibu bagi anak-anak Meredith, tapi, ada suatu perjanjian ‘konyol’ yang mengikatnya.

Kalau mau mencari kisah kehidupan Anne di buku ini, kaya’nya minim banget. Lebih banyak diceritakan tentang anak-anak, bahkan tentang anak-anaknya Anne pun sedikit, Porsinya lebih banyak diceritain tentang anak-anak keluarga Meredith itu. Tingkah mereka tidak jauh berbeda dengan Anne di masa kecil, hanya sedikit lebih heboh.

Padahal gue pengen tau tuh, gimana kabarnya Marilla di Green Gables, sahabatnya Diana dan gimana dengan Gilbert. Tapi, tetap asyik koq membaca buku ini. Kalo sekarang nih, bisa dibilang, Anne adalah orang tua yang ‘cool’, yang gak hanya memposisikan diri sebagai orang tua, tapi juga sebagai sahabat untuk anak-anaknya.
Read more »

Rabu, 29 Juni 2011

The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo
Alexandre Dumas
Nin Bakdi Soemanto (Terj.)
Bentang Pustaka - Maret 2011
568 hal.

Nama Alexander Dumas, bukan nama ‘asing’ untuk gue, hanya saja gue belum pernah membaca satu pun buku beliau. Gue mengenal nama ini dari film Three Musketeers. Meskipun gue menyukai filmnya yang kocak itu (plus soundtrack-nya yang bagus), gue belum tergerak untuk membaca Three Musketeers. Sampai akhirnya, gue diajak ikutan groups #BBI, dan ternyata buku untuk baca bareng bulan Juni adalah The Count of Monte Cristo dan The Prophecy of the Sisters. The Prophecy of the Sisters udah baca, tinggal The Count of Monte Cristo.

Awalnya… gue sempat ragu untuk membeli. Maklum selalu ‘alergi’ dengan buku-buku begini. Nyoba baca versi bahasa Inggris (nyari e-book-nya), wah… ribet… ya sudahlah, rasa penasaran membuat gue nekat beli buku ini. Dan… akhirnya… gue pun terhanyut dalam aksi balas dendam Count of Monte Cristo. Mungkin terdengar kasar ya, kalo dibilang aksi balas dendam. Tapi itulah yang terjadi dalam buku ini.

Tak sedikit pun terlintas dalam benak seorang Edmond Dantes, pelaut muda yang baru saja membawa kapal Pharaon merapat di Marseilles. Yang ada di pikirannya hanyalah rasa bahagia bertemu dengan ayahnya dan kekasih tercintanya, Mercedes. Bahkan, Edmond sudah berencana akan segera melangsungkan pernikahan dengan Mercedes. Kebahagiaan bertambah karena pribadinya yang tangguh dan cekatan, membuat sang pemilik kapal terkesan dan menjadikan Dantes kapten kapal yang baru.

Tapi, karena rasa iri, dengki dan sakit hati, membuat Danglars – petugas keuangan kapal Pharaon, Fernand – pemuda yang cintanya ditolak Mercedes dan Caderousse – tetangga Dante yang hanya ikut-ikutan, merekayasa sebuah surat yang menunjukkan bahwa Dantes sudah berkhianat dan bersekutu dengan Napoleon yang waktu itu sudah diasingkan ke Pulau Elba. Hal ini semakin diperparah dengan penuntut umum yang ingin cari selamat sendiri, bernama Villefort.

Edmond Dantes harus mendekam di penjara selama 14 tahun. Dijebloskan ke ruang bawah tanah yang gelap. Edmond sempat memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Dan itu pasti akan terjadi, kalau saja ia tidak mendengar ada suara-suara yang membawanya pada perkenalan terhadap tahanan lain, seorang pastor yang dianggap gila bernama Abbe Faria.

Edmond pun menganggap Abbe Faria sebagai ayah keduanya. Abbe Faria memberitahu Edmond sebuah rahasia besar, bersama mereka membuat rencana untuk melarikan diri. Sayangnya, hanya Edmond yang berhasil keluar dari penjara itu hidup-hidup.

Berbekal rahasia yang diceritakan oleh Abbe Faria, Edmond pun mengubah hidupnya, mengganti identitasnya dan masuk ke dalam lingkup pergaulan orang-orang yang dulu pernah menyakiti dan membuat hidupnya berantakan. Tanpa disadari Danglars, Fernand dan Caderousse, serta Villefort, Edmond Dantes telah kembali dan siap untuk melakukan balas dendam dan balik menghancurkan hidup mereka. Hanya satu orang yang tahu, dari awal siapa Count of Monte Cristo sebenarnya.

