Tampilkan postingan dengan label Agustinus Wibowo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agustinus Wibowo. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Mei 2012

Garis Batas



Garis Batas
GPU – April 2011
510 hal
(Hadiah #GPU100 dari @Gramedia)


untuk Mama di surga tanpa batas

Halaman persembahan dengan kalimat yang membuat gue terharu. Betapa besar cinta seorang Ibu, mendoakan anaknya yang berada di negeri ‘antah-berantah’.

Jika di Selimut Debu, Agustinus Wibowo berkunjung ke Afganistan, sebuah negara yang rawan dengan ‘ranjau’. Di Garis Batas, ia menjelajah negeri-negeri Asia Tengah yang dulu bersatu di bawah naungan Uni Soviet – sebut saja Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan.

Dulu, kalau ngeliat atlas, ngeliat Uni Soviet itu besarrrr banget. Rasanya mungkin menghabiskan setengah halaman dari atlas itu sendiri. Berada di dua benua – Eropa dan Asia (inget kalo dulu ada salah satu pertanyaan kalo ulangan: sebutkan negara yang berada di Eurosia?) Negeri yang dingin – itu yang ada di benak gue – dingin dalam arti cuaca, tapi juga orang-orangnya (berdasarkan pengamatan di foto atau ngeliat di film). Udah gitu, ini negara kaya’nya jagoan banget kalo pas Olimpiade.

Tapi apa iya, setelah mereka masih hidup ‘makmur’ setelah Uni Soviet terpecah dan menjadi negara-negara kecil. Apa iya mereka masih ‘sekuat’ dulu?

Setelah terpecah-pecah, mereka yang dulunya hidup dalam satu negara besar kini menetapkan otoritasnya masing-masing, menentukan batas-batas negara mereka dengan birokrasi yang ribet dan penuh dengan korupsi.

Gue gak akan membahas negara-negara yang dikunjungi Agustinus Wibowo ini satu per satu. Tapi secara garis besar, negara-negara ini hidup dalam kesusahan. Korupsi merajalela, para pria kebanyakan kongkow-kongkow di warung minuman dan mabuk, malas bekerja.

Dari segi fisik sih, perempuannya cantik-cantik, laki-laki juga ganteng… tapi ya itu, ternyata si cowok-cowok ini kebanyakan ‘pemalas’. Meski mengaku beragama Islam, terkadang mereka sama sekali gak merasa perlu sholat atau baca Al-Qur’an. Bahkan mereka gak tau arti syahadat. Bahkan saat Idul Fitri pun tak terasa kalau hari itu adalah hari yang istimewa.

Sejarah yang hebat menjadi latar belakang yang menarik dari negara-negara ini. Keriuhan di pasar-pasar mungkin jadi gambaran perdagangan Jalur Sutera. 


Yang menarik adalah negara terakhir – Turkmenistan. Hehehehe.. aduh terus terang ya, gue ngikik geli baca bagian ini. Membayangkan betapa narsisnya sang pemimpin. OMG … bahkan saat nulis ini pun gue senyum-senyum geli. Gimana gak narsis… Patung emasnya berdiri tegak dan dapat berputar! Foto-nya di mana-mana, tari-tarian, lagu-lagu dan segala puja-puji bagi sang Turkmenbashi. Bahkan ada kitabnya sendiri yang mungkin posisinya lebih tinggi daripada kitab suci. Aduh..duh..duh.. Foto di depan patung jadi salah satu tempat yang wajib untuk para pengantin baru.

Memang sih, dibandingkan dengan Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan dan Uzbekistan,  Turkmenistan bisa dibilang lebih ‘makmur’. Pendidikan gratis, gedung-gedung megah dengan air mancur, jalanan mulus. Pemandangan yang menyilaukan mata. Tapi, eitss.. tunggu dulu… itu di tengah kota. Coba melongok sedikit ke bagian belakang gedung, masih ada juga pemukiman kumuh.
O ya.. yang ‘unik’ lagi adalah perbatasan antara di mana satu bangunan rumah bisa berada di dua negara. Yang tinggal di rumah itu, bisa makan dan tidur di Negara yang berbeda. Perbatasannya hanyalah sebuah gang kecil yang sepertinya gampang banget ‘diselundupi’.

Ternyata ya, sebuah Negara yang selama ini bersatu, begitu terpisah-pisah oleh garis batas langsung berubah drastis segala aspek kehidupannya. Dan yang tadinya rukun, tiba-tiba bisa saling menjelekka dan merasa dirinya lebih baik daripada yang lain.

