Tampilkan postingan dengan label #BBI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #BBI. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 September 2012

The Tokyo Zodiac Murders


The Tokyo Zodiac Murders (Pembunuhan Zodiak Tokyo)
Barokah Ruziati (Terj.)
GPU – Cet. 2, Agustus 2012
360  hal.
(Gramedia Pondok Indah Mall)

Pembunuhan berantai terjadi di Tokyo pada tahun 1936. Diawali dengan kematian seorang seniman bernama Heikichi Umezawa, yang ditemukan tewas di studionya sendiri. Lalu, diikuti dengan kematian anak-anak dan keponakan Umezawa – yang semuanya perempuan. Lebih sadisnya lagi, tubuh mereka termutilasi.

Di dalam studio Umezawa ditemukan sebuah catatan yang merinci sebuah pembuatan patung yang jika diteliti berdasarkan potongan-potongan tubuh dari para perempuan yang tewas.

Berbagai spekulasi dan teori bermunculan. Ditambah lagi bahwa dalam catatan-catatan itu juga merinci dari segi astrologi para korban, unsur-unsur kimia berdasarkan astrologi, di mana mereka harus dikuburkan dan di mana patung yang disebut Azoth itu harus diletakkan. Dari setiap korban, si pembunuh mengambil potongan tubuh yang paling sempurna.

Singkat kata, segala teori itu akan membuat sebuah karya yang mengerikan. Mungkin orang akan mengatakan ini sebuah karya yang gila, karya orang yang kerasukan setan dan dipengaruhi hal-hal gaib.

Dan selama 40 tahun, misteri pembunuhan yang mengguncangkan ini tak bisa dipecahkan. Sampai seorang perempuan bernama Mrs. Iida datang kepada Kiyoshi Mitarai dan membawa sebuah catatan penting dari seorang perwira polisi, yang tak lain adalah ayah Mrs. Iida.

Kiyoshi Mitarai, seorang astrolog, peramal nasib sekaligus detektif yang ‘nyeleneh’. Gayanya cuek. Punya teori dan pengamatan sendiri. Sebal kalau dibandingkan dengan Sherlock Holmes oleh sahabatnya, Kazumi Ishioka. Ishioak ini tergila-gila sama cerita misteri, bahkan dia yang dengan semangat bercerita sama Mitarai tentang Pembunuhan Zodiak Tokyo, sementara Mitarai ogah-ogahan mendengarkannya.  Sikapnya yang aneh ini kadang membuat sahabatnya ini geleng-geleng kepala. Dengan gayanya yang spontan dan terkadang mirip orang gila ini, Mitarai berhasil melihat detail-detail yang luput dari pengamatan polisi selama 40 tahun.

Kali kedua gue membaca kisah pembunuhan yang ditulis oleh penulis Jepang dan dua-duanya sadisssss…. Yang pertama adalah Out – di mana daging korban diiris tipis-tipis seperti sashimi (untuk gak bikin jadi il-fil makan sashimi) dan kali ini korban dimutilasi. Harus gue akui, bahwa si pembunuh ini cerdas. Gimana gak, dengan hati-hati ia mengikuti isi surat yang ditinggalkan Umezawa dan gak ada yang tahu siapa pelakunya selama 40 tahun.

Kalau aja kita mau mengikuti pola pikir a la detektif, semua fakta sudah dijelaskan dengan rinci oleh penulis. Bahkan, di tengah-tengah cerita, penulis mengajak pembaca untuk sama-sama menebak siapa pembunuhnya.

Yah, sempat sih agak bingung dengan segala penjelasan tentang astrologi itu. Karena penasaran, gue sempat mencoba mengamati pola-pola yang muncul, berdasarkan ilustrasi dari Ishioka, tapi lama-lama gue nyerah… mending baca aja dengan sabar.. hehehe… 

O ya.. gue suka covernya... Putih bersih, dengan tulisan dan gambar merah. Gak penuh detail-detail, simple tapi benar-benar pas sama ceritanya.

Kiyoshi Mitarai – resmi menjadi salah satu detektif favorit gue. Semoga aja cerita Detektif Mitarai yang lain juga diterjemahkan sama Gramedia.
Read more »

Minggu, 16 September 2012

Beat the Reaper



Beat the Reaper (Menaklukkan Maut)
Putri Dewi MR (Terj.)
Penerbit Esensi - 2012
341 hal.
(buntelan dari Penerbit Esensi)

Siapa sangka kalau seorang dokter seperti dr. Peter Brown mempunyai masa lalu yang kelam? Peter Brown memiliki nama Pietro Brnwa. Ia adalah seorang pembunuh berdarah dingin yang secara tidak langsung bergabung dalam kelompok mafia. Awal ia menjadi seorang pembunuh dipicu oleh tewasnya kakek dan neneknya oleh dua orang pemuda. Setelah ditelusuri, dua pemuda ini harus melakukan pembunuhan agar bisa bergabung dengan kelompok mafia.

‘Keberhasilan’ pertama Pietro membunuh orang membuat ia direkrut oleh David Locano, ayah teman sekolahnya sahabatnya, Skinflick. Tapi, pada akhirnya justru Skinflick berbalik menjadi musuh yang ingin melenyapkan Pietro.

Titik balik Pietro adalah saat ia bertemu Magdalena dan jatuh cinta. Magdalena membuat nafsu membunuh Pietro lenyap. Tapi sayangnya, kehidupan dalam dunia mafia penuh dengan dendam.

Pietro pun mengubah identitasnya menjadi Peter Brown dan masuk ke dalam perlindungan saksi.

Tapi, seorang pasien ternyata mengetahui identitas aslinya, Peter pun kembali diburu oleh sahabat lamanya.

Ketika membaca sinopsis di bagian cover belakang, gue sempet berpikir akan menemukan cerita yang penuh ketegangan, intrik-intrik di dalam dunia mafia. Tapi mungkin karena gaya bahasa si Peter yang cuek ini, gue jadi gak terlalu tegang or deg-degan gimana gitu…

Yang menarik adalah sejarah kehidupan Peter, yang dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Pertemuan kakek-nenek Peter yang ‘romantis’ di tengah-tengah hutan saat orang-orang Yahudi pada diburu untuk dibuang ke Auschwitz. Peter bahkan sempet jalan-jalan ke Polandia, nyari orang yang menjual informasi sehingga kakek-nenek Peter ini tertangkap.

