Rabu, 17 Agustus 2011

Mati itu Spektakuler

Judul                : Mati itu Spektakuler
Penulis              : Khawaja Muhammad
Penerjemah      : Abdullah Ali dan Satrio Wahono
Penyunting        : A.L. Assyaukanie
Pewajah isi       : Siti Qomariyah
Desain Sampul: AM. Wantono
Tebal                : 443
Cetakan           : 1, 2011
Penerbit            : Zaman


           
            Satu pertanyaan abadi berkaitan dengan kematian, yang seabadi kematian itu sendiri, adalah siapkah kita menghadapinya?

            Terus terang, saya awalnya agak ngeri ketika menerima buntelan maut ini dari bapak Peri Buku. Judulnya MATI ditulis dengan model capslock alias kapital semua seolah-olah menyadarkan kita akan betapa keniscayaan akan datangnya malaikat maut itu dalam kehidupan ini, entah kelak, entah nanti; hanya catatan takdir yang menjadi saksi. Kita yang dalam keseharian mungkin terlalu disibukkan dengan mencari uang dan mengejar cinta, sesekali memang harus diingatkan dengan sepatah kata yang selaiknya wajib kita ingat dan perhatikan MATI. Okelah, karena momen dan bulannya memang pas untuk membuka kembali buku-buku model religius yang sudah agak lama saya tinggalkan (yang terkalahkan oleh roman dan petualangan fantasi), saya memberanikan dan memantapkan hati untuk membaca buku ini. Dan, sebagaimana judulnya, buku ini memang spektakuler.

            Bahwa Allah memang telah menggariskan bahwa setiap yang hidup pasti merasakan kematian, kita sudah mafhum adanya. Bahwa malaikat maut setiap detik, menit, dan jam mungkin melintas di depan kita; dan selama ini masih “hanya melewati” kita dan bukannya turut membawa serta jiwa kita; saya yakin setiap kita juga menyadarinya. Namun, sungguh, manusia memang tempatnya lupa dan amnesia kalau sudah berbicara soal kematian dan kehidupan akhirat. Dunia telah begitu melenakan sehingga dahsyatnya peristiwa pencabutan ruh dari raga ini seolah sekadar peristiwa yang serba nanti (nanti kalau sudah tua, nanti kalau sudah insyaf, nanti kalau sudah kaya raya dan sukses), padahal tidak ada yang mampu mengetahui kapan ajal seseorang itu tiba kecuali Allah Swt, dan ketika waktunya tiba maka tidak akan lagi bisa ditangguhkan.

            “Dan, Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munaafiquun: 11)


            Dan Dialah yang mengutus sang maut kepada para penindas dan orang-orang kuat, memelintir leher-leher mereka; mematahkan tulang punggung para raja; memadamkan harapan dan aspirasi; mengakhiri kesenangan duniawi; gerbang menuju keabadian.
           
            Di pasaran, mungkin kita sudah menjumpai ragam buku yang membahas tentang kematian dan dunia akhirat, mulai dari yang berbentuk komik buram seharga seribuan, buku-buku cetakan dari terjemahan kitab-kitab kuning yang dijual di bus-bus, hingga yang bersampul hardcover di toko-toko buku eksklusif. Sekilas, menjumpai dan melirik judul buku ini akan membuat pembaca berkata: “Ah, buku beginian lagi” padahal buku ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Topik dan tema di dalamnya memang sudah biasa kita dengar di pengajian, majalah Islami, atau buku-buku agama; namun cara menyampaikannya lah yang luar biasa menghanyutkan. Perhatikan betapa lengkap dan runtutnya buku ini membahas tentang surga dan neraka hingga luas dan bahan-bahannya; neraka dan kengeriannya; Alam Barzah dan segala kegelapannya; serta segudang kisah dan hikayat teladan yang luar biasa me-refresh dan merenung sejenak dari hiruk-pikuk dunia.


Membaca tentang Alam Barzah serasa membaca sesuatu yang ditulis dengan indah. Terus terang walau topiknya seram, namun keindahan dan kepiawaian penulis dalam meramu dan merangkai kata membuat pembaca akan meneruskan kegiatan membacanya—dan memang kita harus membacanya agar terus diingatkan.

