Sabtu, 25 Agustus 2012

Kapitalisme di Panggung Kuasa Jawa


Judul buku : Kapitalisme Bumi Putra; Perubahan Masyarakat Mangkunegaran
Penulis : Prof. Dr. Wasino, M.Hum.
Penerbit : LKiS Jogjakarta
Cetakan : 2012
Tebal ` : xiii + 398 halaman

Oleh: Munawir Aziz*

Kapitalisme telah diperagakan oleh penguasa Jawa sejak beradab-abad lalu. Spirit kapitalisme ini ditanamkan oleh rezim kolonial Belanda kepada penguasa Jawa. Dengan menggunakan modal sosial, modal simbolik dan kekuasaan, penguasa Pribumi Jawa tak kuasa untuk menolak kegenitan kapitalisme. Maka lahirlah rezim pencari profit, yang lahir dari perselingkuhan penguasa dan kekuasaan di tanah bumiputra.

Dan, kerajaan Mangkunegara, terjangkit spirit kapitalisme dalam sistem pemerintahannya. Hal ini terjadi, ketika Belanda dengan semangat menggebu membangun beberapa pabrik gula di wilayah Jawa. Pemerintahan kolonial Belanda menjadikan sektor pertanian tebu sebagai ladang untuk mengeruk untung yang berlimpah. Inilah yang menjadikan kolonialisme begitu massif, karena menyalurkan pundi ekonomi bangsa ini melalui pipa penjajahan ke negeri Belanda.

Akan tetapi, di kerajaan Mangkunegara, iklim kapitalisme berwajah lain. Jubah kapitalisme tak lagi disandang oleh rezim kolonial, akan tetapi oleh penguasa Mangkunegara, yang merupakan kaum bumi putra. Inilah ironi yang tercatat dalam jejak sejarah bangsa ini. Kapitalisme merasuki keheningan jiwa penguasa Mangkunegara, raja yang kekuasaannya bergemuruh di kalangan bumiputra.

Gerak kapitalisme bumi putra ini berawal, ketika raja Mangkunegara IV dalam menggerakkan perekonomian kerajaan Mangkunegara. Sama halnya seperti kerajaan-kerajaan lain, yakni memanfaatkan bercocok tanam kopi, jahe, dan rempah-rempah lainnya untuk dijual. Selain itu, Raja Mangkunegara IV juga turut menyewakan tanah-tanah kekuasaannya untuk dijadikan ladang usaha para penanam modal asing yang datang dari kalangan swasta Barat dan China dengan menggerakkan usaha produksi dan pemasaran gula pasir dari tanaman Tebu yang dikuasai oleh VOC.

Setelah dirasa bahwa pendapatan—kerajaan baik dari usaha kerajaan sendiri maupun berbagai pajak (upeti) dari rakyat Mangkunegaran—tidak bisa menutup kebutuhan kerajaan, raja Mangkunegaran IV menarik kembali tanah-tanah yang ia sewakan terhadap pengusaha-pengusaha swasta Barat dan China untuk dijadikan usaha sendiri. Berbekal pengetahuan dan dukungan sahabat karibnya yang bernama Manuel (pemilik perkebunan indigo di Baron), raja Mangkunegara IV menggalakkan penanaman Tebu diberbagai tanah kekusaannya, yang kemudian disusul dengan didirikannya pabrik gula Colo Madu (tahun 1862) untuk menggiling dan memproses tanaman Tebu tersebut (hlm. 49).

Inilah yang menjadi titik balik kejayaan kerajaan Mangkunegara, mampu menimbun pundi-pundi ekonomi dari bisnis perkebunan tebu. Sejalan dengan hal ini, gemerlap usaha barunya itu pun mulai tampak dengan hasil gula pasir yang laku keras di pasaran Eropa. Laba hasil pemanenan Tebu di musim panen pertama inipun dirasa belum memuaskan raja Mangkunegara IV. Pada musim tanam tebu berikutnya, raja Mangkunegara IV, kembali bersungguh-sungguh dalam melanjutkan usahanya dengan menambah kuantitas penanaman Tebu ditanah-tanah kekuasan Mangkunegran yang lain dan mendirikan pabrik gula untuk kedua kalinya, dengan diberi nama Tasik Madu pada tahun 1874 (hlm 52).

Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Wasino, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang ini merupakan disertasi beliau di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Jogjakarta. Buku ini berhasil merekam secara komprehensif jejak sejarah kerajaan Mangkunegara, dengan raut wajah kapitalisme yang tampak tergurat jelas dalam sistem pemerintahan.

Buku ini juga memotret secara apik benang kusut problematika kepemilikan tanah yang berlangsung di berbagai daerah. Penulis buku ini meriset hal ini secara utuh dalam bingkai kasus monopoli perkebunan tebu di kerajaan Mangkunegara. Kasus kepemilikan tanah menyimpan luka sejarah kelam, karena penuh dengan intrik dan pertentangan kepentingan. Sengketa kepemilikan tanah seringkali meletus antar berbagai pihak.

Temuan dalam buku ini, sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hiroyosi Kano, Frans Husken dan Joko Suryo, di daerah perkebunan tebu pabrik gula Comal, Jawa Tengah. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan, bahwa masyarakat di daerah pabrik gula tidak mengalami involusi, tetapi diferensiasi. Pemilikan tanah di pedesaan tidak merata, tetapi terjadi kesenjangan antara petani pemilik tanah luas dengan pemilik tanah sempit dan tak bertanah.

Monopoli tanah perkebunan tebu di Mangkunegara menjadikan rakyat gelisah dan bertambah sengsara. Warga Mangkunegara bukan sengsara akibat penjajahan kolonial yang kejam, akan tetapi otoritarianisme penguasa yang menghamba pada denyut kapitalisme. Inilah yang menjadikan Mangkunegara sebagai kerajaan pribumi yang memasung kemerdekaan rakyatnya, karena mengejar target materialisme semata.

Buku ini menarik dikaji, karena dari sebagian besar penelitian yang ada hanya mengungkap kasus monopoli perkebunan tebu dan industri gula oleh bangsa asing yang menjajah negeri ini. Penelitian yang terekam dalam buku ini memberikan sumbangsih besar, karena secara intim berhasil memotret gerak kapitalisme yang menggejolak dalam jiwa bumi putra. Buku ini menjadi rujukan penting untuk mengetahui "wajah lain" bumi putra dalam mengelola aset rakyatnya.

Munawir Aziz, Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM Jogjakarta.

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono

0 komentar:

Posting Komentar