Dan, oh no, kalo gue ketemu dokter kaya’ Peter, gue bakalan parno abis, karena cueknya sih Peter ini juga bikin dia jadi kadang seenaknya menangani pasien.

Banyak istilah-istilah kedokteran di buku ini, ada glossary-nya. Tapi, hehehe, gue males bolak-balik ngeliat ke bagian belakang. Lebih enak kalo dijadiin footnote aja kali ya. Biar gak ribet. Satu lagi nih, gak terlalu suka dengan cover versi terjemahan ini.

Oh ya, katanya nih, bakalan dibikin serialnya, dan bakalan melibatkan Leonardo DiCaprio. Ehem…
Read more »

Kamis, 30 Agustus 2012

The Lord of the Rings: The Fellowship of the Rings



The Lord of the Rings: The Fellowship of the Rings (Sembilan Pembawa Cincin)
J.R.R. Tolkien
Gita Yuliani K (Terj.)
GPU – Cet. II, Maret 2002
512 hal
(Gramedia Pondok Indah Mall – kalo gak salah)

Memilih buku untuk posting bareng BBI bulan ini rada-rada membingungkan. Plin-plan aja gue jadi bawaannya. Tema bulan ini adalah ‘1001 books to read before you die’ – dari sekian banyak pilihan buku, susah rasanya untuk menentukan buku mana yang akan gue baca. Ada beberapa yang udah dibaca, dan udah dibuat review-nya, ada beberapa buku yang masih berstatus penghuni timbunan, tapi baru beberapa lembar dibaca, udah berpikir bahwa sebaiknya buku itu dijadikan bantal saja karena bikin ngantuk (yah, sebut aja Wuthering Heights atau Pride and Prejudice). Pride and Prejudice sempat gue baca beberapa bab – lebih banyak daripada Wuthering Heights yang hanya beberapa lembar :D Nyari-nyari Virgin Suicides kaya’nya adek gue punya – tapi.. lho koq gak ketemu… akhirnya, terinspirasi saat nonton di TV, gue memutuskan untuk membaca ulang The Lord of the Rings – toh saat gue baca buku ini tahun 2002, gue belum punya blog buku, dan otomatis belum ada review-nya.

Membaca buku untuk yang kedua kalinya, biasanya gue justru lebih ‘menghayati’, lebih hati-hati, karena gak ada perasaan pengen cepet-cepet nyelesain buku baru. Jadi, yang dulu saat pertama baca buku ini, sejujurnya, gue gak terlalu ngerti.

Udah ah, panjang bener basa-basi gue ini.

‘Seharusnya’ sih, cerita Lord of The Rings ini gak asing buat para pencinta cerita fantasi. Dulu pun saat gue beli buku ini, lagi jaman-jamannya Harry Potter… hehehe.. rada-rada tertipu sih, gue pikir ceritanya akan ‘semenyenangkan’ Harry Potter, tapi ternyata gelap banget *terbayang wajah Frodo yang selalu murung*

Jadi, alkisah, Bilbo Baggins mengadakan perayaan ulang tahunnya yang ke 111 – atau yang dalam bangsa Hobbit artinya ulang tahun yang ke seratus sepuluh satu – sebuah pencapaian yang membanggakan. Bilbo ini sudah merencanakan sebuah kejutan – yaitu ia akan ‘menghilangkan’ diri di tengah-tengah pidatonya sendiri.

Yah.. sebelumnya sih, Bilbo memang dikenal aneh. Ia sudah pernah ‘menghilang’ sebelumnya dan tiba-tiba muncul kembali. Tapi kali ini, ia akan ‘menghilang’ untuk selamanya.

Tapi, dengan apa Bilbo menghilang? Ternyata ia hanya perlu mengelus sebuah cincin. Dan .. ‘Pop’ , ia pun menghilang. .. seluruh kekayaan yang ia miliki, ia wariskan kepada keponakannya – Frodo Baggins.

O ya.. Hobbit itu sebangsa kurcaci – eh, bahkan lebih kecil dari kurcaci, gak pernah pake sepatu karena kaki mereka yang besar dan tebal, tinggalnya di dalam semacam gua atau lubang yang udah ditata dengan apik.

Ternyata cincin yang dipakai Bilbo ini memang mempunyai kekuatan ‘magis’ dan sayangnya, untuk beberapa pemakainya memberi pengaruh buruk. Maka itu, cincin ini harus dimusnahkan. Tapi, cara memusnahkannya pun gak sembarangan, harus dibawa ke gunung api di Mordor. Tugas Frodo-lah sebagai pewaris untuk memusnahkan cincin itu. Karena ternyata kekuatan gelap mulai muncul lagi.

Perjalanan yang harus ditempuh sangat berbahaya, Sauron si penyhir jahat, mulai mengincar cincin itu juga. Belum lagi Gollum, makhluk kecil yang menjijikan. Ia menganggap cincin itu adalah miliknya dan Bilbo sudah mencuri darinya.



Frodo pun berangkat ditemani 8 orang lainnya: empat sahabat hobbit – Merry Bradybuck, Pippin Took dan Sam Gamgee, lalu ada Gandalf, si penyihir putih yang baik hati dan bijaksana, Gimli – mewakili bangsa kurcaci, ada Boromir. Dan gak ketinggalan, Aragorn dan Legolas, si peri manis dan ganteng ini (aww… *mana suara para wakil Team Aragorn dan Team Legolas? Hehehe…)

Yah, begitulah cerita singkatnya.. yang pasti gue selalu membayangkan betapa tertekannya Frodo.

Adanya film, seperti yang gue bilang di atas, sangat membantu untuk mengerti jalannya cerita buku ini. Apalagi, sampai buku ketiga, yang buat gue, makin lama semakin gelap. Yang menyenangkan adalah membayangkan desa para Hobbit.

Kalo ditanya apakah buku ini pas untuk masuk ke dalam 1001 buku yang ‘wajib’ dibaca, karena J.R.R Tolkien berhasil membawa kita ke dalam sebuah dunia baru. Tak terbayang ada makhluk yang lebih kecil dari kurcaci. Dan kalo selama ini gue ngebayangin kurcaci itu imut-imut seperti yang ada di Snow White, hehehe.. di sini kurcacinya gendut dan mengerikan. Tapi sebenernya si kurcaci ini baik hati sih…

Waktu terakhir gue nonton LOTR 3, pengen nangis rasanya, sedih ngeliat perpisahan antara Frodo dengan Sam, Merry dan Pippin. Hiks…
Read more »

Senin, 30 Juli 2012

The Sherlockian



The Sherlockian
Penerbit: Twelve, Hachette Book Group (2010)
350  hal.
(Pinjam sama Astrid)


Arthur Conan Doyle, sebenarnya rada ‘kesal’ dengan sosok Sherlock Holmes yang ternyata lebih ‘ngetop’ dibandingkan dirinya sendiri – si pencipta tokoh detektif flamboyan yang cerdas itu. Bahkan, para fans Holmes, menganggap sosok itu adalah nyata. Tak jarang Doyle menerima surat yang isi sebenarnya ditujukan kepada Holmes – ada yang minta cariin kucingnya yang hilang lah, minta tangkepin penjahat lah, dan lain-lain.