Selama Dantes dipenjara, kehidupan para musuhnya juga berubah, dari kalangan yang biasa-biasa saja jadi bangsawan yang berkedudukan dan kaya raya.

Wow… buku ini penuh dengan intrik-intrik. Tapi, terus terang gue kagum dengan sosok Edmond Dantes a.ka. Count of Monte Cristo, begitu cermat , teliti dan hati-hati dalam menyusun rencana. Ia tahu semua detail kejadian di rumah para musuhnya. Meskipun pada akhirnya ia mengakibatkan kehidupan orang lain berantakan, termasuk kehidupan orang yang pernah ia cintai. Ada satu titik di mana Count of Monte Cristo menyesali perbuatannya karena mengakibatkan hilangnya nyawa seorang anak yang tak bersalah. Tapi, meskipun ‘terasa’ sadis, ia tak melupakan orang-orang yang baik pada dirinya. Dengan harta yang nyaris tak terbatas, Count of Monte Cristo leluasa melakukan berbagai hal, menghambur-hamburkan uang demi mencapai tujuannya.

Membacanya pun harus pelan-pelan, begitu banyaknya tokoh dan berbagai peristiwa yang berseliweran, sempat membuat gue kehilangan arah dan bingung. Beberapa kali sempat bolak-balik ke depan, biar inget lagi. Sempat nyaris putus di tengah jalan. Gue jadi pengen nonton filmnya. Sampai sekarang, kalo gue disuruh membayangkan siapa yang cocok jadi Edmond Dantes, gue koq terbayang sama si pemeran Aragorn di Lord of the Rings ya? Hehehe…

Buku ini mendapat bintang 4 dari gue. Kenapa gak 5? Mungkin nanti, kalo gue (suatu saat) baca ulang, dan gak pake pusing lagi bacanya, gue bakal kasih bintang 5.
Read more »

Rabu, 15 Desember 2010

Jane Eyre

Jane Eyre
Charlotte Brontë
Lulu Wijaya (Terj.)
GPU – Oktober 2010
668 Hal.

Jane Eyre, adalah seorang gadis yatim piatu. Ia dititipkan pada paman dan bibinya. Sejak awal, Mrs. Reed tidak menyukainya. Tapi ia terpaksa merawat Jane Eyre karena janjinya pada almarhum suaminya. Hidup di tengah-tengah orang yang tidak menyukainya, sungguh membuat Jane menderita. Ia dikucilkan, dianggap nakal dan tidak sopan, padahal ia jauh lebih baik daripada ketiga sepupunya, anak-anak Mrs. Reed.

Akhirnya, ada kesempatan untuk Jane keluar dari rumah itu. Ia dikirim ke sebuah sekolah asrama di Lowood. Di sana, meskipun semuanya serba ketat, Jane merasa lebih beruntung karena keluar dari rumah Mrs. Reed

Sampai usia 18 tahun, Jane tinggal di sana. Hingga pada suatu titik, ia merasa ia harus melihat dunia luar. Ia pun menulis surat lamaran pekerjaan untuk menjadi guru pribadi di rumah orang-orang kaya. Surat itu mendapat sambutan baik dari seorang wanita bernama Mrs. Fairfax yang ternyata adalah kepala rumah tangga di rumah Mr. Rochester, bangsawan Inggris yang mempunyai anak asuh bernama Adelle.

Di sinilah cerita Jane Eyre lebih berkembang lagi. Ia berkenalan dengan Mr. Rochester, bahkan diam-diam jatuh cinta pada tuannya yang kadang angkuh, dingin dan misterius. Ternyata, Mr. Rochester pun menyukai Jane yang kadang dianggapnya terlalu berani. Mereka nyaris menikah, tapi sebuah kenyataan, yang selama ini dirahasiakan Mr. Rochester membuat pernikahan itu batal.

Jane pun pergi jauh, berusaha menghindar dari kehidupan Mr. Rochester. Kejutan-kejutan, kecil atau pun besar, menanti Jane di kemudian hari. Membuat hidup Jane jadi lebih baik dari sekedar seorang gadis yatim piatu miskin.

Awal melihat buku ini, gue agak sangsi, apa gue gak keburu bosen baca buku yang tebel banget ini. Tapi, karena gue pengen banget baca cerita Jane Eyre ini sejak lama, gue ‘teguhkan’ niat gue. Punya sih yang bahasa Inggris, tapi karena ‘kriting’ banget, gue gak sanggup nyelesainnya.

