Selasa, 19 Juni 2012

Chiru’un, Disciples of Luan (Si gadis dari Suku Selatan)



Judul                      : Chiru’un, Disciples of Luan (Si gadis dari Suku Selatan)
Penulis                  : Tasfan
Editor                     : Ratna Mariastuti
Korektor                 : A.S. Sudjatna
Sampul                  : Moon Eclipse Studio
Cetakan                 : Pertama, Mei 2012
Penerbit                 : DIVA Press



                Sekitar tiga tahun yang lalu, dunia fiksi Indonesia sempat dihebohkan oleh novel Tanril, sebuah novel  semisilat-fantasi yang ditulis dengan sangat apik oleh Nafta Shintiel Meika. Tanril begitu memuaskan pembaca yang mengharapkan adanya gebrakan baru dalam dunia fiksi-fantasi lokal sehingga inilah satu di antara sedikit fiksi fantasi lokal yang mendapat bintang empat di Goodreads. Kalau saja bukan karena model lay out­-nya yang memusingkan mata karena setiap dialog dicetak miring semua, tentu banyak yang akan memberi nilai hampir sempurna. Untungnya, penulis tidak berlama-lama menghilang, ia muncul kembali dengan prekuel dari Tanril, yang mengisahkan apakah Luan itu (yang menjadi sesuatu yang begitu misterius di Tanril), apakah Dao Di itu, dan mengapa pergerakan takdir bisa sedemikian cepat di padang-padang rumput selatan dan Zirconia.

                Kisah diawali dengan munculnya Suku Selatan yang menguasai dunia bagian selatan dengan lima konfederasinya. Salah satunya adalah Konfederasi Bayu yang memiliki tugas melindungi sebuah suku suci penjaga rahasia suci alam semesta yang konon telah ada bahkan sebelum Dewa Maha Kuasa dan Maharaja Dunia Clem muncul. Rahasia itu bernama luan, dan inilah kisah tentang rahasia itu. Adalah Chiru’un, seorang gadis kecil bandel yang bersama delapan gadis lainnya dari Suku Selatan telah terpilih sebagai para pewaris luan yang selanjutnya. Mereka semua dikumpulkan oleh Sang Wanita Suci Penguasa Luan, Anbelle yang  bertugas menjaga cahaya pelangi suci, luan itu sendiri.

         Manusia hidup mengabdi pada kewajiban
         Karenanya hatinya sesungguhnya
         Lebih tinggi dari gunung
         Lebih dalam dari lautan
         Karena jiwanya sesungguhnya murni
         Hanya terlihat setelah tempaan dan beban
         Ia bisa mengatasi segalanya dan melepas segalanya
         Itulah inti dari jalan pelangi

                Sembilan anak suci itu kemudian dikumpulkan dan dididik di Balai  Bayourunaa, sebuah bangunan biara di tengah padang rumput tempat Anbelle, sang Tetua Tertinggi Penguasa tinggal. Di tempat inilah Chiru’un dan delapan gadis lainnya ditempa, baik fisik, pikiran, dan terutama hati mereka dalam jalan pelangi. Tidak ada asal-usul, atau karakter, atau perbedaan fisik atau apapun yang dipertahankan disini, mereka semua adalah sama, sesama saudari yang diikat oleh tali pelangi yang menyatukan mereka. Hari-hari dijalani dengan berlatih menyulam dan bersemadi, masuk ke alam pelangi itu sendiri. Dari yang semula hanya menjahit dengan benang biasa, akhirnya sembilan pewaris luan itu bisa mengeluarkan benang-benang cahaya sewarna pelangi dari jari mereka. Inilah wujud luan yang paling dasar.