Maka, di suatu hari, Doyle memutuskan untuk ‘mengakhiri’ kisah Sherlock Holmes dalam ‘Kisah Penutup’ (baca: Memoar Sherlock Holmes). Doyle menerima caci-maki dari para penggemar Holmes yang terkejut. Mereka berduka.

8 tahuh kemudian, lagi-lagi, Doyle membuat kejutan. Dengan ‘memunculkan’ kembali kisah Sherlock Holmes. Kemunculan ini kembali menyisakan misteri, kenapa Holmes muncul kembali? Apa yang terjadi dalam kurun waktu 8 tahun itu?

Sir Arthur Conan Doyle rajin menulis buku harian. Tapi, justru buku harian yang memuat kisah hari-hari selama kurun waktu tersebut hilang.

Tahun 2010, para Sherlockian dikejutkan dengan berita bahwa salah satu anggota Baker Street Irregulars, kelompok Sherlockian yang ekslusif, berhasil menemukan buku harian itu. Tentu saja, para Sherlockian tak sabar menunggu laporan apa isi buku harian itu sebenarnya. Tapi sayangnya, si penemu buku harian itu  justru ditemukan tewas di kamar hotelnya.

Harold White, anggota terbaru dari Baker Street Irregulars, tidak mau menyerahkan perkembangan kasus itu pada polisi. Ia pun mulai melakukan penyelidikan a la ‘Sherlock Holmes’.

Layaknya Sherlock Holmes, baik Doyle maupun Harold memiliki ‘Watson’ mereka sendiri. Doyle dibantu oleh Bram Stroker (yup, sang penulis kisah Drakula), sementara Harold didampingi Sarah, seorang jurnalis yang ingin menjadikan kisah Diary Arthur Conan Doyle ini sebagai kisah ‘comeback’nya ke dunia jurnalistik.

Gue memutuskan untuk memasukkan buku ini ke dalam posting bareng BBI yang temanya ‘Historical Fiction’. Karena, Sir tokoh Arthur Conan Doyle boleh dibilang salah satu penulis yang membuat sejarah dengan tokoh Sherlock Holmes-nya, yang meskipun sudah satu abad, masih tetap memiliki penggemar tersendiri.

Buat gue yang baru saja mulai membaca kisah-kisah Sherlock Holmes, buku ini sangat menarik, sebuah kisah di belakang layar penulisan Holmes. Gak menyangka kan , kalau Doyle justru sebal dengan kesuksesan Sherlock Holmes. 

Reinbach Falls, Switzerland


Gaya penulisannya juga unik. Dua kisah yang berbeda, dengan rentang waktu yang jauh. Hingga akhirnya bertemu di satu titik. Jadi ikutan terharu pas ceritanya selesai.

Yang bikin gue cekikikan adalah saat membayangkan Arthur Conan Doyle dan Bram Stroker harus menyamar jadi perempuan untuk bisa masuk ke dalam sebuah pertemuan yang hanya boleh dihadiri oleh perempuan. Mereka berdua harus mencukur kumis mereka dan rela pake korset. 

Atau, silahkan bayangkan saat pertemuan Baker Street Irregulars, semuanya berdandan ala Sherlock Holmes. Mungkin bakalan tampak lucu, tapi namanya juga nge-fans berat, pastinya bakal diusahakan semirip mungkin dengan sang idola.

Ada thriller, ada juga humornya. 


Tentang penulis (dari goodreads.com):
Graham Moore is a twenty-eight-year-old graduate of Columbia University, where he received his degree in religious history. He grew up in Chicago, which was very cold, and then moved to New York, which was not really as cold, even though people who live there strangely pretend that it is.

He now lives in the not-at-all-cold Los Angeles, despite being the sort of person who thought he would never, ever live in Los Angeles. Life is funny that way.
Read more »

Jumat, 29 Juni 2012

The Postmistress



The Postmistress
Sarah Blake @ 2010
Meggy Soejatmiko (Terj.)
Elex Media Komputindo, Cet. I – April 2012
588  hal.
(Pinjam sama Astrid)

Ini adalah kisah dua perempuan yang bertugas menyampaikan berita. Sama-sama berperan penting dalam kehidupan ‘kelangsungan’ hidup seseorang.

Amerika – masa-masa Perang Dunia II, pemerintah sudah berjanji bahwa tidak akan ada pemuda yang dikirim ke medan perang. Tapi, tetap saja warga was-was. Bisa-bisa sewaktu-waktu tentara Jerman muncul di perairan Amerika.

Harry Vale, setia memantau perairan di di pesisir Franklin, di sekitar daerah tempat ia tinggal. Meskipun banyak yang menganggap remeh usahanya ini. Bahkan ia meminta kepala kantor pos yang baru, Iris James, untuk segera memotong sedikit tiang bendera di depan kantor pos yang terlalu menjulang. Khawatir ini akan menjadi tanda bagi tentara Jerman.

Iris James, si kepala kantor pos baru ini, sangat serius dengan pekerjaannya. Baginya, surat-surat yang masuk ke kantor posnya adalah sangat penting bagi kehidupan seseorang. Bisa saja di salah satu surat itu ada panggilan kerja untuk seorang pencari kerja, surat undangan, surat lamaran pria pada kekasihnya. Jika ini terlambat sampai ke orang yang bersangkutan, maka akan menghambat hari-hari orang lain.

Sementara, nun jauh di London, Frankie Bard, reporter asal Amerika, setia mengabarkan kepada dunia – Amerika tepatnya – akan kondisi perang yang sesungguhnya. Bom yang nyaris dijatuhkan di London setiap malam, orang-orang yang kehilangan sanak-saudara, teman dan tempat tinggal. Frankie mencoba membuka mata, bahwa perang itu sungguh ada. Ia meninggalkan kehidupan yang nyaman demi menyampaikan berita.