Tapi ternyata.... Ahhhh… betapa melelahkan membaca buku ini. Emang dasar gue gak terlalu suka sama cerita klasik, malah sok-sokan baca buku ini. Banyak kata-kata yang terlalu ‘berbunga-bunga’, membuat gue jadi gak sabar. Banyak yang gue lompat, hanya biar gue bisa lebih cepet sampai di bab berikutnya.Seandainya kalimat-kalimat dalam buku ini lebih simple, gue pasti lebih bisa suka sama cerita di buku ini.

Jane Eyre mirip sama Anne of Green Gables. Tapi menurut gue, gaya Anne lebih ceria, meskipun mereka berdua sama-sama ‘pemimpi. Mungkin karena lingkungan pergaulan yang beda, jadi gaya mereka berbeda. Kalau Anne, tinggal di pedesaan yang gak terlalu ‘kaku’. Sementara Jane Eyre dikelilingi oleh para bangsawan yang semua serba ada aturan dan kaku.
Read more »

Rabu, 11 Agustus 2010

Anne of Ingleside

Anne of Ingleside
Lucy Maud Montgomery
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita (Mizan Grup) - 2010
500 hal

Lama gak ‘berjumpa’ dengan Anne, ternyata Anne sekarang udah punya 5 anak!! Bahkan sedang menantikan anak yang ke-6. Wow… tapi, seorang Anne sangat menikmati perannya sebagai istri seorang dokter dan sebagai seorang ibu. Meskipun kadang anak-anaknya berbuat kenakalan kecil-kecil, gak sekalipun Anne mengeluh atau pun marah. Anne malah bersikap sangat bijak menghadapi tingkah laku anaknya.

Seorang Anne, meskipun sudah jadi ibu rumah tangga, tetap berjiwa ‘romantis’. Ia selalu memandang keadaan apapun dengan indah. Anne juga menjadi seseorang yang disukai oleh tetangga-tetangganya, meskipun yah, kadang-kadang adalah gosip-gosip kecil tentang Anne. Gilbert, juga sudah jadi seorang dokter yang super sibuk. Sering dapat panggilan di tengah malam, entah untuk menolong kelahiran bayi ataupun ada pasien yang sedang kritis. Pasangan Anne dan Gilbert juga selalu dianggap sebagai pasangan yang ideal.

Di buku ini, lebih banyak diceritakan tentang tingkah laku anak-anak Anne dan Gilbert – Walter, Jem, si kembar Nad & Diana, Shirley, dan si bungsu Marilla. Sifat-sifat mereka mirip dengan Anne – sedang berkhayal dan punya fantasi yang hebat. Diana atau yang biasa dipanggil Di, sering ‘terpikat’ pada teman baru yang terlihat ‘ideal sebagai teman sejiwa’, tapi kerap dikecewakan pada akhirnya.

Gak terasa, ternyata Anne dan Gilbert sudah menikah selama 15 tahun, tapi tetap aja, Anne masih cemburu sama Christine Stuart dan jadi berpikiran aneh-aneh tentang suaminya.

Selain tentang anak-anak, ada juga cerita dari para orang tua, seperti Bibi Mary Blythe, bibi Gilbert yang selalu mengkritik, atau obrolan para tetangga ketika acara membuat selimut perca di rumah Anne.

Tapi menurut gue, Anna dan Gilbert ‘terlalu’ bijaksana jadi orang tua. Terlalu ‘sempurna’. Makanya, menjelang akhir cerita ada bab di mana Anne cemburu dan agak marah-marah, gue jadi lebih bersemangat bacanya. Jadi ada ‘greget’ lain.
Read more »

Selasa, 06 Juli 2010

Nobody’s Boy

Nobody’s Boy (Sebatang Kara)
Hector Malot @ 1878
Tanti Lesmana (Terj.)
GPU – April 2010
384 Hal.

Remi, bocah kecil yang ketika masih bayi diculik dan ditinggalkan begitu saja di sebuah jalan di Paris. Ia diasuh oleh pemotong batu yang berharap suatu saat Remi akan dicari oleh orang tua kandungnya dan ia akan diberi imbalan karena sudah berbaik hati mengurus Remi.

Remi sangat menyayangi ibu angkatnya, berbeda dengan ayah angkatnya yang akhirnya menjual Remi ke pemusik jalanan bernama Signor Vitalis. Dengan Signor Vitalis-lah, petulangan hidup Remi dimulai. Berkeliling Perancis bersama rombongan Signor Vitalis yang anggota lainnya adalah Pretty Heart si monyet kecil dan 3 ekor anjing. Singor Vitalis mengajarkan Remi tak hanya bermain musik, tapi juga membaca.

