Selasa, 24 Mei 2011

Darma Cinta

Judul                : Darmacinta
Penulis              : Sri Wintala Achmad
Editor               : Elis
Tata Sampul     : Kotak Hitam
Tata Isi             : Ika Tyana
Pracetak           : Wardi
Cetakan           : April, 2011
Tebal                : 296 halaman
Penerbit            : Laksana


Tangan Semar (yang menunjuk) ke atas memiliki makna yang menunjukkan keberadaan Sang Maha Tunggal. Sedang tangan kirinya yang ke belakang memiliki makna penyerahan diri dan melambangkan keilmuan. … Kuncung Semar melambangkan kepribadian seorang pelayan umat yang bekerja tanpa pamrih. Melayani umat berarti melayani Pencipta-nya…. Wajah (Semar yang tengadah)memiliki ati bahwa Semar dapat menjadi teladan kepada seluruh umat agar memandang kekuasaan Sang Maha Pencipta yang tak terbatas. (hlm 163–164).

            Darmacinta, sebagaimana judul pada halaman muka, benar-benar menawarkan jawaban tentang bagaimana keadaan tanah Jawa sebelum berkuasanya Majapahit dan kedatangan Islam. Pulau Jawa, abad ke-9 hingga abad ke-10 laksana tanah mitos dan legenda. Jawa kala itu diwarnai oleh wingitnya hutan-hutan, keramatnya 7 puncak gunung, bersliwerannya orang-orang saksi, jagadnya para lelembut dan begal, serta maraknya laku spiritual sesaji dan semedi. Membaca Darmacinta seperti membawa kita kembali ke zaman ketika fiksi dan fakta masih bercampur baur, tempo ketika mitos, legenda, dan epos seolah mewujud dan terbuktikan kebenarannya. Pakem utama ceritanya sendiri adalah tentang pengembaraan Jaka Prayaga dan Dewi Erawati dengan latar belakang situs Candi Borobudur dan candi-candi sekitarnya, lingkungan alam tanah Jawa pada millennium pertama setelah Masehi, Kerajaan Medang Kamulan (840-856 M), Empu Sendok (abad ke-10), hingga terjadinya Maha Pralaya (1006).

            Suasana mistis akan langsung menyeruak begitu kita membuka lembar-lembar pertama buku ini. Rentetan kata-kata mantra tua beraroma dupa mengawali petualangan Nini Dewi Erawati yang hendak mencari kekasih idamannya, Jaka Prayoga. Bersama para pendekar Merapi, dimulailah pencarian pujaan hati yang sekaligus awal dari penemuan kesejatian hidup. Saksikan mantra ajian Sepi Angin berikut ini, yang mungkin merupakan versi awal dari teknik ber-disappate di dunia sihir Potterian:

            “Ingsun amateg aji Sepi Angin. Lumaku pindah pesating sang bayu. Hamung sakedhepe netra, jantraningsun wus tumekeng papan kang katuju. Katuju saka karsaning Gusti.” (Aku kerahkan aji Sepi Angin. Melesat seperti angin. Hanya sekejap mata, perjalananku telah sampai di tujuan. Terlaksana karena kehendak Tuhan) hlm 23.

            Perhatian, ini bukanlah novel fantasi, melainkan epos sejarah yang memang masih bercampur baur dengan mitos dan legenda yang memang masih begitu kental pada masa itu. Namun begitu, pemaparan yang runtut serta pemilihan diksi yang khas membuat para penikmat sejarah dan kebudayaan senang membaca lembar-lembar novel epos ini. Tidak hanya perjalanan semata, di dalamnya diselipkan kisah-kisah pewayangan, asal-usul pulau Jawa, penancapan Gunung Tidar oleh Sang Hyang Ismaya agar pulau Jawa tidak terombang-ambing di samudra yang luas, serta kisah-kisah penuh hikmah zaman kuno yang mungkin belum pernah kita dengar walaupun versinya mungkin sudah tidak asing lagi. Sayangnya, masih dijumpai beberapa kali typo serta satu-dua cerita yang tidak utuh penyampaiannya. Tidak terlalu vital sih walau cukup mengganggu kenikmatan membaca.

            Melalui kisah perjalanan Jaka Prayaga pula, kita bisa menggenapi kekosongan pengetahuan kita berkenaan dengan tokoh-tokoh legendaris seperti Semar, Pandawa Lima, Dewi Angin-Angin, Ki Petruk, Ki Sapujagad, Nyai Gadhung Mlati, serta wujud lampor yang konon melintasi sungai Progo dari Laut Selatan menuju Gunung Merapi. Puncak kisah ini adalah pernikahan Jaka Prayaga dengan Dewi Erawati yang dirayakan besar-besaran di kraton Merapi. Lebih menariknya lagi, dalam novel ini disisipkan petikan dari Serat Nitimani yang mengajarkan tuntunan sanggama pada setiap orang yang telah menikah. Di antaranya berisi tata cara memulai asmaragama yang harus dilakukan dengan batin dan fisik yang suci, teknik-teknik memuaskan pasangan, serta hal-hal yang wajib dilakukan suami kepada istrinya. *Waduh*  Selain itu, ditampilkan pula sejarah singkat kehidupan Sang Buddha Gautama, makna dari relief-relief di Candi Pawon dan Mendhut, serta penerawangan sejenak ke masa depan di zaman Sunan Kali Jaga yang berlangsung ratusan tahun setelahnya.


            Novel dilengkapi dengan penggambaran menarik tentang kondisi Candi Borobudur pada abad X, abad-abad menjelang Maha Pralaya atau Bencana Besar yang menguncang Jawa. Mirip dengan dugaan para peneliti, penulis menggambarkan keadaan Candi Borobudur yang dikelilingi oleh sebuah telaga hijau lumut, yang menjadikan candi karya Wangsa Syailendra itu bak teratai raksasa yang merekah anggun di tengah telaga. Dugaan bahwa candi Borobudur dulunya memang dibangun di tengah telaga ini memang masih menjadi sebuah kontroversi yang pelik di kalangan ahli sejarah, namun novel ini dengan piawai mampu meyakinkan pembaca bahwa telaga itu memang benar adanya. Perjalanan spriritual alih-masa ini diakhiri dengan mahapralaya berupa letusan Gunung Merapi yang terjadi sekitar tahun 1006 Masehi. Selama tiga hari tiga malam, Gunung Merapi meletus hebat hingga memusnahkan peradaban di Jawa Tengah, yang konon memaksa peradaban Mataram Hindu memindahkan ibukotanya ke Jawa Timur. Dahsyatnya pralaya itu digambarkan begitu rupa:

            “ … sukma Darmacinta menangkap luncuran  besar lahar dingin dari kaki Gunung Merapi. Melibas dan mengubur Candi Mendut, Candi Pawon, Candiborobudur, dan Keraton Medang Kamulan.”(hlm 291).

            Sesuai dengan penuturan ahli sejarah, Merapi memang pernah meletus hebat, dimana abu yang dilontarkan serta lahar dingin yang diluncurkan menutupi bahkan mengubur bangunan-bangunan candi yang ada di wilayah yang kini adalah Yogyakarta, Klaten, dan Magelang. Sebuah letusan yang menandai datangnya masa ketika manusia mulai dikuasai oleh nafsu peperangan demi harta, tanah, dan kekuasaan. Sekaligus emlambangkan datangnya cahaya baru yang akan menerangi kembali tanah Jawa di masa para wali. Maka, sudah selayaknya kita belajar dari sejarah masa lalu, demi keselamatan di masa kini dan kemuliaan di masa depan.

0 komentar:

Posting Komentar