Adalah Will Fitch yang jadi benang merah antara kedua perempuan ini. Karena gagal membantu menyelamatkan nyawa seorang ibu saat melahirkan, Will Fitch merasa bersalah, ia pun ingin menebus rasa bersalahnya itu dengan pergi ke London, menjadi sukarelawan di sana. Meski berat, Emma, istrinya melepas kepergian suaminya. Will tak tahu kalau Emma sedang hamil. Dan, Will berjanji akan terus mengirimkan kabar dan segera pulang.

Di awal, kabar itu lancar, sampai suatu malam, terjadi tragedi yang merengut nyawa Will. Saat itu, Frankie yang baru saja berkenalan dengan Will, melihat surat yang akan dikirim Will pada Emma. Kejadian ini, membawanya mengambil keputusan untuk mencari berita dengan mewawancarai para pengungsi. Kembali ia harus menyaksikan peristiwa-peristiwa tragis. Selain itu, masih ada beban – surat Will, dan bahwa ia adalah sebagai salah satu penyampai berita buruk.

Dan, surat yang mengabarkan kematian Will juga tiba di kantor pos tempat Iris. Iris yang melihat bagaimana setiap hari Emma selalu melihat kotak pos-nya, menanti datangnya surat dari Will, tak tega untuk menyampaikan berita ini. Sosok Emma yang begitu rapuh, membuat semua orang ingin melindunginya.

Siapakah yang nantinya akan menyampaikan berita itu ke Emma? Iris atau Frankie? Yang jelas dua-duanya mempunyai beban yang berat.

Inilah cerita perang tapi tanpa dar-der-dor. Malah perangnya sendiri seolah gak ada. Padahal sesungguhnya ada di sekeliling mereka. Coba aja baca, saat Frankie masih sempat minum-minum di klub, atau teman-teman Harry yang masih asyik mancing. Padahal mereka semua juga was-was.

Dan bagaimana, keputusan seseorang bisa sangat mempengaruhi jalan hidup orang lain. Bagaimana juga rasa curiga justru lebih besar ada di tempat yang adem-ayem. Yang bikin sedih, saat seorang ibu melepas anaknya untuk pergi sendiri, biar anaknya selamat, lalu saat seorang anak melihat rumahnya sudah luluh lantak terkena bom dan gak tau keluarganya di mana. Ini adalah bagian-bagian yang bikin sesak. Hiks….

Gue sempat merasa bagian soal tiang bendera itu bagian yang gak penting. Tapi itu justru bagian itu yang jadi ‘penanda’ hubungan antara Iris dan Harry.

Cerita ini juga menggambarkan sosok perempuan yang ‘gagah’. Bukan berarti macho sih. Tapi berani. Frankie Bard dengan berita-beritanya di medan perang – tak sekali nyawanya pun terancam, dan Iris James, si lajang yang sempat jadi bahan omongan di tempat barunya karena penampilannya yang katanya rada gak cocok dengan lingkungan sekitar.

Judulnya sih rada gak nyambung atau menyesatkan kali ya, soalnya ternyata yang paling banyak rasanya justru si Frankie Bard, bukan Iris. Bahkan Emma rasanya juga lebih berperan di sini. 

Dan sekedar intermezo aja sih, di jaman itu sepertinya merokok untuk perempuan jadi hal yang hip, bahkan Emma yang sedang hamil pun masih terus merokok. 

O ya, inilah sosok Edward R. Murrow - wartawan perang yang jadi pembimbing Frankie


Read more »

Kamis, 28 Juni 2012

Perfume: The Story of a Murderer



Perfume: The Story of a Murderer
Patrick Süskind
Bima Sudiarto (Terj.)
Dastan Books
Cet. 1 – Maret 2006
428 Hal.

Novel ini mengajak pembacanya berjalan menelusuri lorong-lorong kota-kota di Perancis yang kumuh, bau dan kotor pada periode sekitar abad ke-18. ‘Bertemu’ dengan tokoh utama yang unik, kalau tidak bisa dikatakan aneh.

Jean-Baptiste Grenouille, lahir di warung ikan, dari rahim seorang wanita yang akhirnya dihukum mati karena dianggap sengaja membunuh anak-anaknya yang lain. Jadilah Grenouille anak yatim piatu. Grenouille selalu berganti-ganti ibu susu karena tidak ada yang tahan dengan dirinya. Penyebabnya, selain karena nafsu minumnya yang besar, juga karena ia dilahirkan tanpa bau badan, tanpa bau khas bayi, khas manusia. Para ibu susu itu menganggap Grenouille sebagai anak yang aneh, monster. Sampai akhirnya, Grenouille dibawa oleh pendeta gereja ke rumah seorang wanita yang tidak memiliki indera penciuman karena hidungnya rusak dipukul, bernama Madam Gaillard.

Di rumah Madam Gaillard inilah Grenouille belajar mengenal benda-benda di sekitarnya, bukan berdasarkan nama-nama, tapi dengan memakai penciumannya. Ya, Grenouille dikarunia bakat penciuman yang luar biasa.

Sampai akhirnya ia merantau pun, ia belajar mengenal arah dengan mengandalkan penciumannya. Penciumannya pula yang mengantarkan Grenouille ke rumah seorang pembuat parfum yang hampir bangkrut, Baldini. Di sini dengan suka rela, Grenouille membantu Baldini, sekaligus diam-diam menyerap semua ilmu Baldini. Dan Baldini sendiri, akhirnya menjadi bangkit kembali. Parfum racikan Grenouille menjadi terkenal di mana-mana.

Selepas dari tempat Baldini, Grenouille ‘merantau’ lagi, ia ingin menemukan cara penyulingan demi mendapat formula untuk parfum yang selama ini mengendap di kepalanya, yaitu parfum aroma ‘perawan’. Mulailah serangkaian pembunuhan terhadap 25 gadis remaja, semua tewas dengan cara yang aneh.

Sekilas, akan terkesan kalau tokoh Grenouille adalah seorang psikopat, pembunuh berdarah dingin, atau bahkan seperti monster. Tapi, sebenarnya tokoh Grenouille adalah seorang tokoh yang mandiri. Terbiasa hidup dalam tatapan aneh orang-orang di sekitarnya membuat ia juga tidak tahu apa namanya cinta. Grenouille sendiri adalah sosok yang cerdas, dan mampu mempengaruhi orang lain.