                Segera saja, mereka larut dalam kegembiraan. Segera saja, mereka berlomba menghasilkan aneka bentuk benang-benang cahaya  yang mampu menipu mata dan bisa digunakan untuk melihat cahaya tak kasat mata. Saat itulah Chiruun mampu memahami potensi besar dalam diri, sebuah luapan energi besar yang harus disalurkan dan dijalankan dengan semestinya, yakni dengan belajar luan. Dan hari demi hari, tahun demi tahun, pelajaran dan didikan diberikan oleh Anbelle dengan segenap kesabaran dan pengetahuan dalam dirinya. Begitu rupa penulis menggambarkan masa delapan tahun pelajaran mereka, lengkap dengan karakterisasi yang sangat kuat dan jalinan cerita yang rumit hingga akhirnya datanglah masa-masa menjelang prahara. Kesembilan penerus luan harus bersiap. Di depan mereka, terbentang masa yang penuh marabahaya yang hanya bisa diatasi oleh jiwa yang pemberani dan memiliki bekal untuk menggunakan  pengetahuan luan. Lalu, bisakah Chiruun dan delapan kawannya lulus sebagai para penguasa luan?  Bagaimana nasib dunia dan suku selatan selanjutnya? Semuanya bergantung pada penguasaan dan pemahaman mereka akan luan itu.

                Chiru’un--dengan jumlah halaman yang lebih dari 500--kurang menampilkan episode-episode khas dari sebuah fiksi fantasi (yakni pengantar, pemicu, konflik, dan penyelesaian). Alurnya mungkin bisa dibilang datar dan agak membosankan karena hampir tidak ditemukan adegan tentang perang secara fisik. Penulis rupanya lebih menonjolkan pengembangan karakter serta konsep antropologis dari bangsa Suku Selatan dan bangsa-bangsa di sekitarnya. Lebih dari itu, penulis bahkan menciptakan bahasanya sendiri, sebagaimana Tolkien. Lebih hebatnya lagi, walaupun bahasa itu rekaan, tapi penulis menyusun kosakatanya secara konsisten, tidak asal comot atau merangkai huruf tak bermakna. Bahasa dalam Chiru’un  begitu metodologis, yang hampir-hampir membuat pembaca percaya bahwa bahasa itu ada. Novel ini juga secara mendetail membahas tentang aspek-aspek geografis dan terutama ciri-ciri fisik dan budaya dari bangsa-bangsa yang berdiam di dunia rekaannya. Sungguh, hampir-hampir novel ini bisa menjadi rujukan antropologis dari dunia fantasi yang diciptakan oleh sang penulis.

                Sebagaimana saya bilang di atas, alur Chiru’un begitu lambat dan hampir-hampir datar. Hal ini berbahaya karena dapat membuat pembaca bosan dan langsung melempar buku ini ke rak. Tapi anehnya, buku ini sama sekali tidak membosankan. Kepiawaian penulis dalam merangkai kata dan kalimat adalah sangat luar biasa, hampir-hampir membuai bak seorang tukang cerita yang kehadirannya sendiri sudah mempesona pembaca. Kita akan diajak ke dunia Luan, belajar tentang diri sendiri dan juga orang lain, serta karakter-karakter manusia pada umumnya. Aneka nasihat dan nilai kehidupan disampaikan dengan begitu bagusnya, dengan typo yang minim dan model penceritaan yang sangat rapi dan menyenangkan.

         Banyak orang di dunia ini mengalami penderitaan dan kesusahan. Tapi, di kelak hari, mereka melihat derita dan kesusahan itu sebagai kenangan indah.”  (hlm 169)


         “Apakah kalian memahami rahasia alam semesta ini: bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan di masa lalu atau masa depan, melainkan di masa kini.” (hlm 521)

                Begitu banyak pelajaran tentang kehidupan dalam novel ini, saya sendiri sampai terpaku melihat betapa piawainya penulis bertutur tanpa terkesan menggurui, betapa hal-hal besar itu dapat disampaikan melalui sebuah cerita fiksi-fantasi tanpa menghilangkan alur cerita ataupun mengubahnya menjadi sebuah buku motivasi populer. Dan, bagi pembaca yang telah terlebih dulu terpesona dengan Tanril,  maka Chiru’un akan membuat keterpesonaan itu kian lengkap. Akhirnya, apakah luan itu? Apakah yang dimaksud dengan jalan pelangi itu? Bacalah dan Anda akan paham bahwa dalam diri masing-masing insan selalu ada pelangi yang akan mengusir awan kelap dalam jiwa.

                “Luan adalah sinar pembimbing hidup kami. Jalan jiwa dan jantung hati kami. Anyaman kasih an harapan kami. Cahaya kami. Sekarang, dan selamanya.” (hlm 516)

                Selamat berpetualang dalam luan.
                

0 komentar:

Posting Komentar