Kamis, 26 Januari 2006

Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit


Judul : Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit
Penulis : Hermawan Aksan
Penerbit : C-Publishing
Cetakan : I, Des 2005
Tebal : 326 hal ; 17.5 cm

Dyah Pitaloka, putri Prabu Linggabuana, raja negeri Sunda kerap diganggu mimpi buruk dalam tidurnya. Dalam mimpinya ia melihat matahari yang menggantung di atas cakrawala pelan-pelan terbelah menjadi dua dan mencebur bersama-sama ke dalam laut yang mendadak berwarna merah darah. Mimpi buruk itu terus mengganggunya semenjak utusan dari Majapahit datang ke Negeri Sunda.

Dimasa itu Majapahit dibawah pimpinan Raja Hayam Wuruk, telah menjadi kerajaan yang besar dan disegani diseluruh Nusantara. Peran Patih Gajah Mada dengan sumpah Palapa-nya yang terkenal membuat hampir seluruh Nusantara takluk dibawah kekuasaan Majapahit. Hanya ada satu negeri yang hingga saat itu masih merdeka dari pengaruh Majapahit, padahal negeri itu hanya dibatasi oleh sebatang aliran sungai Cipamali. Negeri Sunda! Negeri Sunda inilah yang membuat sumpah Palapa Gajah Mada belum juga tergenapi. Tak terhitung sudah berapa kali Gajah Mada berniat untuk menyerang negeri Sunda dengan pasukannya, namun selalu urung karena ia merasa ada semacam wibawa tak kasat mata yang membuatnya segan terhadap Negeri Sunda yang jika ditilik dari sejarah memang telah ada terlebih dahulu dibanding Majapahit, bahkan pendiri Majapahit sendiri memiliki darah sunda dari ayahnya. Sayangnya Gajah Mada tak mempercayai adanya hubngan darah ini sehingga ambisinya untuk menaklukkan negeri Sunda tak pernah padam.

Raja Hayam Wuruk yang saat itu hendak mencari seorang istri mengutus para juru lukisnya ke segenap penjuru nusantara untuk melukis putri-putri dari berbagai kerajaan yang kelak akan dipilihnya untuk menjadi permaisuri. Kecantikan Dyah Pitaloka di Negeri Sunda tak luput dari incaran juru lukis Majapahit. Diantara ratusan lukisan dari berbagai penjuru Nusantara, Hayam Wuruk terpikat oleh lukisan Dyah Pitaloka dan memilihnya untuk dijadikan permaisurinya. Hayam Wuruk segera mengirim utusannya untuk menyatakan niatnya. Mulanya Dyah Pitaloka tak berkenan dengan cara yang dilakukan oleh Hayam Wuruk untuk mencari permaisuri, harga dirinya sebagai seorang putri negeri Sunda terasa terlecehkan, namun ia tak kuasa melawan kehendak ayahnya, Prabu Linggabuana yang menyetujui lamaran Hayam Wuruk. Untuk itu Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka diundang untuk segera berangkat menuju Majapahit guna melaksanakan pesta pernikahan.

Jika Prabu Hayam Wuruk hanya berniat mencari seorang permaisuri, lain halnya dengan Gajah Mada. Bagi dirinya pernikahan Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk dilihatnya sebagai kesempatan untuk menggenapan Sumpah Palapa-nya. Dengan cerdiknya Gajah Mada mempengaruhi Hayam Wuruk agar memandang pernikahannya dengan Dyah Pitaloka sebagai suatu pengakuan kedaulatan negeri Sunda terhadap Majapahit. Dengan demikian Dyah Pitaloka dianggap sebagai "upeti" dari Negeri Sunda.