Novel ini adalah kisah perjalanan hidup Jean-Baptiste Grenouille. Ritme di novel ini bisa dibilang naik-turun. Ada sedikit ketengangan di awal, kemudian turun lagi, sampai bisa merasa bosan karena datarnya cerita, lalu di bagian akhirnya mulai menanjak lagi.

Sebenarnya kisah pembunuhannya sendiri tidak disajikan dalam porsi yang banyak, malah terkesan singkat. Jadi, jangan berharap kisah pembunuhan yang berdarah-darah, karena semua itu dilakukan dengan cara yang ‘dingin’, a la Jean-Baptiste Grenouille.

Buku ini udah ada filmnya. Jean-Baptiste Grenouille diperankan oleh Ben Wishaw. 



Read more »

Rabu, 30 Mei 2012

Garis Batas



Garis Batas
GPU – April 2011
510 hal
(Hadiah #GPU100 dari @Gramedia)


untuk Mama di surga tanpa batas

Halaman persembahan dengan kalimat yang membuat gue terharu. Betapa besar cinta seorang Ibu, mendoakan anaknya yang berada di negeri ‘antah-berantah’.

Jika di Selimut Debu, Agustinus Wibowo berkunjung ke Afganistan, sebuah negara yang rawan dengan ‘ranjau’. Di Garis Batas, ia menjelajah negeri-negeri Asia Tengah yang dulu bersatu di bawah naungan Uni Soviet – sebut saja Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.

Dulu, kalau ngeliat atlas, ngeliat Uni Soviet itu besarrrr banget. Rasanya mungkin menghabiskan setengah halaman dari atlas itu sendiri. Berada di dua benua – Eropa dan Asia (inget kalo dulu ada salah satu pertanyaan kalo ulangan: sebutkan negara yang berada di Eurosia?) Negeri yang dingin – itu yang ada di benak gue – dingin dalam arti cuaca, tapi juga orang-orangnya (berdasarkan pengamatan di foto atau ngeliat di film). Udah gitu, ini negara kaya’nya jagoan banget kalo pas Olimpiade.

Tapi apa iya, setelah mereka masih hidup ‘makmur’ setelah Uni Soviet terpecah dan menjadi negara-negara kecil. Apa iya mereka masih ‘sekuat’ dulu?

Setelah terpecah-pecah, mereka yang dulunya hidup dalam satu negara besar kini menetapkan otoritasnya masing-masing, menentukan batas-batas negara mereka dengan birokrasi yang ribet dan penuh dengan korupsi.

Gue gak akan membahas negara-negara yang dikunjungi Agustinus Wibowo ini satu per satu. Tapi secara garis besar, negara-negara ini hidup dalam kesusahan. Korupsi merajalela, para pria kebanyakan kongkow-kongkow di warung minuman dan mabuk, malas bekerja.

Dari segi fisik sih, perempuannya cantik-cantik, laki-laki juga ganteng… tapi ya itu, ternyata si cowok-cowok ini kebanyakan ‘pemalas’. Meski mengaku beragama Islam, terkadang mereka sama sekali gak merasa perlu sholat atau baca Al-Qur’an. Bahkan mereka gak tau arti syahadat. Bahkan saat Idul Fitri pun tak terasa kalau hari itu adalah hari yang istimewa.

Sejarah yang hebat menjadi latar belakang yang menarik dari negara-negara ini. Keriuhan di pasar-pasar mungkin jadi gambaran perdagangan Jalur Sutera. 


Yang menarik adalah negara terakhir – Turkmenistan. Hehehehe.. aduh terus terang ya, gue ngikik geli baca bagian ini. Membayangkan betapa narsisnya sang pemimpin. OMG … bahkan saat nulis ini pun gue senyum-senyum geli. Gimana gak narsis… Patung emasnya berdiri tegak dan dapat berputar! Foto-nya di mana-mana, tari-tarian, lagu-lagu dan segala puja-puji bagi sang Turkmenbashi. Bahkan ada kitabnya sendiri yang mungkin posisinya lebih tinggi daripada kitab suci. Aduh..duh..duh.. Foto di depan patung jadi salah satu tempat yang wajib untuk para pengantin baru.

Memang sih, dibandingkan dengan Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan dan Uzbekistan,  Turkmenistan bisa dibilang lebih ‘makmur’. Pendidikan gratis, gedung-gedung megah dengan air mancur, jalanan mulus. Pemandangan yang menyilaukan mata. Tapi, eitss.. tunggu dulu… itu di tengah kota. Coba melongok sedikit ke bagian belakang gedung, masih ada juga pemukiman kumuh.
O ya.. yang ‘unik’ lagi adalah perbatasan antara di mana satu bangunan rumah bisa berada di dua negara. Yang tinggal di rumah itu, bisa makan dan tidur di Negara yang berbeda. Perbatasannya hanyalah sebuah gang kecil yang sepertinya gampang banget ‘diselundupi’.

Ternyata ya, sebuah Negara yang selama ini bersatu, begitu terpisah-pisah oleh garis batas langsung berubah drastis segala aspek kehidupannya. Dan yang tadinya rukun, tiba-tiba bisa saling menjelekka dan merasa dirinya lebih baik daripada yang lain.

O ya, selain bercerita tentang keluh kesah, pengalaman selama perjalanan, di buku ini, Agustinus Wibowo juga bercerita tentang kisah pribadinya menjadi warga keturunan Cina di Indonesia. Tentang diskrimninasi yang ia dan keluarganya alami.

Tau gak sih, kalo baca Selimut Debu dan Garis Batas, hehehe.. kadang gue kasian sama Agustinus Wibowo ini… abis kadang sepertinya menderita banget.. entah karena nyaris ditangkep polisi, ‘diperas’, ditinggal sama mobil angkutan, udah gitu, kalo pun di mobil, jangan bayangkan itu mobil travel yang oke, tapi truk atau bis yang desek-desekan, kadang mogok dan harus ikutan dorong. Belum lagi, pengalamannya naik keledai… Uang pas-pasan, tidur di warung-warung.. belum lagi ngurus perijinan yang ribet.

Tapi, mungkin semua itu terbayar dengan pengalaman yang pastinya belum semua orang mau menjalaninya.
Read more »

Selasa, 01 Mei 2012

And the Book Goes to...

Berhubung pemenang yang kemarin gak kirim konfirmasi, maka dipilihlah pemenang lain yang berhak mendapatkan buku ini.