O ya, selain bercerita tentang keluh kesah, pengalaman selama perjalanan, di buku ini, Agustinus Wibowo juga bercerita tentang kisah pribadinya menjadi warga keturunan Cina di Indonesia. Tentang diskrimninasi yang ia dan keluarganya alami.

Tau gak sih, kalo baca Selimut Debu dan Garis Batas, hehehe.. kadang gue kasian sama Agustinus Wibowo ini… abis kadang sepertinya menderita banget.. entah karena nyaris ditangkep polisi, ‘diperas’, ditinggal sama mobil angkutan, udah gitu, kalo pun di mobil, jangan bayangkan itu mobil travel yang oke, tapi truk atau bis yang desek-desekan, kadang mogok dan harus ikutan dorong. Belum lagi, pengalamannya naik keledai… Uang pas-pasan, tidur di warung-warung.. belum lagi ngurus perijinan yang ribet.

Tapi, mungkin semua itu terbayar dengan pengalaman yang pastinya belum semua orang mau menjalaninya.
Read more »

Senin, 17 Oktober 2011

Selimut Debu

Selimut Debu
Agustinus Wibowo
GPU – Januari 2010
461 Hal.
(swap sama melmarian)

Selama membaca buku ini, sejujurnya, gue hanya bisa ‘bengong’, mencoba membayangkan perjalanan seorang Agustinus Wibowo. Dari beberapa buku bergenre ‘travel’ yang pernah gue baca atau artikel di majalah, nyaris semua pergi ke tempat-tempat yang menyenangkan, bikin iri dengan segala foto-foto yang indah, makanan yang enak-enak dan akomomodasi yang memadai. Ya, sebut aja, tempat-tempat di Eropa, atau Bali, Pulau Komodo, bahkan negara-negara di Afrika pun, tampaknya masih lebih menyenangkan kalau membaca tentang wisata safari-nya meskipun deg-degan, takut kalo-kalo ketemu singa laper.

Tapi, ke Afghanistan, sebuah nama yang kalau gue baca koran atau liat berita di tv isinya perang, bom, penculikan dan segala teror lainnya. Rasanya rada gak ‘waras’ kalo ada orang yang nekat ke sana dengan tujuan melihat ‘keindahan’.

Ke negeri penuh debu itu, seorang diri, dengan modal yang ‘terbatas’, Agustinus Wibowo menelusuri hampir seluruh pelosok Afghanistan. Duh, membaca petualangannya, rasanya miris banget. Mengenakan pakaian tradisional penduduk yaitu shalwar qamiz yang kumal, tidak mandi berhari-hari, tidur menumpang di kedai teh, bepergian dengan truk atau jip yang bolak-balik mogok, bahkan pernah naik traktor. Jalannya tentu tidak mulus – lubang besar-besar, kiri-kanan jurang atau harus menyeberang sungai. Belum lagi, kecopetan dan diperlakukan tidak ‘senonoh’. Apalagi, bepergian di tanah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, bagi seorang Agustinus Wibowo yang non-muslim, masalah agama jadi hal yang sensitif. Meskipun mayoritas orang-orang yang ia temui tergolong baik hati, karena mereka selalu memperlakukan orang asing sebagai tamu, tapi ada saja yang berusaha memerasnya dengan mengenakan tarif kendaraan dengan harga yang tak masuk akal, sengaja ditinggal ketika sedang tidur.

Tapi, ternyata, di balik ‘penderitaan’ dan kesusahan itu, ia bisa melihat keindahan dan keanekaragaman budaya Afghanistan. Mengenal berbagai etnis di Afghanistan, Mendengar penduduk yang saling menjelekkan etnis satu dengan yang lainnya.

Bertualang dengan cara seperti ini, membuat Agustinus Wibowo jadi lebih mudah berinteraksi dengan penduduk setempat. Menginap di rumah penduduk, ia menangkap mimpi-mimpi mereka, mendegar kegetiran dan penderitaan mereka. Sejarah masa lalu yang kelam, penuh dengan perang,

Ada perempuan tak bernama karena selalu terbungkus burqa, tapi di desa lain, perempuan justru berpakaian warna-warni dan bebas bekerja di luar rumah. Peninggalan bersejarah yang dihancurkan, atau kalau pun ada tampak terlupakan.

Akhirnya… kesampaian juga baca Selimut Debu. Buku ini sudah lama ada di wishlist gue. Gue mendapatkan sebuah ‘pandangan’ baru tentang Afghanistan. Pengetahuan gue yang minim, jadi bertambah. Foto-foto yang keren hasil jepretan Agustinus Wibowo membantu untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Gue *speechless* ...
Read more »