Minggu, 11 Desember 2011

Lelaki Terindah

Judul     : Lelaki Terindah
Penulis   : Andrei Laksana  

Aku mencintaimu karena aku mencintaimu.


Kalimat itulah yang mungkin menjadi inti sekaligus pendorong dari keseluruhan novel yang mengambil tema yang agak menyimpang ini. Dari judul dan cover lamanya saja, pembaca bisa langsung menebak novel ini tentang apa. Cover edisi lama memang agak provokatif, terlalu gamblang menjelaskan apa isi dari novel ini, yang mungkin malah mengurangi atau membatasi stratum pembeli dari novel yang seharusnya cukup bagus ini.  Untuk menilai atau meresensi novel dengan tema yang agak kontroversial ini memang gampang-gampang susah. Gampang karena bila dipandang dari segi sastra dan kedalaman kata, Lelaki Terindah jauh lebih indah ketimbang karya-karya Andrei Aksasa yang lain seperti Janda-Janda Kosmopolitan yang banyak dibilang orang terlalu stereotopikal itu. Susah karena tema yang diangkat pun, yakni tentang percintaan sesama kaum gay, adalah tema yang cukup menyimpang untuk diangkat dalam sebuah novel di Indonesia—yang notabene belum mampu menerima adanya cinta terlarang ini.

      Agaknya, melalui novel ini penulis ingin menekankan luasnya makna cinta yang selayaknya bisa dinikmati oleh setiap orang. Begitu luasnya cinta sehingga bahkan cinta pun bisa timbul dan memercik di antara dua orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Dari sini saja, mungkin banyak pembaca yang langsung antipati terhadap novel ini. Covernya yang terlalu mencolok rupanya semakin menambah rasa risih pada pembaca pria yang mungkin menemukannya di rak-rak toko buku. Entah jika bukan bertindak sebagai seorang pengamat sastra ataukah memang dia begitu rupa menyukai karya-karya Andrei laksana; pastilah hanya para pembaca wanita saja yang dengan PD berani membaca novel ini ke kasir di toko buku.

      Mari kita sejenak memandang novel Lelaki Terindah bukan sebagai sebuah novel yang kontroversial, namun sebagai sebuah karya sastra yang ditujukan untuk memuja cinta. Hanya saja, pemujaan terhadap cinta di sini diwujudkan dalam bentuk cinta terlarang. Sekali lagi, ini bukan untuk menunjukkan sempitnya cinta, tapi lebih untuk menunjukkan luasnya cinta sehingga seorang Rafki bisa mencintai Valent hanya karena mereka saling mencintai, bukan karena apa-apa.  Adegan dibuka dengan pertemuan tanpa sengaja yang diikuti oleh berulang kali pertemuan lanjutan lain yang juga tanpa disengaja. Seperti kisah-kisah cinta yang lain, karena biasa akhirnya muncul benih-benih suka. Rafki yang ternyata berpapasan dan entah kenapa terus berpapasan dengan Valent dalam perjalanan wisata mereka ke Thailand seolah memang dari awal dipertautkan melalui cinta nan terlarang itu.

     Rafki digambarkan sebagai sosok yang luar biasa maskulinnya, penggambarannya begitu rupa mendekati seorang pria yang ideal sehingga hampir-hampir tiada yang bercela dari fisiknya. Sementara, Valent digambarkan sebagai perpaduan antara ketampanan seorang pria dan kecantikan seorang wanita. Ia adalah tampan yang cantik, entah bagaimana maksudnya tetapi yang jelas Valent menemukan sosok seorang pelindung dalam diri Rafki sementara Rafki memperoleh sosok seorang pemuja dalam diri Valent. Keduanya sama-sama membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain. Kisah bergulir, cinta terlarang timbul dan segera bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya.  Hubungan terlarang itupun mulai mendapatkan hantaman dan cobaan yang bertubi-tubi. Dunia seperti langsung merespons balik dengan menanamkan tembok dinding tebal yang menghimpit cinta keduanya.

     Cinta Rafki dan Valent, seerat dan sekuat apapun itu, tetap tidak mampu mengatasi tekanan dan aneka norma dari masyarakat serta hukum alam yang dengan terang-terangan menghujat cinta di antara mereka. Sekuat tenaga keduanya berjuang dan berupaya, cinta mereka selalu menemukan jurang ataupun dinding tebal. Atas nama cinta yang dalam berbagai cerita biasanya mampu meluluhkan dunia, rupanya tidak berhasil untuk kasus cinta terlarang ini. Akhirnya, ujung dari Lelaki Terindah dengan sangat terpaksa diakhiri sebagaimana kisah abadi Romeo dan Juliet, di mana akhirnya cinta terlarang seperti itu tidak boleh dipersatukan—dan memang seharusnya (serta sebaiknya) dihindarkan. Risiko yang ditanggung terlampau berat, hukuman yang menanti terlampau pekat, dan jalan yang membentang di depannya terlalu gelap.

      Salah satu hambatan dalam membaca karya sastra ini adalah penggambaran detail fisik pria yang entah bagaimana terlampau berlebihan sehingga kadang pembaca merasa agak jengah dan risih, apalagi para pembaca pria. Keindahan novel ini menurut saya lebih terletak pada metode penyisipan bait-bait puisi yang disisipkan secara apik oleh penulis dalam masing-masing paragraf. Entah bagaimana, kalimat dan kata-kata yang digunakan begitu pilihan sehingga kadang malah melengkapi paragraf-paragraf narasinya 
sendiri.
           
      Bagi Anda yang ingin membaca Lelaki Terindah namun masih risih dengan kovernya, kini penerbit Gramedia sudah mengeluarkan kover baru yang “lebih sopan” dan lebih bisa diterima. Sekali lagi, untuk membaca novel ini secara netral memang agak susah, mengingat tuduhan menyimpang pasti telah mengendap dalam benak pembaca begitu mengetahui bahwa buku ini menceritakan tentang cinta yang terlarang. Namun, dengan membaca dan menganggapnya sebagai sebuah karya sastra, pembaca akan menemukan pandangan baru tentang makna cinta, tentang arti kejujuran, dan bahwa yang kita sukai belum tentu baik untuk kita.

0 komentar:

Posting Komentar