Dan pemenangnya adalah:


Melisa Mariani (@melmarian)


Hihihi.. selamat ya, Mel... tolong kirim alamatnya ke ferina.ardinal@gmail.com




Read more »

Minggu, 29 April 2012

Harun dan Samudera Dongeng



Harun dan Samudera Dongeng (Harun and the Sea Stories)
Salman Rushdie @ 1990
Anton Kurnia & Atta Verin (Terj.)
Penerbit Serambi – Cet. I, September 2011
224 hal.
(Gramedia Plasa Semanggi)

Harun tinggal di sebuah kota bernama Alifbay, sebuah kota yang sedih. Semua yang ada di sana menebarkan kesedihan. Makan ikan jadi sedih, asap yang keluar dari pabrik membuat kota semakin murung.

Harun adalah anak seorang pendongeng, bernama Rasyid Khalifa. Dongeng yang diceritakan Rasyid adalah dongeng yang gembira dan ceria. Bayangkan di tengah-tengah penduduk kota yang muruh, muncul sedikit keceriaan dari seorang Rasyid Khalifa. Maka itu, ia sering disebut Raja Omong Kosong.

Suatu hari, petaka ‘singgah’ di rumah Harun. Ibunya pergi, melarikan diri bersama suami tetangga mereka. Rasyid Khalifa dirundung kesedihan, hingga saat ia harus mendongeng, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Meski begitu, masih ada yang mengundang Rasyid Khalifa untuk mendongeng. Namun Harun khawatir dengan ayahnya. Bagaimana jika ayahnya tidak mampu mendongeng. Hukuman berat pastilah menanti mereka.

Suatu malam, Harus bertemu dengan Jin Air bernama Jikka, yang memasok aliran dongeng dari Samudera Dongeng. Sesuatu telah ‘menyumbat’ aliran itu, hingga ayah Harun tak bias mendongeng lagi.

Maka, malam itu, dimulailah sebuah petualangan yang menakjubkan dengan misi membuka kembali sumbat aliran di Samudera Dongeng.

Di sinilah dongeng yang ‘sebenarnya’ dimulai. Muncul teman-teman baru Harun, selain Jikka si Jin Air, ada Tappi – burung bulbul mesin, Tukang Kebun Terapung dan Cerewet. Ada pasukan Halaman, Kitab dan Bab.  Ada pertempuran antara Negara Guppe dan Chup.

Gue pikir cerita ini akan lebih mudah untuk ‘dicerna’ dibandingkan dengan Midnight Children yang sampai sekarang masih belum berhasil gue tuntaskan. Yah, ini kan termasuk cerita anak-anak, kali-kali aja gitu kata-katanya lebih ‘bersahabat’. Hehehe.. ternyata gak juga ya… lumayan lama gue menyelesaikan buku yang gak terlalu tebal ini, dan, harus bolak-balik untuk bisa menangkap cerita di dalam buku ini. Ada dongeng di dalam dongeng. Butuh imajinasi yang ‘tinggi’.

Buat gue, sebenarnya nih.. ini cerita yang indah… tentang kasih sayang seorang anak pada ayahnya. Dan, satu lagi yang keren nih… di awal cerita, ada sebuah puisi yang setiap baitnya merupakan inisial dari nama anak Salman Rushdie. Anton Kurnia dan Atta Verin berhasil menerjemahkan dengan indah, dan gak merubah huruf awalnya.
Read more »

Kamis, 12 April 2012

BBI 1st Giveaway Hop

Menyambut ulang tahun BBI yang pertama, Lemari Bukuku turut berpartisipasi dalam BBI 1st Giveaway Hop yang 'diprakarsai' oleh Fanda's Historical Fiction, Kumpulan Sinopsis dari Okeyzz dan Dear Readers sebagai host dari giveway hop ini.


Sebagai penghormatan terhadap Seno Gumira Ajidarma, Perkara Mengirim Senja mewujud dalam rangkaian lima belas cerita karya empat belas pengarang dengan berbagai latar belakang dan gaya penulisan. Cerita-cerita ini merupakan penafsirulangan karya SGA yang dikarang oleh generasi penulis yang lebih segar.

Antologi ini memantik kreasi baru tanpa kehilangan napas awalnya seperti yang tersurat dalam senja yang memerangkap dua perempuan yang tanpa sengaja terjebak cinta bercabang, perselingkuhan seorang “istri setia” yang “dipasung” suaminya, suami tak setia yang diselingkuhi istrinya, hubungan perempuan-lelaki yang rumit tapi lucu, dusta cinta yang perlahan tersingkap kedoknya, patah hati yang unyu, serta pertanyaan-pertanyaan galau tentang hakikat cinta dan percintaan. 

Persyaratannya sebagai berikut:
  • Terbuka untuk semua yang berdomisili di Indonesia.
  • Wajib mem-follow blog Lemari Bukuku lewat GFC atau subscribe email.
  • Tiap peserta dapat memasukkan entri sebanyak-banyaknya.
  • Entri yang menang akan ditentukan melalui undian menggunakan random.org.
  • Giveaway berakhir pada 26 April 2012 pk. 23:59.
  • Bila 48 jam setelah aku menghubungi pemenang, tidak ada jawaban, maka aku berhak memilih pemenang baru.
Jadi silahkan masukan entri sebanyak-banyaknya.. dan semoga sukses :) Dan jangan lupa kunjungin Blog-Blog lain yang juga ikutan BBI 1st Giveaway Hop ini.

dan... selamat ulang tahun, Bebi.... semoga tetap eksis 'kasih kado f*nta biru'

a Rafflecopter giveaway
Read more »

Selasa, 28 Februari 2012

Murder on the Orient Express


Murder on the Orient Express
(Pembunuhan di Orient Express)
Agatha Christie @ 1920
GPU – Cet, VIII, Juli 2007

Hercule Poirot, si detektif bertubuh mungil, berkepala bulat telur dengan kumis melintang dan sangat apik, menolak orang yang meminta pertolongannya, hanya gara-gara dia gak suka sama wajah si orang itu. Dan, malamnya, orang itu ditemukan tewas.

Hercule Poirot sedang dalam perjalanan kembali ke London menggunakan kereta api Orient Express. Seperti biasa, Poirot mengamati semua penumpang yang ada di kereta itu. Ia menilai karakter masing-masing orang dari pengamatan sekilasnya itu.

Orang yang meminta pertolongannya bernama Ratchett, seorang pengusaha asal Amerika. Kematian Rachett cukup menimbulkan kegemparan di kereta itu. Apalagi saat itu, kereta Orient Express terjebak dalam badai salju dan tak bisa jalan.

