Sabtu, 25 Agustus 2012

Hukum Itu Selalu Dinamis


Judul: Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadapTeori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif
Penulis: Romli Atmasasmita
Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta
Tahun: I, Maret 2012
Tebal: xv+127 halaman
Harga: Rp 45.000,-

Peresensi oleh: A.P. Edi Atmaja

BUKU ini mengetengahkan diskursus baru dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia. Setelah pada 1970-an Mochtar Kusumaatmadja menawarkan Teori Hukum Pembangunan dan pada 1990-an Satjipto Rahardjo menghidangkan Teori Hukum Progresif, kini Romli Atmasasmita melontarkan gagasan rekonstruksi atas dua teori tersebut, yang dinamakannya Teori Hukum Integratif.

Tak jauh beda dengan dua teori sebelumnya, guru besar Universitas Padjadjaran ini pun bertolak dari realitas keseharian. Argumen akademis Teori Hukum Integratif amat dipengaruhi oleh situasi hukum masa kini yang sarat ketidakadilan, ketimpangan, dan jauh dari kesejahteraan. Memang, kalau dibandingkan dengan dua teori itu, titik tolaknya lain: Indonesia selepas Reformasi 1998, di mana setan globalisasi dan kapitalisme menghinggapi seluruh bidang kehidupan, termasuk hukum.
Membaca buku ini, terasa benar titik pijak penulisnya: masyarakat (hukum) adat. Hukum tinggalan kolonial yang diproyeksikan sedemikian rupa oleh penguasa setelahnya amat jauh dari cita-cita kemerdekaan. Hukum pada akhirnya dipakai penguasa untuk menggerus eksistensi masyarakat adat, masyarakat lokal. Hukum terasa sangat antipati kepada kaum pribumi.

Pembentukan hukum nasional, kata Romli, sampai saat ini masih belum selesai dan patut dipertanyakan terus. Sebelum dan setelah Indonesia memasuki era Reformasi, upaya yang dilakukan lebih banyak berupa harmonisasi pengaruh hukum asing (internasional) ke dalam peraturan perundang-undangan nasional (hal. 61).
Sebagai contoh, “nasionalisasi” Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP Belanda) berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 muatannya nyaris sama dengan teks aslinya—yang bahkan di negara asalnya sudah diperbarui beberapa kali. Di sisi lain, pembaruan hukum melalui yurisprudensi belum melembaga di kalangan aparatur hukum meski telah diakui dalam pelbagai forum diskusi.

Teori Hukum Pembangunan yang menjiwai kebijakan Orde Baru pun rupanya masih terdapat cacat di sana-sini. Hambatan timbul lantaran kegagapan teori itu untuk menghadapi perkembangan hukum yang dinamis. Hambatan berkisar soal (1) penyalahgunaan teori untuk kepentingan politik sesaat, (2) sukarnya menentukan tujuan pembaruan hukum, (3) sedikitnya data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif dan prediktif, (4) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur berhasil atau tidaknya usaha pembaruan hukum, dan (5) para ahli hukum Indonesia menderita kebingungan soal corak hukum yang dipandang cocok untuk dianut dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi seperti saat ini (hal. 77).

Kegagapan Teori Hukum Pembangunan coba dilengkapi Romli dengan menyandingkannya dengan Teori Hukum Progresif. Teori Hukum Progresif lebih melihat persoalan di tataran eksekusi. Artinya, bekerjanya hukum dianggap berhasil atau gagal tergantung dari pelaksana Undang-undang—kendati menurut Satjipto Rahardjo hukum tak bisa dimaknai sebatas Undang-undang.

Ada satu kunci yang dikemukakan Romli Atmasasmita sebagai upaya rekonstruksi atas dua teori hukum tadi sekaligus pendeklarasian Teori Hukum Integratif, yakni pemberdayaan birokrasi (social bureaucratic engineering). Rekayasa birokrasi dan masyarakat yang berlandaskan pada sistem norma, perilaku, dan nilai yang bersumber dari Pancasila sebagai ideologi bangsa—itulah Teori Hukum Integratif (hal. 97). Diharapkan, semua itu akhirnya akan bermuara pada tercapainya kondisi hukum yang asali: dinamis akan kehidupan masyarakat. []

A.P. EDI ATMAJA,
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro

Sumber: Kompas
Editor :Jodhi Yudono

0 komentar:

Posting Komentar