Sabtu, 18 Juni 2011

Kisah Tragis Oei Hui Lan

Beberapa waktu yang lalu pengguna jejaring sosial Twitter sempat dihebohkan dengan foto yang di upload seorang aktris Indonesia yang sedang berkunjung ke museum Tugu Malang dimana aktris itu berfoto dengan latar belakang gadis berambut panjang dengan mengenakan gaun putih yang dinilai sangat menyeramkan. Usut punya usut, akhirnya barulah diketahui bahwa sosok gadis dalam foto itu tidak lain adalah Oei Hui Lan,putri orang terkaya di Indonesia.

Dan tahun ini Agnes Davonar selaku penulis kembali mencetak ulang novel Oei Hui Lan sesuai foto Oei Hui Lan yang sensasional itu. Wow!!

Menariknya, novel Oei Hui Lan karya Agnes Davonar  ini dikabarkan pernah ditarik dari peredaran buku di Indonesia karena masalah  perizinan dengan pihak keluarga Oei Hui Lan. Karena itulah,setelah semua masalah perizinan selesai, novel ini kembali beredar di Indonesia atas persetujuan oleh keluarga Oei Hui Lan dengan syarat hanya diterbitkan 2 kali dalam setahun. Tidak ayal, novel ini begitu diburu oleh penikmat sastra tanah air yang ingin mengetahui lebih dalam siapa sosok sebenarnya Oei Hui Lan atau lebih dikenal dengan nyonya Wellington Koo yang begitu terkenal di seluruh dunia.

Dalam novel berbau semi autobiografi ini,digambarkan bagaimana permulaan masa kecil dari Oei Hui Lan hingga ia dewasa. Masa kecil yang dimulai dari kehidupannya yang penuh limpahan harta karena ayahnya,Oei Tiong Ham adalah seorang raja gula yang dinobatkan sebagai orang terkaya se Asia Tenggara. Hui Lan sendiri malah tidak mengetahui fakta itu sampai usianya menginjak 15 tahun.

Oei Hui Lan merupakan anak kedua dari istri sah Oei Tiong Ham dan bertempat tinggal di Semarang,Jawa Tengah. Ia dan keluarga menghuni rumah mewah layaknya istana dengan luas mencapai 9,2 hektar. Dideskripsikan pula rumah mereka bergaya arsitektur Italia itu terdiri dari 200 ruangan, paviliun besar,dapur,villa pribadi,serta tidak lupa pula kebun binatang. Rumah ini juga dilengkapi ruang khusus pelayan, ruang pijit,dan taman luas tempat biasa Hui Lan dan Tjong Lan kakaknya biasa bermain. Tidak heran dengan area sebesar itu, mereka sekeluarga membutuhkan kira-kira 40 pembantu yang terdiri dari kepala pelayan atau Majordomo, 50 tukang kebun,berikut tambahan guru les privat dan koki terkenal dari China,Melayu,maupun Eropa.

Semua hal-hal mewah dan termodern kala itu berhasil didapatkan Hui Lan yang notabenenya merupakan anak kesayangan ayahnya. Dari perhiasan,mobil, pesta ala putri Cinderela,hingga berpelesir ke negara tetangga dengan mudahnya. Hui Lan sendiri tipikal gadis tomboy yang senang bersosialisasi dan berbeda dengan Tjong Lan kakaknya yang pendiam dan feminim. Namun, karena masalah Hui Lan yang sepertinya lebih disayang ayahnya membuat Hui Lan dan  Tjong lan kakaknya mengalami pertengkaran setiap harinya. Pernah suatu ketika, Hui Lan yang tidak hanya mendapatkan limpahan materi lebih dari kakaknya tapi juga kepercayaan dari ayahnya untuk dibawa ikut serta ke rumah gundik-gundik ayahnya yang jumlahnya sekitar 8 orang dan memiliki total anak 42 bahkan lebih. Sementara itu, ibu Hui Lan yang berstatus istri sah, ia hanya bersikap acuh tak acuh terhadap hal itu dengan dalih tidak menginginkan adanya perceraian diantara keduanya.

Kehidupan glamor Hui Lan terus berlanjut begitu ia akhirnya menjadi istri Wellington Koo, seorang duda dan diplomat yang menjadi tokoh revolusi Republik Rakyat China, setelah diperkenalkan oleh ibu dan kakaknya. Kehidupan jetset kelas dunia kemudian ia jalani setelah dirinya menjadi istri seorang yang paling berpengaruh di RRC itu. Hui Lan yang kemudian lebih dikenal dengan gelar nyonya Wellington Koo ini pun dekat dengan keluarga Kerajaan Monaco dan Inggris, cukup dekat dengan kakak Presiden Amerika kala itu,dan orang-orang terkenal lainnya. Semua itu bisa dilihat dari foto-fotonya Hui Lan dalam setiap bab novel ini. Dalam foto-foto itu ia  juga terlihat sangat cantik dan berkelas serta selalu mengikuti setiap kegiatan baik dalam urusan politik,amal, maupun pesta pora ala kaum bangsawan dunia.

Tapi sayang, kehidupan ayahnya,Oei Tiong Ham berakhir tragis 5 tahun setelah Hui Lan menikah. Tiong Ham yang memutuskan pindah ke Singapore bersama Lucy Ho si gundik tersayangnya setelah terdesak oleh pajak dari  Pemerintah Hindia Belanda dan juga demi menghabiskan masa tuanya disana. Kemudian ia pun meninggal karena serangan jantung. Hui Lan yang sempat mencurigai  Lucy Ho sebagai dalang dari kematian ayahnya, tidak mampu berbuat apa-apa karena otopsi mayat tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan ibunya.Warisan yang ditinggalkan Tiong Ham pun menjadi petaka bagi gundik dan anak-anaknya yang ditinggalkan karena mereka menginginkan harta yang lebih dengan berbagai cara hingga beberapa generasi sesudahnya.

Demikianlah kehidupan Oei Hui Lan  menjadi salah satu putri sekaligus istri terkenal dari Semarang. Hidupnya yang mewah hingga paruh baya, tetapi di akhir hayatnya 'merasa' sangat kesepian. Begitupun dengan ayahnya yang sama sekali tidak betul betul dicintai oleh keluarga besarnya sendiri. Mereka hanya menginginkan harta dan hanyalah Hui Lan lah satu-satunya anak yang tulus menyayangi ayahnya sepenuh hati.

Dalam kisah memukau nan inspiratif ini kita akhirnya bisa mengetahui hikmah besar yang terselip dari perjalanan hidup dari seorang Oei hui Lan. Bahwa gelimangan harta dan ketenaran bukan segala-galanya dan tak mampu membeli sebuah kebahagian sejati seseorang. Rasa cinta, syukur,memberi adalah kuncinya .Dan satu lagi, mungkin kritik pada novel ini lebih pada typo yang cukup banyak dan sangat menganggu kenyamanan membaca. Terlebih novel ini telah direvisi berulang kali seharusnya lebih sempurna dari cetakan sebelumnya. Aku harap penulis lebih memperhatikan hal itu kedepannya.
Akhir kata, seperti kata pepatah China:
Tak ada pesta yang tak berakhir
Begitulah gambaran akhir dari kisah ini.
In Memoriam Oei Hui Lan (1899-1992)
=================

Judul : Kisah Tragis Oei Hui Lan: Putri Orang Terkaya di Indonesia
Penulis : Agnes Davonar
Penerbit: Intibook
Terbit : @2011
ISBN : 978-602-95752-0-0
Tebal : 310 hal

=================

0 komentar:

Posting Komentar