Untung di dalam kereta itu ada Poirot dan seorang dokter bernama Dokter Constantine yang membantu menyelidiki dan menganalisa kejadia mengerikan di kereta itu. Dari hasil analisa, kemungkinan pelakunya kidal, tapi koq ada juga yang diperkirakan pakai tangan kanan. Direktur kereta api, berpendapat, bisa jadi pelakunya perempuan yang sangat marah, yang katanya kalo lagi emosi, jadi sangat bertenaga.

Satu per satu penumpang dipanggil untuk diwawancara – di antaranya pelayan dan sekretaris Rachett, seorang perempuan bernama Mrs. Hubbard yang selalu menyebut-nyebut ‘Putri saya’ dalam setiap percakapannya, pasangan ningrat asal Hongaria – Count dan Countess Andrenyi, bangsawan asal Rusia – Putri Dragomiroff yang katanya berwajah seperti kodok beserta pelayannya, Hildegarde Schmidt, seorang guru asal Inggris, Mary Debenham, yang dicurigai karena percakapannya dengan Kolonel Arbuthnot dan orang Italia bernama Antonio Foscarelli.

Dengan rapi, Poirot menyusun hasil wawancara, mencocokkan alibi mereka dengan perkiraan waktu kejadian, mengamati sikap mereka yang luput dari pemeriksa yang lain. Sekecil apa pun itu, Poirot bisa menemukan fakta yang tersembunyi, yang cukup mengejutkan.

Setelah sekian lama, akhirnya baca Agatha Christie lagi. Perkenalan pertama dengan tante Agatha ini dari buku papa yang judulnya ‘Tirai’. Terus, sempet koleksi deh, ehhh.. dipinjem.. gak balik. Akhirnya, malah ada beberapa yang dikasih ke sodara-sodara. Favorit gue adalah 10 Anak Negro. Bikin merinding. Satu hari, gue sekeluarga lagi liburan di Puncak, nginep di villa gitu deh. Nah, pas malemnya ada film akhir pekan, setting-nya di pedesaan di Indonesia, ceritanya mirip dengan cerita 10 Anak Negro ini. Gue langsung merinding, karena setting di film itu sama dengan tempat gue waktu itu. Sepi, terus tokoh penjaga villa yang misterius, yang kalo di awal pasti jadi tertuduh utama. Hiiii….

Gue lebih suka cerita yang tokohnya Hercule Poirot dibanding Miss Marple. Mungkin karena sosoknya yang lucu itu, caranya menyelidiki dan menganalisa kasus dengan ‘sel-sel kelabu’nya itu.

Tapi, gue rada gak ‘puas’ nih dengan ending cerita di buku Murder on the Orient Express. Seperti biasa sih, pembunuhnya orang yang tampak baik, gak disangka-sangka, tapi di buku ini, kenapa nyaris semua penumpang ada hubungannya dengan si korban. Ini yang bikin gue jadi rada gak puas. Semua ternyata punya kedok, dan yang pasti emang punya potensi untuk jadi pembunuh.

Read more »

Senin, 30 Januari 2012

Please Look After Mom


Please Look After Mom (Ibu Tercinta)
Kyung Sook Shin @ 2008
Tanti Lesmana (Terj.)
GPU – September 2011
296 hal.
(from my #secretsanta)

Bukan pertama kali, Park So-nyo bepergian dengan kereta api bersama suaminya. Tapi entah kenapa, di hari itu, ketika mereka hendak mengunjungi anak-anak mereka di Seoul, ia tertinggal, saat suaminya bergegas naik ke gerbong kereta bawah tanah. Lama baru ia menyadari, bahwa istrinya tertinggal. Park So-nyo tak kunjung tiba di rumah anak mereka. Akhirnya, anak-anaknya berkumpul, membuat selebaran dan menempelkan di tempat-tempat yang strategis. Anak-anaknya pergi ke stasiun tempat terakhir kali ibu mereka berada, beberapa orang memberi respons dan merasa melihat ibu mereka. Tapi, hasilnya nihil. Ibu mereka tetap tak diketahui keberadaannya.

Dalam keputusasaan, anak laki-laki pertama, anak perempuan kedua dan suaminya mengenak sosok ibu/istri yang selama ini terlupakan. Ternyata, selama ini mereka tak menyadari betapa pentingnya ibu mereka, dalam daftar prioritas ibu mereka, ternyata, tak satupun yang diperuntukan bagi ibu mereka. Mereka terlalu sibuk dengan kehidupan yang baru, sampai akhirnya, perlahan-lahan, tanpa disadari mereka jadi ‘jauh’ dengan ibu mereka. Saat diminta menggambarkan seperti apa sih sosok ibu mereka, kedua anak itu pun ‘terbata-bata’, bertanya-tanya dalam hati, seberapa jauh mereka mengenal ibu mereka.

Dan sang suami pun, baru menyadari betapa ia kehilangan istrinya saat ia sendiri. Tak menyadari bahwa selama ini kurang menghargai istrinya. Pernah ia berselingkuh dan pergi dari rumah, tapi saat ia kembali, istrinya menyambut seolah tak ia hanya pergi keluar kota, seperti tak terjadi apa-apa. Sang suami pun berpikir, jangan-jangan gara-gara ia jalan terlalu cepat, istrinya jadi tertinggal.

Sosok Park So-nyo digambarkan sebagai perempuan pekerja keras, selalu berkorban untuk anaknya, menyiapkan yang terbaik. Dan sebagai seorang istri, ia selalu merawat suaminya. Bahkan kala ia sakit pun, tak pernah ia mengakui bahwa ia sakit.

Alur buku ini sangatlah lamban. Dan memang bukan diperuntukan untuk yang pengen baca cepet-cepet. Rada bingung di awal, tentang siapa yang bercerita. Tapi buku ini harus dinikmati pelan-pelan. Diresapi maknanya. Baru beberapa lembar, membacanya membuat gue menghela napas berkali-kali. Tiba-tiba jadi ada sebuah ‘beban’. Inget dosa sama mama kali ya? Warning: bersiaplah tissue dan air putih, biar tenang bacanya.

Saat pertama membaca sinopsisnya di website gramedia, gue malah teringat sebuah cerita lucu. Dulu, temen kuliah gue pernah cerita tentang kakaknya yang ‘ketinggalan’ istrinya di supermarket. Gak sadar istrinya ketinggalan, sampai si istri muncul di rumah, pulang naik taksi sambil marah-marah. Saat itu, gue ketawa berkali-kali.