Hidup di jalanan memang keras. Tak hanya karena masalah cuaca, tapi tentu saja uang. Pertunjukkan mereka tidak selalu sukses dan menghasilkan uang. Malah, harus berurusan dengan polisi.

Suka duka menerpa Remi. Tapi, Remi tetap kuat. Ia bertemu dengan teman-teman baru yang baik hati. Meskipun cobaan datang silih berganti, seperti kata Mattia – salah satu teman barunya, Remi selalu tabah.

Kisah klasik, yang tiba-tiba, nih, pas gue baca sampul bagian belakang, gue baru ngeh, kalo cerita ini pernah ada kartunnya di RCTI. Samar-samar gue mengingat jalan ceritanya dan berusaha ‘mengingat’ soundtracknya. Cerita yang menurut gue, ampunnnn… sedih banget… bahkan ketika baca novelnya lagi, gue berasa sedih, meskipun gue udah tau ceritanya.

Yang gue suka nih, dari Remi, meskipun kena hujan, badai, ditangkep polisi, dijual, ‘terlunta-lunta’, tapi, tetap aja ceria dan banyak akal.

Cerita yang bener-bener happily ever after… dan mungkin kalo dipikir, klise banget…
Read more »

Senin, 05 April 2010

Anne’s House of Dreams

Anne’s House of Dreams
Lucy M. Montogmery @ 1917
Maria M. Lubis (Terj.)
Qanita – Cet. I, February 2010
420 Hal.

Uuuuu… akhirnya Anne sama Gilbert menikah. Pernikahan pertama di Green Gables. Sebuah upacara pernikahan yang sama seperti yang ada di dalam angan-angan Anne. Gilbert, cowok yang dulu ‘dibenci’ Anne, akhirnya bisa menaklukkan hatinya. Gilbert sekarang udah jadi dokter, sementara Anne ‘berhenti’ jadi ibu guru.

Sebagai istri, Anne pun ikut pindah ke tempat Gilbert bertugas, di sebuah daerah bernama Four Winds Harbour, di Pantai Glen St. Mary. Rumah impian Anne sudah menunggu, sebuah rumah yang cantik, penuh dengan pohon, dialiri sebuah sungai kecil dan yang penting dekat dengan pantai.

Bukan Anne namanya kalau tidak mencari ‘teman sejiwa’ di mana pun ia berada. Di Four Winds ini, Anne menemukan beberapa sahabat baru, ada Kapten Jim, seorang pelaut tua yang tinggal di mercu suar, lalu ada Miss Cornelia Bryant, perempuan tua yang mirip dengan Mrs. Rachel Lynde, dan si cantik yang misterius bernama Leslie Moore.

Sejak pertama kali melihat Leslie Moore, Anne terpikat oleh kecantikannya. Tapi sayang, wajah cantik itu tampak muram dan menyimpan duka serta rahasia. Anne bertekad membuatnya tersenyum.

Anne dan Gilbert memang benar-benar pasangan yang serasi. Mereka jarang bertengkar, selalu penuh kasih sayang. Tapi, mereka juga sempat mengalami sebuah kejadian yang menyedihkan di Four Winds ini. Dan ternyata, Four Winds bukanlah tempat terakhir bagi Anne untuk mencari rumah impiannya.

Anne yang semakin beranjak dewasa justru membuat gue jadi ‘kangen’ sama Anne kecil, Anne yang polos. Meskipun Anne masih tetap berjiwa romantis dan penuh mimpi, buat gue yang paling berkesan ya justru Anne kecil.

Di buku ini, rasanya hari-hari berlalu dengan cepat. Tau-tau Anne sudah melahirkan, padahal lucu juga kaya’nya kalo digambarkan gimana sih Anne kalo lagi hamil, gimana mimpi romantisnya sebagai calon ibu. Dan sayang banget, Anne ‘hanya’ jadi ibu rumah tangga. Justru lebih menarik kalo pasangan pengantin baru ini dikenal sebagai pasangan dokter dan ibu guru. Orang-orang yang dikenal Anne juga gak terlalu banyak, hanya berkisar cerita tentang Kapten Jim, Miss Cornelia dan Leslie Moore. Tentang ‘agama’ juga lumayan banyak diperdebatkan di sini. Hmmm.. buat gue agak ‘mengganggu’ jalannya cerita.
Read more »