Prabu Hayam Wuruk yang rencanya akan menjemput Dyah Pitaloka dan rombongannya di Tegal Bubat akhirnya gagal. Gajah Mada merubah rencana yang telah terususun rapih. Rombongan Prabu Linggabuana dan Dyah Pitaloka yang telah tiba di Tegal Bubat heran karena Prabu Hayam Wuruk dan rombongan yang akan menjemputnya tak kunjung tiba. Dua ksatria dari Negeri Sunda diutus untuk memasuki Majapahit, mereka bertemu dengan Gajah Mada yang memerintahkan agar dan Prabu Linggabuana dan rombogannya datang sendiri ke istana Majapahit untuk menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai "upeti" dari Negeri Sunda. Hal ini membuat Prabu Linggabuana dan seluruh rombongannya tersinggung. Harga diri dan kebesaran Negeri Sunda terasa tercabik-cabik, Prabu Linggabuna menolak perintah Gajah Mada. Perang tak terhindarkan! Pertarungan yang tak seimbang antara harga diri Prabu Linggabuna dan ambisi Gajah Mada berkembang menjadi perang yang dashyat dan melagenda, dua kekuatan tak mau menyerah begitu saja. Dyah Pitaloka yang masih menggunakan pakaian pengantinnya ikut bertarung mempertahankan negeri dan harga dirinya sebagai seorang putri Sunda. Sejarah mencatar Perang ini sebagai Perang Bubat (1357).

Sejarah adalah merupakan satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Sejarawan ma tidak mau terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya sendiri. Hermawan Aksan dalam novel perdananya ini mencoba mengangkat fakta sejarah Perang Bubat kedalam novel ini. Tokoh-tokoh sejarah seperti Dyah Pitaloka, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Linggabuana dan lain-lain dideskripsikan menurut versi penulisnya. Dyah Pitaloka dalam novel ini dideskripsikan sebagai seorang putri yang cantik yang haus akan ilmu dan gemar membaca kitab-kitab sastra dan mempelajari ilmu kanarugan. Dyah juga sangat peduli tentang nasib kaum perempuan di negeri Sunda dan memiliki pandangan yang jauh kedepan mengenai peran seorang putri yang dibesarkan dalam lingkungan kerajaan. Karena berada dalam area fiksi deskripsi ini mungkin sah-sah saja, namun mungkin akan menimbulkan tanda tanya bagi pembacanya, apakah mungkin seorang putri yang hidup di abad 13 telah memiliki pandangan yang jauh kedepan terutama dalam hal-hal emansipasi?

Karakter Gajah Mada yang selama ini dikenal sebagai tokoh pemersatu Nusantara dalam novel ini digambarkan sebagai seorang patih ambisius yang rela memanfaatkan cinta rajanya (Hayam Wuruk) untuk memenuhi ambisinya mepersatukan Nusantara hingga harus mati-matian memerangi Prabu Lianggabuana dalam tragedi berdarah di Tegal Bubat. Sedangkan Hayam Wuruk sendiri digambarkan sebagai raja boneka yang mudah dipengaruhi oleh Gajah Mada.

Dari segi plot cerita, novel ini disajikan dengan sangat menarik. Nampaknya Novel ini dikerjakan dengan riset yang cukup mendalam, hal ini terbukti dengan gambaran Perang Bubat yang menjadi klimaks cerita yang disajikan dengan seru dan memikat. Deskripsi kota Trowulan – Majapahit disajikan dengan cukup detail seakan mengajak pembacanya berpetualang ke ibukota Majapahit. Novel ini juga memberi pemahaman pada pembacanya terhadap tokoh Dyah Pitaloka dan kaitannya dengan Perang Bubat yang merupakan awal dari redupnya kebesaran Gajah Mada setelah kejadian ini.

Sebagai Novel Sejarah sebenarnya novel ini sangat berpotensi untuk lebih mengangkat lagi budaya Sunda dan Jawa / Majapahit, sayangnya hal ini tidak tereksplorasi dengan baik. Kurangnya sketsa kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Majapahit membuat novel ini lebih bernuansa istana-sentris karena hanya mengungkap kejaidan seputar istana Sunda dan Majapahit. Jika saja unsur-unsur sosial dan budaya masyarakat Sunda dan Majapahit terungkap dengan baik novel ini akan menjadi novel sejarah yang gemuk yang akan mengenayngkan pembacanya.

Namun terlepas hal-hal diatas novel perdana Hermawan Aksan ini patut dihargai setinggi-setingginya karena bagaimanapun novel ini mengungkap sepenggal peristiwa sejarah yang mungkin sudah terlupakan dan hanya ditemui dalam buku-buku teks sejarah kedalam sebuah novel yang memikat dan memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi.

@h_tanzil

0 komentar:

Posting Komentar