Tapi, saat membaca buku ini, gue ‘tertegun’. Bukan masalah ‘ketinggalannya’, tapi gue jadi berpikir seberapa jauh gue mengenal sosok ibu gue. Seberapa jauh gue sudah berbuat untuk membalas apa yang sudah beliau lakukan selama puluhan tahun ini sama gue. Ma’af ya, kalo tulisan ini jadi rada-rada pribadi. Gue jadi teringat berbagai ‘dosa-dosa’ gue. Yah, emang sih, hubungan gue mungkin bukan hubungan ibu-anak yang suka curhat-curhatan. Gak pernah tuh, gue curhat tentang ‘gebetan’ gue ke beliau… takut… :D. Tapi, sekarang, saat gue juga bukan abg lagi, semakin lama, gue semakin nyaman untuk bicara dengan beliau. Dan, gue melihat, mama mirip-mirip sama Park So-nyo. Saat sakit, selalu bilang ‘gak sakit, selalu ada untuk bantuin anak-anaknya yang kadang masih manja-manja ini. Tapi, hei… beliau gak pernah mengeluh. Wish I could be a mom like her…

Love you, mom…

*my secret santa: who are you anyway?... terima kasih untuk bukunya ya… *
Read more »

Kamis, 05 Januari 2012

Top 5 of Book Boyfriend

Wah, membaca tweet-nya Melmarian beberapa hari yang lalu untuk bikin Top 5 of Book Boyfriend, gue langsung reply “Mariiii…” Semangat untuk mengikuti ‘jejak’ Aleetha, Ana, dan Mia .

Langsung gue membuka list buku-buku tahun 2011 yang gue baca, gue inget-inget karakternya – siapa karakter cowok yang berhasil ‘memikat’ hati gue. Tapi, setelah gue liat-liat, lho… karakter utama buku yang gue baca rata-rata perempuan, laki-lakinya jarang. Gue pilah-pilah, akhirnya ketemulah beberapa ‘laki-laki’ itu. Maunya sih, terbatas di buku tahun 2011 aja, tapi ternyata ‘pikiran’ gue malah terbawa-bawa sama buku-buku di tahun-tahun sebelumnya.

Setelah gue bikin list-nya, lhooo… kenapa di antara cowok-cowok ini punya predikat ‘bad boy’? Nyaris tak ada laki-laki ‘klimis’, harum dan baik hati yang bikin perempuan langsung meleleh yang ada dalam daftar gue? Hehehe.. mungkin memang dalam kehidupan ‘nyata’, gue lebih memilih pria (ketauan dan keliatan) baik-baik, tapi, dalam kehidupan yang ‘tak nyata’, si bad boy ini lebih menarik hati. Karakter bad boy – kadang berantakan, trouble maker, womanizer atau bisa juga seperti yang Ana bilang “ngga menye-menye dan tough di luar meskipun hancur di dalam”, yang ending-nya bisa membuat para cewek-cewek jadi klepek-klepek, lebih 'mantap' lagi kalo anak band :D (duh, ma’afkan khayalan emak-emak satu ini)

Jadi inilah pilihan gue:

1. Aragorn
(Trilogi Lord of The Rings – JRR. Tolkien)


Saat membaca Trilogi Lord of The Rings, gue gak punya bayangan ‘wujud’ para tokoh. Bagi gue, Frodo mungkin seperti kurcaci, apalagi Aragorn, Legolas dan lain-lain. Tapi, saat nonton filmnya, aw, gue langsung ‘jatuh cinta’ dengan sosok Aragorn yang diperankan sama Viggo Mortensen. Sosoknya yang ‘berantakan’, lebih menarik perhatian dibanding Legolas (Orlando Bloom) yang emang cakep sih, tapi terlalu ‘bersih’ dan ‘cantik’. Ya, maklum deh Legolas kan dari bangsa peri, jadinya rada-rada cantik gitu deh. Dan saat membuat daftar, gue langsung inget, Aragorn harus masuk daftar.

2. Haris

(Antologi Rasa – Ika Natassa)

Another womanizer, penggombal sejati yang sanggup bikin perempuan langsung meleleh. Tapi, ternyata bisa gak berkutik kala dianggap angin lalu sama perempuan yang dia suka. Seorang womanizer akhirnya ‘insya’.

Kalo gak salah, gue sempat ‘tebak-tebakan’ sama Sulis ya? Siapa yang cocok jadi Haris. Di bayangan gue, kaya’nya Oka Antara oke tuh.. hehehe… tapi, gue juga mikir Fauzi Baadilah, tapi tampaknya dia gak cocok jadi seorang banker

3. Alex
(Perfect Chemistry)


The Latino Boy – yang terpaksa jadi anggota gang demi melindungi keluarganya. Meskipun anggota gang, tapi sebisa mungkin menghindar dari segala transaksi dan permainan kotor lainnya. Pinter matematika, tapi selalu dianggap trouble maker di sekolah. Yang gue suka, adalah perannya sebagai ‘hero’, buat keluarganya. Bikin si bad boy ini jadi family boy di mata gue.

4.Gale
(The Hunger Games)



Entah kenapa ya, gue lebih memilih cowok yang ‘terkalah’kan, dibanding tokoh cowok yang jadi pemeran utama, atau pusat perhatian. Di dua buku, Hunger Games dan Catching Fire, Gale jadi nomer 2 setelah Peeta. Yah, bukan berarti gak suka sama Peeta sih, tapi, pilihan gue, selalu jatuh sama pria-pria yang jadi nomer dua. Kadang-kadang kalo gue gemes, sambil baca gue suka berkata dalam hati, “Come on… fight for her…” Hehehe…

5. Adam
(If I Stay)


Ahh.. rasanya, nama ini ada di 4 blog yang gue baca. Semuanya pasti ada Adam Wilde. Emang sih gue baru baca buku pertama, tapi cukup untuk membuat gue pengen ‘meluk’ Adam. Kasian gitu, ngeliatin pacarnya lagi koma…

Ya, segitulah pilihan gue. Maklum jarang baca Young Adult, jadi kekurangan referensi cowok-cowok keren. Hehehe.. eh, tapi di buku-buku drama juga gak kalah sih cowok kerennya, tapi kurang ‘matjoh’. Ah, sudahlah, bener kata Mia, mikirin cowok-cowok ini, bikin gue jadi berasa ABG lagi.. hehehe..

Have fun!
Read more »