            “Tiga azab kubur bagi mereka yang melalaikan shalat lima waktu adalah sebagai berikut: Pertama, liang kubur akan berkontraksi sehingga tulang-tulang dadanya patah dan saling menembus satu sama lain. Kedua, dinyalakan api neraka di kuburnya. Ketiga, seekor ular diutus menguasainya. Penampilan ular itu begitu menyeramkan, yang sangat berbisa dan mengigiti si jenazah sepanjang hari sampai hari kiamat.”(hlm 230)

            Dalam Mati itu Spektakuler, Anda akan menjumpai kisah-kisah penuh hikmah tentang kematian dan dunia akhirat yang dulu pernah ditulis dalam riwayat sahabat dan orang-orang shalih; misalnya saja  Kisah Seorang Anak Laki-Laki, Kisah Seorang Israel, Kisah Budak Perempuan yang semuanya dilantunkan bak seorang pendongeng menceritakan kisah-kisah hikmah. Buku ini juga cukup lengkap membahas semua yang berkenaan dengan jenazah dan penguburan, mulai dari tahap-tahap sakaratul maut, cara memandikan jenazah, ukuran kain kafan, hingga tata cara membawa ke kuburan dan etika berziarah kubur.

            Memasuki pembahasan tentang Hari Pembalasan, lihatlah betapa lengkap buku ini mempaparkan hukuman-hukuman bagi para pendosa. Hal-hal seperti “hukuman bagi pelanggar janji, bagi kaum munafik, bagi pemabuk, bagi penerima suap, hukuman bagi orang yang tidak berpuasa, dan lain-lain” mungkin sudah pernah kita baca. Buku ini memaparkannya kembali untuk kita, dalam versi yang lebih eksklusif dengan tujuan—sekali lagi—untuk menyentil dan mengingatkan kita kembali akan kefanaan kita.


            Buku tebal namun masuk dalam deretan kitab klasik tentang dunia akhirat itu tidak hanya layak dibaca dan dimiliki karena kelengkapan isinya, namun juga kejernihan pemaparannya dan keelokan mutiara hikmah di dalamnya. Topik kematian yang selama ini kita pandang sebagai sesuatu yang suram, gelap, dan mengerikan; dengan lincah mampu ditulis ulang dengan sudut pandang yang benar-benar baru. Penulis rupanya hendak mengajak pembaca untuk menyambut kematian, alih-alih takut kepadanya. Menyambut di sini tentu saja bukan mempercepat waktunya, namun lebih dengan menyiapkan bekal dan mempersiapkan diri agar ketika waktu besar itu tiba, kita bisa menghadapinya dengan kerinduan akan surga dan pembebasan dari fitnah dunia. Sungguh spektakuler. Agar pembaca resensi ini tidak galau dan bisa imbang, mari kita menengok sejenak keindahan surga sebagaimana sabda Nabi Saw:

            “Para penghuni surga ini akan selalu mengingat Allah di pagi dan malam hari. Mereka tidak akan pernah jatuh sakit; mereka tidak akan mengeluarkan kotoran atau meludah; bahkan tidak perlu membersihkan kotoran hidungnya. Peralatan mereka terbuat dari emas dan perak, bahan bakar perapiannya adalah kayu gaharu dan bukan batubara. Bau tubuh mereka akan seperti harun misk. Mereka juga berlaku lembut satu sama lain.” (halaman 297)

            “Wajah penghuni surga tidak akan dihiasi oleh rambut di pipi mereka, seperti wajah orang dewasa. Mata mereka berwarna hitam. Keremajaan mereka tidak akan memudar dan pakaian mereka tidak akan pernah usang atau rusak. (hlm. 299)

            “Penghuni surga akan memakai mahkota di kepala mereka. Mutiara terburuk dari mahkota ini akan memancarkan cahaya yang begitu indah, sehingga dapat menerangi seluruh jarak antara barat an timur.” (hlm 315)
           

Sungguh, membaca buku ini lebih memaksa kita untuk meneteskan air mata demi mengingat dosa-dosa kita ketimbang merasa takut akan kematian itu sendiri. Membacanya mengingatkan kita kembali betapa besar nikmat dan kesempatan yang telah diberikan oleh Allah Swt kepada kita, dan betapa kita sering menyia-nyiakan nikmat itu untuk mendurhakai-Nya. Ampuni kami ya Rabb. Untuk mengakhiri kutipan ini, alangkah eloknya kalau kita merenungkan kembali salah satu kutipan jleb dari sang penulis berikut ini:

            Sahabatku, betapapun lamanya kehidupan dunia ini, ia adalah fana dan mesti berakhir, dan betapapun besar kepemilikan dunia ini, suatu saat ia mesti ditinggalkan.” (halaman 6)

Mari kita renungkan!

0 komentar:

Posting Komentar